• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etnobotani Pangan dan Obat Masyarakat Desa Pauh Tinggi di Sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Etnobotani Pangan dan Obat Masyarakat Desa Pauh Tinggi di Sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

ETNOBOTANI PANGAN DAN OBAT

MASYARAKAT DESA PAUH TINGGI

DI SEKITAR TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT

ANNIEKE STEVANI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Etnobotani Pangan dan Obat Masyarakat Desa Pauh Tinggi di Sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(3)

ABSTRAK

ANNIEKE STEVANI. Etnobotani Pangan dan Obat Masyarakat Desa Pauh Tinggi di Sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan ERVIZAL A.M. ZUHUD.

Etnobotani merupakan ilmu yang mempelajari tentang pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh masyarakat lokal. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keanekaragaman tumbuhan pangan dan tumbuhan obat yang dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat Desa Pauh Tinggi di sekitar kawasan TNKS. Metode pengambilan data dilakukan dengan wawancara, observasi lapang, kajian pustaka, dan pembuatan herbarium. Hasil penelitian teridentifikasi sebanyak 236 spesies dari 64 famili yang terdiri dari tumbuhan pangan sebanyak 90 spesies dari 35 famili dan tumbuhan obat sebanyak 187 spesies dari 58 famili. Zingiberaceae adalah famili tumbuhan pangan yang paling banyak ditemukan sedangkan untuk famili tumbuhan obat yang paling banyak ditemukan adalah Solanaceae dan Zingiberaceae. Habitus tumbuhan pangan dan obat yang paling banyak ditemukan adalah herba. Buah merupakan bagian yang paling banyak digunakan pada tumbuhan pangan, sedangkan daun merupakan bagian yang paling banyak digunakan pada tumbuhan obat. Masyarakat Pauh Tinggi memanfaatkan tumbuhan tersebut sebagai bahan pangan dan obat berdasarkan pengetahuan tradisionalnya.

Kata kunci: Etnobotani, Pauh Tinggi, tumbuhan obat, tumbuhan pangan.

ABSTRACT

ANNIEKE STEVANI. Food and Medicine Ethnobotany of Local Community in Pauh Tinggi Village, Kerinci Seblat National Park. Supervised by AGUS HIKMAT and ERVIZAL A.M. ZUHUD.

Ethnobotany is a study about traditional utilization of plants by local community. The objective of this research was identified the diversity of food and medicinal plants utilized by local community in Pauh Tinggi village around Kerinci Seblat National Park. The method of data collection were interview, field observation, literature review and herbarium. The result showed that total of 236 species were identified from 64 families, which consisted of 90 species of food plants from 35 families and 187 species of medicinal plants from 58 families. Zingiberaceae was the most frequent food plants family found in this research, while solanaceae and zingiberaceae were the most frequent medicinal plants family. Herbs was the most frequent habitus of food and medicinal plants found in this research. Fruit was the most frequent part of plants that used for food plants, while leaf is the most frequent part of plants that used for medicinal plants. Local community at Pauh Tinggi village used the plants based on their traditional knowledge.

(4)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

ETNOBOTANI PANGAN DAN OBAT

MASYARAKAT DESA PAUH TINGGI

DI SEKITAR TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT

ANNIEKE STEVANI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

(5)

Judul Skripsi : Etnobotani Pangan dan Obat Masyarakat Desa Pauh Tinggi di Sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat

Nama : Annieke Stevani NIM : E34080001

Disetujui oleh

Dr Ir Agus Hikmat, MScF Pembimbing I

Prof Dr Ir Ervizal A.M. Zuhud, MS Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua Departemen

(6)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas curahan rahman dan rahim-Nya, serta doa restu dan dukungan yang tulus dari kedua orang tua sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian yang berjudul Etnobotani Pangan dan Obat Masyarakat Desa Pauh Tinggi di Sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga September 2012.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Agus Hikmat, MScF dan Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bantuan dan arahannya dalam penyelesaian karya ilmiah ini, Bapak Dr Ir Trisna Priadi, MEngSc selaku dosen penguji yang telah memberikan saran, masukan, dan ilmu baru bagi penulis serta Ibu Resti Meilani SHut Msi atas saran dan perbaikannya. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Balai Taman Nasional Kerinci Seblat yang telah memberi izin penelitian dan semua pihak yang telah membantu dalam pengumpulan data dan perbaikan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kakak, adik, dan saudara dari Ikatan Mahasiswa Kerinci Bogor (IMKB) sebagai keluarga kedua bagi penulis serta teman-teman KSHE 45 „Edelweiss‟ atas semangat, kebersamaan dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat kepada pihak terkait. Bogor, April 2013

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar belakang 1

Tujuan 2

Manfaat 2

METODE 2

Lokasi dan Waktu 2

Alat dan Bahan 2

Jenis Data yang dikumpulkan 2

Metode Pengumpulan Data 3

Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 6

Karakteristik responden 7

Keanekaragaman Tumbuhan Pangan 8

Keanekaragaman Tumbuhan Obat 18

Kearifan Tradisional Masyarakat dalam Pemanfaatan Tumbuhan 26

SIMPULAN DAN SARAN 28

Simpulan 28

Saran 28

DAFTAR PUSTAKA 28

LAMPIRAN 31

(8)

DAFTAR TABEL

1 Klasifikasi tumbuhan pangan berdasarkan famili 9 2 Habitus tumbuhan pangan yang digunakan masyarakat 13 3 Persentase bagian tumbuhan pangan yang digunakan 14 4 Tumbuhan pangan liar yang berasal dari hutan 16 5 Klasifikasi tumbuhan obat berdasarkan famili 18 6 Habitus tumbuhan obat yang digunakan masyarakat 20 7 Persentase bagian tumbuhan obat yang digunakan 21

8 Tumbuhan obat yang berasal dari hutan 23

9 Keanekaragaman spesies tumbuhan obat untuk mengobati berbagai

kelompok penyakit 24

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penelitian 6

2 Responden tertua (Susah Galo) 7

3 Bungo sabung (Nicolaia speciosa) 9

4 Sambal suhin dari daun surian 10

5 Ayi kawo yang diminum dengan tempurung pengganti gelas 11 6 Produk sirup kulit manis oleh-oleh khas Kerinci 11

7 Persentase tipe habitat tumbuhan pangan 14

8 Persentase status budidaya tumbuhan pangan 15 9 Daun dan pohon kayu taksus yang berada di jalur trek menuju

Gunung Tujuh 19

10 Persentase tipe habitat tumbuhan obat 21

11 Inggu (Ruta angustifolia) 22

12 Persentase status budidaya tumbuhan obat 22

13 Persentase pengolahan tumbuhan obat 25

14 Minyak urut tradisional masyarakat 26

15 Ladang kayu manis yang disela dengan kentang 27

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data Responden Masyarakat Desa Pauh Tinggi 31

2 Spesies tumbuhan pangan yang dimanfaatkan oleh masyarakat 33 3 Spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat 38

4 Tipe habitat tumbuhan pangan 54

5 Tipe habitat tumbuhan obat 58

(9)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna. Zuhud et al. (2011) menyatakan hutan tropika Indonesia yang terdiri dari berbagai tipe ekosistem merupakan gudang keanekaragaman hayati lebih dari 239 spesies tumbuhan pangan dan lebih dari 2.039 spesies tumbuhan obat yang berguna bagi kesehatan dan mengobati berbagai macam penyakit. Selain keanekaragaman hayati yang melimpah, Indonesia juga kaya akan etnis yang sebagian besar tinggal di dekat kawasan hutan dan masih memiliki ketergantungan terhadap hutan terutama dalam pemanfaatan tumbuhan. Tumbuhan tersebut berperan penting dalam kehidupan manusia karena merupakan sumber bahan pangan, obat-obatan dsb.

Pangan dan obat-obatan merupakan kebutuhan esensial bagi masyarakat dan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Kebutuhan pangan manusia hampir sepenuhnya tergantung pada tanaman. Apa yang dimakan dapat berupa bagian dari tanaman atau secara tidak langsung berasal dari tanaman, oleh karena itu sejak zaman prasejarah orang telah melaksanakan pekerjaan seleksi tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai tanaman pangan (Moeljopawiro dan Manwan 1992).

Masyarakat Indonesia selama ini masih mengandalkan pangan impor untuk memenuhi kecukupan pangan dalam negeri jika dilihat dari tingkat konsumsi pangannya (Rona 2011). Hal ini menunjukkan keanekaragaman hayati tumbuhan belum dimanfaatkan secara optimal di setiap daerah. Upaya yang dapat dilakukan dalam memenuhi kebutuhan pangan adalah dengan menggali potensi sumberdaya pangan lokal di setiap daerah.

Setiap daerah/etnis memiliki pola pemanfaatan tumbuhan yang berbeda-beda. Pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat khususnya dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan obat-obatan berkembang menjadi pengetahuan yang diwariskan secara turun temurun. Tumbuhan pangan dan tumbuhan obat yang digunakan sesuai dengan pengetahuan lokal masyarakat setempat dalam kehidupan keseharian mereka mengarah pada terciptanya kehidupan yang berdaulat-mandiri. Masalah ketahanan pangan dan kesehatan dapat diatasi melalui peningkatan pengetahuan dan konsumsi keanekaragaman tumbuhan berguna dari alam (Johns 2003 diacu dalam Ayu 2012). Banyak spesies tumbuhan yang hidup di hutan yang memiliki kandungan gizi dan kandungan-kandungan yang merupakan unsur penting bagi kesehatan.

