• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respons Komunitas Kumbang Tinja (Coleoptera: Scarabaeinae) Pada Gradien Gangguan Antropogenik Di Hutan Lambusango, Pulau Buton, Sulawesi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respons Komunitas Kumbang Tinja (Coleoptera: Scarabaeinae) Pada Gradien Gangguan Antropogenik Di Hutan Lambusango, Pulau Buton, Sulawesi."

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

RESPONS KOMUNITAS KUMBANG TINJA (COLEOPTERA:

SCARABAEINAE) PADA GRADIEN GANGGUAN ANTROPOGENIK

DI HUTAN LAMBUSANGO, PULAU BUTON, SULAWESI

MARIANA SILVANA MOY

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Respons Komunitas Kumbang Tinja (Coleoptera: Scarabaeinae) pada Gradien Gangguan Antropogenik di Hutan Lambusango, Pulau Buton, Sulawesi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 29 November 2015

Mariana Silvana Moy

NIM E351120131

*

(4)

MARIANA SILVANA MOY. Respons Komunitas Kumbang Tinja (Coleoptera: Scarabaeinae) pada Gradien Gangguan Antropogenik di Hutan Lambusango, Pulau Buton, Sulawesi. Dibimbing oleh ANI MARDIASTUTI dan SIH KAHONO.

Hutan Lambusango merupakan satu-satunya hutan hujan dataran rendah tropis sekunder, memiliki nilai konservasi tinggi, dan menjadi target program pembangunan daerah di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Gangguan antropogenik tersebut merupakan sumber ancaman utama bagi keberlanjutan habitat hutan dan keanekaragaman hayatinya. Di lain sisi, masih banyak spesies hewan yang belum teridentifikasi dan terdokumentasi dari daerah dengan tingkat endemisitas tinggi ini. Salah satunya, kumbang tinja (Coleoptera: Scarabaeinae), mega detrititus kotoran dan bangkai hewan dalam ekosistem hutan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi komunitas kumbang tinja Scarab pada gradien gangguan antropogenik, (2) menguraikan respons komunitas kumbang tinja dengan karakter lingkungan, (3) menentukan spesies indikator gangguan antropogenik, (4) menjelaskan implikasi indikator spesies terhadap konservasi dan manajemen habitat kumbang tinja.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2013 hingga Januari 2015 menggunakan kombinasi metode perangkap jebak dengan umpan dan metode transek. Total 90 perangkap jebak dengan umpan dari kotoran sapi yang teramati dari 3 tipe gangguan habitat (gangguan rendah/habitat hutan sekunder alami, gangguan sedang/habitat hutan sekunder dengan gangguan, dan gangguan tinggi/habitat kebun jambu mete). Perangkap jebak pada tiap tipe habitat dipasang sepanjang transek 100 m dengan 3 kali ulangan, jarak antar perangkap jebak 10 m, dan jarak antar transek 500 m. Koleksi sampel dilakukan setelah 48 jam pemasangan perangkap jebak.

Informasi yang dipaparkan pada penelitian ini meliputi data keanekaragaman kumbang tinja yang dihitung secara kuantitatif melalui analisis indeks Shanon-Wiener, indeks Simpson, indeks Bray-Curtis, ordinasi Non-metric Multidimensional Scalling, estimator Chao 1 dan Bilangan Hills, pendekatan

guild, kepadatan individu, Redundancy Analysis, persentase kesamaan spesies (SIMPER), kajian deskriptif karakteristik tanah, dan telaah deskriptif implikasi indikator spesies terhadap upaya konservasi dan manajemen habitat kumbang tinja.

Total 1710 individu dari 26 spesies kumbang tinja terkoleksi. 58% dari spesimen yang terperangkap dan 81% dari kekayaan spesies ditemukan pada tipe gangguan sedang, keanekaragaman pada lokasi gangguan sedang berbeda nyata dengan dua tipe gangguan lainnya. Indeks Shannon-Wienner menunjukkan proporsi kekayaan spesies lebih merata pada habitat dengan tingkat gangguan rendah. Dominansi spesies ditemukan tertinggi pada lokasi dengan gangguan sedang. Ordinasi dua dimensi indeks Bray-Curtis memetakan perbedaan komposisi spesies kumbang tinja yang nyata antar tipe gangguan habitat. Guild

