• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak

Titik temu upaya konservasi serangga dan manajemen hutan berkelanjutan dapat dijembatani melalui pendekatan indikator spesies. Kumbang tinja (Coleoptera: Scarabaeinae) merupakan taksa fokal serangga yang dapat mengindikasikan perubahan habitat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi indikator spesies kumbang tinja pada gradien gangguan habitat di Hutan Lambusango, Buton, Sulawesi. Dari bulan Juni sampai Agustus 2013, kumbang tinja telah dikoleksi dari level gangguan rendah, sedang, dan tinggi, tiga ulangan pada tiap level gangguan (n=9 lokasi). Tiap lokasi terpasang 10 perangkap jebak dengan umpan dari kotoran sapi, sepanjang transek 100 m, selama 48 jam, jarak antar transek 500 m. Total 1710 individu dari 26 spesies, dan 2 sub spesies kumbang tinja terkoleksi. Onthophagus ribbei, Gymnopleurus planus, O. griseoaeneus merupakan indikator spesies dengan kontribusi terbesar pada habitat dengan tipe gangguan level rendah, sedang, dan tinggi. G. planus, O. ribbei, O. rosenbergi divergens, Copris erratus mayasukii, dan O. wallacei

ditemukan berkontribusi pada habitat dengan tingkat gangguan sedang dan tinggi. Perbedaan karakter ekologi dan endemisitas dari tiap spesies menentukan upaya konservasi dan manajemen habitat hutan. Penelitian ini menemukan kumbang tinja di hutan dataran rendah sekunder menjadi indikator terhadap tiga level gangguan habitat dan upaya konservasi dan manajemen habitat kumbang tinja berbasis pendekatan konservasi biogeografi .

Kata kunci: gangguan, hutan dataran rendah, indikator, kumbang Scarab, Sulawesi

Latar Belakang

Titik temu upaya konservasi keanekaragaman hayati dan manajemen hutan berkelanjutan dapat dijembatani melalui pendekatan indikator keanekaragaman hayati (Lindenmayer et al. 2000). Lebih lanjut, Lindenmayer et al. (2000) menguraikan bahwa penetapan indikator dapat didasarkan pada dua kategori, yaitu indikator keanekaragaman hayati berdasarkan taksa dan indikator keanekaragaman hayati berdasarkan struktur. Fungsi dan kriteria tiap indikator berbeda. Indikator keanekaragaman hayati berdasarkan struktur terfokus pada

upaya manajemen praktis melalui pengkajian perubahan struktur ekologi, dengan kriteria meliputi kompleksitas dan komposisi spesies tumbuhan pada daerah

logging, konektivitas dan heterogenitas. Indikator keanekaragaman hayati berdasarkan taksa merujuk pada indikator spesies yang terdiri dari dua terminologi, yaitu indikator keanekaragaman hayati dan indikator perubahan abiotik dalam proses ekologi. Indikator keanekaragaman hayati merujuk pada kriteria spesies kunci dan spesies dominan, sedangkan spesies yang mampu hidup pada lingkungan yang spesifik dan mampu merespons pada level gangguan dikelompokkan sebagai indikator proses ekologi.

Menurut BIP (2010), implementasi pendekatan indikator keanekaragaman hayati dapat diterjemahkan ke dalam empat area focal, meliputi status dan trend

komponen keanekaragaman hayati, penggunaan berkelanjutan, ancaman terhadap keanekaragaman hayati, serta integritas ekosistem dan layanan dan jasa ekosistem. Siddig et al. (2016) merangkum penggunaan indikator spesies dalam mengukur keberlanjutan keanekaragaman hayati telah berkembang dengan pesat, terutama dalam kaitannya dalam monitoring perubahan ekosistem pada jurnal Ecological Indicators. Pada tahun 2001 hingga 2014, sekitar 50% dari 817 artikel ilmiah menggunakan hewan sebagai indikator, dengan jumlah terbesar dari kelompok invertebrata (70%), dan sekitar 80% artikel menggunakan grup spesies sebagai indikator (Siddig et al. 2016). Perubahan terminologi dari sudut pandang indikator spesies tunggal menjadi grup spesies merupakan suatu terobosan dalam memahami keanekaragaman hayati terutama dalam kuantifikasi ekspresi komunitas secara general dan jelas terhadap perubahan ekosistem (Favila dan Halffter 1997).