(10)

tumbuhan, oleh karena itu perlu dilakukan kajian dan pendataan pemanfaatan tumbuhan (etnobotani) masyarakat sekitar kawasan TNKS khususnya untuk bahan pangan dan bahan obat.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keanekaragaman tumbuhan pangan dan tumbuhan obat yang dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat sekitar kawasan TNKS.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi dalam pengembangan tumbuhan pangan dan tumbuhan obat berbasis pengetahuan masyarakat lokal di sekitar TNKS.

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Pauh Tinggi, Kecamatan Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi yang berbatasan langsung dengan resort Gunung Tujuh Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Juli-September 2012.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: alat tulis, kamera, recorder, kalkulator, golok/parang, kertas koran, kertas label, tali plastik, plastik, daftar pertanyaan responden, dan komputer beserta perlengkapannya. Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alkohol 70%, sampel tumbuhan, tally sheet dan kertas Koran.

Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini berupa data primer dan data sekunder.

Data Primer

Data primer yang diperlukan antara lain:

(11)

b) Spesies-spesies tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai pangan dan obat, habitusnya, kegunaannya, bagian tumbuhan yang digunakan, cara pengolahan, cara pemakaiannya hingga cara pembudidayaannya.

Data Sekunder

Data sekunder merupakan data penunjang yang terdiri dari kondisi umum lokasi, sejarah, letak dan luas, topografi, geologi dan tanah, iklim dan hidrologi, flora, fauna, dan etnografi masyarakat asli meliputi lokasi, lingkungan alam dan demografi, asal mula dan sejarah suku, bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, kesenian, dan sistem religi (Koentjaraningrat 1994) yang diperoleh melalui literatur, studi pustaka, dan monografi desa.

Metode Pengumpulan Data

Kajian pustaka

Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui dan mendapatkan informasi dasar mengenai kondisi umum (mencakup fisik, biotik dan sosial budaya masyarakat), data mengenai spesies tumbuhan berguna yang ada di lokasi penelitian guna verifikasi (cek silang) berdasarkan data yang diperoleh di lapangan. Pengumpulan data ini dilakukan melalui dua tahap yakni sebelum dan sesudah penelitian di lapangan.

Observasi/ pengamatan langsung

Observasi dilakukan untuk memperoleh sumber data dan informasi aktual melalui pengamatan di lokasi penelitian. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui spesies tumbuhan pangan dan tumbuhan obat yang digunakan dari hasil wawancara. Pengenalan spesies ini dilakukan dengan mencari spesies tumbuhan yang digunakan dari hasil wawancara ke dalam hutan dan membuat dokumentasi kemudian diidentifikasi dengan literatur.

Wawancara

(12)

Pembuatan herbarium

Pembuatan herbarium dilakukan untuk memudahkan dalam identifikasi spesies tumbuhan yang belum teridentifikasi. Herbarium merupakan koleksi spesimen tumbuhan yang terdiri dari bagian-bagian tumbuhan (ranting lengkap dengan daun, serta bunga dan buah jika ada). Tahapan dalam pembuatan herbarium antara lain (Hidayat 2009) :

1. Mengambil bahan sampel untuk herbarium berupa ranting dengan daun (diusahakan daun yang tidak terlalu muda atau terlalu tua) beserta bunga dan buah jika ada.

2. Bahan sampel tersebut digunting dengan menggunakan gunting daun dengan panjang ± 40 cm.

3. Sampel herbarium kemudian dimasukkan ke dalam kertas koran, satu lipatan kertas koran untuk satu spesimen. Sampel herbarium diberi label gantung berukuran 3x5 cm. label gantung berisi keterangan nomor koleksi, tanggal pengambilan spesimen, nama lokal dan lokasi spesimen, serta nama pengumpul/kolektor.

4. Lipatan kertas koran yang berisi spesimen ditumpuk menjadi satu dalam kantong plastik bening berukuran 40x60 cm.

5. Tumpukan spesimen disiram dengan alkohol 70% hingga seluruh bagian tumpukan tersiram rata, selanjutnya kantong plastik ditutup rata agar cairan alkohol tidak menguap.

6. Tumpukan contoh herbarium dipress dalam sasak , kemudian di keringkan dalam oven.

7. Setelah kering, herbarium diidentifikasi nama ilmiahnya.

Analisis Data

Analisis data tumbuhan pangan dan tumbuhan obat

Data potensi tumbuhan pangan dan tumbuhan obat disusun dan dikelompokkan berdasarkan : (1) kegunaan, (2) jumlah spesies masing-masing kegunaan, (3) famili, (4) klasifikasi berdasarkan habitus (5) klasifikasi berdasarkan bagian tumbuhan yang digunakan, (6) tipe habitat (7) kelompok penyakit (tumbuhan obat) (8) klasifikasi tumbuhan pangan dan tumbuhan obat budidaya/ liar.

Persentase famili

Tumbuhan pangan dan tumbuhan obat dikelompokkan berdasarkan famili, kemudian dihitung persentasinya menggunakan rumus (Hidayat 2009) :

Persentase famili tertentu

(13)

Persentase habitus

Persentase habitus merupakan besarnya suatu jenis habitus tumbuhan pangan dan tumbuhan obat yang digunakan terhadap seluruh habitus yang ada. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung persentase habitus yaitu sebagai berikut (Fakhrozi 2009) :

Persentase habitus tertentu

= ∑ spesies habitus tertentu yang digunakan x 100 % ∑ total habitus

Persentase bagian yang dimanfaatkan

Persentase bagian tumbuhan yang digunakan meliputi bagian tumbuhan yang dimanfaatkan mulai dari bagian tumbuhan yang paling atas/ daun sampai ke bagian bawah/ akar. Untuk menghitung persentase bagian yang dimanfaatkan digunakan rumus (Fakhrozi 2009) :

Persentase bagian yang dimanfaatkan

= ∑ bagian tertentu yang dimanfaatkan x 100 % ∑ total bagian yang dimanfaatkan

Persentase tipe habitat

Tumbuhan pangan dan obat dikelompokkan berdasarkan habitatnya meliputi hutan, kebun/ladang, pekarangan, sawah, dan lain-lain. Persentase tipe habitat dengan menggunakan rumus (Rahayu 2013) :

Persentase tipe habitat

= ∑ spesies tumbuhan dari habitat tertentu x 100 % ∑ total spesies tumbuhan

Persentase tumbuhan budidaya/ liar

Tumbuhan pangan dan tumbuhan obat hasil wawancara dan observasi lapang dikelompokkan berdasarkan status keberadaannya yang tergolong dalam tumbuhan yang sudah dibudidaya atau masih tumbuh liar, kemudian dihitung persentasinya menggunakan rumus (Rona 2011) :

Persentase tumbuhan yang dibudidaya/ liar

(14)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Desa Pauh Tinggi terletak di Kecamatan Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi (Gambar 1). Desa ini berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat tepatnya di resort Gunung Tujuh. Desa Pauh Tinggi ditetapkan sebagai desa persiapan sejak tahun 1983, namun baru menjadi desa pada tahun 2002. Luas wilayah desa Pauh Tinggi sebesar 4112 Ha dan berada di ketinggian tempat 1500 mdpl dengan topografi daerah dataran tinggi/perbukitan. Desa Pauh Tinggi memiliki iklim kemarau & penghujan dengan suhu rata-rata harian 17-260C dengan rata-rata hari hujan 15,3/bulan. Jarak desa Pauh Tinggi ke pusat kecamatan ± 8 km dengan kondisi jalan tanah dan berlumpur.

Adapun batas-batas administratif desa Pauh Tinggi adalah sebagai berikut : Sebelah Utara Desa Pesisir Bukit dan Resort Gunung Tujuh Sebelah Timur Batas Kawasan TNKS

Sebelah Selatan Desa Renah Kasah dan Sungai Bendung Air

Sebelah Barat Desa Sungai Sikai, Sungai Rumpun dan Rawa Bento

Gambar 1 Peta lokasi penelitian

(15)

Tinggi per November 2011 adalah 1.200 jiwa dengan 585 jiwa laki-laki dan 615 jiwa perempuan. Berdasarkan Laporan tahunan desa Pauh Tinggi (2011), tingkat kesejahteraan masyarakat Pauh Tinggi digolongkan dalam kategori sedang sebanyak 30 KK/90 jiwa dan kurang mampu sebanyak 250 KK/820 jiwa dan jumlah usia produktif sebanyak 875 jiwa dan non produktif sebanyak 325 jiwa.

Berdasarkan karakteristiknya, desa Pauh Tinggi termasuk bagian Kerinci Hulu/Kerinci Tinggi dengan pengaruh budaya luar relatif lebih kuat, banyak terdapat perkebunan, banyak perambahan, dan ekonomi sangat terkait ke Sumatera Barat. Tim peneliti WWF (1993) dalam Indrizal (1997) membagi tipologi pedesaan Kerinci berdasarkan karakteristik sosial-budaya dalam pembagian geografis daerahnya menjadi Kerinci Hilir (rendah), Kerinci Tengah dan Kerinci Hulu (Tinggi). Kerinci Tengah dan Kerinci Tinggi lebih didominasi kebudayaan Minangkabau dan pendatang lain seperti Jawa, Cina, dan Batak. Kerinci Tengah dan Kerinci Tinggi dianggap lebih modern. Nilai-nilai tradisional/adat hanya tinggal simbol dan lebih materialistik sehingga pandangan kehidupan masa depan lebih diprioritaskan untuk memanfaatkan keuntungan maksimal jangka pendek dari sumberdaya yang tersedia, sedangkan Kerinci Hilir pengaruh kebudayaan Jambi lebih kuat, yaitu dengan ciri memperlihatkan sikap arif terhadap alam.

