• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tipe habitat

Tumbuhan pangan yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat berasal dari kebun/ladang yaitu sebesar 38 % dan pekarangan sebesar 34 % (Gambar 7). Hal ini dikarenakan banyaknya tumbuhan yang dibudidayakan di lahan mereka baik di kebun/ladang maupun pekarangan. Masyarakat desa Pauh Tinggi setiap harinya baumo ke ladang memanfaatkan areal ladang mereka untuk ditanami spesies tumbuhan pangan sebagai mata pencaharian dan memenuhi kebutuhan hidupnya.

Gambar 7 Persentase tipe habitat tumbuhan pangan

Pemanfaatan tumbuhan pangan terbanyak yang berasal dari kebun/ladang sesuai dengan data status budidaya spesies tumbuhan pangan yang diketahui oleh masyarakat. Data tersebut menunjukkan bahwa spesies budidaya lebih banyak daripada spesies liar (Gambar 8). Sebanyak 65 % tumbuhan pangan dibudidayakan dan 35 % tumbuh secara liar.

Gambar 8 Persentase status budidaya tumbuhan pangan

Tumbuhan pangan liar yang dikonsumsi masyarakat adalah yang berasal dari hutan sebanyak 24 spesies (Tabel 4). Dephut (2009) menyebutkan bahwa penyediaan pangan yang berasal dari hutan sudah terjadi sejak lama. Pemanfaatan hutan untuk sumber pangan selain produk dan jasa kehutanan sudah dilakukan oleh masyarakat di dalam dan di sekitar hutan secara tradisional dan turun temurun. Kontribusi kehutanan melalui fungsi hutan sebagai penyedia pangan dilakukan melalui pemanfaatan langsung plasma nutfah flora dan fauna untuk pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan dan obat-obatan.

Hutan menyimpan bahkan memproduksi kekayaan hayati yang merupakan sumber pangan berkualitas. Selain tumbuhan sumber karbohidrat yang dapat berkembang dari bawah sampai ke atas lahan, hutan juga menyimpan keragaman sumber pangan protein, lemak, vitamin, dan mineral yang berasal dari tumbuhan dan hewan. Berbagai pangan nabati asal hutan antara lain umbi-umbian, tepung, jamur, sayur, buah-buahan, biji-bijian dan kacang-kacangan (Dephut 2009).

Spesies tumbuhan pangan hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Pauh Tinggi diantaranya termasuk dalam kelompok umbi-umbian, sayur dan buah-buahan. Keladi atau talas merupakan spesies tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat sebagai umbi-umbian dan sayuran. Menurut Wargiono (1980) umbi talas mengandung 1,9 % protein, lebih tinggi dibandingkan ubi kayu (0,8 %) dan ubi jalar (1,8 %) meskipun kandungan karbohidratnya (23,7 %) lebih sedikit dibandingkan dengan ubi kayu (37,8 %) dan ubi jalar (27,9 %).

Keladi merupakan tanaman serbaguna. Seluruh bagian tanamannya dapat dikonsumsi. Umbinya dapat direbus atau digoreng, daun dan tangkai daun dapat dikonsumsi sebagai sayuran. Masyarakat Kerinci umumnya terbiasa mengkonsumsi tangkai daun keladi yang dijadikan gulai keladi yang juga merupakan makanan wajib dalam setiap acara kenduri di Kerinci. FAO (1987) dalam Dewi (2002) menyebutkan bahwa umbi keladi mengandung 17-28 % amilosa, pati dari umbinya sangat mudah dicerna sehingga baik digunakan untuk tepung makanan bayi. Umbinya juga dapat digunakan dalam campuran makanan ternak dan sebagai aditif dalam pembuatan plastik biodegradable. Daunnya pun kaya gizi, terkandung 23 % protein, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin C, provitamin A, tiamin, riboflovin, dan niasin. Berlawanan dengan kegunaannya, potensi keladi di Indonesia belum dimanfaatkan dengan baik, meskipun masyarakat sudah lama mengenal dan mengkonsumsi keladi. Sampai saat ini

Budidaya 65% Liar

produksinya masih sangat rendah bila dibandingkan dengan ubi jalar dan ubi kayu karena budidayanya masih merupakan usaha sampingan bagi petani. Padahal umbinya dapat dijadikan sumber karbohidrat alternatif yang potensial untuk diversifikasi makanan pokok (Dewi 2002).

