• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konteks Politik Kemunculan Seni Jalanan

Dalam dokumen Seni jalanan Yogyakarta. (Halaman 95-103)

BAB IV MEREBUT JALAN(AN) SENI DI INDONESIA

B. Konteks Politik Kemunculan Seni Jalanan

Sejumlah kalangan mendeskripsikan seni jalanan sebagai bagian dari perkembangan seni rupa kontemporer yang mencoba membongkar batasan-batasan mapan seni rupa. Selama ini, seni rupa identik dengan karya di atas kanvas dan hanya dipamerkan di ruang-ruang galeri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seni jalanan telah menyodorkan konvensi, pemahaman-pemahaman baru, metode dan perlengkapan teknis berkesenirupaan lainnya, pilihan alternatif media, model penghadiran seni rupa di ruang publik.

Seni jalanan dapat pula ditafsirkan sebagai suatu bentuk perlawanan terhadap seni modern yang sudah diproduksi, didistribusi dan dikonsumsi secara kapitalistis. Ketika seni rupa sudah masuk ke dalam sistem pasar masyarakat kapitalis, maka karya seni rupa akan diproduksi, didistribusi dan dikonsumsi sesuai budaya dominan yang ada di masyarakat tersebut (kapitalisme). Karya seni akan menjadi komoditi serupa barang hasil produksi manufaktur lainnya, yang diproduksi oleh produsen (para pekerja seni rupa) demi tujuan produksi kapitalis. Dengan menggunakan ide-ide individual si pekerja seni, karya seni rupa tercipta semata untuk memenuhi hukum ekonomi; kebutuhan, permintaan dan penawaran terhadap beragam jenis komoditi seni rupa yang sesuai tren di pasaran seni rupa.

Karya seni rupa hanya menjadi salah satu dari sejumlah besar komoditi pasar kapitalis yang diperjualbelikan demi meraup keuntungan. Karya seni rupa dianggap sederajat dengan barang suvenir atau kerajinan. Perbedaannya terletak hanya pada jumlah karya seni rupa yang terbatas, karena diproduksi satuan dan tidak secara masif.

Sebagai produsen, pekerja seni rupa tidak punya kuasa untuk masuk begitu saja ke dalam jaringan distribusi ala kapitalisme yang berlapis-lapis. Di dalam jaringan itu ada pihak pedagang perantara (para kritikus dan kurator) yang berperan sebagai pembuat iklan sekaligus memberi penaksiran dan penilaian nilai jual, ada pula kolektor lokal dan internasional yang merupakan kalangan terbatas pemonopoli jalur jual-beli komoditi, juga pasar terbuka dan tertutup (museum pribadi, ruang pamer pribadi, galeri, ruang pamer umum, balai lelang seni) sebagai tempat memajang komiditi yang akan dijual. Akibatnya, karya seni rupa tidak bisa dinikmati secara bebas oleh semua lapisan masyarakat, melainkan terbatas untuk kalangan elit tertentu atau golongan pemilik kapital.

Sebagai komiditi pasar kapitalis, penciptaan karya seni–baik unsur artistik atau estetikanya, muatan tema atau isi pesannya—tidak terjadi begitu saja sesuai kehendak sang pekerja seni, melainkan diarahkan dan ditentukan oleh pihak ketiga4 sesuai pesanan. Lalu bagaimana halnya dengan fenomena seni jalanan yang merebak selama dekade 1990-an akhir hingga tahun 2000-an? Apakah gejala tersebut mengindikasikan adanya tendensi resistensi terhadap sistem pasar seni rupa yang kapitalistis?

Berkaitan dengan pertanyaan ini, A. Sujud Dartanto mensinyalir bahwa praktek seni rupa jalanan, khususnya mural, “...dipercakapkan oleh adanya resistensi terhadap praktek seni tinggi (high art) sebagaimana dalam tuturan sejarah seni rupa modern Barat.”5 Pendapat ini masih bisa dipertajam lagi dengan melontarkan dua pertanyaan. Resistensi yang bagaimana dan apa yang dimaksud dengan high art itu?

Dari tulisan yang sama, yang merupakan makalah yang disampaikan pada sebuah diskusi bertema Diskusi Mural Kota Yogya yang terselenggara sebagai hasil kerja sama antara Jogja Fine Art Community dan Harian Bernas (yang kemudian dipublikasikan

4

Pihak ketiga yang dimaksud adalah kepentingan jaringan pedagang seni rupa dan tuntutan pasar.