(5)

Tumbuhan rumput, semak, paku-pakuan, dan terna memengaruhi komunitas kumbang tinja hingga mencapai 51%. Tumbuhan bawah memberikan pengaruh fluktuatif terhadap kehadiran 8 spesies kumbang tinja (Onthophagus holosericus, O. rosenbergi, O. toraut, O. wallacei, O. griseoaeneus, O. scrutator, O. fulvus,

dan Gymnopleurus planus). Keberadaan spesies O. fuscotriatus, Copris celebensis,

O. ribbei, O. aureopilosus, O. curvicarinatus, dan C. erratus mayasukii tidak dipengaruhi oleh tipe tumbuhan bawah. Tumbuhan paku, rumput, dan semak lebih dominan ditemukan pada habitat dengan tingkat gangguan tinggi, dan tumbuhan terna lebih banyak ditemukan pada habitat dengan tingkat gangguan sedang.

Persentase tutupan serasah memengaruhi komunitas kumbang tinja sebesar 49%. Tutupan serasah yang rendah (0-24.5%) mendukung keberadaan spesies O. griseoaeneus, O. fuscotriatus, O. rosenbergi, dan O. scrutator. Tutupan serasah yang sedang (25-49.5%) memengaruhi kehadiran spesies O. wallacei dan O. toraut. Habitat dengan persentase tutupan serasah yang tebal (50%-100%) memengaruhi keberadaan spesies O. ribbei, O. aureopilosus, C. celebensis, O. curvicarinatus, C. erratus mayasukii, O. fulvus, dan O. fuscotriatus. Kehadiran spesies O. holosericus dan G. planus tidak dipengaruhi oleh penutupan serasah. Tutupan serasah yang kecil (0-49.5%) ditemukan dominan pada habitat dengan tingkat gangguan tinggi, sedangkan tutupan serasah yang besar (50-100%) lebih besar pada habitat dengan tingkat gangguan rendah dan sedang. Kelompok kumbang tinja di hutan Lambusango hidup pada karakteristik tanah liat berdebu dengan derajat keasaman tanah (pH) 5.1 pada lokasi dengan tingkat gangguan rendah dan tanah lempung berdebu untuk lokasi dengan tingkat gangguan sedang (pH 5.8) dan tingkat gangguan tinggi (pH 6.8).

Berdasarkan spesies tunggal, O. ribbei, G. planus, O. griseoaeneus

merupakan indikator spesies dengan kontribusi terbesar pada habitat dengan tipe gangguan level rendah, sedang, dan tinggi. Berdasarkan komunitas, 6 spesies menjadi indikator pada gangguan habitat rendah (O. ribbei, G. planus, O. rosenbergi rosenbergi, O. fulvus, O. griseoaeneus, dan O. aureopilosus), 7 spesies indikator pada gangguan habitat sedang (G. planus O. ribbei, O. rosenbergi divergens, O. curvicarinatus, O. holosericus, C. erratus mayasukii, dan O. wallacei, dan 7 spesies indikator pada gangguan habitat tinggi (O. griseoaeneus, O. rosenbergi divergens, G. planus, O. wallacei, O. scrutator, O. ribbei, dan C. erratus mayasukii).

Interferensi regulasi dan kebijakan konservasi kumbang tinja pada skala nasional dan daerah Buton masih belum ada. Kontrasnya, laju degradasi habitat kumbang tinja berlangsung dengan cepat di tingkat tapak. Maka, diperlukan satu terobosan baru dalam mendukung implementasi konservasi dan manajemen habitat kumbang tinja. Pendekatan konservasi biogeografi dapat dijadikan batu loncatan dalam telaah konservasi dan manajemen habitat kumbang tinja di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara.

(6)

Scarabaeinae) on the Gradient of Anthropogenic Disturbance in Lambusango Forest, Buton Island, Sulawesi. Supervised by ANI MARDIASTUTI dan SIH KAHONO.

