• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.4 H ubu ngan Filogenetik Species Ordo Decapoda

rata permukaannya. Pemotong yang besar dengan dactylus membelok kuat dan tebal, pada bagian bonggol basal terdapat duri. Jari dengan gigi besar pada tengah dari tepi pemotong. Jari lebih pendek dari tinggi palma, jarang yang panjang jarinya separuh panjang palma. Karpus dengan tonjolan yang keluar, merus tanpa duri pradistal. Pereiopoda kedua sampai kelima lebar, merus datar tanpa duri pradistal, tepian yang lebih rendah permukaannya halus. Distribusi P. bogorensis di Pulau Jawa antara lain ditemukan di Jawa Tengah, Djelok, Salatiga, Bogor, Garut, dan di katinggian 5000 dpl Gunung Arjuna (Bott, 1970).

3.3 Kunci determinasi species udang dan kepiting yang ditemukan

Kunci determinasi dan data morfometri udang dan kepiting dari ordo Decapoda yang tertangkap di Sungai Cijalu disajikan pada Lampiran 4 dan Lampiran 5.

3.4 Hubungan Filogenetik Species Ordo Decapoda

Hubungan filogenetik antar species ordo Decapoda dibedakan menggunakan 28 simplesiomorphy characters dari Satuan Taksonomi Operasional atau OTU (Operational Taxonomy Unit) yang diamati dan dianalisis dalam bentuk skoring yang disajikan pada Lampiran 6. Proses skoring dilakukan dengan membandingkan karakter morfologi ingroup dengan karakter morfologi yang dimiliki outgroup. Pemilihan outgroup ditentukan berdasarkan asumsi bahwa ordo Isopoda merupakan ordo primitif yang mememiliki kekerabatan terdekat dengan species anggota ordo Decapoda. Hasil analisis kladistik terhadap data karakter morfologi, skoring, dan kondisi ingroup dan outgroup diperoleh kladogram pada Gambar 3.15.

35

Gambar 3.15. Pohon filogeni dengan konsensus aturan mayoritas bootstrap 50%.

Berdasarkan analisis kladistik pada Gambar 3.15. menggunakan software PAUP.4.b10 dengan bootstrap 1000 kali ulangan diperoleh hasil bahwa terdapat dua sub-clade monofiletik yang terbentuk signifikan dengan didukung nilai bootstrap > 50 %. P. bogorensis, dan P. convexa berada pada sub-clade pertama, sedangkan M. sintangense, M. lanchesteri, dan M. pilimanus berada pada sub-clade kedua. Hasil analisis PAUP.4.b10 selengkapnya disajikan pada Lampiran 7.

Metode maximum parsimony adalah metode yang memprediksikan pohon evolusi / evolutionary tree yang meminimalkan jumlah langkah yang dibutuhkan untuk menghasilkan variasi yang diamati dalam karakter morfologi atau sekuen.

Analisis bootstrap adalah metode yang menguji seberapa baik set data model. Selain itu, bootstrap didukung oleh sebagian besar paket software yang menguji cabang-cabang yang dapat dipercaya (Dharmayanti, 2011). Menurut Felsenstein (1985), cabang pohon filogeni ditolak jika nilai bootstrap di bawah 50%.

36

Berdasarkan analisis kladistik, kladogram yang terbentuk membutuhkan panjang langkah 48, dengan indeks konsistensi (CI)= 0,98 dan indeks retensi (RI)= 0,95 (lihat Lampiran 7). Perubahan karakter apomorfi seperti pada Gambar 3.16. dibawah ini mempunyai level homoplasi yang rendah.

Gambar 3.16. Kladogram dengan panjang langkah panjang langkah 48, indeks konsistensi (CI)= 0,98 dan indeks retensi (RI)= 0,95. Disertai dengan perubahan apomorfinya.

Panjang langkah adalah jumlah nomor perubahan keadaan karakter yang dibutuhkan untuk mendukung hubungan kekerabatan taksa pada sebuah pohon. Homoplasi dan nomor perubahan keadaan karakter yang lebih rendah dalam sebuah pohon sangat diharuskan. Oleh karena itu, pohon dengan panjang langkah yang lebih rendah lebih baik dari pada pohon dengan panjang langkah yang lebih tinggi. Pohon dengan panjang langkah terendah dianggap mempunyai homoplasi yang rendah dan lebih parsimonious (Lipscomb, 1998).