5

secara luas dalam Harian Bernas) tidak ada penjelaskan secara eksplisit mengenai pengertian resistensi dan seni tinggi (high art) yang dimaksudkan. Namun secara implisit dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud sebagai seni rupa tinggi (high art) adalah seni rupa yang terpisah dari publik luas6 (sekalipun dalam tulisan yang sama dia juga mempersoalkan tentang salah kaprah pengertian yang melihat galeri, museum, ruang pamer dan art shop bukan sebagai ruang publik). Terpisah dari publik luas dapat dikatakan juga sebagai tidak diarahkan untuk kepentingan membangun dialog dengan masyarakat tetapi lebih mengedepankan unsur estetik dan artistik yang diinginkan oleh individu pekerja seninya (lebih terkesan menjunjung tinggi seni untuk seni) dan tidak mengadvakoasi persoalan ekstra estetik. Sedangkan resistensi dimaksudkan sebagai usaha untuk melakukan pengeseran dari pengertian negatif seni rupa tinggi (high art) seperti yang tersebut di atas. Dimana, seni rupa mural memindahkan lokus seni rupa modern yang terkurung dalam ruang privat seniman ke ruang publik, mencoba membangun dialog dengan masyarakatnya dan memperkecil monolog pekerja seni dengan karyanya; mencoba mengadvokasi persoalan ekstra estetik berupa persoalan sosial politik yang berkembang di masyarakatnya.

Dari pernyataan ini terlihat bahwa kehadiran seni rupa pada umumnya, dan seni jalanan khususnya, mengindikasikan adanya jalinan sosial yang rumit. Jalinan sosial itu berupa keterlibatan dan keterkaitan seni rupa dengan unsur-unsur di luar dirinya, yang sebenarnya merupakan kaitan sosiologi dan seni. Pada asumsi Sudjud terasa adanya sedikit tendensi perlawanan seni jalanan terhadap dunia seni rupa mapan di era kapitalisme ini. Pertanyaan di atas dapat ditinjau kembali lewat pertanyaan berikut; apakah boleh dikatakan kehadiran seni jalanan merupakan wujud resistensi terhadap dominasi tendensi

6

“… seni rupa modern makin terpisah jauh dari masyarakat; yang hanya dipajang atau terisolasi di ruangan privat seniman, yang diasumsikan sebagai bukan ruang publik. seperti galeri, museum, art shop.” (A. Sujud Dartanto, Harian Bernas, 17 Maret 2003, hal. 4).

seni rupa kapitalis? Untuk itu, perlu dilakukan pengkajian terlebih dulu terhadap konteks sosial penyebab munculnya arus seni rupa jalanan.

Kemunculan seni jalanan dapat dikontekskan pada perkembangan nyata sosial historis masyarakatnya, yang bermula pada era 1990-an akhir dan terus berkembang pesat pada tahun 2000-an. Pada awal kemunculannya, yaitu ketika masa pemerintahan rezim Orde Baru masih berada di puncak kekuasaan, seni jalanan masih berupa gerakan kecil-kecilan, sporadis, kurang masif dan hanya dikerjakan dengan cara “bergerilya”. Sebagai contoh, projek mural yang dilakukan komunitas Apotik Komik, atau lebih tepatnya projek “menggambar komik”, di permukaan tembok atau kardus yang kemudian dipajang di luar ruangan pada tahun 1997.7

Pada dekade ini, situasi sosial masyarakat Indonesia berada dalam suatu formasi masyarakat kapitalis lanjut. Kapitalisme telah berhasil memenangkan pertarungan melawan musuh ideologisnya, yaitu sosialisme. Satu per satu negara yang mengaku menerapkan sosialisme mengalami collapse akibat gempuran politis, ekonomis, kultural dan ideologis yang masif dilakukan sejumlah negara kapitalis.

Perkembangan kapitalisme lanjut ditandainya dengan makin meluasnya pasar bebas secara global. Kapitalisme sudah menguasai seluruh formasi dan struktur sosial tatanan hidup di semua benua. Di era kapitalisme lanjut ini, yang berkembang tidak hanya industri manufaktur, jasa dan perbankan semata, melainkan juga produksi simbol, imajinasi dan citraan (decoding)—sebagai sesuatu yang maya—yang berkembang secara masif. Pada gilirannya, era estetifikasi hidup menjadikan tubuh dan kehidupan manusia sebagai komoditi estetik juga. Pada akhirnya, komodifikasi hidup dan tubuh pun meruak. Di sini,

7

Menggambar komik pada tembok adalah karya Apotik komik pada awal didirikan, sebelum mengerjakan projek mural kota Yogyakarta.

seni rupa dan kesenian hanya menjadi komoditi yang dibutuhkan dalam rangka estetifikasi atau memperindah kehidupan.