Lambusango forest is the remained secondary lowland tropical rain forest, has highly conservation value, and has chosen as targeted area for regional development programs of the island of Buton, Southeast Sulawesi. Inevitably, the anthropogenic interference triggered the major threats for the forest habitat and biodiversity sustainability. In contrast, there were many species have not been identified and documented yet from this endemic hotspot. One of them is, dung beetles (Coleoptera: Scarabaeinae), a mega detritivor of dung and carrion in the forest ecosystem. Therefore, this study aims to (1) identify the Scarab beetle communities beetle accross gradient of anthropogenic disturbance, (2) outlines the response of the dung beetle community on environmental characteristics, (3) determining the indicator species of anthropogenic disturbance, (4) explain the implications of indicator species to the conservation and habitat management of dung beetle.

The research has conducted on June 2013 to January 2015 use combination of baited-pitfall trap and transect method. Total of 90 pitfall traps baited with cattle dung have been observed on 3 types of habitat disturbance (low disturbance/natural secondary forest habitat, intermediate disturbance/highly disturbed-secondary forest habitat, and high disturbance/cashew plantation habitat). Each site, 10 pitfall trap fixed along 100 m transects 100 m, 3 replications, the distance between the pitfall traps were 10 m, and the distance between transects were 500 m. After 48 hours, all samples collected.

This study presented the diversity information of dung beetle that calculated quantitatively by Shannon-Wiener index, Simpson index, index Bray-Curtis, ordination by Non-metric Multidimensional Scaling, estimator Chao 1 and Hills Numbers, guild approach, density, Redundancy Analysis, similarity of percentage (SIMPER), descriptive analyze on soil characteristics, and review for dung beetle conservation and habitat management.

Total of 1710 individuals of 26 species of dung beetles have collected. 58% of the trapped specimens and 81% of the species richness found in the intermediate level of disturbance, which both were significantly differ with the two types of disturbance. Shannon-Wienner index presented the proportion of species richness distributed evenly in low disturbance habitat. Meanwhile, the highest dominance species found in intermediate disturbance. Two-dimensional ordination based on Bray-Curtis index exposed the composition of beetle assemblages were significantly differ among all types of disturbance. Tunneller and roller were two types of guild founded. Niche of dung beetle were generalist, forest specialist, and open area specialist.

Grasses, shrubs, ferns, and herbs shaped dung beetle community up to 51%. The understory-vegetation influenced the occurence of 8 species of dung beetles (Onthophagus holosericus, O. rosenbergi, O. toraut, O. wallacei, O. griseoaeneus,

(7)

understory-vegetations were not influenced the existence of O. fuscotriatus, Copris celebensis,

O. ribbei, O. aureopilosus, O. curvicarinatus, and C. erratus mayasukii. Ferns, grasses, and shrubs predominantly found in high level of disturbance, while herb plants more commonly found in habitat with intermediate level of disturbance.

Leaf litter coverage has an effect on dung beetle communities up to 49%. The lowest level of leaf litter coverage (0%-24.5%) influenced the occurrence of

O. griseoaeneus, O. fuscotriatus, O. rosenbergi, and O. scrutator. Intermediate leaf litter coverage (25%-49.5%) shaped the occurrence of O. wallacei and O. toraut. O. ribbei, O. aureopilosus, C. celebensis, O. curvicarinatus, C. erratus mayasukii, O. fulvus, and O. fuscotriatus appeared dominantly in the habitat with heavy leaf litter coverage (50%-100%). Lesser coverage of leaf litter (0%-49.5%) found in habitats with high level of disturbance, meanwhile the heavy one (50-100%) arised in the low and intermediate disturbance habitat. Dung beetle assemblage in Lambusango forest inhabit in silty-clay with the degree of soil acidity (pH) 5.1 found at habitat with low disturbance, and silty-loam in habitat with intermediate disturbance (pH 5.8) and in the habitat with high disturbance (pH 6.8).

Based on a single-based species, O. ribbei, G. planus, and O. griseoaeneus

were indicators species sequentially in habitat with low, intermediate, and high level of disturbance. According to community-based, 6 species chosen as an indicator for low disturbance (O. ribbei, G. planus, O. rosenbergi rosenbergi, O. fulvus, O. griseoaeneus, and O. aureopilosus), 7 indicator species for intermediate disturbance (G. planus ribbei O., O. rosenbergi divergens, O. curvicarinatus, O. holosericus, C. erratus mayasukii, and O. wallacei), and 7 species indicators for the high level of disturbance (O. griseoaeneus, O. rosenbergi divergens, G. planus, O. wallacei, O. scrutator, O. ribbei, and C. erratus mayasukii).