Di Indonesia, integrasi pendekatan indikator spesies dalam manajemen konservasi keanekaragaman hayati telah termaktub dalam dokumen nasional “Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 8- 8” (Mardiastuti et al.

2008). Kebijakan ini telah mengakomodir 22 spesies invertebrata sebagai spesies prioritas nasional, dengan rincian 19 spesies kupu-kupu (ordo Lepidoptera) dan 3 spesies lebah (ordo Hymenoptera), sedangkan untuk ordo Coleoptera masih belum terdokumentasi. Di lain sisi, secara global, ordo Coleoptera merupakan taksa serangga terbesar, yakni mencapai ¼ dari total spesies yang ada di bumi (Gerlach

et al. 2012).

Secara kontras, terobosan dalam mengusahakan perlindungan keanekaragaman hayati juga berhadapan dengan tingginya gangguan manusia terhadap hutan tropis. Chemonics International (2013) menyatakan deforestasi hutan Indonesia terbesar ditemukan pada hutan primer, yaitu sebesar 6.02 juta ha dengan rerata deforestasi tahunan sebesar 47.600 ha, dan sekitar 3.04 juta ha deforestasi terjadi pada hutan dataran rendah. Pulau Sulawesi menjadi daerah penyumbang deforestasi hutan dataran rendah terbesar ketiga, yaitu sebesar 247.000 ha, setelah pulau Sumatra (1,2 juta ha) dan pulau Kalimantan (1,3 juta ha). Sebagai salah satu area keanekaragaman hayati Indonesia dengan tingkat endemisitas yang tinggi (98% endemisitas tanpa menghitung kelompok tikus) (Whitten et al. 1987), deforestasi hutan di Pulau Sulawesi menyebabkan penurunan keanekaragaman dan distribusi 72 spesies mamalia endemik, 79 spesies tikus dan 91 spesies burung endemik, serta serangga dan flora hutan (Clough et al. 2010).

Kumbang tinja (Coleoptera: Scarabaidea) merupakan salah satu grup taksa penting serangga dalam monitoring keanekaragaman hayati dan konservasi (Spector 2006). Gerlach et al. (2012) melaporkan sekitar 1500 spesies kumbang tinja terkategori sebagai Indeks Sampel Redlist. Taksa ini juga menjadi indikator gangguan habitat pada habitat ekosistem hutan hujan tropis (Davis et al. 2001; Aguilar-amuchastegui dan Henebry 2007), maupun ekosistem savanah (Mcgeoch

et al. 2002). Pada hutan hujan tropis, kelompok kumbang tinja mampu mengindikasikan perubahan habitat melalui beberapa fakta, meliputi terbentuknya asosiasi spesies yang jelas dengan biotope atau jenis vegetasi tertentu, respons asosiasi spesies kumbang tinja yang berbeda antar level gangguan habitat, dan pola keanekaragaman spesies yang berbeda berdasarkan nilai kesamaan spesies (Davis et al. 2001). Aguilar-amuchastegui dan Henebry (2007) menambahkan struktur guild komunitas kumbang tinja juga dapat menjadi indikator gangguan habitat.

Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menguraikan struktur komunitas kumbang tinja, mengidentifikasi kelompok kumbang tinja yang dapat menjadi indikator keanekaragaman hayati pada berbagai level gangguan habitat di hutan Lambusango, dan mempelajari implikasi indikator spesies pada upaya konservasi dan manajemen habitat kumbang tinja. Diharapkan dengan adanya penelitian ini, dapat menjadi sumber informasi baru bagi perkembangan ilmu konservasi serangga khususnya kumbang tinja pada habitat hutan pada berbagai tingkat gangguan habitat, dan dapat membantu dalam perumusan upaya manajemen dan konservasi kumbang tinja.