Tabel 4 Tumbuhan pangan liar yang berasal dari hutan

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili Kegunaan

1 Buah Hutan Sikai Buah 2 Daun Tutut Macaranga rhizinoides

Muell. Arg.

Euphorbiaceae Buah 3 Durian Durio zibethinus Merr Bombacaceae Buah 4 Jambin Andropogon aciculatus

Retz

Poaceae Sayur

5 Kawo/Kopi Coffea arabica Linn. Rubiaceae Buah, Minuman, Sayur

6 Kayu Kam Flacaurtia rukam Z.et.M Flacourtiaceae Buah 7 Cempedak Rimbo Arthocarpus interger Merr Moraceae Buah, sayur 8 Kecimbur Psychotria sp Rubiaceae Buah 9 Keduduk Melastoma malabathricum

Linn.

Melastomataceae Buah 10 Keladi Colocasia esculenta Schott Araceae Sayur,

Umbi-umbian. 11 Kelapa Cocos nucifera L. Arecaceae Buah, Minuman 12 Pauh/Manggus Mangifera parvifolia Anacardiaceae Buah

13 Pontialo Xerospermum noronhianum Blume

Sapindaceae Buah 14 Pua Achasma megalocheites

Griff

Zingiberaceae Buah, sayur 15 Rebung Gigantochloa apus Kurz Poaceae Sayur 16 Rotan Calamus caesius BL. Arecaceae Buah 17 Rumput Buah Ficus sp Moraceae Buah 18 Sabung Nicolaia speciosa Bl. Zingiberaceae Sayur 19 Salak Salacca zalacca (Gaertn)

Voss

Arecaceae Buah 20 Salak Rimbo Salacca edulis Reinw Arecaceae Buah 21 Seluluh Horstedtia lycostoma

K.Schum

Zingiberaceae Buah 22 Semantung Ficus padana Burm.F Moraceae Buah 23 Spaho Dissochhaeta sp Melastomataceae Sayur 24 Tubo Derris elliptica Benth Leguminosae Sayur

Spesies lain yang berasal dari hutan dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sayur dan buah-buahan adalah daun tutut (Macaranga rhizinoides), durian (Durio zibethinus), cempedak (Artocarpus interger), kayu kam (Flacaurtia rukam), pauh (Mangifera parvifolia), pontialo (Xerospermum noronhianum) dll. Tumbuhan tersebut diatas selain sebagai pangan hutan, juga berfungsi sebagai obat tradisional. Buah durian (Durio zibethinus) dikonsumsi sebagai penambah stamina tubuh dan beberapa bagian pohonnya sebagai obat tradisional (Subhadrabandhu et al. 1992), sedangkan cempedak (Artocarpus interger) selain buahnya dapat dikonsumsi, bagian akar dapat mengobati demam, daun muda baik untuk wanita menyusui, dan kulit batangnya sebagai anti malaria (Jansen 1992).

Pohon Pauh (Mangifera parvifolia) selain dimanfaatkan buahnya, kayunya juga dimanfaatkan untuk bahan bangunan dan perkakas rumah tangga. Penggunaan kayunya sebagai bahan bangunan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Purwanto dan Setyowati (2011) menyebutkan bahwa jenis ini dapat tumbuh pada daerah-daerah ekstrim seperti lahan gambut atau daerah yang secara periodik tergenang air, sehingga dapat dijadikan salah satu jenis tanaman penghijauan pada lahan yang memiliki karakteristik tersebut. Pohon Pauh juga memiliki keunggulan sifat yang merupakan modal dasar sumber genetik dalam upaya perbaikan kualitas dan kuantitas tanaman melalui seleksi dan permuliaan. Pada tingkat lokal, jenis ini dapat dipakai sebagai batang bawah dalam perbanyakan vegetatif (sambungan) yang memiliki ketahanan pada kondisi lahan sering tergenang dan lembab (Purwanto dan Setyowati 2011).

Pola konsumsi

Masyarakat Desa Pauh Tinggi memiliki pola konsumsi yang teratur. Mereka memenuhi kebutuhan pangan dengan makan tiga kali sehari. Masyarakat selalu sarapan setiap pagi sebelum pergi baumo (bersawah/berladang). Biasanya masyarakat berangkat kaumo sebelum pukul 07.00 WIB, apalagi yang baumo di dalam imbo (hutan), selalu berangkat lebih pagi. Menu sarapan umumnya adalah nasi, sayur dan sambal seperti sayur pucuk ubi (singkong), telor, tempe, dan sambal kentang yang dicampur ikan teri. Masyarakat percaya mengkonsumsi nasi di pagi hari dapat memberikan lebih banyak energi untuk beraktivitas, terutama baumo. Namun beberapa responden ada yang hanya mengkonsumsi gorengan seperti goreng ubi, pisang, dan ayie kawo sebagai menu sarapan paginya.

