• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Korupsi APBD dan APBN yang Dilakukan oleh Pemimpin Hasil Proses Demokrasi Pemilihan Langsung Kelompok Masyarakat

1. Gratifikasi dan Suap

Dalam perpektif sejarah, pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, pengaturan atas tindak pidana gratifikasi relatif masih baru. Meski dalam KUHP khususnya Bab XXVIII rumpun “kejahatan Jabatan“ yang di dalamnya antara lain mengatur: penyuapan, pemerasan dan atau penerimaan hadiah atau janji yang dilakukan oleh seorang pejabat (lihat pasal 418, 419, 420, 423, 424 dan 425 KUHP).

Kemudian pengaturan tentang gratifikasi dan suap diatur oleh lex generalis, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Terkait pengaturan tentang gratifikasi, Pasal 12 B dan 12 C UU Tipikor mengaturnya sebagai berikut:

jangka waktu tertentu (yaitu 30 hari) tidak melaporkan kepada KPK bahwa dirinya telah menerima sesuatu sebagai akibat dari jabatannya.

Ada argumentasi mengapa penerima gratifikasi sebagai perbuatan yang patut dicela. Hal ini didasarkan pada alasan moral bahwa pejabat publik tidak sepatutnya menerima hadiah atau pemberian, karena bisa menimbulkan “conflict of interest” dengan jabatannya. Pertanyaan yang sering muncul adalah, mengapa pemberi gratifikasi tidak digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum? Tidak digolongkan melanggar moral, tidak akan memiliki kepentingan? alhasil munculah berbagai silang pendapat tentang hal ini:

1. Gratifikasi dan Suap

Dalam perpektif sejarah, pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, pengaturan atas tindak pidana gratifikasi relatif masih baru. Meski dalam KUHP khususnya Bab XXVIII rumpun “kejahatan Jabatan“ yang di dalamnya antara lain mengatur: penyuapan, pemerasan dan atau penerimaan hadiah atau janji yang dilakukan oleh seorang pejabat (lihat pasal 418, 419, 420, 423, 424 dan 425 KUHP).

Kemudian pengaturan tentang gratifikasi dan suap diatur oleh lex generalis, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Terkait pengaturan tentang gratifikasi, Pasal 12 B dan 12 C UU Tipikor mengaturnya sebagai berikut:

Gambar 5.9. Ketentuan tentang Gratifikasi

Menurut Adami Chazawi, selain unsur pembuatnya (penerima), pegawai negeri atau penyelenggara negara, dalam tindak pidana korupsi menerima gratifikasi (Pasal 12 B jo Pasal 12 C UU Tipikor No 20 Tahun 2011 Tentang Perubahan UU No 31 Tahun 1999) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dipastikan mengandung 4 unsur, yaitu:49

1. Perbuatan: menerima 2. Gratifikasi

3. Berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya, dan

4. Tidak melaporkan penerimaan pemberian pada KPK dalam waktu 30 hari kerja sejak menerima pemberian.

Terhadap unsur menerima, subjek hukum pembuat, yaitu pegawai negeri atau penyelenggara negara harus menerima gratifikasi tersebut. Terhadap unsur ketiga, Adami menjelaskan bahwa unsur ini merupakan unsur objektif, yang berbeda dengan unsur “padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan

49 Pasal 12 B jo Pasal 12 C UU Tipikor No 20 Tahun 2011 Tentang Perubahan UU No 31 Tahun 1999 ) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

kewajibannya” yang terdapat pada Pasal 12 a UU Tipikor. Unsur ke-3 pada Pasal 12 B menurut Adami mengandung tiga unsur:

1. Kualitas subjek hukum yang menerima pemberian haruslah pegawai negeri atau penyelenggara Negara;

2. Pegawai negeri atau penyelenggara negara haruslah memiliki kewenangan jabatan pada saat melakukan perbuatan Untuk memiliki kewenangan jabatan, mereka haruslah memiliki jabatan.