Indeks konsistensi dalam penelitian ini mendekati 1, hal ini berarti tingkat homoplasi pada kladogram yang terbentuk rendah. Menurut Lipscomb (1998), level homoplasi relatif dapat diukur dengan menggunakan indeks konsistensi (sering disingkat CI). Hal ini dihitung sebagai jumlah langkah yang diharapkan

37

memberikan jumlah penentuan karakter dalam data, yang dibagi dengan jumlah sebenarnya dari tahapan kemudian dikalikan dengan 100. Menurut Sanderson dan Donoghue; 1989 dalam Ariati et al., (2000), menyatakan bahwa suatu studi yang banyak menggunakan karakter ordered multistate cenderung mempunyai nilai CI yang rendah, karena karakter tersebut akan bertambah satu langkah lebih panjang (misal dari 1 ke 3).

Indeks retensi pada analisis penelitian ini yaitu 0,95. Nilai tersebut mendekati 1, hal ini berarti tingkat homoplasi pada kladogram yang terbentuk juga rendah. Menurut Lipscomb (1998), pengukuran lain mengenai level homoplasi yang relatif dibutuhkan untuk membuat sebuah pohon adalah indeks retensi (RI). Indeks retensi itu mengukur jumlah synapomorphy yang diharapkan dari sebuah kumpulan data yang disimpan sebagai synapomorphy pada sebuah kladogram.

Hasil CI dan RI tersebut sesuai dengan Sanderson dan Donoghue (1989), menyatakan bahwa nilai indeks konsistensi (CI) berkisar antara 0-1. Bila nilai CI mendekati atau sama dengan 1 berarti dalam kladogram tersebut homoplasinya sangat rendah atau tidak sama sekali, dan bila mendekati atau sama dengan 0 berarti homoplasinya sangat banyak. Sementara itu, fungsi nilai RI sama dengan CI yaitu untuk mengetahui level homoplasi, bahkan adanya nilai RI akan memperkuat informasi tentang adanya homoplasi dalam pohon filogeni (Lipscomb, 1998).

Ingroup (udang dan kepiting; ordo Decapoda) dan outgroup (ordo Isopoda) pada kladogram ini mempunyai nenek moyang yang sama yaitu Crustacea. Hal ini ditunjukkan dengan adanya persamaan morfologi diantara

38

ketiganya yaitu bagian tubuhnya terdiri atas 2 bagian pokok, yaitu cephalothorax (kepala dan dada yang menyatu), dan badan belakang/ perut (abdomen). Setiap ruas tubuhnya terdapat sepasang kaki. Pada bagian kepala dilindungi oleh kulit keras (karapas). Bagian kepala-dada terdapat sepasang antena, sepasang rahang atas (maxilla), dan sepasang rahang bawah (mandibula) (Anonim, 2011).

Isopoda yang digunakan sebagai outgroup pada penelitian ini jenis Pseudotyphloscia pallida Verhoeff (1928). ordo Isopoda sebagai outgroup species ordo Decapoda karena memiliki ciri primitif (plesiomorfi) yaitu ukuran pereiopoda yang seragam, pereiopoda berjumlah 14, dan karpus pada pereiopoda pertama sama panjangnya dengan merus. Karakter derivat dari ciri primitif tersebut kemudian menjadi karakter tersendiri bagi kelompok species ordo Decapoda dengan ciri memiliki ukuran pereiopoda yang tidak seragam (karakter no. 8), pereiopoda berjumlah 10 (karakter no. 9), dan panjang karpus pada pereiopoda pertama lebih pendek dari merus. Ciri tersebut merupakan sinapomorfi dari udang dan kepiting. Distribusi species dari ordo Isopoda ini ditemukan di Pulau Jawa, Sulawesi, Krakatau, Bali dan Taiwan (Green et al., 1990).

Sinapomorfi ciri udang dan kepiting membentuk dua cabang baru yang signifikan (didukung dengan nilai bootstrap > 50%). Cabang pohon pertama didukung dengan nilai bootstrap 100 % yang merupakan kelompok species kepiting familia Brachyura. Banyak karakter sinapomorfi yang dimiliki kelompok ini, diantaranya yaitu: tepi anterolateral karapas (karakter no. 5), bentuk karpus pereiopoda pertama (karakter no. 10), Ukuran chela pereiopoda pertama (karakter no. 12), panjang chela pereiopoda pertama (karakter no. 13), Ukuran kedua pereiopoda pertama (karakter no. 14), bentuk karpus pereiopoda kedua (karakter

39

no. 17), letak tuberkel pada chela (karakter no. 24), bentuk abdomen (karakter no. 26), adanya uropod (karakter no. 27), adanya telson (karakter no. 28).