Siang harinya sekitar pukul 12.00-13.00 WIB masyarakat yang baumo di dekat rumah akan menyempatkan diri untuk pulang makan siang sedangkan yang baumo di dalam imbo biasanya membawa bekal. Menu makan siang umumnya adalah sama dengan menu makan sebelumnya (makan pagi), kecuali sayur. Masyarakat terbiasa mengkonsumsi sayur yang baru dimasak dan langsung dihabiskan pada saat itu juga, sehingga untuk makan berikutnya, sayur yang dikonsumsi pun bukan sisa dari sayur sebelumnya. Sayur yang paling sering dimasak oleh masyarakat adalah sayur sadih, bayam, selada, paku/pakis dan labu siam. Bagi masyarakat yang membawa bekal untuk makan siang, menu yang dikonsumsi sama dengan menu sebelumnya. Kebiasaan menarik masyarakat dalam mengkonsumsi ayie kawo adalah, ketika baumo pun masyarakat tidak lupa untuk membawa ayie kawo dan makanan ringan (snack) sebagai bekal yang disebut dengan plo kawo.

Masyarakat makan malam biasanya sekitar pukul 19.00 WIB setelah shalat maghrib. Menu makan malam biasanya berbeda dan lebih mewah dibandingkan menu sebelumnya seperti gulai ikan, pergedel kentang, rimbang cabe hijau, sayur kangkung. Menu makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat berbeda-beda tergantung pada tingkat ekonomi keluarga masing-masing, namun yang selalu ditemukan pada masyarakat adalah sayur dan kentang. Selain karena keberadaannya yang melimpah, masyarakat memang gemar mengkonsumsi sayur dan kentang. Kentang diolah menjadi bermacam-macam bentuk masakan seperti pergedel kentang, sambal, sop maupun gulai kentang yang dicampur dengan bahan makanan lainnya.

Keanekaragaman Tumbuhan Obat Keanekaragaman famili

Berdasarkan hasil wawancara dan eksplorasi yang dilakukan terdapat sebanyak 187 spesies tumbuhan obat dari 58 famili yang dimanfaatkan oleh masyarakat, 13 diantaranya tidak teridentifikasi dan tidak ditemukan pada saat eksplorasi. Spesies-spesies tersebut adalah akar gana, bunghutan (buah hutan), bungbiki, cikrau, spun, lamkinto, paung, sgendu, sketon, spisin, spunjung, temelu, dan teripuk. Sama halnya dengan tumbuhan pangan, famili terbanyak yang dimanfaatkan adalah famili Zingiberaceae dan Solanaceae masing-masing sebanyak 12 spesies (Tabel 5).

Tabel 5 Klasifikasi tumbuhan obat berdasarkan famili

No. Nama famili Jumlah spesies

1 Zingiberaceae 12 2 Solanaceae 12 3 Fabaceae 10 4 Euphorbiaceae 9 5 Rubiaceae 9 6 Poaceae 8 7 Rutaceae 8 8 Liliaceae 6

9 Famili lain (50 famili) 101

Total 187

Spesies dari famili Zingiberaceae seperti jahe merupakan spesies yang paling sering digunakan. Selain sebagai bumbu masak, jahe juga dapat digunakan sebagai obat yaitu untuk mengobati sakit gigi, batuk, memperlancar suara serak/parau, melegakan napas dan mengobati gatal-gatal. Menurut Koswara (2010) jahe dapat merangsang kelenjar pencernaan, baik untuk membangkitkan nafsu makan dan pencernaan. Sebagai bumbu masak, jahe berkhasiat untuk menambah nafsu makan, memperkuat lambung, dan memperbaiki pencernaan. Hal ini diduga karena terangsangnya selaput lendir perut besar dan usus oleh minyak atsiri yang dikeluarkan rimpang jahe. Minyak jahe berisi gingerol yang berbau harum khas jahe, berkhasiat mencegah dan mengobati mual dan muntah, misalnya karena mabuk kendaraan atau pada wanita yang hamil muda. Juga rasanya yang tajam merangsang nafsu makan, memperkuat otot usus, membantu mengeluarkan gas usus serta membantu fungsi jantung. Dalam pengobatan tradisional Asia, jahe dipakai untuk mengobati selesma, batuk, diare dan penyakit radang sendi tulang seperti artritis. Jahe juga dipakai untuk meningkatkan pembersihan tubuh melalui keringat.