Neither, the interference of regulation and policy of dung beetle conservation at Buton Island, nor national level, still not documented yet. In contrast, the rate of dung beetle’s habitat degradation increased sharply at site level. Thus, it needs a breakthrough to achieve the efforts of conservation and habitat management of dung beetle. Biogeography conservation approach benefitted as a stepping-stone to support the achievement of dung beetle conservation and habitat management in Lambusango forest, Buton Island, Southeast Sulawesi.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

RESPONS KOMUNITAS KUMBANG TINJA (COLEOPTERA:

SCARABAEINAE) PADA GRADIEN GANGGUAN ANTROPOGENIK

DI HUTAN LAMBUSANGO, PULAU BUTON, SULAWESI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)
(11)

Judul Tesis : Respons Komunitas Kumbang Tinja (Coleoptera: Scarabaeinae) pada Gradien Gangguan Antropogenik di Hutan Lambusango, Pulau Buton, Sulawesi

Nama : Mariana Silvana Moy NIM : E351120131

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Ani Mardiastuti, MSc Ketua

Dr Ir Sih Kahono, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Konservasi Biodiversitas Tropika

Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2013 ini ialah keanekaragaman kumbang tinja, dengan judul Respons Komunitas Kumbang Tinja (Coleoptera: Scarabaeinae) pada Gradien Gangguan Antropogenik di Hutan Lambusango, Pulau Buton, Sulawesi

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Ani Mardiastuti, MSc dan Bapak Dr Ir Sih Kahono, MSc selaku pembimbing, Ibu Prof. Dr. Woro A. Noerdjito, MSi, Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS selaku penguji, serta Bapak Dr Ir Christian H. Schulze yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tenggara dan Dinas Kehutanan Kabupaten Buton yang telah memberi perijinan sehingga penelitian dapat dilaksanakan. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Manajemen Operation Wallacea 2013 untuk dukungan dana penelitian, Dr. David Tosh dan Dr. Nancy Priston selaku ketua peneliti lapangan, La Alinudin selaku pemandu selama pengumpulan data penelitian, Dr. Mirza D. Kusrini, dan semua staff Opwall 2013 yang telah memberikan support selama pelaksanaan penelitian, kepada Bapak Darren Mann dari Museum Entomologi London dan Bapak Jan Krikken dari Natural Museum Belanda yang telah membantu dalam identifikasi spesimen, Bapak Ilka Hanski untuk artikel yang sangat berguna, kepada Prof. Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo yang telah banyak memberi dukungan motivasi dalam pengembangan diri, kepada manajemen laboratorium pengendalian hayati, IPB atas ruang dan peralatan yang dibutuhkan dalam proses identifikasi. kepada Agmal BSH dan k Andy BSH untuk support analisisnya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Petrus Moy dan Mama Cornelia Rihi Djawa, Daddy Titus Moy dan Mama Lusiana Inggriani, Rm. Jack Lodo Mema, Pr, P. W. Wagener, CSsR, kk No Pater, Sony Moy, Mia Moy & kakak Merpati Nalle, Jose dan Pedro, keluarga besar Moy, kakak Yubi Pandarangga, Joice Agustaf, Farida Isky, teman-teman KVT 2012, kakak Deddy Therik, kakak Tian Liufeto, kakak Martha Hebi, S.S.Simanjuntak, Warung Bambu’s Crew (Ano, Emil, Nela, Nick, Puan) dan GAMANUSRATIM, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, 29 November 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

2 RESPONS KUMBANG TINJA (COLEOPTERA: SCARABAEINAE) PADA GANGGUAN ANTROPOGENIK DI HUTAN LAMBUSANGO, PULAU

BUTON, SULAWESI 5

Latar Belakang 5

Metode Penelitian 7

Analisis Penelitian 10

Hasil 13

Pembahasan 21

Simpulan 25

3 KUMBANG TINJA (COLEOPTERA:SCARABAEINAE): INDIKATOR GANGGUAN HABITAT DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

KONSERVASI DAN MANAJEMEN HABITAT KUMBANG TINJA DI

HUTAN LAMBUSANGO, PULAU BUTON 26

Latar Belakang 26

Metode Penelitian 28

Analisis Penelitian 31

Hasil 32

Pembahasan 35

Simpulan 38

4 PEMBAHASAN UMUM 39

5 SIMPULAN DAN SARAN 41

Simpulan 41

Saran 42

DAFTAR PUSTAKA 43

LAMPIRAN 50

(14)