Dalam era kapitalisme konvensional, komoditi diproduksi atau diciptakan karena adanya permintaan (demand). Sebaliknya, permintaan terhadap komoditi juga diciptakan secara masif. Dengan begitu dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu komoditi sebenarnya tidak dibutuhkan, namun karena adanya produksi simbol, imajinasi dan citraan yang terus menerus, maka keberadaan komoditi itu seolah benar-benar diperlukan sebagai pemuas kebutuhan.

Padahal kebutuhan tidak lagi muncul dari dorongan pemenuhan kebutuhan pokok untuk hidup, melainkan diciptakan melalui sejumlah rangsangan yang diproduksi secara masif. Dorongan pemenuhan hasrat terdalam atau nafsu manusia pun dieksploitasi, diproduksi dan direkayasa sedemikian rupa. Sebagai bentuk pemenuhan terhadap kebutuhan tersebut maka diproduksilah beragam simbol dan ikon yang menyertai barang-barang nyata. Pikiran sehat dan rasionalitas manusia dipaksa menepi, untuk kemudian diganti oleh naluri, hasrat dan nafsu yang terus dirangsang secara terus menerus. Di sinilah peran media massa sangat dominan, dan terus berkembang hingga menjadi salah satu sektor penting dalam industri kapitalisme.

Ditandai dengan gencarnya gempuran informasi dan budaya global yang masif, kegilaan masyarakat pada budaya konsumeris pun menggelegak hingga akhirnya mengkontaminasi seluruh tatanan kehidupan yang ada. Strategi kapitalisme adalah terus menerus memproduksi iklan, sebagai ujung tombak penggempur budaya, yang bertujuan memengaruhi perilaku masyarakat untuk mengkonsumsi citra tertentu yang diinginkan guna membangun sebuah identitas yang labil atau selalu berubah—seperti kecepatan sekuel perubahan tampilan gambar di layar televisi. Dalam kehidupan berbudaya, orang

diarahkan untuk mengadopsi dan menciptakan citra (juga imagologi) semudah mengonsumsi komoditas kapitalis lainnya. Kesadaran dan imajinasi individu dirangsang, diarahkan dan dibentuk agar seragam.

Hal ini terjadi ketika rayuan visual dari citraan dan imajinasi tersebut lebih banyak ditentukan oleh terciptanya media pemuas kenikmatan terhadap pemenuhan hasrat mengonsumsi barang, nilai-nilai dan citraan yang diproduksi secara masif oleh kapitalisme lanjut. Maka tidak mengherankan jika ruang hidup manusia, baik ruang privat/domestik maupun ruang publik, dibanjiri oleh citraan iklan. Di ruang domestik keluarga, iklan dijejalkan melalui media cetak, audio visual dan multimedia. Sementara di ruang publik, iklan beragam bentuk dijejalkan di sepanjang badan jalan dan tembok-tembok kota, mulai dari yang berbentuk baliho, spanduk, poster, media elektronik dan multimedia, yang bertujuan mensubversif dan meneror kesadaran manusia.

Sementara itu, kondisi dalam negeri Indonesia didominasi oleh kekuasaan rezim Soeharto, yang boleh dikatakan mampu mengontrol seluruh tatanan kehidupan masyarakat dengan menggunakan kekuatan politik militeristik dan senjata. Sedangkan seni rupa dan para pelakunya hanya suntuk dalam ruangan seni rupa tinggi yang sempit. Artinya, mereka hanya mengorientasikan seni untuk seni dan sibuk mengejar pencapaian estetika, artistik dan kemajuan tehnik berkesenirupaan semata; sibuk mengarahkan diri demi menangkap peluang ekonomi yang disediakan pasar seni rupa kapitalis; steril dari imperatif advokasi ekstra estetik dan terhadap persoalan sosial politik yang berkembang di masyarakatnya.

Pada fase berikutnya, ketika rezim Soeharto berakhir—setelah mendapatkan tekanan politik yang kuat dari negara kapitalisme (terutama Amerika Serikat) dan tekanan dari dalam negeri berupa rangkaian aksi massa yang dipelopori oleh mahasiswa dan kalangan Pro Demokrasi lainnya—suasana kebebasan berekspresi dan berdemokrasi sedikit terkuak.

Seiring dengan itu, kebebasan mengekspresikan ide-ide seni, termasuk seni rupa, turut menyeruak. Dalam situasi politik yang demikian, mulailah bermunculan sejumlah prakarsa untuk menggulirkan seni rupa ruang publik atau seni rupa jalanan. Suasana eforia kebebasan, demokratisasi dan reformasi, menyediakan peluang dan ruang yang relatif bebas kepada para pekerja seni untuk melakukan kerja atau praktek kesenian di ruang publik. Suatu hal yang tidak mungkin diperoleh di masa kekuasaan rezim Orde Baru.