Famili kedua terbanyak yang dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat adalah Fabaceae dengan jumlah 10 spesies, berikutnya famili Euphorbiaceae dan Rubiaceae masing-masing sebanyak 9 spesies. Salah satu famili dari Euphorbiaceae adalah kaliki (Richinus communis) yang tumbuh liar dan banyak ditemukan di sawah dan pinggir jalan, daun dan batangnya dapat mengatasi telinga berdengung dengan cara daun/batang dipanaskan ke api, kemudian hembuskan pada telinga yang berdengung. Sedangkan spesies-spesies dari famili Rubiaceae seperti, bungo tono, daun skutun, kawo/kopi, dan kina selain memiliki kegunaan sebagai tumbuhan obat, juga memiliki kegunaan lainnya, misalnya

bungo tono yang dipakai sebagai tumbuhan untuk upacara adat gantung luci, dan kawo/kopi yang dijadikan ayi kawo dan dapat mengobati diabetes.

Keanekaragaman spesies

Sebanyak 187 spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat, salah satunya merupakan spesies endemik sumatra terutama di pegunungan Kerinci yaitu kayu embun/ taksus (Taxus sumatrana). Taxus sumatrana atau yang lebih dikenal dengan cemara sumatera termasuk ke dalam genus Taxus, famili Taxaceae. Habitus dari tumbuhan ini berbentuk semak hingga pohon dengan tinggi mencapai 30 meter. Seluruh genus taxus dikenal sebagai jenis yang berumur panjang, bahkan pohon tertua di daratan Eropa yang berdiameter lebih dari 4 meter adalah Taxus baccata (Spjut 2003).

Taxus sumatrana secara alami tumbuh di TNKS pada ketinggian 1.400-2.300 meter dari permukaan laut pada punggung-punggung bukit atau tepian jurang. Berdasarkan pengamatan PKLP tahun 2011 di resort gunung tujuh, ditemukan sebanyak 6 (enam) individu taksus sepanjang jalur trak menuju danau gunung tujuh.

( a) (b)

Gambar 9 (a) Daun dan (b) pohon kayu taksus yang berada di jalur trak menuju Gunung Tujuh.

Indonesia merupakan sedikit dari negara yang memiliki sebaran alamiah Taxus di zona Asia (Rachmat 2008). Penyebaran alami jenis ini mencakup wilayah Afghanistan, Tibet, Nepal, Bhutan, Burma, Vietnam, Taiwan dan Cina. Di Indonesia, tumbuh secara alami sebagai sub kanopi di hutan pegunungan/punggung pegunungan di Pulau Sumatera dan Sulawesi pada ketinggian 1400-2300 mdpl (Spjut 2003).

Kulit daun, cabang, ranting dan akar dari genus taxus merupakan sumber paclitaxel (taxol) yang saat ini sangat sukses digunakan dalam pengobatan kanker ovarium dan kanker payudara. Saat ini taxol juga mulai digunakan untuk pengobatan beberapa jenis kanker lain dan penyakit non kanker seperti alzheimer, sarkoma kaposi (tumor jaringan pembuluh darah), dan sklerosis ginjal (Rachmat 2008). Penurunan drastis populasi taxus telah menyebabkan jenis ini dimasukkan ke dalam Appendiks II CITES sejak tahun 2005. Sedikit sekali penelitian ilmiah yang sudah dilakukan mengenai jenis ini, Rachmat (2008) menyatakan bahwa di Indonesia hanya terdapat 2 hasil penelitian saja yang telah dipublikasikan yaitu

mengenai studi kapang endofitik penghasil taxol yang hidup pada batang cemara sumatera yang tumbuh di Cibodas (Syukur et al. 2003) dan penemuan senyawa taxane diterpenoid baru yang diekstraksi dari bagian daun cemara sumatera yang tumbuh di Sumatera (Kitagawa et al. 1995). Hingga 2008 dilaporkan belum adanya publikasi ilmiah hasil penelitian ataupun kajian mengenai keragaman genetik, teknik budidaya maupun strategi konservasi cemara sumatera yang tumbuh alami di Indonesia (Rachmat 2008).

