• Tidak ada hasil yang ditemukan

DETEKSI KEBERADAAN GUNUNG BAWAH LAUT

SUPERVISED BY HENRY MANIK AND DJOKO HARTOYO

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.9 Gunung Bawah Laut ( Seamount) dan Dimensinya

Definisi mengenai gunung bawah laut (seamount) berkebang dari tahun ke

tahun. Hal ini didasarkan pada sudut pandang disiplin ilmu yang digunakan oleh beberapa peneliti. Menurut Menard (1964), gunung bawah laut dapat

didefinisikan sebagai material yang membentuk sebuah ketinggian yang berada di dasar laut dengan bentuk yang bulat atau elips dengan ketinggian minimum1

kilometer dan memiliki kemiringan (slope) tertentu serta terdapat puncak yang

berukuran kecil. Schieferdecker (1959) menyebutkan bahwa gunung bawah laut didefinisikan sebagai sebuah daerah di permukaan bumi dimana bahan magma dari dalam bumi keluar atau pernah keluar pada masa lampau, biasanya akan membentuk suatu gunung, berbentuk kerucut dan mempunyai kawah di bagian

puncaknya . Secara bentang alam William dan McBirney (1979) membagi gunung yang

19

Berberapa faktor pembentukan gunung bawah laut menurut Spence and

Turcotte(1985) terdiri dari beberapa proses. Pertama, material-material yang ada

di bawah lapisan bumi memiliki asupan panas atau magma dari perut bumi

tepatnya di lapisan litosphere. Kedua, magma yang berasal dari dalam perut bumi memiliki energi yang cukup untuk terangkat ke atas tanpa adanya proses

pembekuan selama pembentukan tonjolan menyerupai gunung (Gass et al.,1978).

Sebagian besar gunung bawah laut belum dapat diketahui keberadaannya, hal ini dikarenakan hanya sebagian kecil saja dari dasar laut yang berhasil

dipetakan oleh kapal yang melakukan survei kelautan. Perolehan data mengenai

gunung api bawah laut (seamount) pada awalanya dilakukan hanya dengan

menggunakan peta profil batimetri disuatu perairan. Mekanisme penentuan ini lebih sering dilakukan bila dibandingkan dengan harus melakukan interpolasi dari sebuah peta. Sekitar 90% gunung bawah laut dengan ketinggian kurang dari 1 kilometer tidak dapat terlihat atau teramati, hal ini dikarenakan gunung

tersebut terlihat hanya sebagai gundukan-gundukan kecil diantara gunung-gunung tinggi disekitarnya (Craig dan Sandwell, 1988).

Gunung laut di dunia dapat ditemukan pada semua cekungan di laut, dengan distribusi yang cukup bervariasi dalam ruang dan waktu, dan dapat ditemukan pada bagian kerak samudra. Hampir setengah dari gunung laut di dunia ditemukan pada Samudra Pasifik dan sisanya tersebar pada bagian Atlantik dan Samudera India. Menurut Encyclopedia of Earth, memperkirakan sebaran gunung laut di dunia berkisar 100.000 gunung laut yang memiliki ketinggian diatas 1000 meter, dan ribuan lainnya jika dihitung di bawah ketinggian 1000 meter. Perkiraan ini didasarkan dengan penggunaan satelit dengan memeriksa

20

altimetry anomali gravitasi di bawah permukaan laut (Gambar 10). Informasi

terbaru berdasarkan hasil penelitian Yesson. C et al. pada tahun 2011, diperoleh

data bahwa diseluruh dunia terdapat 33.452 gunung bawah laut (seamount) dan

138.412 bukit kecil.

Gambar 11. Peta penyebaran gunung bawah laut (seamount) dunia

(Kitchingham dan Lai, 2004)

Harian Kompas yang terbit pada tanggal 28 Mei 2009 mencatat bahwa Indonesia memiliki beberapa Gunung api bawah laut, antara lain :

1. Gunung Submarine di Sulawesi Utara.

2. Gunung Mahangetang di Pulau Mahangetang.

3. Gunung Niuwewerker di perairan Banda, ditemukan pada tahun 1927. 4. Gunung Hobal, ditemukan pada tahun 1999 di perairan Nusa Tenggara.