Metode Penelitian Waktu dan Lokasi

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2013 sampai Januari 2015 meliputi pengambilan sampel kumbang tinja di lapang serta identifikasi dan analisis tanah di laboratorium. Penelitian lapang dilakukan di kawasan Hutan Lambusango (5°24'S, 123°07'E), Pulau Buton, Sulawesi Tenggara (Gambar 9). Penyortiran spesimen, identifikasi dan analisis data dilakukan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Validasi hasil identifikasi dilakukan di Laboratorium Entomologi, Zoologi, LIPI, Cibinong. Pengolahan data dan penyusunan tesis dilakukan bulan Februari hingga bulan September 2015.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan terdiri atas alkohol 96%, air, garam, sabun, 2400 gram kotoran sapi yang segar, tanah dan lem. Alat yang digunakan meliputi gelas plastik (tinggi 9 cm, diameter 6,5 cm), plastik penutup perangkap (diameter 11,8 cm), kain kasa, satu set lidi (panjang 20 cm), sekop kecil, tali kasur, karet gelang pena marker, pinset, saringan, plastik spesimen, jarum serangga, pinning block,

Gambar 9 Peta lokasi penelitian di hutan Lambusango, pulau Buton, Sulawesi Tenggara

Metode Pengambilan Sampel Kumbang Tinja

Pengambilan sampel kumbang tinja dilakukan pada tiga tipe gangguan habitat di kawasan hutan sekunder Lambusango. Penggolongan gangguan habitat dibedakan berdasarkan kompleksitas strata vegetasi, tutupan tajuk dan aksesibilitas (Tabel 1). Metode yang digunakan merupakan kombinasi metode transek dan metode perangkap jebak dengan umpan (baited-pitfall trap) (modifikasi dari Shahabudin et al. 2005). Penentuan transek di lokasi hutan disesuaikan dengan alur transek dan grid yang telah ditetapkan oleh Operation Wallacea (Seymour 2004). Sedangkan, pada lokasi kebun jambu mete ditentukan langsung pada saat di lapangan. Pada tiap lokasi dilakukan pengambilan sampel kumbang tinja dengan metode yang sama dan diperlukan satu hari untuk menyelesaikan pemasangan atau pengambilan sampel. Apabila sebelum dan sesudah pemasangan perangkap jebak menemui hambatan seperti hujan deras, maka sampling dibatalkan serta dilakukan pergantian perangkap dan umpan. Spesimen yang terjebak dalam perangkap sebelumnya tidak dikoleksi

Persiapan Perangkap Jebak dengan Umpan

Koleksi sampel kumbang tinja dilakukan dengan menggunakan metode perangkap jebak dengan umpan. Perangkap jebak yang digunakan terdiri dari gelas plastik, plastik penutup dan tripod penyangga plastik penutup. Setiap plastik penutup perangkap dibuat tiga titik lubang berbentuk segitiga untuk peletakkan tripod dan satu lubang ditengah sebagai tempat gantung umpan. Tripod terbuat dari tiga buah lidi yang direkatkan dengan karet pada pada bagian ujung atas lidi.

Ujung bawah tiap lidi dibuat tajam/runcing sehingga mudah dibenamkan ke dalam tanah. Umpan yang digunakan yaitu kotoran sapi yang masih segar (20 gram/perangkap) (Shahabuddin et al. 2010). Kotoran sapi dibungkus dengan kain kasa (10 x 10 cm), diikat dengan tali kasur dan ditautkan pada lubang di tengah plastik penutup perangkap. Cairan perangkap dibuat dari campuran air, garam dan sabun. Untuk air dalam satu botol ukuran 600 ml, garam yang digunakan sejumlah ½ sendok teh dan sabun secukupnya, lalu campuran ini dikocok. Untuk setiap lokasi dibutuhkan 3 buah botol cairan perangkap.