Kelompok kepiting ini kemudian bercabang lagi menjadi species P. bogorensis dan P. convexa yang telah memiliki karakter derivat

masing-masing. P. bogorensis memiliki karapas yang tipis < ½ lebar karapas (karakter no. 4), dan duri pada pereiopoda pertama yang tumpul (karakter no. 6). P. convexa memiliki karapas yang tebal sekitar ½ dari lebar karapas (karakter no. 4), dan duri pereiopoda pertama tajam (karakter no. 6). P. bogorensis menjadi species yang lebih dulu muncul dibandingkan P. convexa, karena P. bogorensis memiliki kesamaan ciri dengan ciri-ciri yang dimiliki outgroup (Pseudotyphloscia pallida) yaitu merus pereiopoda pertama yang pada awalnya tidak berduri, kemudian pada P. convexa berubah menjadi berduri (karakter no. 7).

Cabang pohon kedua didukung dengan nilai bootstrap 88 % yang merupakan kelompok species udang familia Palaemonidae yang kladogramnya

menunjukkan bahwa familia Palaemonidae bersifat monofiletik dengan M. sintangense sebagai basal species (paling primitif) dan diakhiri dengan M. lanchesteri dan M. pilimanus sebagai species yang lebih maju (derived). Karakter bersama yang dimiliki oleh ketiga jenis udang tersebut yaitu tebal karpus = lebar karpus (karakter no. 4), karpus pereiopoda pertama subsilisdris (karakter no. 10), karpus pereiopoda pertama lebih panjang dari merus (karakter no. 11), chela pereiopoda pertama kecil (karakter no. 12), chela pereiopoda pertama lebih pendek dari karpus (karakter no. 13), chela pereiopoda kedua besar (karakter no. 15).

40

Terdapat banyak karakter yang sama-sama dimiliki oleh M. sintangense dan M. lanchesteri yang kemudian menjadi karakter yang lebih maju (apormorfi) pada M. pilimanus, diantaranya yaitu: ujung rostrum (karakter no. 2), post antenula (karakter no. 3), bentuk karpus pereiopoda kedua (karakter no. 17), panjang karpus pereiopoda kedua (karakter no. 18), chela pereiopoda kedua

(karakter no. 19), dan pubescence pada chela pereiopoda kedua (karakter no. 20). M. pilimanus dan M. lanchesteri berkerabat dekat karena sinapomorfi ciri dari

adanya preanal carina (karakter no. 25) dan dengan didukung nilai bootstrap 65 %.

Analisis ini mendukung hipotesis bahwa ordo ini berasal dari satu nenek moyang (monophyly), cabang pohon kelompok species kepiting merupakan sister group dari cabang pohon kelompok species udang. Berdasarkan Gambar 3.16. kladogram yang terbentuk dimulai dari percabangan pohon nomor 10, 9, 8, dan 7 dapat dikatakan bahwa, species ordo Decapoda yang mungkin pertama kali muncul sesuai evolusi atau runtutan waktu yaitu species udang yang diwakili oleh M. sintangense sebagai species yang paling primitif (basal species), yang kemudian diikuti dengan munculnya species yang lain yaitu M. lanchesteri dan M. pilimanus. Sejalan dengan berjalannya waktu, ada beberapa species udang yang berevolusi menjadi kepiting karena adanya proses reduksi dari anggota tubuhnya maka species tersebut menjadi tidak memiliki uropod (karakter no. 27), tidak memiliki telson (karakter no. 28) dan bentuk abdomen yang menekuk menutupi thoraks (karakter no. 26), yang kemudian diturunkan pada keturunannya. Species yang paling muda yaitu P. convexa.

41

Menurut Glaessner (1960), kecenderungan evolusi Decapoda adalah dari banyaknya lekukan pada garis melintang yang mereduksi yang terjadi melalui penggabungan atau penghilangan secara bertahap. Proses evolusi karapas Glypheocarida, Anomocarida, Brachyura and Palinura terjadi dengan mereduksinya bagian postorbital dan semakin memanjangnya rostrum dan perubahan bentuk lekukan pada gatis melintang, lambat laun mulai terbentuk duri hepatik dan gigi pada rostrum. Bagian cephalo-thorax menjadi rata pada bagian dorsoventral dan terjadi pelebaran pada karapas untuk kebutuhan ruang bagi insang dan otot.

Decapoda perenang memiliki pleopoda yang merupakan organ utama untuk bergerak. Selain itu, pleopoda juga digunakan sebagai tempat melekatnya telur pada Decapoda betina. Tidak megherankan hal tersebut menjadi mereduksi pada Decapoda reptantia. Mereduksinya pleopoda berpengaruh terhadap ukuran abdomen. Sebenarnya tidak sepenuhnya hilang, pada terminal somite (telson) masih terdapat sisanya dan bergabung pada bagian kecil (Glaessner, 1960).

42

Dokumen terkait