21

Sumber : http://unimak.us/landforms.shtml

Gambar 12. Morfologi gunung api. Keterangan :

1. Dapur magma 9. Lapisan Lava

2. Batuan Dasar 10. Kenpundan

3. Pipa Kawah 11. Kerucut Parasit Gunung Api

4. Permukaan Dasar 12. Aliran Lava

5. Retas (skill) 13. Kawah

6. Pipa Kawah Sekunder 14 Bibir Kawah

7. Lapisan Abu Gunung Api 8. Sisi Gunung Api

22

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengambilan data atau akuisisi data kedalaman dasar perairan dilakukan pada tanggal 18-19 Desember 2010 di perairan barat daya Provinsi Bengkulu oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Lokasi tersebut dipilih karena menjadi jalur survei kelautan yang dilakukan oleh tim riset kelautan BPPT,

LIPI, Departemen ESDM, Compagnie Générale de Géophysique-Veritas (CGC-

Veritas) dan IPG (Institut de Physique du Globe) Paris

Pengolahan data dilakukan selama 5 bulan yaitu pada bulan Maret hingga bulan Juli tahun 2012. Data yang digunakan dalam penelitian ini termasuk kedalam kategori data primer. Hal ini disebabkan data dari hasil pemeruman

(sounding) kapal survei dan belum pernah diolah sebelumnya. Pengolahan data

penelitian ini dilakukan di Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan , Institut Pertanian Bogor (IPB) dan

Laboratorium Balai Teknologi Survei Kelautan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta. Gambar 13 merupakan lokasi survei yang dilakukan oleh tim riset kelautan dan sekaligus menjadi lokasi penelitian yang dilakukan.

Penentuan gunung bawah laut dalam penenlitian ini, dianalisis berdasarkan data nilai kedalaman (batimetri). Sebuah objek yang memiliki tinggi lebih dari 1000 meter dari dasar perairan dan memiliki bentuk kerucut akan dianggap

sebagai seamount. Hal ini didasarkan pada beberapa teori yang menjelaskan

23

24 3.2 Pengambilan Data Multibeam

Survei batimetri dilakukan menggunakan dua buah instrumen multibeam

yaitu jenis ELAC SeaBeam 1050D dengan frekuensi 50 kHz dengan kedalaman maksimum mencapai 3000 meter (Lampiran 1). Jenis instrumen jenis lain yang digunkan yaitu Simrad EM 12D dengan frekuensi 12 kHz yang memiliki

kemampuan deteksi hingga mencapai 10.000 meter. Kedua instrumen mutibeam

ini masing-masing terpasang pada Kapal Riset Baruna Jaya III dan Baruna Jaya IV. Profil Kapal riset Baruna Jaya IV dapat dilihat pada lampiran 2.

Data multibeam yang diperoleh merupakan data yang telah mengalami

koreksi terhadap pengaruh pergerakan kapal seperti pitch, heave, dan roll.

Koreksi tersebut dilakukan menggunakan sensor attitudeandpositioning Coda

Octopus F 180 (Lampiran 3). Data hasil koreksi pengaruh pergerakan kapal selanjutnya digunakan untuk proses koreksi selanjutnya, yaitu koreksi offset static. Titik referensi kapal diperlukan dalam penentuaan beberapa komponen koreksi offset. Sistem navigasi yang digunakan pada kapal survei diatur dalam

perangkat lunak Hypack yang secara langsung terhubung dengan sistem akuisisi

data multibeam. Data mentah atau Raw data hasil kegiatan pemeruman

selanjutnya akan diproses pada perangkat lunak CARIS HIPS and SIPS 6.1 untuk menghasulkan data posisi (lintang dan bujur) serta kedalaman terukur. Alur

akuisisi data multibeam di lokasi survei dan pengolahan data tersebut dapat dilihat

25

Gambar 14. Diagram alir perolehan dan pengolahan data multibeam

Dalam pelaksanaan survei batimetri, perekaman data batimetri dilakukan berdasarkan jalur survei. Akuisisi data yang dilakukan untuk mengetahui

keberadaan gunung bawah laut diperoleh melalui penyusuran jalur survei. Desain survei yang dilakukan oleh kapal Baruna Jaya III dan Baruna Jaya IV dengan instrumen akustik dapat dilihat pada gambar 15 dan 16 di bawah ini.