Tabel 6 Karakteristik lokasi penelitian

Tipe Ganggua n Habitat Karakteristik habitat* Luas, Koordinat, Ketinggian*

Jarak (Waktu Tempuh)0, Aksesibilitas & Aktifitas Manusia

Rendah Hutan sekunder tidak terganggu, pohon (D> 30 cm dbh, T> 20 m), rotan 1.200 Ha (total 35.000 ha) 5°27'S,122°95'E (345-431 m dpl) ± 5.14 km (3-4 jam), jalan setapak, menyebrangi 4 sungai besar,

pengambilan madu (tidak rutin) dan rotan

Sedang Hutan sekunder terganggu, pohon (D >10 cm dbh, T10-20 m), rotan 100 Ha (total 810 Ha) 5°18'S,122°88'E (172-259 m dpl) ± 1.5 km (45 menit), jalan setapak permanen, dekat jalan raya, perkebunan & pemukiman, pengambilan rotan & kayu (rutin) Tinggi Perkebunan jambu

mete yang tidak terawat, rumput

2 Ha

5°18'S,122°89'E (86-172 m dpl)

± 1.5 km (30 menit), jalan setapak, dekat jalan raya & pemukiman, tempat penggembalaan sapi (rutin)

Sumber :*(Seymour 2004; Singer dan Purwanto 2006). D=diameter; T=tinggi; odari desa terdekat

Sampling Kumbang Tinja

Pada tiap lokasi dilakukan pengambilan sampel kumbang tinja dengan menggunakan perangkap jebak dengan umpan. Skematik pengambilan sampel kumbang tinja dapat dilihat pada Gambar 10.

Pada tiap luasan habitat, dipasang 30 gelas plastik beserta umpan. Pemasangan gelas dilakukan secara sistematis yaitu dalam suatu habitat ditentukan transek sepanjang 100 m, dipasang 10 gelas perangkap, dengan jarak antar perangkap sejauh 10 m. Metode pemasangan yang sama diulang sebanyak dua kali, dengan jarak antar transek yaitu 500 m. Tiap gelas perangkap dibenamkan sedalam 9 cm. Permukaan gelas harus sejajar permukaan tanah. Lalu, gelas perangkap diisi cairan perangkap sebanyak kurang lebih 50 ml. Kemudian, plastik penutup perangkap yang telah dipasang tripod dan umpan ditanam di atas gelas plastik. Jarak antar umpan dengan bibir gelas plastik 2 cm.

Koleksi spesimen dilakukan setelah 48 jam pemasangan perangkap dan hanya dilakukan sekali pengambilan spesimen pada setiap transek. Selanjutnya, spesimen dibersihkan dengan air, disortir dan disimpan dalam larutan alkohol 96 %. Lalu dilanjutkan dengan identifikasi di laboratorium.

Gambar 10 Skema pengambilan sampel kumbang tinja di hutan Lambusango

Identifikasi Kumbang Tinja

Identifikasi dilakukan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen Proteksi Tanaman IPB. Kunci identifikasi spesies kumbang tinja merujuk pada kunci identifikasi Boucomont (1914), Balthasar (1963), Krikken dan Huijbregts (2008, 2009, 2011), Ochi dan Araya (1992), serta Ochi dan Kon (2004). Identifikasi dilakukan sampai pada tingkatan genus dan spesies. Validasi hasil identifikasi dikoordinasikan dengan Laboratorium Entomologi, Zoologi- LIPI di Bogor.

Analisis Penelitian

Data hasil penelitian ditabulasi dengan menggunakan microsoft excel. Pengolahan data menggunakan paket vegan dari software R-Statistic (R Development Core Team 2011), program iNEXT (Hsieh et al. 2014) dan program PRIMER. Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik non-parametrik, untuk analisis estimasi spesies melalui pendekatan rarefaction dan ekstrapolasi berdasarkan Hills Number (Chao et al. 2014), dan analisis penentuan spesies indikator dengan pendekatan similarity of percentage (SIMPER) dari indeks Bray-Curtis (Clarke 1993).