Karakteristik Responden

Penelitian ini dilakukan pada masyarakat Suku Kerinci yang berada di Desa Pauh Tinggi dengan metode wawancara dan observasi lapang. Wawancara dilakukan pada 33 orang responden dari 3 dusun yang berada di Desa Pauh Tinggi. Hasil wawancara terhadap 33 orang responden menunjukkan bahwa responden berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Komposisi responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 25 orang (76 %) dan perempuan sebanyak 8 orang (24 %). Jumlah responden laki-laki lebih banyak karena laki-laki yang lebih sering masuk ke hutan untuk mencari dan meramu tumbuhan yang dapat digunakan sebagai obat. Bahkan tiga dari empat orang responden kunci yang mengetahui banyak informasi pemanfaatan tumbuhan berjenis kelamin laki-laki. Tingkatan umur responden tertua berusia 96 tahun (Gambar 2) dan termuda berusia 31 tahun.

(16)

Sekitar 15 persen responden berusia 30-40 tahun dan 50-60 tahun, 21 persen responden berusia 40-50 tahun dan persentase terbanyak (49 %) adalah responden yang berusia ≥ 60 tahun. Responden yang berusia ≥ 60 tahun, sebagian besar merupakan responden yang banyak mengetahui pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat berdasarkan pengalaman dan pengetahuan dari orang tua terdahulu.

Tingkat pendidikan responden di Desa Pauh Tinggi masih rendah. Hal ini dikarenakan responden yang diwawancarai sebagian besar sudah berumur (lanjut usia) dan pada masanya dulu hanya ada sekolah rakyat yang setara dengan SD sekarang, itupun bahkan tidak sampai selesai. Dari hasil wawancara didapatkan sebanyak 12 orang (36 %) responden yang tidak sekolah, dan 12 orang (37 %) responden yang mengenyam pendidikan sekolah rakyat (SR) atau SD, 3 orang responden (9 %) lulus sekolah menengah pertama (SMP) dan sisanya 6 orang responden (18 %) lulusan sekolah menengah atas (SMA). Rendahnya tingkat pendidikan ini juga disebabkan oleh tidak adanya sarana pendidikan dan lokasi desa Pauh Tinggi yang jauh dari pusat kecamatan. Jarak desa Pauh Tinggi ke pusat kecamatan ± 8 km dengan kondisi jalan tanah dan berlumpur. Namun saat ini, di desa Pauh Tinggi sendiri sudah memiliki bangunan sekolah SD dan SMP satu atap. Tingkat pendidikan sendiri tidak berpengaruh terhadap pengetahuan responden dalam hal pemanfaatan tumbuhan dikarenakan pengetahuan mengenai pemanfaatan tumbuhan tersebut mereka dapatkan dari kebiasaan dan kearifan tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang mereka terdahulu.

Mata pencaharian utama responden di desa Pauh Tinggi adalah bertani. Bertani merupakan kebutuhan bagi masyarakat Pauh Tinggi. Setiap pagi masyarakat baumo (bersawah/berladang) dan pulang pada sore harinya. Hal ini erat kaitannya dengan letak desa mereka yang berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Masyarakat memanfaatkan lahan yang tersedia untuk baumo bahkan banyak masyarakat yang baumo sampai ke dalam kawasan hingga merambah kawasan karena lokasi umo mereka yang berdekatan.

Keanekaragaman Tumbuhan Pangan

(17)

Keanekaragaman Famili

Berdasarkan hasil wawancara dan eksplorasi yang dilakukan, teridentifikasi sebanyak 236 spesies dari 64 famili yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tumbuhan pangan dan tumbuhan obat. Tumbuhan yang digunakan untuk bahan pangan teridentifikasi sebanyak 90 spesies dari 35 famili (Tabel 1). Famili Zingiberaceae merupakan famili dengan jumlah spesies terbanyak yaitu 8 spesies diikuti oleh famili Fabaceae dan Poaceae masing-masing sebanyak 7 spesies kemudian famili Solanaceae dengan 6 spesies.

Tabel 1 Klasifikasi tumbuhan pangan berdasarkan famili

No. Nama famili Jumlah spesies

1 Zingiberaceae 8

2 Fabaceae 7

3 Poaceae 7

4 Solanaceae 6

5 Moraceae 5

6 Arecaceae 4

7 Liliaceae 4

8 Famili lain (28 famili) 49

Total 90

Beberapa spesies dari famili Zingiberaceae seperti jahe, kencur, kunyit, dan lengkuas merupakan spesies budidaya yang ditanam oleh masyarakat di pekarangannya. Spesies tersebut digunakan oleh masyarakat sebagai rempah -rempah (bahan penyedap, bumbu masak) dan obat tradisional. Selain itu sabung (Nicolaia speciosa) juga dari famili Zingiberaceae sering digunakan masyarakat sebagai sayuran dan campuran sambal. Bunganya dijadikan gulai dicampur dengan ikan yang dinamakan kincung. Sabung merupakan tumbuhan liar, namun dibudidayakan oleh masyarakat dengan ditanam di pekarangannya (Gambar 3).

Gambar 3 Bungo sabung (Nicolaia speciosa)

(18)

selalu memiliki ketersediaan kentang yang dijadikan sebagai lauk atau sambal pelengkap makanan. Selain sebagai sambal dan lauk, kentang pun diolah menjadi dodol kentang dan keripik kentang yang menjadi makanan khas dan oleh-oleh dari Kerinci.

Keanekaragaman spesies

Dari 90 spesies tumbuhan pangan, terdapat 4 spesies yang tidak teridentifikasi yaitu buah hutan sikai, cikrau, penggi (kundu) dan spun. Spesies tersebut merupakan hasil wawancara dan tidak ditemukan saat eksplorasi. Spesies tumbuhan pangan yang dimanfaatkan masyarakat diolah menjadi berbagai macam bentuk makanan, sayuran, dan juga bahan minuman seperti surian, kentang, nangka/cempedak, dan lainnya.

Daun surian (Toona sureni) dimanfaatkan sebagai bahan utama dari salah satu makanan tradisional Kerinci yang disebut sambal/cabe suhin (Gambar 4). Dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat, makanan tradisional termasuk sebagai identitas budaya yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat yang mendiami wilayah tersebut, termasuk bagi masyarakat Kerinci. Cabe suhin merupakan campuran daun muda (pucuk) surian yang ditumbuk dengan rebung dan digoreng dengan cabe yang dicampur ikan tukai. Cabe suhin memiliki aroma yang khas dan selalu diikutsertakan dalam lomba kuliner dan pariwisata dari daerah Kerinci.

(a) (b)

Gambar 4 (a) dan (b) Cabe suhin dari daun surian

(19)

Gambar 5 Ayi kawo yang diminum dengan tempurung pengganti gelas Selain spesies di atas, juga terdapat spesies keladi (Colocasia esculenta) dan kayu manis (Cinnamomum burmannii) yang potensial untuk dikembangkan khususnya di desa Pauh Tinggi. Selain karena keberadaannya yang banyak di desa tersebut dan masyarakat yang mayoritas petani kayu manis, spesies ini pun bernilai ekonomi tinggi. Keladi oleh masyarakat selain disayur, juga diolah menjadi pulut dan keripik keladi sebagai pelengkap makanan. Keripik keladi ini bahkan ada yang dijual masyarakat, namun hanya sebatas di warung-warung kecil. Padahal jika pembuatan keripik keladi ini dijadikan usaha dagang maka dapat menghasilkan suatu produk pangan khas dari Pauh Tinggi yang juga dapat dijadikan oleh-oleh seperti halnya dodol kentang dan keripik kentang. Begitu pula dengan kayu manis yang dijadikan sebagai bahan minuman sirup kulit manis oleh masyarakat. Masyarakat Pauh Tinggi hanya berperan sebagai produsen (petani) kayu manis saja dan belum mengembangkan potensi sirup kulit manis ini seperti di beberapa daerah lain di Kerinci yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dari hasil penjualan sirup tersebut (Gambar 6).