DAFTAR TABEL

1 Karakteristik lokasi penelitian 8

2 Kekayaan spesies dan kelimpahan individu kumbang tinja pada gradien

gangguan antropogenik 15

3 Indeks keanekaragaman alfa pada tiga tingkat gangguan habitat 16 4 Estimasi asimtotik kekayaan spesies kumbang tinja berdasarkan data

kelimpahan individu 16

5 Indeks kesamaan Bray-Curtis komunitas kumbang tinja 16

6 Karakteristik lokasi penelitian 30

7 Kekayaan spesies kumbang tinja pada gradient gangguan habitat 33 8 Indikator spesies kumbang tinja berdasarkan nilai SIMPER dari Indeks

Bray-Curtis 34

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penelitian di hutan Lambusango, pulau Buton, Sulawesi

Tenggara 7

2 Skema pengambilan sampel kumbang tinja di hutan Lambusango 9 3 Rata-rata kelimpahan individu (a) kekayaan spesies (b) kumbang tinja pada

gradient gangguan habitat 13

4 NMDS kesamaan spesies kumbang tinja berdasarkan indeks Bray-Curtis 17 5 Guild kumbang tinja pada gangguan habitat rendah, sedang dan tinggi 18 6 Model respon kumbang tinja berdasarkan kepadatan lima spesies endemik

pada tiga tipe gangguan antropogenik 18

7 Ordinasi triplot skala 2 RDA dari 14 spesies kumbang tinja dengan

tumbuhan bawah 20

8 Ordinasi triplot skala 2 RDA dari 14 spesies kumbang tinja dengan

persentase tutupan serasah 21

9 Peta lokasi penelitian di hutan Lambusango,pulau Buton,Sulawesi

Tenggara 29

10 Skema pengambilan sampel kumbang tinja di hutan Lambusango 31 11 Interpolasi dan ekstrapolasi kekayaan spesies kumbang tinja berdasarkan

indeks Hill Number pada tiga tingkat gangguan habitat 34

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil uji ANOVA kelimpahan komunitas kumbang tinja 50 2 Hasil uji ANOVA kekayaan spesies kumbang tinja 50 3 Hasil uji RDA antara kumbang tinja dan vegetasi 51 4 Hasil uji RDA antara kumbang tinja dan persentase tutupan serasah 52 5 Hasil estimasi kekayaan spesies kumbang tinja dengan pendekatan

interpolasi dan ekstrapolasi bilangan Hill 54

6 Hasil uji SIMPER komunitas kumbang tinja pada gradien habitat 54 7 Daftar kekayaan spesies kumbang tinja (Coleoptera: Scarabaeidae) di

Sulawesi, Indonesia 55

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Modifikasi hutan hujan tropis oleh manusia merupakan gangguan habitat terbesar yang telah mengubah struktur hutan (Turner dan Corlett 1996) dan berdampak pada percepatan penurunan keanekaragaman hayati lokal maupun global dalam tiga dekade (Mace et al. 2005). Pada periode tahun 1990 hingga 2005, FAO dan JRC (2012) melaporkan deforestasi pada hutan tropis global mencapai nilai 2.5 kali lebih besar dari total deforestasi di daerah boreal, temperate dan subtropik (6.8 juta ha per tahun dari total 4168 juta ha hutan dunia).

Transformasi habitat hutan ini mengancam keberadaan keseluruhan taksa keanekaragaman hayati yang terancam punah, seperti burung (1045 spesies), mamalia (652 spesies) (Baillie et al. 2004) dan invertebrata (1928 spesies) (Hilton-Taylor 2000). Data terbaru IUCN Redlist menemukan dari 3623 serangga daratan yang terdata, sekitar 42% menghadapi resiko genting hingga terancam punah (Gerlach et al. 2012). Tahun 2009, hasil eksplorasi invertebrata menemukan 9738 spesies serangga baru yang menempatkan serangga sebagai spesies terbesar di bumi dengan total 1.023.430 spesies (ASU-IIES 2011).