Analisis Kesamaan Komunitas

Pendekatan rarefaction dan ekstrapolasi berdasarkan bilangan Hills merupakan alat ukur estimasi keanekaragaman yang menggabungan pendekatan kelimpahan individu (abundance based) dan koleksi sampel (incidence based) yang dirumuskan dalam metode :

Keterangan :

D = bilangan Hills

pi = frekuensi relative “true” dari tiap spesies ke-i

q = bilangan integrasi non-negatif sebagai penentu Hills number s = jumlah spesies 500 m 0 m 1000 m 100 m 10 m tanah umpan

Semakin tinggi nilai q, maka indeks keragaman spesies menurun. Jika q=0, maka nilai D merupakan nilai ordinari estimasi kekayaan spesies dari bilangan Hills. Jika q=1, maka nilai D setara dengan nilai eksponensial entropi indeks Shanon-Wiener. Jika q=2, maka nilai D setara dengan nilai invers dari indeks konsentrasi Simpson yang menerangkan peluang dominansi spesies.

Analisis Indikator Spesies

Analisis indikator spesies dihitung berdasarkan prinsip persentase kesamaan spesies (similarity of percentage/SIMPER) dari indeks Bray-Curtis (Clarke 1993). Indeks Bray-Curtis digunakan untuk mengukur ketidaksamaan jarak antar spesies berdasarkan data kelimpahan individu, yang dirumuskan sebagai berikut:

SIMPER merupakan analisis untuk menghitung rata-rata kontribusi individu pada nilai kesamaan spesies dari Indeks Bray-Curtis, yang dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan :

Dj,k = Indeks Bray-Curtis pada lokasi j dan k

= kontribusi spesies ke-i

yij = jumlah individu spesies ke-i pada lokasi j yik = jumlah individu spesies ke-i pada lokasi k

Hasil

Komunitas Kumbang Tinja

Kekayaan spesies kumbang tinja yang ditemukan pada penelitian ini meliputi 26 spesies dari sub famili Coprinae dan Scarabaeinae, dengan total 1710 individu (Tabel 7). Kumbang tinja ini dikategorikan ke dalam suku Coprini-genus

Copris (n=124, S=2), suku Gymnnopleurini-genus Gymnopleurus (n=689, S=1) dan Onthophagini-genus Onthophagus (n=897, S=23). Spesies O. ambang dan O. rosenbergi teridentifikasi masing-masing menjadi 2 sub spesies, yaitu O. ambang ambang, O. ambang morowali, O. rosenbergi rosenbergi, dan O. rosenbergi divergen.

Estimasi Kekayaan Spesies Kumbang Tinja

Pendekatan gabungan interpolasi dan ekstrapolasi berbasiskan bilangan Hill dalam menduga kekayaan spesies kumbang tinja di Hutan Lambusango menunjukkan nilai yang bervariasi (Gambar 11; Lampiran 5). Rarefaction

(interpolasi) dan prediksi (extrapolasi) kekayaan spesies telah mencapai titik keseimbangan pada habitat dengan tingkat gangguan rendah (Sobs=15; 0Dest=0 spesies). Peluang penambahan jumlah spesies baru sangat signifikan meningkat pada habitat dengan tingkat gangguan sedang (Sobs= 21; 0Dest=8 spesies) dan habitat dengan tingkat gangguan tinggi, (S obs=18; 0Dest=18 spesies).

Tabel 7 Kekayaan spesies kumbang tinja pada gradient gangguan habitat

Suku Spesies Tingkat gangguan habitat Deskripsi

Rendah Sedang Tinggi Subfamili : Coprinae

Coprini Copris celebensis + + - Endemik Sulawesi (ES)^

Copris erratus masayukii + + + ES

Onthop-hagini

Onthophagus ambang - + + ES; Spesies Hutan (SH)** O. ambang ambang - - + ES; Spesies Hutan (SH)** O. ambang morowali - + - ES; Spesies Hutan (SH)** Onthophagus aper + + - ES