Gambar 6 Produk sirup kulit manis oleh-oleh khas Kerinci

Penggunaan spesies tumbuhan pangan didasarkan pada kegunaan dan kandungan yang terdapat di dalam tumbuhan seperti sumber karbohidrat, protein (kacang-kacangan), vitamin dan mineral (buah dan sayur-sayuran), bahan minum, bahan pelengkap adalah sebagai berikut:

a. Sumber karbohidrat

(20)

(Ipomoea batatas) juga merupakan sumber karbohidrat, terutama kentang bagi masyarakat dijadikan sambal pelengkap nasi yang ketersediaannya selalu ada tiap hari. Masyarakat yang merupakan petani kentang, hasil panen kentang tidak dijual seluruhnya, beberapa disimpan sebagai persediaan di dapur. Hampir keseluruhan responden yang diwawancarai menyimpan persediaan kentang di rumahnya.

b. Sumber protein

Protein merupakan zat gizi yang sangat penting dan erat kaitannya dalam pemeliharaan tubuh. Sumber protein yang berasal dari tumbuhan umumnya berasal dari kacang-kacangan seperti kacang belimbing (Psophocarpus tetragonolobus), kacang panjang (Vigna cylindrica) dan kacang tanah (Arachis hypogea) yang juga dimanfaatkan sebagai bahan pangan oleh masyarakat Pauh Tinggi.

c. Sumber vitamin dan mineral

Vitamin dan mineral merupakan zat gizi yang mutlak dibutuhkan oleh tubuh. Masyarakat memperoleh sumber vitamin dan mineral dengan mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan. Sayur-sayuran yang dikonsumsi masyarakat umumnya telah dibudidayakan dengan ditanam di ladang (kebun) dan pekarangan rumah. Kebiasaan masyarakat mengkonsumsi sayur dan selalu ada setiap harinya. Masyarakat Pauh Tinggi dan orang Kerinci pada umumnya menyukai sayur berkuah dibanding lalapan. Hal ini karena kuah sayur membuat makanan tidak terasa hambar. Spesies yang sering dijadikan sayur adalah langgoy/rimbang (Solanum torvum), paku/pakis (Diplazium esculentum), sabung (Nicolaia speciosa), Jambin (Andropogon aciculatus) dan lainnya. Selain sayur, masyarakat juga mengkonsumsi buah-buahan seperti alpokat (Persea americana), jambu biji (Psidium guajava), jambu ayie (Syzigium aqueum), Saos (Manilkara zapota), pisang (Musa paradisiaca) yang umumnya ditanam di kebun dan pekarangan masyarakat. Selain spesies yang dibudidayakan tersebut, masyarakat juga mengkonsumsi buah-buahan liar yang ada di hutan seperti Pontialo (Xerospermum noronhianum) dan buah Pauh (Mangifera parvifolia) yang banyak tumbuh liar di hutan Pauh Tinggi.

d. Sumber lemak

Beberapa spesies tumbuhan yang bermanfaat sebagai sumber lemak adalah alpokat (Persea americana), jarak (Jatropha multifida), kelapa (Cocos nucifera, mentimun (Cucumis sativus), nilam (Pogostemon cablin), kacang belimbing (Psophocarpus tetragonolobus), paku/pakis (Diplazium esculentum), dan lainnya.

e. Bahan minuman

Beberapa spesies juga dijadikan bahan minuman oleh masyarakat seperti kayu manis (Cinnamomum burmani) yang dijadikan sirup kulit manis dan juga berguna sebagai obat, spadeh/jahe (Zingiber officinale), aren atau enau dan kopi (Coffea Robusta). Kawo/kopi yang daunnya dikeringkan kemudian dijadikan minuman dengan rasa pahit yang disebut dengan ayi kawo dapat mengobati diabetes.

f. Bahan pelengkap

(21)

sebagai bahan pangan tambahan untuk melengkapi bahan pangan pokok. Tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai bumbu/penyedap makanan ialah bawang merah (Allium cepa), bawang putih (Allium sativum), cabe (Capsicum annum), cabe rawit (Capsicum frutescens), cengkeh (Syzygium aromaticum), kencur (Kaempfria galanga), lengkuas (Alpinia galangal), dan spadeh/jahe (Zingiber officinale). Sedangkan bahan pangan tambahan seperti pulut dan kerupuk keladi yang dibuat dari keladi (Colocasia esculenta), peyek, dan juga sambal/cabe suhin yang merupakan makanan tradisional Kerinci.

Habitus

Habitus merupakan bentuk hidup atau perawakan dari setiap tumbuhan yang didasarkan pada karakteristik tumbuhan tersebut. Klasifikasi tumbuhan pangan menurut habitusnya dibagi menjadi lima habitus yaitu herba, liana, perdu, pohon, dan semak (Tabel 2). Definisi masing-masing habitus tersebut adalah sebagai berikut :

1) Herba: merupakan tumbuhan tidak berkayu dengan batang lunak dan berair.

2) Pohon: merupakan tumbuhan berkayu yang tinggi besar, memiliki satu batang yang jelas dan bercabang jauh dari permukaan tanah.

3) Perdu: merupakan tumbuhan berkayu yang tidak terlalu besar dan bercabang dekat dengan permukaan tanah atau di dalam tanah.

4) Semak: merupakan tumbuhan berkayu yang mengelompok dengan anggota yang sangat banyak membentuk rumpun, tumbuh pada permukaan tanah dan tingginya dapat mencapai 1 m.

5) Liana: merupakan tumbuhan berkayu, yang batangnya menjalar/memanjat pada tumbuhan lain.

Tabel 2 Habitus tumbuhan pangan yang digunakan masyarakat

No. Bagian tumbuhan Jumlah Persentase (%)

1 Herba 29 34 (29 spesies) sedangkan jumlah spesies terendah terdapat pada habitus liana sebesar 8 % (7 spesies). Hal serupa juga dipaparkan dalam penelitian Desuciani (2012) pada masyarakat Suku Lampung di sekitar Tahura Wan Abdul Rahman dimana habitus tumbuhan pangan tertinggi adalah herba sebesar 44 % (20 spesies).

Bagian tumbuhan yang digunakan

(22)

langsung dikonsumsi, spesies tumbuhan yang digunakan buahnya sebagai pangan antara lain alpokat (Persea americana), langgoy/rimbang (Solanum torvum), pontialo (Xerospermum noronhianum), pare (Momordica charantia), dan lain-lain, sedangkan bagian yang paling sedikit yaitu batang, bunga dan umbut masing-masing sebesar 2 %.

Tabel 3 Persentase bagian tumbuhan pangan yang digunakan

No. Bagian tumbuhan Persentase (%)

1 Buah 50

2 Daun 34

3 Umbi 5

4 Rimpang 4

5 Biji 3

6 Bunga 2

7 Batang 2

8 Umbut 2

Total 100

Tipe habitat

Tumbuhan pangan yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat berasal dari kebun/ladang yaitu sebesar 38 % dan pekarangan sebesar 34 % (Gambar 7). Hal ini dikarenakan banyaknya tumbuhan yang dibudidayakan di lahan mereka baik di kebun/ladang maupun pekarangan. Masyarakat desa Pauh Tinggi setiap harinya baumo ke ladang memanfaatkan areal ladang mereka untuk ditanami spesies tumbuhan pangan sebagai mata pencaharian dan memenuhi kebutuhan hidupnya.

Gambar 7 Persentase tipe habitat tumbuhan pangan

(23)

Gambar 8 Persentase status budidaya tumbuhan pangan

Tumbuhan pangan liar yang dikonsumsi masyarakat adalah yang berasal dari hutan sebanyak 24 spesies (Tabel 4). Dephut (2009) menyebutkan bahwa penyediaan pangan yang berasal dari hutan sudah terjadi sejak lama. Pemanfaatan hutan untuk sumber pangan selain produk dan jasa kehutanan sudah dilakukan oleh masyarakat di dalam dan di sekitar hutan secara tradisional dan turun temurun. Kontribusi kehutanan melalui fungsi hutan sebagai penyedia pangan dilakukan melalui pemanfaatan langsung plasma nutfah flora dan fauna untuk pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan dan obat-obatan.

Hutan menyimpan bahkan memproduksi kekayaan hayati yang merupakan sumber pangan berkualitas. Selain tumbuhan sumber karbohidrat yang dapat berkembang dari bawah sampai ke atas lahan, hutan juga menyimpan keragaman sumber pangan protein, lemak, vitamin, dan mineral yang berasal dari tumbuhan dan hewan. Berbagai pangan nabati asal hutan antara lain umbi-umbian, tepung, jamur, sayur, buah-buahan, biji-bijian dan kacang-kacangan (Dephut 2009).

Spesies tumbuhan pangan hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Pauh Tinggi diantaranya termasuk dalam kelompok umbi-umbian, sayur dan buah-buahan. Keladi atau talas merupakan spesies tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat sebagai umbi-umbian dan sayuran. Menurut Wargiono (1980) umbi talas mengandung 1,9 % protein, lebih tinggi dibandingkan ubi kayu (0,8 %) dan ubi jalar (1,8 %) meskipun kandungan karbohidratnya (23,7 %) lebih sedikit dibandingkan dengan ubi kayu (37,8 %) dan ubi jalar (27,9 %).

Keladi merupakan tanaman serbaguna. Seluruh bagian tanamannya dapat dikonsumsi. Umbinya dapat direbus atau digoreng, daun dan tangkai daun dapat dikonsumsi sebagai sayuran. Masyarakat Kerinci umumnya terbiasa mengkonsumsi tangkai daun keladi yang dijadikan gulai keladi yang juga merupakan makanan wajib dalam setiap acara kenduri di Kerinci. FAO (1987) dalam Dewi (2002) menyebutkan bahwa umbi keladi mengandung 17-28 % amilosa, pati dari umbinya sangat mudah dicerna sehingga baik digunakan untuk tepung makanan bayi. Umbinya juga dapat digunakan dalam campuran makanan ternak dan sebagai aditif dalam pembuatan plastik biodegradable. Daunnya pun kaya gizi, terkandung 23 % protein, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin C, provitamin A, tiamin, riboflovin, dan niasin. Berlawanan dengan kegunaannya, potensi keladi di Indonesia belum dimanfaatkan dengan baik, meskipun masyarakat sudah lama mengenal dan mengkonsumsi keladi. Sampai saat ini

Budidaya 65% Liar

(24)

produksinya masih sangat rendah bila dibandingkan dengan ubi jalar dan ubi kayu karena budidayanya masih merupakan usaha sampingan bagi petani. Padahal umbinya dapat dijadikan sumber karbohidrat alternatif yang potensial untuk diversifikasi makanan pokok (Dewi 2002).

Tabel 4 Tumbuhan pangan liar yang berasal dari hutan

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili Kegunaan

1 Buah Hutan Sikai Buah 2 Daun Tutut Macaranga rhizinoides

Muell. Arg.