Model berkesenian di ruang publik pun mulai banyak dilakukan. Berkaitan dengan itu, sebagian pihak yang berusaha menenggarai kehadiran seni jalanan sebagai upaya untuk memperebutkan kembali pemaknaan terhadap ruang publik justru dipandang sebagai usaha “perlawanan” terhadap kenyataan yang ada, bahwa semakin terampasnya ruang publik demi kepentingan ekonomi—karena pada kenyataannya ruang publik bisa pula dibeli untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Dalam usaha perebutan ruang publik ini, kepentingan ekonomi dan modal selalu menang dan dominan. Hal tersebut terlontar dalam acara talkshow bertema Sama-sama/You Are Welcome yang diadakan di Rumah Seni Cemeti oleh seorang seniman mural asal San Fransisco, Amerika Serikat.8 Dikatakannya pula bahwa pada kondisi seperti itu mural menjadi senjata perlawanan seni terhadap peminggiran yang dilakukan politik terhadap penguasaan, dan pengaturan ruang publik demi kepentingan modal atau periklanan industri, serta perlawanan terhadap penindasan manusia.

Projek seni jalanan di Yogyakarta (seperti yang banyak dijalankan melalui projek mural) mulai tampak marak pada tahun-tahun setelah terjadinya reformasi; yang diawali dengan jatuhnya kekuasaan Soeharto. Fenomena menguatnya aksi seni jalanan pasca reformasi ini memiliki karakteristik eforia demokrasi. Meluasnya kebebasan berkreatif

8

tersebut mendorong para pekerja seni untuk mengekspresikan apa saja di ruang publik, meski seringkali hanya terkesan sebagai bentuk dorongan kebebasan individualnya semata.

Selain projek mural, di kota Yogyakarta juga mulai marak fenomena gerakan budaya yang digulirkan oleh komunitas Lembaga Budaya Kerakyatan (LBK) Taring Padi, yaitu gerakan pemasangan poster dan grafis, serta pagelaran panggung seni dan karnaval seni jalanan. Apotik Komik dan LBK Taring Padi adalah dua komunitas budaya yang tumbuh hampir bersamaan di masa akhir kekuasaan rezim Soeharto dan berkembang pesat pada masa pasca Orde Baru. Pada masa itu, eforia reformasi dan demokrasi merebak sedemikian rupa di tengah masyarakat, yang kemudian seolah memberi semangat baru pada kehidupan seni jalanan yang hampir padam. Seni jalanan pun mulai mengeliat.

Ada perbedaan yang menarik dari pola gerakan budaya yang dilakukan oleh LBK Taring Padi dibandingkan projek seni rupa ruang publik (projek mural) milik Komunitas Apotik Komik. Pola gerakan budaya LBK Taring Padi bersifat terbuka atau melibatkan kalangan luas; secara independen tidak menunggu atau mengusahakan adanya ijin dari pemegang otoritas kekuasaan; tidak hanya terbatas pada pengertian seni rupa lukis melainkan multimedia; ada unsur perayaan kebebasan secara bersama-sama dengan elemen lain (masyarakat); memiliki advokasi ekstra estetik yang kuat; secara radikal menolak politik pasar seni rupa kapitalis, bahkan secara naif menolak kurator, galeri dan jaringan kolektor. Sedangkan gerakan projek mural Apotik Komik bersifat sebaliknya. Walaupun melibatkan para pekerja seni dan kalangan masyarakat, projek ini tidak menekankan aspek politis pada pesan-pesan mural yang diusungnya sehingga cenderung steril dari usaha advokasi ekstra estetik; tidak terlalu mengusung retorika tinggi resistensi terhadap sistem produksi, distribusi dan konsumsi seni rupa yang kapitalistik.

Gambar 29.

Poster-poster yang dibuat LBK Taring Padi dan dicetak ribuan lembar. Pada tahun 1999-2003 ditempel di jalanan

kota Yogyakarta, Jakarta dan Bandung. (Foto :Dok. penulisi, 2001)

Namun demikian apa yang diciptakan oleh LBK Taring Padi dan Apotik Komik keduanya memberikan pengaruh yang cukup kuat pada perkembangan seni jalanan Yogyakarta. Fenomena mural telah mendorong perkembangan seni jalanan menjadi semakin artistik, demikian pula ke-radikal-an LBK Taring Padi. Jika kita dalami lebih lanjut apapun bentuknya, isi tulisannya (tag atau logos), dan setinggi apapun artistiknya, seni jalanan akan tetap dianggap sebagai keliaran dan protes terhadap kemapanan karena cara-cara pembuatannya.

Dalam dokumen Seni jalanan Yogyakarta. (Halaman 95-103)

Dokumen terkait