Onthophagus aureopilosus + + + ES; SH**@ Onthophagus chandrai - + -

Onthophagus curvicarinatus + + +

Onthophagus discedens + - -

Onthophagus fulvus + + + ES

Onthophagus fuscotriatus - + - ES; SH –area terbuka**@ Onthophagus griseoaeneus + + + ES; SH dataran

rendah-area terbuka** Onthophagus holosericus + + + ES@

Onthopagus limbatus - - + ES;areaterbuka*@

Onthophagus matanyo - + - ES; SH dataran rendah*

Onthophagus mekara - - + ES; SH dataran rendah*

Onthophagus ribbei + + + ES@

Onthophagus rosenbergi + + + ES; SH**

O. rosenbergi divergens + + + ES; SH**(sub spesies)

O. rosenbergi rosenbergi + + + ES; SH**(sub spesies)

Onthophagus sarasinorum - - + ES; SH** Onthophagus sembeli - - + ES; SH** Onthophagus schwaneri - + - ES

Onthophagus scrutator + + + ES,@

Onthophagus sugihartoi + + -

Onthophagus toraut - + + ES: SH**

Onthophagus vanderblomi - + + ES; SH dataran rendah*

Onthophagus wallacei + + + ES@ Subfamili: Scarabaeinae Gymno pleurini Gymnopleurus planus + + + @ Total 15 21 18

Sumber: ^(Boucomont 1914; Balthasar 1963; Krikken dan Huijbregts 2008, 2009,2011; Ochi dan Araya 1992; Ochi dan Kon 2004), *(Krikken dan Huijbregts 2009), ** (Krikken dan Huijbregts 2011),@ditemukan pada kotoran anoa (Shahabuddin et al. 2010)

Spesies kumbang tinja menyebar lebih merata (q=1) pada habitat dengan tingkat gangguan rendah (1D obs=8.770; 1Dest=8.944) daripada habitat dengan gangguan sedang (1Dobs=5.259; 1Dest=5.335) dan gangguan tinggi (1Dobs=8.120; 1

Dest=8.519). Konsentrasi spesies kumbang tinja ditemukan lebih besar pada habitat dengan tingkat gangguan sedang (2Dobs=2.775; 2Dest=2.780) daripada habitat dengan tingkat gangguan rendah (2Dobs=6.848; 2Dest=6.955) dan gangguan tinggi (2Dobs=5.989; 2Dest=6.080).

Gambar 11 Interpolasi dan ekstrapolasi kekayaan spesies kumbang tinja berdasarkan indeks Hill Number pada tiga tingkat gangguan habitat. Daerah bayangan berwarna dari tiap nilai q merupakan daerah selang kepercayaan 95% yang diperoleh dari metode bootraps (n=100 kali pengulangan)

Indikator Gangguan Habitat

Similarity of Percentage (SIMPER) memetakan spesies indikator yang berbeda pada tiap tipe gangguan habitat (Tabel 8; Lampiran 6). Pada tiap level gangguan habitat memiliki rata-rata kesamaan spesies yang bervariasi, yaitu 44.44% (gangguan rendah), 77.14% (gangguan sedang), dan 46.79% (gangguan tinggi). Secara general, O. ribbei dan G. planus merupakan indikator yang ditemukan pada semua level gangguan habitat.

Tabel 8 Indikator spesies kumbang tinja berdasarkan nilai SIMPER dari Indeks Bray-Curtis

Tingkat gangguan habitat

Rendah Sedang Tinggi

Spesies %Kontri busi Spesies %Kontri busi Spesies %Kontri busi

O. ribbei 40.73 G. planus 64.22 O. griseoaeneus 28.61

G. planus 17.56 O. ribbei 8.25 O. rosenbergi

divergens 27.78 O. rosenbergi rosenbergi 11.93 O. rosenbergi divergens 5.54 G. planus 12.97

O. fulvus 8.79 O. curvicarinatus 3.90 O. wallacei 8.63

O. griseoaeneus 6.34 O. holosericus 3.75 O. scrutator 5.42

O. aureopilosus 5.06 C. erratus mayasukii 3.29 O. ribbei 5.31 - O. wallacei 3.06 C. erratus mayasukii 4.30

Pada habitat dengan tingkat gangguan rendah, terdapat 6 spesies yang berpotensi menjadi spesies indikator, berturut-turut yaitu O. ribbei, G. planus, O. rosenbergi rosenbergi, O. fulvus, O. griseoaeneus, dan O. aureopilosus. Kontribusi terbesar dimiliki oleh spesies, O. ribbei dengan nilai 40.73. Spesies O. aureopilosus menempati urutan terkecil dalam kontribusi (5.06%).