3. Bahwa pemberian yang diterima pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut haruslah ada hubungannya dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Perbedaan unsur ke-3 yang cukup mendasar antara Pasal 12 B (gratifikasi) dengan Pasal 12 a dan 12 b (suap) atau Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor terletak pada pasal gratifikasi, yang mana dalam hal pembuktian cukup dibuktikan bahwa sifat pemberian itu adalah pemberian yang dilarang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara. Tidak dibutuhkan pembuktian pegawai negeri atau penyelenggara yang menerima harus melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Pada dasarnya sebuah perbuatan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima sesuatu di luar haknya telah dapat dikategorikan gratifikasi yang dilarang. Sangat terbuka kemungkinan pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan di kemudian hari terhadap orang yang menduduki jabatan tertentu untuk “menanam budi baik” pada si pejabat tersebut. Hal inilah yang dikehendaki untuk dicegah atau bahkan ditindak oleh ketentuan tentang gratifikasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada tindak pidana gratifikasi belum ada niat jahat (mens rea) pihak penerima pada saat uang atau barang diterima.

Niat jahat dinilai ada ketika gratifikasi tersebut tidak dilaporkan dalam jangka waktu 30 hari kerja. Sedangkan pada ketentuan tentang suap, pihak penerima telah mempunyai niat jahat pada saat uang atau barang diterima. Dalam hukum islam, korupsi hukumnya haram dan bagi pelangaranya akan mendapatkan dosa

kewajibannya” yang terdapat pada Pasal 12 a UU Tipikor. Unsur ke-3 pada Pasal 12 B menurut Adami mengandung tiga unsur:

1. Kualitas subjek hukum yang menerima pemberian haruslah pegawai negeri atau penyelenggara Negara;

2. Pegawai negeri atau penyelenggara negara haruslah memiliki kewenangan jabatan pada saat melakukan perbuatan Untuk memiliki kewenangan jabatan, mereka haruslah memiliki jabatan.

3. Bahwa pemberian yang diterima pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut haruslah ada hubungannya dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Perbedaan unsur ke-3 yang cukup mendasar antara Pasal 12 B (gratifikasi) dengan Pasal 12 a dan 12 b (suap) atau Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor terletak pada pasal gratifikasi, yang mana dalam hal pembuktian cukup dibuktikan bahwa sifat pemberian itu adalah pemberian yang dilarang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara. Tidak dibutuhkan pembuktian pegawai negeri atau penyelenggara yang menerima harus melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Pada dasarnya sebuah perbuatan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima sesuatu di luar haknya telah dapat dikategorikan gratifikasi yang dilarang. Sangat terbuka kemungkinan pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan di kemudian hari terhadap orang yang menduduki jabatan tertentu untuk “menanam budi baik” pada si pejabat tersebut. Hal inilah yang dikehendaki untuk dicegah atau bahkan ditindak oleh ketentuan tentang gratifikasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada tindak pidana gratifikasi belum ada niat jahat (mens rea) pihak penerima pada saat uang atau barang diterima.

Niat jahat dinilai ada ketika gratifikasi tersebut tidak dilaporkan dalam jangka waktu 30 hari kerja. Sedangkan pada ketentuan tentang suap, pihak penerima telah mempunyai niat jahat pada saat uang atau barang diterima. Dalam hukum islam, korupsi hukumnya haram dan bagi pelangaranya akan mendapatkan dosa

besar. Korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara, termasuk bagian dari pengahianatan sumpah jabatan, katika akan dilantik menjadi pejabat.

Saat ini, korupsi di Indonesia bisa dikatakan sudah menjadi budaya dari mulai tingkat rendah sampai tinggi. Bahkan, Indonesia sudah menjadi salah satu negara terkorup di dunia yang tentunya sangat memilukan. Meskipun saat ini sudah didirikan lembaga anti korupsi yang baru yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK yang secara gencar memberantas para koruptor, akan tetapi korupsi yang sudah berubah menjadi budaya ini terasa sangat sulit untuk dihentikan dan diberantas.