Euphorbiaceae Buah

3 Durian Durio zibethinus Merr Bombacaceae Buah 4 Jambin Andropogon aciculatus

Retz

Poaceae Sayur

5 Kawo/Kopi Coffea arabica Linn. Rubiaceae Buah, Minuman, Sayur

6 Kayu Kam Flacaurtia rukam Z.et.M Flacourtiaceae Buah 7 Cempedak Rimbo Arthocarpus interger Merr Moraceae Buah, sayur

8 Kecimbur Psychotria sp Rubiaceae Buah 9 Keduduk Melastoma malabathricum

Linn.

Melastomataceae Buah

10 Keladi Colocasia esculenta Schott Araceae Sayur, Umbi-umbian. 11 Kelapa Cocos nucifera L. Arecaceae Buah, Minuman 12 Pauh/Manggus Mangifera parvifolia Anacardiaceae Buah

13 Pontialo Xerospermum noronhianum Blume

Sapindaceae Buah

14 Pua Achasma megalocheites Griff

Zingiberaceae Buah, sayur

15 Rebung Gigantochloa apus Kurz Poaceae Sayur 16 Rotan Calamus caesius BL. Arecaceae Buah 17 Rumput Buah Ficus sp Moraceae Buah 18 Sabung Nicolaia speciosa Bl. Zingiberaceae Sayur 19 Salak Salacca zalacca (Gaertn)

Voss

Arecaceae Buah

20 Salak Rimbo Salacca edulis Reinw Arecaceae Buah 21 Seluluh Horstedtia lycostoma

K.Schum

Zingiberaceae Buah

22 Semantung Ficus padana Burm.F Moraceae Buah 23 Spaho Dissochhaeta sp Melastomataceae Sayur 24 Tubo Derris elliptica Benth Leguminosae Sayur

(25)

Pohon Pauh (Mangifera parvifolia) selain dimanfaatkan buahnya, kayunya juga dimanfaatkan untuk bahan bangunan dan perkakas rumah tangga. Penggunaan kayunya sebagai bahan bangunan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Purwanto dan Setyowati (2011) menyebutkan bahwa jenis ini dapat tumbuh pada daerah-daerah ekstrim seperti lahan gambut atau daerah yang secara periodik tergenang air, sehingga dapat dijadikan salah satu jenis tanaman penghijauan pada lahan yang memiliki karakteristik tersebut. Pohon Pauh juga memiliki keunggulan sifat yang merupakan modal dasar sumber genetik dalam upaya perbaikan kualitas dan kuantitas tanaman melalui seleksi dan permuliaan. Pada tingkat lokal, jenis ini dapat dipakai sebagai batang bawah dalam perbanyakan vegetatif (sambungan) yang memiliki ketahanan pada kondisi lahan sering tergenang dan lembab (Purwanto dan Setyowati 2011).

Pola konsumsi

Masyarakat Desa Pauh Tinggi memiliki pola konsumsi yang teratur. Mereka memenuhi kebutuhan pangan dengan makan tiga kali sehari. Masyarakat selalu sarapan setiap pagi sebelum pergi baumo (bersawah/berladang). Biasanya masyarakat berangkat kaumo sebelum pukul 07.00 WIB, apalagi yang baumo di dalam imbo (hutan), selalu berangkat lebih pagi. Menu sarapan umumnya adalah nasi, sayur dan sambal seperti sayur pucuk ubi (singkong), telor, tempe, dan sambal kentang yang dicampur ikan teri. Masyarakat percaya mengkonsumsi nasi di pagi hari dapat memberikan lebih banyak energi untuk beraktivitas, terutama baumo. Namun beberapa responden ada yang hanya mengkonsumsi gorengan seperti goreng ubi, pisang, dan ayie kawo sebagai menu sarapan paginya.

Siang harinya sekitar pukul 12.00-13.00 WIB masyarakat yang baumo di dekat rumah akan menyempatkan diri untuk pulang makan siang sedangkan yang baumo di dalam imbo biasanya membawa bekal. Menu makan siang umumnya adalah sama dengan menu makan sebelumnya (makan pagi), kecuali sayur. Masyarakat terbiasa mengkonsumsi sayur yang baru dimasak dan langsung dihabiskan pada saat itu juga, sehingga untuk makan berikutnya, sayur yang dikonsumsi pun bukan sisa dari sayur sebelumnya. Sayur yang paling sering dimasak oleh masyarakat adalah sayur sadih, bayam, selada, paku/pakis dan labu siam. Bagi masyarakat yang membawa bekal untuk makan siang, menu yang dikonsumsi sama dengan menu sebelumnya. Kebiasaan menarik masyarakat dalam mengkonsumsi ayie kawo adalah, ketika baumo pun masyarakat tidak lupa untuk membawa ayie kawo dan makanan ringan (snack) sebagai bekal yang disebut dengan plo kawo.

(26)

Keanekaragaman Tumbuhan Obat Keanekaragaman famili

Berdasarkan hasil wawancara dan eksplorasi yang dilakukan terdapat sebanyak 187 spesies tumbuhan obat dari 58 famili yang dimanfaatkan oleh masyarakat, 13 diantaranya tidak teridentifikasi dan tidak ditemukan pada saat eksplorasi. Spesies-spesies tersebut adalah akar gana, bunghutan (buah hutan), bungbiki, cikrau, spun, lamkinto, paung, sgendu, sketon, spisin, spunjung, temelu, dan teripuk. Sama halnya dengan tumbuhan pangan, famili terbanyak yang dimanfaatkan adalah famili Zingiberaceae dan Solanaceae masing-masing sebanyak 12 spesies (Tabel 5).

Tabel 5 Klasifikasi tumbuhan obat berdasarkan famili

No. Nama famili Jumlah spesies

1 Zingiberaceae 12

Spesies dari famili Zingiberaceae seperti jahe merupakan spesies yang paling sering digunakan. Selain sebagai bumbu masak, jahe juga dapat digunakan sebagai obat yaitu untuk mengobati sakit gigi, batuk, memperlancar suara serak/parau, melegakan napas dan mengobati gatal-gatal. Menurut Koswara (2010) jahe dapat merangsang kelenjar pencernaan, baik untuk membangkitkan nafsu makan dan pencernaan. Sebagai bumbu masak, jahe berkhasiat untuk menambah nafsu makan, memperkuat lambung, dan memperbaiki pencernaan. Hal ini diduga karena terangsangnya selaput lendir perut besar dan usus oleh minyak atsiri yang dikeluarkan rimpang jahe. Minyak jahe berisi gingerol yang berbau harum khas jahe, berkhasiat mencegah dan mengobati mual dan muntah, misalnya karena mabuk kendaraan atau pada wanita yang hamil muda. Juga rasanya yang tajam merangsang nafsu makan, memperkuat otot usus, membantu mengeluarkan gas usus serta membantu fungsi jantung. Dalam pengobatan tradisional Asia, jahe dipakai untuk mengobati selesma, batuk, diare dan penyakit radang sendi tulang seperti artritis. Jahe juga dipakai untuk meningkatkan pembersihan tubuh melalui keringat.

(27)

bungo tono yang dipakai sebagai tumbuhan untuk upacara adat gantung luci, dan kawo/kopi yang dijadikan ayi kawo dan dapat mengobati diabetes.

Keanekaragaman spesies

Sebanyak 187 spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat, salah satunya merupakan spesies endemik sumatra terutama di pegunungan Kerinci yaitu kayu embun/ taksus (Taxus sumatrana). Taxus sumatrana atau yang lebih dikenal dengan cemara sumatera termasuk ke dalam genus Taxus, famili Taxaceae. Habitus dari tumbuhan ini berbentuk semak hingga pohon dengan tinggi mencapai 30 meter. Seluruh genus taxus dikenal sebagai jenis yang berumur panjang, bahkan pohon tertua di daratan Eropa yang berdiameter lebih dari 4 meter adalah Taxus baccata (Spjut 2003).

Taxus sumatrana secara alami tumbuh di TNKS pada ketinggian 1.400-2.300 meter dari permukaan laut pada punggung-punggung bukit atau tepian jurang. Berdasarkan pengamatan PKLP tahun 2011 di resort gunung tujuh, ditemukan sebanyak 6 (enam) individu taksus sepanjang jalur trak menuju danau gunung tujuh.

( a) (b)

Gambar 9 (a) Daun dan (b) pohon kayu taksus yang berada di jalur trak menuju Gunung Tujuh.

Indonesia merupakan sedikit dari negara yang memiliki sebaran alamiah Taxus di zona Asia (Rachmat 2008). Penyebaran alami jenis ini mencakup wilayah Afghanistan, Tibet, Nepal, Bhutan, Burma, Vietnam, Taiwan dan Cina. Di Indonesia, tumbuh secara alami sebagai sub kanopi di hutan pegunungan/punggung pegunungan di Pulau Sumatera dan Sulawesi pada ketinggian 1400-2300 mdpl (Spjut 2003).

(28)

mengenai studi kapang endofitik penghasil taxol yang hidup pada batang cemara sumatera yang tumbuh di Cibodas (Syukur et al. 2003) dan penemuan senyawa taxane diterpenoid baru yang diekstraksi dari bagian daun cemara sumatera yang tumbuh di Sumatera (Kitagawa et al. 1995). Hingga 2008 dilaporkan belum adanya publikasi ilmiah hasil penelitian ataupun kajian mengenai keragaman genetik, teknik budidaya maupun strategi konservasi cemara sumatera yang tumbuh alami di Indonesia (Rachmat 2008).