Pada habitat dengan tingkat gangguan sedang, G. planus merupakan spesies indikator utama dengan nilai kontribusi sebesar 64.22%. Selain itu, terdapat 6 spesies kumbang tinja yang juga yang memiliki peluang menjadi spesies indikator, berturut-turut yaitu, O. ribbei (8.25%), O. rosenbergi divergens (5.54%), O. curvicarinatus (3.90%), O. holosericus (3.75%), C. erratus mayasukii (3.29%), O. wallacei (3.06%).

Tujuh spesies indikator juga ditemukan pada habitat dengan tingkat gangguan tinggi. 3 spesies yang memberikan kontribusi terbesar sebagai spesies indikator berturut-turut yaitu, O. griseoaeneus (28.61%), O. rosenbergi divergens

(27.78%), G. planus (12.97%). Sedangkan 4 spesies sisanya memiliki nilai kontribusi dibawah 10%, yaitu O. wallacei, O. scrutator, O. ribbei, C. erratus mayasukii.

Pembahasan

Kekayaan Spesies Kumbang Tinja

Di hutan Lambusango, pulau Buton, kekayaan spesies kumbang tinja yang ditemukan bervariasi antar level gangguan habitat. Fakta ini dapat terjadi diduga karena struktur ruang, pemanfaatan ruang, tipe vegetasi, dan ketersediaan sumber daya kotoran pada tiap level gangguan habitat. Vegetasi hutan hujan sekunder merupakan makro habitat kumbang tinja pada habitat dengan tingkat gangguan rendah dan sedang, sedangkan vegetasi tanaman jambu mete adalah makro habitat pada habitat dengan tingkat gangguan tinggi. Struktur dan pemanfaatan ruang pada habitat dengan tingkat gangguan sedang dan tinggi memiliki kesamaan lebih tinggi dibandingkan dengan habitat dengan tingkat gangguan rendah, yaitu kedua habitat telah terfragment dengan adanya jalan raya permanen, perkebunan masyarakat, dan lokasinya dekat dengan pemukiman penduduk. Sedangkan habitat dengan gangguan rendah merupakan hutan primer yang terletak jauh dari pemukiman penduduk.

Menurut Spector dan Ayzama (2003), fragmentasi habitat hutan baik secara alami maupun intervensi antropogenik menghadirkan efek tepi terhadap komunitas kumbang tinja yang memengaruhi variasi kekayaan dan kelimpahan spesies kumbang tinja. Scheffler dan Scheffer (2005) secara tegas menyatakan konversi hutan alam menjadi hutan produksi terbatas, area terbuka, dan padang oleh manusia berdampak terhadap penurunan keanekaragaman kumbang tinja. Gangguan habitat antropogenik seperti pembangunan jalan raya juga turut memengaruhi distribusi dan keanekaragaman kumbang tinja (Carpio et al. 2009) dan fungsi ekologis kumbang tinja terutama dalam pemencaran benih (Hosaka et al. 2014). Secara umum, infrastruktur jalan raya menurunkan kekayaan spesies dan kelimpahan individu kumbang tinja terutama spesies langka (rare species), tetapi kontras dengan enam spesies kumbang tinja (Eurysternus hamaticollis, E.

velutinus, E. confusus, E. caribaeus, Deltochilum oberbengeri dan D. orbiculare), kelompok ini dapat beradaptasi dengan lingkungan jalan raya yang dicirikan oleh peningkatan jumlah individu.