Navigasi (Hypack) Coda Octopus F 180 Sea Star 8200 VBS Transducer CTD/SVP Akuisisi Data (Hydrostar) .XSE (Data Proccessing CARIS HIPS and

SIPS 6.1

Export Data (XYZ)

26

Gambar 15. Jalur survei kapal selama melakukan kegiatan

27

Gambar 16. Jalur survei kapal selama melakukan kegiatan

28 3.3 Pengolahan Data Kedalaman (Batimetri)

Pengolahan data kedalaman di lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak CARIS HIPS and SIPS 6.1. Perangkat lunak tersebut diperoleh dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)

Jakarta. Raw data multibeam yang berasal dari ELAC SeaBeam 1050D

berekstensi .xse, sedangkan data yang berasal dari Simrad EM 12D berekstensi .all. Kedua jenis data tersebut tidak dapat secara langsung diproses pada CARIS

HIPS and SIPS 6.1. Pengolahan data multibeam secara umumdengan software

ini dimulai dengan konfigurasi kapal atau pembuatan file kapal (Vessel file).

File kapal ini memuat informasi mengenai koordinat setiap sensor yang direferensi terhadap titik pusat kapal. Proses berikutnya terdiri dari

pembuatan project, menentukan sistem koordinat yang digunakan dan melakukan

konversi data (Conversion Wizard) sesuai dengan jenis multibeam yang

digunakan dan penyimpanan session yang akan menampilkan urutan objek yang

ditampilkan dalam Windows Display.

Proses selanjutnya yang harus dilakukan adalah melakukan beberapa

koreksi terhadap data sensor seperti Navigation Editor, Swath Editor, dan Altitude

Editor pada fase Clean Auxiliary Sensor Data. Koreksi pasang surut (tide) dan

Sound Velocity Profile (SVP) juga perlu dilakukan sebelum proses penggabungan

(merge) file dilakukan sehingga kita dapat membuat lembar kerja baru (New Field

Sheet). Hasil akhir yang diharapakan dari pengolahan data tersebut berupa peta

batimetri (mapping product) yang selanjutnya akan di export. Perangkat lunak ini

memberikan berbagai macam format file untuk hasil export data. Pada penelitian ini format file yang digunakan adalah ASCII (Lampiran 4).

29

Gambar 17 menjelaskan secara rinci mengenai pemrosesan data batimetri pada perangkat lunak tersebut.

Gambar 17. Diagram alir pengolahan data multibeam pada

CARIS HIPS and SIPS 6.1

Tingkat ketelitian dari data hasil pemeruman menjadi hal utama yang perlu untuk diketahui. Ketelian akan berhubungan dengan seberapa akurat data

Create a Vessel File Create Project Convert Raw Data Save Session * hsf Clean Auxiliary Sensor Data Load SVP Penggabungan (Merge) New Field Sheet Base Surface Export ASCII Load Tide

30

tersebut memberikan informasi mengenai nilai kedalaman sebenarnya di lokasi

penelitian. Perhitungan limit error dari akurasi kedalaman sangat diperlukan

untuk tujuan validasi data yang dihasilkan. Proses perhitungan limit error

mengacu pada standar IHO 1998. Perhitungan limit error ini didasarkan pada

nilai a dan b yang terdapat pada tabel standar minimum survei. Perhitungan

tersebut dapat dihitung secara matematis dengan formula :

Limit error = ± [a2 + (b x d)2 ] ... (5)

Keterangan :

a = Konstanta kesalahan independen (jumlah kesalahan yang bersifat tetap).

b = Faktor kesalahan kedalaman dependen (jumlah kesalahan kedalaman yang

bersifat tidak tetap).

d = Kedalaman terukur.

b x d = Kesalahan kedalaman yang dependen (jumlah semua kesalahan kedalaman

yang dependen).