Hasil penelitian Rachmat (2008) menunjukkan bahwa tingkat keragaman genetik populasi Taxus sumatrana lebih tinggi dibanding Taxus canadensis, Taxus brevifolia, Taxus fuana, Taxus wallichiana dan sedikit lebih rendah dibanding Taxus baccata dan jenis konifer. Hal ini menunjukkan keragaman genetik jenis ini cukup besar karena tempat tumbuh alami cemara sumatera di Indonesia sampai saat ini diketahui hanya di wilayah Pegunungan Kerinci dan Sumatera Utara sehingga strategi konservasi in-situ mutlak diperlukan untuk menjaga kelangsungan jenis ini (Rachmat 2008).

Habitus

Tumbuhan obat yang dimanfaatkan masyarakat berdasarkan habitusnya dikelompokkan menjadi 6 habitus yaitu herba, liana, paku-pakuan, perdu, pohon, dan semak. Habitus yang paling banyak digunakan adalah herba sebesar 33 % (56 spesies) dan yang paling sedikit digunakan adalah paku-pakuan 1 % (2 spesies) (Tabel 6).

Tabel 6 Habitus tumbuhan obat yang digunakan masyarakat

No. Bagian tumbuhan Jumlah Persentase (%)

1 Herba 56 33 2 Pohon 43 25 3 Perdu 38 22 4 Semak 23 13 5 Liana 11 6 6 Paku-pakuan 2 1 Total 173 100

Bagian yang digunakan

Berdasarkan bagian tumbuhan yang digunakan, tumbuhan obat dikelompokkan menjadi 13 kelompok bagian tumbuhan (Tabel 7). Bagian tumbuhan obat yang paling banyak digunakan adalah daun sebesar 46 %, kemudian buah sebanyak 17 % sedangkan bagian yang paling sedikit yaitu biji (2 %) dan kulit buah sebesar 0 %. Daun merupakan bagian yang paling banyak digunakan karena cara pemanfaatannya yang lebih mudah. Hasil penelitian Lestari (2011) pada masyarakat Suku Kerinci di desa Sungai Deras juga menunjukkan bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan adalah daun dengan persentase sebesar 33,3 %. Banyaknya penggunaan daun oleh masyarakat Kerinci dipercaya bahwa dalam daun tersimpan berbagai macam zat mineral tumbuhan yang dibawa dari akar menuju batang dan berakhir di daun selain di buah (Lestari 2011).

Tabel 7 Persentase bagian tumbuhan obat yang digunakan

No. Bagian tumbuhan Persentase (%)

1 Daun 46 2 Buah 17 3 Batang 10 4 Akar 7 5 Getah 6 6 Bunga 3 7 Herba 2

8 Kulit kayu/Kulit batang 2

9 Rimpang 2 10 Tunas 2 11 Umbi 2 12 Biji 1 13 Kulit buah 0 Total 100

Sebagian besar penelitian etnobotani yang telah dilakukan pada masyarakat di Indonesia menyebutkan bahwa daun merupakan bagian tumbuhan yang sering dimanfaatkan untuk pengobatan. Hal ini dikarenakan daun dapat diambil kapan saja dan pengolahan simplisianya termasuk mudah. Sementara itu Fakhrozi (2009) menambahkan bahwa penggunaan daun sebagai bagian untuk pengobatan selain tidak merusak spesies tumbuhan, bagian daun mudah dalam hal pengambilan serta peracikan ramuan obat. Menurut Zuhud et al. (1994), penggunaan daun, buah, cabang dan ranting sebagai bahan mentah dalam pengobatan tradisional tidak berdampak buruk bagi kelangsungan hidup tumbuhan. Tetapi bila akar, kulit kayu atau seluruh bagian tumbuhan yang digunakan, maka hal itu merupakan ancaman bagi keberadaan spesies tersebut.

Keanekaragaman tipe habitat

Tumbuhan obat yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat berasal dari pekarangan sebesar 34 %, kebun 26 %, hutan 22 %, pinggir jalan 12 % dan paling sedikit di sawah (6 %) seperti yang tercantum pada gambar 10 berikut :

Gambar 10 Persentase tipe habitat tumbuhan obat.