Hasil penelitian Rachmat (2008) menunjukkan bahwa tingkat keragaman genetik populasi Taxus sumatrana lebih tinggi dibanding Taxus canadensis, Taxus brevifolia, Taxus fuana, Taxus wallichiana dan sedikit lebih rendah dibanding Taxus baccata dan jenis konifer. Hal ini menunjukkan keragaman genetik jenis ini cukup besar karena tempat tumbuh alami cemara sumatera di Indonesia sampai saat ini diketahui hanya di wilayah Pegunungan Kerinci dan Sumatera Utara sehingga strategi konservasi in-situ mutlak diperlukan untuk menjaga kelangsungan jenis ini (Rachmat 2008).

Habitus

Tumbuhan obat yang dimanfaatkan masyarakat berdasarkan habitusnya dikelompokkan menjadi 6 habitus yaitu herba, liana, paku-pakuan, perdu, pohon, dan semak. Habitus yang paling banyak digunakan adalah herba sebesar 33 % (56 spesies) dan yang paling sedikit digunakan adalah paku-pakuan 1 % (2 spesies) (Tabel 6).

Tabel 6 Habitus tumbuhan obat yang digunakan masyarakat

No. Bagian tumbuhan Jumlah Persentase (%)

1 Herba 56 33

(29)

Tabel 7 Persentase bagian tumbuhan obat yang digunakan

No. Bagian tumbuhan Persentase (%)

1 Daun 46

2 Buah 17

3 Batang 10

4 Akar 7

5 Getah 6

6 Bunga 3

7 Herba 2

8 Kulit kayu/Kulit batang 2

9 Rimpang 2

10 Tunas 2

11 Umbi 2

12 Biji 1

13 Kulit buah 0

Total 100

Sebagian besar penelitian etnobotani yang telah dilakukan pada masyarakat di Indonesia menyebutkan bahwa daun merupakan bagian tumbuhan yang sering dimanfaatkan untuk pengobatan. Hal ini dikarenakan daun dapat diambil kapan saja dan pengolahan simplisianya termasuk mudah. Sementara itu Fakhrozi (2009) menambahkan bahwa penggunaan daun sebagai bagian untuk pengobatan selain tidak merusak spesies tumbuhan, bagian daun mudah dalam hal pengambilan serta peracikan ramuan obat. Menurut Zuhud et al. (1994), penggunaan daun, buah, cabang dan ranting sebagai bahan mentah dalam pengobatan tradisional tidak berdampak buruk bagi kelangsungan hidup tumbuhan. Tetapi bila akar, kulit kayu atau seluruh bagian tumbuhan yang digunakan, maka hal itu merupakan ancaman bagi keberadaan spesies tersebut.

Keanekaragaman tipe habitat

Tumbuhan obat yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat berasal dari pekarangan sebesar 34 %, kebun 26 %, hutan 22 %, pinggir jalan 12 % dan paling sedikit di sawah (6 %) seperti yang tercantum pada gambar 10 berikut :

Gambar 10 Persentase tipe habitat tumbuhan obat.

(30)

tumbuhan obat yang paling sering digunakan oleh masyarakat. Hal ini memudahkan masyarakat dalam memperoleh tumbuhan obat dengan cepat. Spesies yang paling banyak ditanam di pekarangan rumah masyarakat adalah jangau/jaringau (Acorus calamus), stajim (Justicia gendarusa), setawa (Costus speciocus), inggu (Ruta angustifolia). Inggu memiliki bau yang tajam dan menyengat, baunya dipercaya dapat mengusir iblis sehingga dianjurkan untuk ditanam di pekarangan rumah (Gambar 11).

Gambar 11 Inggu (Ruta angustifolia).

Berdasarkan data status budidaya tumbuhan obat, tumbuhan yang paling banyak digunakan masyarakat adalah tumbuhan hasil budidaya dengan persentase sebesar 54 % , tumbuhan liar sebesar 46 % (Gambar 12).

Gambar 12 Persentase status budidaya tumbuhan obat.

Tumbuhan obat yang terdapat di pekarangan, tidak semuanya merupakan hasil budidaya masyarakat, meskipun berada di pekarangan ada beberapa spesies yang tumbuh liar di tempat itu, misalnya rumput gilang-gilang (Drymaria villosa) yang dapat mengobati bengkak dan salah satu ramuan untuk pemecah darah kotor serta rumput katarak (Isotama longifolia) yang bunganya dapat mengobati sakit mata.

(31)

yang sering diderita masyarakat kebanyakan (Purwanto dan Sukara 2011). Dari persentase pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat Pauh Tinggi, spesies tumbuhan yang berasal dari hutan sebanyak 22 % ( 40 spesies). Spesies tersebut disajikan dalam Tabel 8.

Tabel 8 Tumbuhan obat yang berasal dari hutan

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili Habitus

1 Akar Pinang Areca catechu Linn Arecaceae Palem 2 Akar Undang Ficus congesta Roxb Moraceae Pohon 3 Asam Pipi/Asam susu Begonia tuberosa Lamk Begoniaceae Herba 4 Benalu The Loranthus sp Loranthaceae Liana 5 Bintung (mintung)/Uba Bischofia javanica Blume Euphorbiaceae Pohon 6 Buah Hutan/Bunghutan

7 Bungbiki

8 Bungo Tono Psychotria rhinocerotis Renw Rubiaceae Pohon 9 Cempedak Rimbo Artocarpus champeden Spreng Moraceae Pohon 10 Daun Pulut-pulut Urena lobata Linn Malvaceae Perdu 11 Daun Skutun/Skentun Paederia scandens (Lour.) Merr Rubiaceae Liana 12 Dedap Erythrina lithosperma Miq Fabaceae Pohon 13 Gambir Uncaria gambir Roxb Rubiaceae Pohon 14 Inggap Loranthus sp Loranthaceae Liana 15 Inggap/Benalu Loranthus globosus Roxb Loranthaceae Liana 16 Jambu lipo Syzygium pycnantum Merr. &

Perry

Myrtaceae Pohon

17 Kapeh/kapeh gedang Gossypium acuminantum Malvaceae Pohon 18 Kayu Kam Flacaurtia rukam Z.et.M Flacourtiaceae Pohon 19 Kayu Lawang Cinnamomum culilawan (L) Persl Lauraceae Pohon 20 Kayu Luluh Syzygium clavymirtus K.et.V Myrtaceae Pohon 21 Kayu Sangkak Alstonia scholaris (L.) R.Br Apocynaceae Pohon 22 Kayu Taksus Taxus sumatrana Taxaceae Pohon 23 Kayu Tenga Breynia macrophylla Muell.Arg Euphorbiaceae Pohon 24 Kayu Tulang Lygustrum obtisifolium Blume Sapindaceae Pohon 25 Keduduk Melastoma malabathricum Linn. Melastomataceae Perdu 26 Kelapa Cocos nucifera Linn. Arecaceae Pohon 27 Kemenyan Styrax benzoin Linn. Styracaceae Pohon 28 Kemintan/Kemiri Aleurites moluccana (L.) Willd Euphorbiaceae Pohon 29 Manggis Rimbo Garcinia bancana Miq Clusiaceae Pohon 30 Nanas Rimba Ananas comosus Merr Bromeliaceae Semak 31 Pandan Usang Pandanus furcatus Pandanaceae Semak 32 Pisang Rimbo Musa balbisiana Colla Musaceae Herba 33 Rambutan Imbo/Tokak Nephelium cuspidatum Blume Sapindaceae Pohon 34 Rumput seluluh ayam Horstedtia lycostoma K.Schum Zingiberaceae Rumput 35 Semantung Ficus padana Burm.F Moraceae Pohon 36 Semubut Amorphophallus variabilis Blume Araceae Perdu 37 Spaho Dissochhaeta sp Melastomataceae Perdu 38 Stanggi Dianella nemorosa Lamk Liliaceae Semak 39 Tubo Akar Derris elliptica Benth Leguminosae Liana 40 Wali-wali Leea indica Merr Leaceae Perdu

(32)

Salah satu tumbuhan obat yang berasal dari hutan yaitu kayu kam (Flacaurtia rukam), selain buahnya dapat dimakan langsung, daunnya juga digunakan sebagai obat disentri. Kegunaan lain buah kam sebagai bahan ramuan obat tradisional untuk menyembuhkan diare dan disentri, jus dari daun yang diekstrak lembut juga dapat digunakan sebagai bahan pengobatan sakit mata merah, sedangkan di Filipina akarnya digunakan ibu-ibu setelah melahirkan. Buahnya telah dianalisis dan setiap 100 gram mengandung kadar air 77 gram, protein 1,7 gram, lemak 1,3 gram, karbohidrat 15 gram, serat 3,7 gram dan abu 0,8 gram. Nilai energi buahnya sebesar 345 kJ/100 gram (Purwanto dan Setyowati 2011).

Kelompok penyakit

Penyakit yang paling sering dan paling banyak diidap oleh masyarakat adalah sakit kepala dan demam serta gangguan pada saluran pencernaan. Penggunaan jenis tumbuhan obat berdasarkan penyakit di atas masing-masing sebanyak 19 spesies. Namun, berdasarkan jumlah spesies terbanyak yang digunakan, penyakit kulit dan gatal-gatal menempati urutan tertinggi dengan jumlah 30 spesies (Tabel 9). Spesies yang dapat mengobati penyakit tersebut diantaranya adalah gelinggan laut (Cassia alata), kemintan (Aleurites moluccana), dan rumput mulau abang (Homalomena alba) untuk mengobati gatal karena kayu rengas/jelatang.