Hal yang menarik dari penelitian ini, adalah walaupun kekayaan spesies pada habitat dengan tingkat gangguan tinggi berkurang dari kekayaan spesies pada habitat dengan gangguan sedang, tetapi estimator bilangan Hill memprediksi bahwa pada habitat tersebut memiliki peluang penambahan spesies terbesar. Peluang ini dapat terjadi diduga bukan karena perubahan struktur vegetasi yaitu dari hutan sekunder menjadi tanaman jambu mete, tetapi berdasarkan pemanfaatan manusia terhadap lahan yang sama, yaitu sebagai area penggembalaan sapi masyarakat dari desa yang dekat dengan lokasi hutan. Akibatnya, sumber daya kotoran tersedia secara regular dalam jumlah yang mencukupi bagi perkembangan dan keanekaragaman kumbang tinja. Jankielsohn

et al. 2001 melaporkan sekitar 83 spesies kumbang tinja ditemukan pada kotoran sapi. Sedangkan jenis kotoran mamalia lainnya lebih sedikit kumbang tinja yang ditemuka, antara lain 20 spesies pada kotoran monyet (Estrada dan Coates-Estrada 1991), dan 20 spesies pada kotoran babi (Boonrotpong et al. 2004).

Berdasarkan intensitas gangguan habitat, trend kekayaan spesies kumbang tinja yang ditemukan cenderung mengikuti prinsip teori gangguan intermediat (Connell 1978). Teori Connel menjabarkan jika suatu habitat terganggu dengan intensitas dan frekuensi pada level sedang atau intermediate akan menciptakan kondisi habitat yang menguntungkan bagi spesies pengungsi (refugee species), akibatnya lingkungan yang terbentuk mendukung keragaman spesies. Tetapi, jika tingkat gangguan habitat pada skala kecil atau besar maka akan membentuk lingkungan yang stabil atau ekstrim, sehingga kondisi tersebut menurunkan variasi keragaman spesies.

Indikator Spesies Kumbang Tinja

Kontribusi spesies kumbang tinja mengindikasikan perbedaan indikator yang jelas pada tiap level gangguan habitat. Berdasarkan spesies tunggal, tiap level gangguan habitat memiliki spesies kontributor terbesar yang berbeda, yaitu berturut-turut O. ribbei, G. planus, O. griseoaeneus pada habitat dengan tipe gangguan level rendah, sedang, dan tinggi. Berdasarkan komunitas kumbang tinja, terdapat kesamaan komposisi spesies yang mengindikasikan tiap level gangguan habitat. Kesamaan komposisi indikator spesies terbesar ditemukan pada habitat dengan tingkat gangguan sedang dan tinggi, sejumlah lima spesies meliputi G. planus, O. ribbei, O. rosenbergi divergens, C. erratus mayasukii, dan O. wallacei,

menyumbang persentase kontribusi yang berbeda.

Variasi spesies indikator pada tiap level gangguan habitat ini diduga karena adanya perbedaan pada beberapa karakteristik ekologi, seperti interferensi kompetisi, perbedaan waktu aktifitas (diel activity), dan tipe guild. Hanski dan Cambefort (1991) menyatakan keberhasilan kumbang tinja dalam menguraikan kotoran sangat ditentukan oleh faktor spesies atau kelompok spesies yang lebih cepat menemukan dan mengolah sumber kotoran, yaitu spesies-spesies dengan ukuran tubuh yang relatif besar. Interferensi kompetisi meliputi kompetisi intraspesifik (kompetisi dalam kelompok yang sama) dan kompetesi interspesifik (kompetisi antar spesies) (Hanski dan Cambefort 1991). Waktu aktifitas kumbang tinja dibedakan menjadi dua, yaitu waktu terbang malam hari (nocturnal) dan

waktu terbang sing hari (diurnal) (Hanski dan Cambefort 1991). Sedangkan tipe

guild kumbang tinja terbagi ke dalam empat tipe, meliputi tipe roller (penggulung kotoran), tunneller (pembuat terowongan), dweller (pemukim dalam kotoran), dan kleptoparasit.

Spesies O. ribbei dan G. planus telah diuraikan oleh Hanski dan Krikken (1991) sebagai berikut: O. ribbei merupakan kelompok kumbang tinja dengan tipe

guild tunneller (penggali terowongan), berukuran besar, dan aktif di malam hari (tipe nocturnal), sedangkan G. planus tergolong kelompok roller, waktu aktifnya siang hari (diurnal), memiliki ukuran tubuh yang sangat besar, yaitu lebih dari 15

Dokumen terkait