Indonesia, salah satu pusat hutan hujan tropis dunia juga mengalami deforestasi hutan yang masif. Margono et al. (2014) menyatakan dalam periode tahun 2000 hingga 2012, luas hutan Indonesia yang mengalami deforestasi mencapai 15.79 juta ha dari total luasan 98.4 juta ha hutan Indonesia. Hasil kajian Chemonics International (2013) menegaskan bahwa konversi hutan alam di Indonesia pada rentang waktu dari 2001 hingga 2012 mempercepat resiko kepunahan spesies yang terdaftar dalam IUCN Redlist, dengan rincian 96% mamalia, 93% burung dan reptil, dan 59% invertebrata. Menurut tipe hutan, deforestasi hutan Indonesia terbesar ditemukan pada hutan primer, yaitu sebesar 6.02 juta ha dengan rerata deforestasi tahunan sebesar 47.600 ha. Dari total deforestasi hutan primer, sekitar 3.04 juta ha deforestasi terjadi pada hutan dataran rendah.

Pulau Sulawesi menjadi daerah penyumbang deforestasi hutan dataran rendah terbesar ketiga, yaitu sebesar 247.000 ha, setelah pulau Sumatra (1,2 juta ha) dan pulau Kalimantan (1,3 juta ha). Sebagai salah satu area keanekaragaman hayati Indonesia dengan tingkat endemisitas yang tinggi (98% endemisitas tanpa menghitung kelompok tikus) (Whitten et al. 1987), deforestasi hutan di Pulau Sulawesi menyebabkan penurunan keanekaragaman dan distribusi 72 spesies mamalia endemik, 79 spesies tikus dan 91 spesies burung endemik, serta serangga dan flora hutan (Clough et al. 2010). Walaupun, beberapa spesies dapat beradaptasi terhadap perubahan habitat hutan, sehingga mendapatkan manfaat dan berkembangbiak, seperti beberapa burung frugivorus-nektarivorus endemik Sulawesi (Waltert et al. 2005).

(16)

2008, dengan rerata 3% hingga 4% (Wheeler et al. 2008). Di lain sisi, kawasan hutan sekunder juga merupakan habitat bagi 75 jenis pohon, 50 spesies burung dan 73 spesies kupu-kupu (Singer dan Purwanto 2006). Hutan dengan nilai konservasi tinggi ini juga merupakan habitat bagi lima fauna endemik Buton, yaitu anoa (Bubalus depressicornis), babi Sulawesi (Sus celebensis), monyet ekor panjang Buton (Macaca (ochreata) brunnescens), musang (Viverra tangalunga),

dan tangkisi (Tarsius spectrum) (Wheller 2011). Populasi dari masing-masing mamalia khas Sulawesi tersebut terus berkurang secara signifikan hingga tahun 2007 (Wheeler dan Dwiyahreni 2007).

Kumbang tinja (Coleoptera) dari sub famili Scarabaeinae merupakan salah satu spesies kumbang tinja sejati (true dung beetle), yang memiliki jumlah spesies terbesar. Hanski (1991) memperkirakan sekitar 5000 spesies kumbang tinja Scarab tersebar dari wilayah non-tropis hingga wilayah tropis. Keberadaan kumbang tinja berkaitan erat dengan seleksi habitat kumbang tinja yang dikategorikan dalam dua skala, yaitu habitat makro (tipe tanah dan tipe vegetasi) dan habitat mikro (tipe dan ukuran kotoran, temperature dan kelembaban sekitar kotoran, serta ketinggian) (Hanski dan Cambefort 1991). Kumbang tinja Scarab dapat hidup pada tipe tanah berpasir, tanah dengan lumpur, dan tanah liat (Lumaret dan Kirk 1991). Kotoran manusia dan kotoran mamalia herbivor merupakan sumber kotoran yang paling disukai oleh kumbang tinja dibandingkan dengan kotoran mamalia kecil dan kotoran karnivor (Hanski 1991). Karakter morfologi mulut (mandibel) kumbang tinja juga turut membentuk evolusi perilaku kumbang tinja dalam menguraikan sumber daya, yaitu dari saprofagus (pemakan humus, akar) menjadi koprofagus (pemakan kotoran) (Cambefort 1991).