Tabel 9 Keanekaragaman spesies tumbuhan obat untuk mengobati berbagai kelompok penyakit

No. Kelompok penyakit Jumlah spesies (tumbuhan)

1 Penyakit kulit (gatal-gatal, campak) 30 2 Penyakit saluran pencernaaan 19 3 Sakit kepala dan demam 19 4 Perawatan kehamilan dan persalinan 15 5 Luka (Luka berdarah) 14 6 Penyakit saluran pembuangan (Ambeien,disentri,

usus buntu)

12 Bengkak (bengkak bernanah) 8

13 Penyakit lain 10

Total 187

Cara penggunaan tumbuhan obat

Cara penggunaan tumbuhan obat oleh masyarakat bermacam-macam, baik dalam bentuk ramuan maupun obat tunggal. Penggunaannya dapat langsung maupun melalui proses pengolahan seperti direbus, ditumbuk, diparut, diseduh, diperas/disaring, digoreng, dipanggang/dibakar dan lain-lain (Gambar 13).

(33)

Gambar 13 Persentase pengolahan tumbuhan obat

Direbus dan ditumbuk merupakan cara pengolahan yang paling sering dilakukan dan digoreng merupakan cara pengolahan yang paling jarang digunakan. Spesies yang pengolahannya dengan cara direbus dan diminum airnya seperti daun alpokat (Persea americana), sirsak (Annona muricata), dan daun salam (Syzygium polyanthum) yang sama-sama dapat menurunkan darah tinggi. Selain direbus untuk diminum, juga terdapat cara pengolahan yang direbus dan airnya dimandikan, biasanya sebagai ramuan (obat mandi) untuk menghilangkan penyakit berat seperti sakit menahun dan biri-biri. Ramuan obat tersebut ialah daun cempedak (Artocarpus interger ) yang luruh atau jatuh ke tanah, dicampur dengan daun durian (Durio zibethinus), daun jeruk purut (Citrus hystrix), daun jambu lipo (Syzygium pycnantum), dan daun temelu.

Pengolahan tumbuhan obat dengan cara ditumbuk digunakan untuk pemakaian di luar, yaitu dengan dioles atau ditempel. Penggunaan dengan cara ini biasanya untuk mengobati luka, bengkak, bisul dan gatal-gatal pada kulit. Contoh spesies tumbuhan yang penggunaannya ditumbuk dan ditempel/dioles adalah krinyuh (Eupatorium inulifolium), nilam (Pogostemon cablin), gelinggan laut (Cassia alata), gilang-gilang (Drymaria villosa), dan lain-lain.

(34)

Gambar 14 Minyak urut tradisional masyarakat

Selain cara pengolahan tumbuhan obat di atas, terdapat pula tumbuhan obat yang langsung digunakan tanpa mengalami proses pengolahan, misalnya buah melodi (Solanum muricatum), buahnya dapat langsung dimakan dan berguna untuk mencegah darah tinggi, rumput cepetih padang (Vertiveria zizanoides) akarnya yang berbau seperti balsem dapat mengobati pilek dengan cara disumbat atau dicium ke hidung, inggu (Ruta angustifolia) daunnya dapat langsung dilecut (dipukul/dikibas) untuk mengatasi kesurupan, dan lainnya. Satu spesies menarik yang dapat langsung digunakan khasiatnya adalah daun pandan/pandan wangi (Pandanus immersus) sebagai penghilang mual khususnya bagi wanita hamil yang susah makan, caranya daun pandan dikalungkan saat makan, aromanya dipercaya sebagai tangkan/penahan muntah dan menghilangkan mual.

Kearifan Tradisional Masyarakat dalam Pemanfaatan Tumbuhan

Sumber daya hayati merupakan bagian dari kebudayaan komunitas masyarakat. Pemanfaatan dan kelestarian sumber daya hayati ini sangat erat kaitannya dengan kearifan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Kearifan tradisional sering diistilahkan dengan sebutan pengetahuan tradisional atau pengetahuan lokal. Kearifan tradisional menurut Keraf (2002) adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan, serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.

(35)

(hutan) menyediakan kebutuhan mereka sewaktu diperlukan. Masyarakat Pauh Tinggi juga memiliki kepercayaan untuk selalu membawa kemenyan setiap masuk ke dalam hutan agar tidak tersesat. Ketika ada yang tersesat, kemenyan tersebut dibakar dan bau asapnya dapat dengan mudah ditemukan.

Pola tanam sela merupakan sistem penanaman selang-seling antara kopi dan kayu manis yang dapat dilakukan pada periode waktu yang bersamaaan. Pola tanam ini bertujuan untuk mengoptimalisasi pemanfaatan lahan dengan tetap menjaga agar tanaman memperoleh siraman sinar matahari yang cukup selama pertumbuhannya. Indrizal (1997) menjelaskan sifat pertumbuhan tajuk (kanopi) kedua tanaman tersebut berbeda tetapi saling mengisi. Pertumbuhan tanaman kopi berpohon rendah tetapi berdaun lebih rimbun, melebar dan datar. Sementara pertumbuhan tanaman kayu manis, pohon, cabang, dahan dan daunnya cenderung menjulang tinggi. Bila keduanya ditanam berdampingan maka kopi mengisi ruang di bagian bawah dan kayu manis mengisi di ruang bagian atas. Masyarakat Pauh Tinggi masih menerapkan sistem tanam sela ini pada ladang kayu manis mereka, bahkan tidak hanya dengan tanaman kopi, kayu manis pun juga dapat disela dengan kentang terutama oleh masyarakat yang tidak memiliki cukup banyak lahan (Gambar 15).

Gambar 15 Ladang kayu manis yang disela dengan kentang

Larangan menebang pohon pauh termasuk salah satu bentuk upaya pelestarian pohon pauh yang masih dipercaya dan dihormati oleh masyarakat. pohon pauh merupakan cikal-bakal desa tersebut. Nama desa Pauh Tinggi diambil dari nama pohon pauh yang berada di puncak bukit dan tempat tertinggi ketika lokasi desa ini ditemukan pertama kali. Oleh karena itu masyarakat mempunyai pantangan untuk tidak menebang pohon pauh ketika membuka atau merambah hutan untuk berladang.

(36)

masih selalu mengadakan ritual adat “Gantung Luci” yang merupakan upacara adat menghormati padi oleh masyarakat Kerinci, namun saat ini sudah jarang dilakukan di daerah Kerinci lainnya. Gantung Luci diadakan pada awal musim padi menguning yang dimaksudkan untuk keselamatan padi hingga saat panen nantinya.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Masyarakat Desa Pauh Tinggi memanfaatkan tumbuhan pangan dan tumbuhan obat sebanyak 236 spesies dari 64 famili. Teridentifikasi sebanyak 90 spesies tumbuhan pangan dari 35 famili dan 187 spesies tumbuhan obat dari 58 famili. Tumbuhan tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan dan obatnya sehari-hari berdasarkan pengetahuan tradisionalnya. Data ini menunjukkan bahwa masyarakat Desa Pauh Tinggi dapat mandiri bahkan berdaulat di bidang pangan dan obat.

Saran

1. Pengadaan penyuluhan maupun pelatihan/pengembangan pangan dan obat keluarga (POGA) di Desa Pauh Tinggi.

2. Budidaya tumbuhan pangan dan obat yang berasal dari hutan serta pemanfaatan tumbuhan potensial dan bernilai ekonomi seperti keladi (pembuatan keripik keladi) dan kayu manis (sirup kulit manis) yang dapat dijadikan usaha kecil dan menengah (UKM) serta menambah tingkat pendapatan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Ayu FAP. 2011. Etnobotani tumbuhan pangan sekitar hutan masyarakat Suku Dayak Kenyah di Taman Nasional Kayan Mentarang, Kalimantan Timur. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan.

[Dephut RI] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2009. Pangan Dari Hutan (Kontribusi Sektor Kehutanan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional). Jakarta (ID): Seminar Nasional “Hari Pangan Sedunia”.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta (ID): Balai Pustaka.

Desuciani A. 2012. Etnobotani pangan dan obat masyarakat sekitar Kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (studi kasus pada Suku Lampung Pesisir) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan. Dewi N. 2002. Perbanyakan dan pelestarian plasma nutfah talas (Colocasia

(37)

Fakhrozi I. 2009. Etnobotani masyarakat Suku Melayu Tradisional di sekitar Taman Nasional Bukit Tugapuluh: studi kasus di Desa Rantau Langsat, Kecamatan Batang Gangsal, Kabupaten Indragiri Hulu, Propinsi Riau [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan.

Hidayat S. 2009. Kajian etnobotani masyarakat Kampung Adat Dukuh Kabupaten Garut, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan.

Indrizal Edi. 1997. Ekstensifikasi perkebunan kayu manis rakyat dan perubahan sosial di pedesaan (studi kasus di Desa Sukokayo Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana. Jansen PCM. 1992. Artocarpus integra Merr. dalam Verheij EMW, Coronel RE

(Eds). Plant Resources of South-East Asia No 2: Edible Fruits and Nuts. Bogor (ID) : Prosea Foundation. hlm 91-94.

Keraf AS. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta (ID): Kompas.

Koentjaraningrat. 1994. Pengantar Antropologi Sosial. Jakarta (ID): Balai Pustaka.

Koswara S. 2010. Jahe, rimpang dengan sejuta khasiat. Dalam: http://khasiatjahe.blogspot.com. [23 Oktober 2012].