Pekarangan merupakan lahan yang paling dekat dengan tempat tinggal masyarakat, tumbuhan obat yang terdapat di pekarangan biasanya merupakan

tumbuhan obat yang paling sering digunakan oleh masyarakat. Hal ini memudahkan masyarakat dalam memperoleh tumbuhan obat dengan cepat. Spesies yang paling banyak ditanam di pekarangan rumah masyarakat adalah jangau/jaringau (Acorus calamus), stajim (Justicia gendarusa), setawa (Costus speciocus), inggu (Ruta angustifolia). Inggu memiliki bau yang tajam dan menyengat, baunya dipercaya dapat mengusir iblis sehingga dianjurkan untuk ditanam di pekarangan rumah (Gambar 11).

Gambar 11 Inggu (Ruta angustifolia).

Berdasarkan data status budidaya tumbuhan obat, tumbuhan yang paling banyak digunakan masyarakat adalah tumbuhan hasil budidaya dengan persentase sebesar 54 % , tumbuhan liar sebesar 46 % (Gambar 12).

Gambar 12 Persentase status budidaya tumbuhan obat.

Tumbuhan obat yang terdapat di pekarangan, tidak semuanya merupakan hasil budidaya masyarakat, meskipun berada di pekarangan ada beberapa spesies yang tumbuh liar di tempat itu, misalnya rumput gilang-gilang (Drymaria villosa) yang dapat mengobati bengkak dan salah satu ramuan untuk pemecah darah kotor serta rumput katarak (Isotama longifolia) yang bunganya dapat mengobati sakit mata.

Hutan sebagai sumber bahan baku tumbuhan obat secara praktis oleh masyarakat umum tidak banyak jenisnya, karena pengetahuan pengobatan tradisional hanya diketahui oleh orang-orang tertentu saja. Masyarakat mengetahui jenis-jenis yang umum digunakan untuk mengobati beberapa penyakit

yang sering diderita masyarakat kebanyakan (Purwanto dan Sukara 2011). Dari persentase pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat Pauh Tinggi, spesies tumbuhan yang berasal dari hutan sebanyak 22 % ( 40 spesies). Spesies tersebut disajikan dalam Tabel 8.

Tabel 8 Tumbuhan obat yang berasal dari hutan

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili Habitus

1 Akar Pinang Areca catechu Linn Arecaceae Palem 2 Akar Undang Ficus congesta Roxb Moraceae Pohon 3 Asam Pipi/Asam susu Begonia tuberosa Lamk Begoniaceae Herba 4 Benalu The Loranthus sp Loranthaceae Liana 5 Bintung (mintung)/Uba Bischofia javanica Blume Euphorbiaceae Pohon 6 Buah Hutan/Bunghutan

7 Bungbiki

8 Bungo Tono Psychotria rhinocerotis Renw Rubiaceae Pohon 9 Cempedak Rimbo Artocarpus champeden Spreng Moraceae Pohon 10 Daun Pulut-pulut Urena lobata Linn Malvaceae Perdu 11 Daun Skutun/Skentun Paederia scandens (Lour.) Merr Rubiaceae Liana 12 Dedap Erythrina lithosperma Miq Fabaceae Pohon 13 Gambir Uncaria gambir Roxb Rubiaceae Pohon 14 Inggap Loranthus sp Loranthaceae Liana 15 Inggap/Benalu Loranthus globosus Roxb Loranthaceae Liana 16 Jambu lipo Syzygium pycnantum Merr. &