3.4 Pengambilan Data Sound Velocity Profile (SVP)

Data SVP diperoleh melalui sebuah alat yang disebut CTD tipe SBE 19.

Instrumen ini memiliki beberapa sensor yang mampu merekam (recorded)

parameter oseanografi seperti nilai konduktivitas, suhu dan kedalaman periaran.

Salah satu keuntungan dari penggunaan instrumen ini adalah mampu dioperasikan

secara portable.

3.5 Pengambilan Data Pasang Surut (Tide)

Data pasang surut yang digunakan pada penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Informasi Geospasial (BIG) melalui stasiun

31

pasang surut Seblat yang terletak di Kabupaten Bengkulu Utara (Lampiran 7). Data yang diambil adalah data pasang surut pada 18-20 Desember 2010.

3.6 Pemrosesan Data

Data multibeam yang diperoleh melalui akuisisi data merupakan data

kedalaman, amplitudo dan data backscatter. Data kedalaman dapat diolah dengan

menggunakan perangkat lunak (software) CARIS HIPS and SIPS 6.1. Data

amplitudo dan backscatter diperoleh melalui pemrosesan data melalui MBSystem

yang bekerja pada sistem operasi Linux. Visualisasi gunung bawah laut secara 3D dilakukan dengan perangkat lunak Fledermaus 6.2.

3.7 Pemrosesan Data Backscatter danAmplitudo

Karakteristik dasar perairan dapat diketahui dari nilai hambur balik

(backscatter) yang diterima oleh receiver. Sama halnya dengan pengolahan data

kedalaman, untuk menghasilkan nilai hambur balik dasar perairan dibutuhkan

tahap-tahap pengolahan data. MBCLEAN digunakan untuk mengoreksi beam

yang dianggap buruk. Pengoreksian secara manual melalui visualisasi dari

masing-masing beam dapat dilakukan dengan MBEDIT. Koreksi navigasi seperti

heavy, pitch, dan roll dapat dilakukan dengan bantuan MBNAVEDIT. Koreksi

terhadap pengaruh kecepatan suara dilakukan dengan MBVELOCITY,hal ini

dilakukan untuk menghilangkan perubahan kecepatan suara yang terjadi selama survei dilakukan. MBBACKANGLE digunakan untuk mengoreksi sudut bukaan

beam dari instrumen akustik yang digunakan. Semua data yang telah mengalami

koreksi tersebut, selanjutnya akan diproses kembali dengan cara menggabungkan melalui perintah MBPROCESS. Gambar 18 menjelaskan pemrosesan data hasil

32

survei agar diperoleh nilai hambur balik (backscattering) dan amplitude dasar

perairan.

Setiap jenis multibeam memiliki kode ID tersendiri sehingga akan

menghasilkan file output yang berbeda. Dalam penelitian ini jenis multibeam

ELAC SeaBeam akan menghasilkan file output *mb94. Sedangkan jenis Simrad EM 12D menghasilkan file output *mb51.

Gambar 18. Diagram alir pemrosesan hambur balik (backscatter)

dan amplitudo pada MBSystem Raw Data

*XSE atau .all

Pemrosesan Raw Data MBCLEAN MB EDIT MBNAVEDIT MBVELOCITTOOL MBBACKANGLE MBPROSSES Output *.mb94 dan *mb51 Grid dan Plot data Grafik Sebaran Backscatter dan Amplitudo

33 3.8 Pengukuran Dimensi Gunung Bawah Laut

Ukuran gunung bawah laut dapat diketahui melalui pengukuran dimensinya. Bentuk gunung bawah laut yang asimetris menjadi salah satu

kendala dalam melakukan pengukuran. Gunung bawah laut ini akan diasumsikan sebagai suatu objek yang berbentuk kerucut dengan alas yang berbentuk elips, hal ini dilakukan agar pengukuran relatif lebih mudah dilakukan. Bentuk alas yang berupa bangun datar elips akan mengakibatkan terbentuknya dua sumbu simetri yang juga merupakan diameter dari bangun datar tersebut. Elips memiliki 2 buah

diameter, yaitu diameter panjang (major axis) dan diameter pendek (minor axis).