Kumbang Scarab merupakan salah satu taksa penting serangga yang menjadi indikator gangguan habitat di hutan hujan tropis (Davis et al. 2001; Mcgeoch et al. 2002; Spector 2006; Aguilar-amuchastegui dan Henebry 2007). Berdasarkan komposisi spesiesnya, kumbang tinja menunjukkan respons yang signifikan negatif pada perubahan penggunaan lahan hutan maupun fragmentasi hutan (Davis et al. 1998; Shahabuddin et al. 2005; Braga et al. 2013; Filgueiras et al. 2015), dan perbedaan struktur hutan (hutan primer dan hutan sekunder (Boonrotpong et al. 2004). Peningkatan gangguan habitat hutan juga menyebabkan penurunan beberapa karakter kumbang tinja, seperti keragaman fungsional (Barragan et al. 2011), ukuran dan massa tubuh (Shahabuddin et al. 2010), dan kemampuan menguraikan kotoran dan pemencaran benih (Slade et al.

2011).

Perumusan Masalah

(17)

membentuk tingkatan gangguan habitat yang dapat dikategori dari level rendah hingga tinggi.

Selama ini belum ada yang pernah melakukan penelitian terkait kumbang maupun mengkaji respons kumbang pada gradien gangguan habitat di hutan Lambusango, pulau Buton. Padahal hutan Lambusango merupakan salah satu

hotspot Wallacea dengan nilai endemisitas flora dan fauna yang tinggi. Sebagian besar penelitian dampak gangguan habitat dihubungkan dengan satwaliar dan vegetasi.

Penelitian terkait serangga yang telah dilakukan pada kawasan hutan Lambusango adalah kelompok kupu-kupu (Ordo Lepidoptera), sedangkan untuk kelompok kumbang tinja dari sub famili Scarabaeinae (Ordo Coleoptera), masih belum dilakukan, padahal keberadaan taksa ini merupakan mega detrititus kotoran dan bangkai hewan, memiliki fungsi ekologis penting dalam ekosistem dan dapat mengindikasikan perubahan lingkungan.

Sehingga penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan yang telah diuraikan di atas yang dirumuskan dalam rangkaian pertanyaan berikut ini:

1. Bagaimana komunitas kumbang tinja Scarab pada gradien gangguan antropogenik di hutan Lambusango, Pulau Buton?

2. Bagaimana respons komunitas kumbang tinja pada karakteristik habitat di hutan Lambusango, Pulau Buton?

3. Bagaimana potensi spesies indikator pada gradien gangguan antropogenik di Hutan Lambusango, Pulau Buton, bagaimana mengukur spesies indikator, dan implikasi spesies indikator pada upaya konservasi dan manajemen habitat kumbang tinja?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi komunitas kumbang tinja Scarab pada gradien gangguan antropogenik dalam hutan Lambusango, (2) menguraikan respons komunitas kumbang tinja dengan karakter lingkungan (biotik, abiotik, dan tipe gangguan), (3) menentukan spesies indikator pada gradien gangguan antropogenik, (4) menjelaskan implikasi spesies indikator pada konservasi dan manajemen habitat kumbang tinja di hutan Lambusango, Pulau Buton. Tesis ini disajikan dalam dua makalah, yaitu:

1. Respons komunitas kumbang tinja pada gangguan antropogenik di hutan Lambusango, Pulau Buton, dengan tujuan mengidentifikasi komunitas kumbang tinja pada setiap gradien gangguan antropogenik, dan menguraikan respons kumbang tinja terhadap karakter lingkungan (biotik, abiotik, dan tipe gangguan).

(18)

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat langsung dari penelitian ini adalah sebagai sumber pengetahuan dasar tentang respons kumbang tinja pada gradien gangguan antropogenik di hutan Lambusango, memberikan informasi ilmiah tentang pengaruh faktor lingkungan terhadap struktur komunitas kumbang tinja di hutan Lambusango, dan menjadi referensi penelitian biologi maupun ekologi kumbang tinja selanjutnya. Manfaat tidak langsung yaitu diharapkan melalui data keanekaragaman dan komposisi kumbang tinja dapat memberikan informasi persebaran mamalia herbivor terutama anoa, spesies endemik Sulawesi, sehingga dapat dijadikan data dasar dalam penelitian lanjutan maupun membantu tindakan manajemen.