Perry

Myrtaceae Pohon 17 Kapeh/kapeh gedang Gossypium acuminantum Malvaceae Pohon 18 Kayu Kam Flacaurtia rukam Z.et.M Flacourtiaceae Pohon 19 Kayu Lawang Cinnamomum culilawan (L) Persl Lauraceae Pohon 20 Kayu Luluh Syzygium clavymirtus K.et.V Myrtaceae Pohon 21 Kayu Sangkak Alstonia scholaris (L.) R.Br Apocynaceae Pohon 22 Kayu Taksus Taxus sumatrana Taxaceae Pohon 23 Kayu Tenga Breynia macrophylla Muell.Arg Euphorbiaceae Pohon 24 Kayu Tulang Lygustrum obtisifolium Blume Sapindaceae Pohon 25 Keduduk Melastoma malabathricum Linn. Melastomataceae Perdu 26 Kelapa Cocos nucifera Linn. Arecaceae Pohon 27 Kemenyan Styrax benzoin Linn. Styracaceae Pohon 28 Kemintan/Kemiri Aleurites moluccana (L.) Willd Euphorbiaceae Pohon 29 Manggis Rimbo Garcinia bancana Miq Clusiaceae Pohon 30 Nanas Rimba Ananas comosus Merr Bromeliaceae Semak 31 Pandan Usang Pandanus furcatus Pandanaceae Semak 32 Pisang Rimbo Musa balbisiana Colla Musaceae Herba 33 Rambutan Imbo/Tokak Nephelium cuspidatum Blume Sapindaceae Pohon 34 Rumput seluluh ayam Horstedtia lycostoma K.Schum Zingiberaceae Rumput 35 Semantung Ficus padana Burm.F Moraceae Pohon 36 Semubut Amorphophallus variabilis Blume Araceae Perdu 37 Spaho Dissochhaeta sp Melastomataceae Perdu 38 Stanggi Dianella nemorosa Lamk Liliaceae Semak 39 Tubo Akar Derris elliptica Benth Leguminosae Liana 40 Wali-wali Leea indica Merr Leaceae Perdu Spesies tumbuhan obat yang berasal dari hutan didominasi oleh habitus pohon. Pohon terdiri dari berbagai bagian yang dapat dimanfaatkan, tidak hanya buahnya saja sebagai pangan, tetapi juga bagian lain seperti daun, batang atau kulit kayu, dan lainnya yang dapat bermanfaat sebagai obat tradisional.

Salah satu tumbuhan obat yang berasal dari hutan yaitu kayu kam (Flacaurtia rukam), selain buahnya dapat dimakan langsung, daunnya juga digunakan sebagai obat disentri. Kegunaan lain buah kam sebagai bahan ramuan obat tradisional untuk menyembuhkan diare dan disentri, jus dari daun yang diekstrak lembut juga dapat digunakan sebagai bahan pengobatan sakit mata merah, sedangkan di Filipina akarnya digunakan ibu-ibu setelah melahirkan. Buahnya telah dianalisis dan setiap 100 gram mengandung kadar air 77 gram, protein 1,7 gram, lemak 1,3 gram, karbohidrat 15 gram, serat 3,7 gram dan abu 0,8 gram. Nilai energi buahnya sebesar 345 kJ/100 gram (Purwanto dan Setyowati 2011).

Kelompok penyakit

Penyakit yang paling sering dan paling banyak diidap oleh masyarakat adalah sakit kepala dan demam serta gangguan pada saluran pencernaan. Penggunaan jenis tumbuhan obat berdasarkan penyakit di atas masing-masing sebanyak 19 spesies. Namun, berdasarkan jumlah spesies terbanyak yang digunakan, penyakit kulit dan gatal-gatal menempati urutan tertinggi dengan jumlah 30 spesies (Tabel 9). Spesies yang dapat mengobati penyakit tersebut diantaranya adalah gelinggan laut (Cassia alata), kemintan (Aleurites moluccana), dan rumput mulau abang (Homalomena alba) untuk mengobati gatal karena kayu rengas/jelatang.

Tabel 9 Keanekaragaman spesies tumbuhan obat untuk mengobati berbagai kelompok penyakit

No. Kelompok penyakit Jumlah spesies (tumbuhan)

1 Penyakit kulit (gatal-gatal, campak) 30 2 Penyakit saluran pencernaaan 19 3 Sakit kepala dan demam 19 4 Perawatan kehamilan dan persalinan 15 5 Luka (Luka berdarah) 14 6 Penyakit saluran pembuangan (Ambeien,disentri,

usus buntu)

13

7 Darah tinggi 13

8 Pernafasan/THT 13

9 Penyakit otot dan persendian (Sakit pinggang, pegal linu)

13

10 Penyakit gigi 11

11 Penyakit mata 9

12 Bengkak (bengkak bernanah) 8

13 Penyakit lain 10

Total 187

Cara penggunaan tumbuhan obat

Cara penggunaan tumbuhan obat oleh masyarakat bermacam-macam, baik dalam bentuk ramuan maupun obat tunggal. Penggunaannya dapat langsung maupun melalui proses pengolahan seperti direbus, ditumbuk, diparut, diseduh, diperas/disaring, digoreng, dipanggang/dibakar dan lain-lain (Gambar 13).

Gambar 13 Persentase pengolahan tumbuhan obat

Direbus dan ditumbuk merupakan cara pengolahan yang paling sering

Dokumen terkait