Pengukuran dimensi pada penelitian ini lebih difokuskan kepada perhitungan tinggi dan diameter dari gunung tersebut. Bentuk gunung bawah laut yang berada di lokasi survey dapat diasumsikan melalui gambar bangun ruang kerucut seperti pada gambar 19 di bawah ini

(a) (b)

Gambar 19. Asumsi bentuk gunung bawah laut. (a) bentuk kerucut dan (b) alas gunung yang berbentuk elips

Minor axis Major axis

34 4.1 Hasil

4.1.1 Sound Velocity Profile (SVP)

Pengukuran nilai Sound Velocity Profile (SVP)dilakukan dengan

menggunkan sebuah instrumen CTD SBE 19. Instrumen ini memiliki tingkat keakuratan yang tinggi dalam melakukan pengukuran dan perekaman data. Alat ini mampu mengukur parameter oseanografi seperti nilai konduktivitas, suhu dan kedalaman. Kedalaman yang dapat diukur dengan menggunakan alat ini

mencapai 700 meter (Sea-Bird Electronics, 2006).

Gambar 20 merupakan grafik kecepatan suara di lokasi penelitian. Secara umum kecepatan suara relatif konstan hingga kedalaman kurang dari 142,36 meter. Kecepatan suara mengalami penurunan nilai secara perlahan dengan bertambahnya kedalaman. Penurunan kecepatan suara secara ekstrim terjadi pada kedalaman 283,73 meter. Pada rentang ini diperkirakan terdapat lapisan

thermocline. Tujuan pengambilan data kecepatan suara ini untuk mengetahui

waktu tempuh gelombang suara dan nilai kedalaman perairan.

4.1.2 Pasang Surut

Pengamatan terhadap nilai pasang surut pada kegiatan survei hidrografi sangat diperlukan untuk menentukan bidang acuan kedalaman serta akan menentukan koreksi nilai kedalaman pada saat pemeruman. Data pasang surut yang digunakan adalah data milik Badan Informasi Geospasial (BIG) yang dahulunya bernama Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional

(BAKOSURTANAL) pada stasiun pasang surut Seblat di daerah Bengkulu Utara

tepatnya pada koordinat 3 13’26,6” LS dan 101 35’58,4” BT (Lampiran 7).

Nilai pasang surut akan mempengaruhi nilai suatu kedalaman yang akan

kita dapatkan. Data hasil pengukuran dikoreksi menggunakan datum Mean Sea

Level (MSL). Datum ini digunakan karena hasil pengukuran akan menghasilkan

data kedalaman yang akurat (Sasmita, 2008). Pengolahan data pasang surut pada

software CARIS HIPS and SIPS 6.1 dilakukan melalui menu CARIS HIPS Tide

Editor. Visualisasi kondisi pasang surut di lokasi penelitian dapat dilihat pada

gambar 21.

Pengukuran pasang surut ini menggunakan satelit altimetry milik NOAA. Berdasarkan gambar diatas, permukaan air laut mengalami naik turun secara fluktuatif, hal ini menunjukkan adanya perbedaan ketinggian permukaan air laut. Tipe pasang surut suatu perairan bergantung pada kondisi perubahan kedalaman perairan atau geomorfologi pantai setempat. Nilai kisaran pasang surut dilokasi

peneltian berkisar antara -0,8 meter – 0,8 meter. Tipe pasang surut perairan

Bengkulu termasuk kedalam tipe pasang surut diurnal, artinya pasang surut akan dua kali dalam sehari dengan ketinggian yang berbeda. Data pasang surut selama kegiatan survei terlampir pada lampiran 8.