Laporan Tahunan Desa Pauh Tinggi Tahun 2011. Desa Pauh Tinggi, Kecamatan Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi.

Lestari R. 2011. Kajian etnobotani masyarakat Suku Kerinci di sekitar Hutan Adat Bukit Tinggai Desa Sungai Deras, Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan.

Moeljopawiro S, Manwan I. 1992. Pengembangan Pemanfaatan Tanaman Pangan di Indonesia. Dalam: Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani. Prosiding. Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani. Cisarua-Bogor, 19-20 Februari 1992. Jakarta (ID): Perpustakaan Nasional RI. Hal: 288-299. Muzzazinah. 1995. Etnobotani Puring (Codiaeum variegatum (Linn.) Blume) di

Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam: Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani II (Buku 2). Prosiding. Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani. Yogyakarta, 24-25 Januari 1995. Jakarta (ID): Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Kerjasama dengan Puslitbang Biologi (LIPI). Hal: 243-249. Purnomo, Purnamawati H. 2007. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul.

Jakarta (ID): Swadaya.

Purwanto Y, Setyowati FM. 2011. Keanekaragaman Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu Sebagai Buah-buahan Dalam Purwanto Y, Walujo EB. Wahyudi A (Ed.) Keanekaragaman Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu Kawasan Lindung PT Wirakarya Sakti Jambi. Jakarta (ID): LIPI Press, anggota Ikapi

Purwanto Y, Sukara E. 2011. Hasil Hutan Bukan Kayu (NTFPs): Terminologi dan Perannya Bagi Masyarakat di Sekitar Hutan Dalam Purwanto Y, Walujo EB. Wahyudi A (Ed.) Valuasi Hasil Hutan Bukan Kayu Kawasan Lindung PT Wirakarya Sakti Jambi. Jakarta (ID): LIPI Press, anggota Ikapi.

(38)

Rahayu S. 2013. Pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat oleh masyarakat Kampung Sinarwangi di sekitar hutan Gunung Salak Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan.

Rona. 2011. Kajian pengembangan kampung konservasi tumbuhan pangan dan obat keluarga: studi kasus di Kampung Cigeurut, Desa Cipakem, Maleber, Kuningan, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan.

Subhadrabandhu S, Schneemann JMP, Verheij EMW. 1992. Durio zibethinus Murr. dalam Verheij EMW, Coronel RE (Eds). Plant Resources of South-East Asia No 2 : Edible Fruits and Nuts. Bogor (ID): Prosea Foundation. hlm 157-161.

Spjut R. 2003. Overview of Study of Taxus. Dalam: http://www.worldbotanical.com/taxus.html. [21 Februari 2013]

Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung (ID): Alfabeta. Wargiono J. 1980. Ubi Jalar dan Cara Bercocok Tanamnya. Bogor (ID): LP3. Zuhud EAM, Ekarelawan, Riswan S. 1994. Hutan Tropika Indonesia Sebagai

Sumber Keanekaragaman Plasma Nutfah Tumbuhan Obat dalam Zuhud EAM, Haryanto (Ed.) Pelestarian Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan IPB, Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan.

Zuhud EAM, Damayanti EK, Hikmat A. 2011. Pengembangan Desa Konservasi Hutan Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Dan Kemandirian Obat Keluarga : Strategi Pembangunan Masyarakat Indonesia dalam Era Globalisasi dengan Berbasis Pengembangan Etnobiologi dan IPTEKS

Konservasi Keanekaragaman Hayati Lokal

(39)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sungai Penuh, Kerinci pada tanggal 13 Juli 1990 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Evaraizal Mirza dan Ibu Jalidar. Penulis memulai pendidikannya pada tahun 1994 di TK Pertiwi Sungai Penuh, kemudian pada tahun 1996 melanjutkan sekolah di SD Negeri No 166 Sungai Penuh. Tahun 2002-2005 penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Sungai Penuh dan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 2 Sungai Penuh pada tahun 2005-2008. Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.

Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis bergabung sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) dan bagian dari Kelompok Pemerhati Burung (KPB) dan Fotografi Konservasi (FOKA). Penulis juga merupakan anggota divisi Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fahutan IPB periode 2009/2010. Selain organisasi kemahasiswaan kampus, penulis juga aktif di organisasi mahasiswa daerah IMKB (Ikatan Mahasiswa Kerinci Bogor) sebagai sekretaris umum pada periode 2011-2012 dan kepala divisi Informasi dan Komunikasi pada periode 2010-2011. Penulis juga bergabung dalam Forum Silaturahmi Mahasiswa (FOSMA) ESQ 165 IPB dan FOSMA Regional Bogor dari tahun 2008 hingga sekarang. Selain itu, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Sosiologi Umum tahun ajaran 2010/2011 hingga 2011/2012 dan asisten mata kuliah Konservasi Tumbuhan Obat dan Hutan Tropika tahun 2012/2013.

Penulis pernah melaksanakan praktek dan kegiatan lapangan antara lain Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam Leuweng Sancang dan Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat (2010), Eksplorasi Flora, Fauna dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat (2011), Ekspedisi Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) di Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi (2011), Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi, Jawa Barat (2011), dan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Wasur, Merauke, Papua (2012).

(40)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillaahirobbil‘alamiin. Puji syukur kehadirat Allah SWT atas

segala kehendak dan rencana-Nya pada penulis selama masa penyelesaian karya ilmiah (skripsi) ini. Lembar terakhir khusus dipersembahkan sebagai ungkapan penghargaan penulis kepada pihak-pihak yang telah membantu terlahirnya karya ilmiah ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Papa, Mama, Adik-adik (Jeff Ahmed Mirza dan F.M Melati) atas segala doa, dukungan, pengorbanan dan kasih sayangnya. Bersyukur karena terlahir dan tertakdir menjadi bagian dari keluarga tercinta ini.

2. Bapak Dr Ir Agus Hikmat, MScF dan Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS atas bimbingan, arahan, waktu, saran, dan nasehat yang telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi.

3. Bapak Dr Ir Trisna Priadi, MEngSc selaku dosen penguji yang telah memberikan saran, masukan, dan ilmu baru bagi penulis serta Ibu Resti Meilani SHut Msi atas saran dan perbaikannya.

4. Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat yang telah memberi izin penelitian, Om Nazmudin, Om Nandang Gumilar, Om Dedy, dan semua pihak yang telah membantu dalam perizinan dan administrasi selama penelitian.

5. Wo Muhammadiyah, Pak Zubir (Ibnu Hajar), Nyantan Miko (Salim) dan Antan Mohd. Bakri yang telah membantu dan mendampingi selama di lapangan.

6. Mak Cik, Mak Ki, T‟ Lona, Adik Tiara, Adik Wawan, Adik Kayla dan keluarga lainnya yang telah membantu dan bersedia direpotkan selama pengambilan data dan pembuatan herbarium.

7. Bapak Gunawan Pasaribu, Pak Edi, dan Bapak Anggana dari Balitbang Kehutanan atas bantuan dan kemudahan dalam identifikasi herbarium. 8. Keluarga besar Ikatan Mahasiswa Kerinci Bogor (IMKB) sebagai keluarga

kedua bagi penulis atas dukungan, kebersamaan, dan kekeluargaan di perantauan. Bersama kalian lebih dari sekedar duga.

9. Kakak drh. Nurry Wulan Oktavera, drh. Deny Juniwati, Kak Occy Bonanza, SP MT, Feby Yolanda Wulandari atas kebersamaan, kekeluargaan, dan kegilaan di Radar 36 nan penuh kenangan.

10.Sahabat-sahabat sedari TPB: Gebry Ayu Diwandani, SE, Dewi Nurafifah, SSi, Putri Previa Yanti, SKom atas kebersamaan, semangat dan dukungan tak henti hingga pendampingan dalam penyelesaian tugas dan tanggung jawab terakhir ini. 

11.Teman seperjuangan Heru Anggara dan Salwa Edi, skripsi ini sebagai bukti atas komitmen dan janji kita empat tahun lalu. Semangat menabung dan menyelesaikan! 

Gambar

Gambar 1 Peta lokasi penelitian
Gambar 2 Responden tertua (Susah Galo)
Gambar 3 Bungo sabung (Nicolaia speciosa)
Gambar 4 (a) dan (b) Cabe suhin dari daun surian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kontribusi Retribusi daerah terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) selama lima tahun dalam anggaran tahunnya 2007 s/d 2011 oleh Dinas Pengelola Keuangan

JISPO: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol.8 No. Membandingkan hasil pekerjaan dengan standard dan memastikan perbedaan. Langkah nomer dua proses pengawasan terdiri

Sensor suhu dikaji dengan mengamati perubahan intensitas laser yang dilewatkan pada balok kaca yang berisi ferofluida kromium ferit6. Salah satu teori menyebutkan

penguatan/pelemahan kinerja, sehingga dalam kajian ini diberi judul “Pengaruh Person Organization Fit dan Organizational Citizenship Behavior terhadap Kinerja Pegawai

1 Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga dikpora@bantulkab.go.id √ 2 Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bantul sosial@bantulkab.go.id √ 3 Dinas

Majalengka, 31 Oktober 2011 Sub Total Kelas XII. Total Seluruh Kelas Sub Total

Dengan demikian, peneliti berharap, penelitian ini setidaknya mampu mendeskripsikan persoalan utama yang ingin peneliti ketahui dari pemberitaan kasus pasir

Rerata semua butir variabel status penggunaan informasi sebesar 2,80; menunjukkan rendahnya keterpakaian statistik Sipus V3 untuk pengambilan keputusan yaitu penyusunan