4.1.3 Topografi Dasar Laut

Data multibeam yang diperoleh melalui kegiatan survei yang dilakukan

oleh Kapal Baruna Jaya 3 dan Kapal Baruna Jaya 4 milik BPPT dapat diekstrak untuk mendapatkan topografi dasar laut. Lokasi penelitian merupakan perairan yang digolongkan sebagai perairan laut dalam. Hal ini dapat dilihat dari nilai kedalaman yang lebih dari 200 meter. Selain itu lokasi ditemukannya gunung bawah laut ini juga merupakan kawasan perairan terbuka yang langsung berhubungan dengan Samudera Hindia.

Proses akuisisi data dengan menggunkan perangkat akustik ini

memerlukan sejumlah koreksi agar diperoleh data yang akurat. Koreksi terhadap

pergerakan kapal selama di laut atau yang lebih dikenal dengan istilah Degree of

Freedom (DoF) seperti pitch, roll, heave, dan time delay sangat diperlukan.

Koreksi secara realtime dapat langsung dilakukan dengan menggunakan

CodaOctopus F180. Sudut pitch dan roll dijaga agar menghasilkan nilai 0,025o.

Positioning System (DGPS) SeaStar 8200 VB yang memiliki nilai akurasi sebesar 1 meter.

Tingkat keakuratan dari kegiatan survei harus selalu dijaga agar data yang dihasilkan mampu memberikan informasi yang mendekati akurat. Lokasi

penelitian berada pada orde 3 berdasarkan IHO tahun 1998. Orde 3

diperuntukkan bagi wilayah perairan yang berada di laut lepas (offshore). Spasi

lajur pemeruman pada orde ini berada pada 4 kali kedalaman rata-rata. Special

Publication No. 44 (S.44) -IHO Tahun 1998 menjelaskan bahwa skala

pemeruman menentukan resolusi dari peta batimetri yang dihasilkan.

Profil batimetri dapat diperoleh dengan cara memplotkan nilai-nilai kedalaman selama melakukan kegiatan pemeruman. Informasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan peta batimetri terdiri dari posisi dan nilai kedalaman yang terukur. Batimetri dari beberapa line survei dengan menggunakan instrumen Simrad EM 12D dan ELAC SeaBeam 1050D ditampilkan secara 3 dimensi. Proses visualisasi batimetri dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak

Surfer 9. Kedalaman perairan yang berhasil di deteksi pada line survei Simrad

EM 12D ini memiliki rentang kedalaman dari 3.750 meter hingga mencapai 5.000 meter di bawah permukaan laut. Setiap instrumen akustik memiliki cakupan yang berbeda-beda dalam melakukan pemeruman. Semakin baik kualitas alat yang digunakan, maka akan menghasilkan gambar yang lebih jelas. Beberapa line

survei, tepatanya line survei 0061_140810_180546_raw dan line

0062_140810_210106_raw diproses agar diperoleh tampilan atau profil

Gambar 22. Profil batimetri beberapa line survei menggunakan Simrad EM 12D

Tampilan yang hampir serupa juga diperoleh pada gambar 23 yang merupakan tampilan 3 dimensi beberapa line survei, tepatnya pada line

Seamount_002.xse hingga Seamount_006.xse dengan menggunakan perangkat

akustik ELAC SeaBeam 1050D. Bentuk dasar laut yang berhasil divisualisasikan melalui alat ini masih berbentuk topografi dasar laut yang tidak rata. Nilai

kedalaman perairan pada gambar ini berada pada rentang 1.300 meter hingga 3.000 meter di bawah permukaan laut.

Gambar 23. Profile batimetri beberapa line survei menggunakan ELAC SeaBeam 1050D

Tampilan batimetri yang dihasilkan melalui pengolahan data batimetri pada CARIS HIPS and SIPS 6.1 merupakan visualisasi gambar topografi dasar laut secara 2 dimensi. Perbedaan masing-masing kedalaman ditunjukkan oleh gradasi warna. Gambar 24 merupakan visualisasi dari batimetri lokasi penelitian dengan menggunkan instrumen akustik Simrad EM 12D pada CARIS HIPS and SIPS 6.1. Kedalaman perairan yang terbesar digambarkan dengan warna biru.

Gambar yang dihasilkan relatif lebih smooth. Berdasarkan gradasi warna yang

ada, terilihat bahwa warna-warna tersebut akan mengerucut dengan ditandai berkurangnya instensitas warna, mulai dari warna hijau, kuning dan warna merah. Warna merah diilustrasikan sebagai puncak gunung laut yang berhasil dideteksi melalui kegiatan pemeruman. Gelombang suara yang dihasilkan oleh instrumen Simrad EM 12D mampu untuk melakukan pemeruman hingga kedalaman 10.000 meter sehingga daerah disekitar kaki gunung bawah laut tersebut dapat ikut divisualisasikan. Data batimetri Simrad EM 12D terlampir (Lampiran 4).

Gambar 24. Tampilan 2D gunung bawah laut (seamount) di perairan

Tampilan gunung bawah laut (seamount) juga dapat terlihat dari hasil pemeruman dengan menggunakan SeaBeam 1050D. Berdasarkan gambar 25, terdapat dua buah objek yang terpisah satu sama lain yang ditunjukkan oleh warna kemerahan. Objek ini diindikasikan adalah sebuah puncak gunung bawah laut.

Perolehan image yang hanya berupa puncak gunung bawah laut ini dikarenakan

instrumen SeaBeam 1050D hanya memiliki kemampuan untuk melakukan pemeruman maksimum pada kedalaman 3000 meter. Bila dibandingkan dengan instrumen Simrad EM 12D, jenis alat ini memiliki keterbatasan dalam melakukan kegiatan pemeruman pada kedalaman lebih dari 3000 meter dan akan dianggap

sebagai noise berdasarkan spesifikasi alat.

Berdasarkan gambar tersebut, dapat telihat bahwa puncak gunung bawah laut tersebut memiliki lebih dari satu puncak yang dipisahkan oleh sebuah celah. Hasil yang diperoleh melalui gambar ini cukup memberikan informasi mengenai jumlah puncak dari gunung bawah laut tersebut. Namun untuk mendapatkan informasi lain seperti dimensi gunung secara keseluruhan, tampilan ini belum dapat memberikan informasi secara lengkap.

Gambar 25. Tampilan 2D gunung bawah laut (seamount) di perairan

4.1.4 Gunung Bawah Laut

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, instrumen SeaBeam 1050D

melalukan pemeruman (sounding) tepat berada di atas gunung bawah laut

sehingga kondisi disekitar kaki gunung bawah laut tidak dapat ditampilkan. Penggunaan instrumen ini sangat memungkinkan untuk mengetahui bentuk

gunung bawah laut secara detail khususnya pada bagian atas dari gunung tersebut. Berdasarkan tampilan yang ada, gunung bawah laut tersebut memiliki dua buah puncak yang dipisahkan oleh kaldera (Gambar 26).

Salah satu keuntungan yang diperoleh dengan digunakannya instrumen Simrad EM 12D adalah memiliki sapuan perekaman yang lebih luas terhadap objek yang ada di dasar perairan. Hal ini menyebabkan daerah disekitar kaki gunung mampu dideteksi dengan jelas (Gambar 27). Bentuk gambar yang

dihasilkan relatif lebih baik atau smooth bila dibandingkan dengan SeaBeam

1050D. Penampakan secara utuh dari gunung bawah laut dapat terlihat dari hasil perekaman data melalui instrumen ini. Visualisasi dari hasil pemeruman

(sounding) melalui instrumen akustik ELAC SeaBeam 1050D dan Simrad EM

Dokumen terkait