Ruang Lingkup Penelitian

Hutan Lambusango merupakan hutan sekunder yang menghadapi beragam gangguan habitat, baik itu gangguan alami maupun gangguan dari manusia. Intensitas dari tiap tipe gangguan habitat dapat dikategorikan menjadi gangguan tipe rendah, sedang, dan tinggi. Beragamnya tipe gangguan habitat sehingga penelitian ini hanya diteliti gangguan habitat oleh karena faktor manusia dengan tingkat gangguan mulai dari gangguan rendah hingga tinggi.

Kumbang tinja (Coleptera) yang dimaksud pada penelitian ini mengacu pada sub famili Scarabaeinae. Kumbang tinja Scarab yang diteliti merupakan spesies terrestrial. Karakter komunitas kumbang tinja Scarab terdiri dari jumlah individu (kelimpahan), jumlah spesies (kekayaan), dan keanekaragaman.

Keberlanjutan hidup komunitas kumbang tinja Scarab berkaitan erat dengan intensitas gangguan habitat dan faktor habitat. Kategori intensitas gangguan didasarkan pada tutupan hutan, aksestabilitas manusia, dan keberadaan jalan raya. Faktor habitat terdiri dari elemen biotik (tutupan tumbuhan bawah dan tutupan serasah) dan abiotik (struktur dan pH tanah).

(19)

2

RESPONS KUMBANG TINJA (COLEOPTERA:

SCARABAEINAE) PADA GANGGUAN ANTROPOGENIK

DI HUTAN LAMBUSANGO, PULAU BUTON, SULAWESI

(Response of Dung Beetle (Coleoptera: Scarabaeinae) on

Anthropogenic Disturbance at Lambusango Forest, Buton Island,

Sulawesi)

Abstrak

Informasi mengenai bagaimana gangguan antropogenik dapat meningkatkan hilangnya keanekaragaman serangga penting di pulau kecil, seperti kumbang tinja (Coleoptera: Scarabaeinae) masih sedikit diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari respons kumbang tinja pada gradien gangguan antropogenik di Hutan Lambusango, Buton, Sulawesi. Bulan Juni sampai Agustus 2013, kumbang tinja telah dikoleksi dari level gangguan rendah, sedang, dan tinggi, tiga ulangan pada tiap level gangguan (n=9 lokasi). Tiap lokasi terpasang 10 perangkap jebak dengan umpan dari kotoran sapi, sepanjang transek 100 m, selama 48 jam, jarak antar transek 500 m. Total 1710 individu dari 26 spesies kumbang tinja terkoleksi. 58% dari spesimen yang terperangkap dan 81% dari kekayaan spesies ditemukan pada tipe gangguan sedang, keanekaragaman kumbang tinja yang ditemukan pada lokasi ini berbeda nyata dengan dua tipe gangguan lainnya. Indeks Shannon-Wienner menunjukkan proporsi kekayaan spesies sangat berbeda nyata antara lokasi dengan gangguan rendah dan lokasi dengan gangguan sedang maupun tinggi, sedangkan dominansi spesies lebih tinggi ditemukan pada lokasi dengan gangguan sedang. Ordinasi dua dimensi berdasarkan indeks Bray-Curtis memperlihatkan perbedaan komposisi spesies kumbang tinja yang nyata antar tipe gangguan habitat. 14 spesies kumbang tinja dipengaruhi oleh tumbuhan bawah (51%) dan tutupan serasah (49%). Tunneller dan roller merupakan guild yang ditemukan pada ketiga tipe habitat. Analisis Redundancy memetakan hubungan yang nyata antar tipe vegetasi maupun tutupan serasah terhadap keanekaragaman kumbang tinja. Penelitian ini menemukan komunitas kumbang tinja di hutan dataran rendah sekunder menunjukkan respons terhadap gangguan habitat dan tiap tipe gangguan habitat membentuk keanekaragaman kumbang tinja.

Kata kunci: gangguan, hutan dataran rendah sekunder,kumbang tinja, Sulawesi

Latar Belakang

(20)

yang masif di Indonesia pada rentang waktu dari 2001 hingga 2012 mempercepat resiko kepunahan spesies yang terdaftar dalam IUCN RedList, dengan rincian 96% mamalia, 93% burung dan reptil, dan 59% serangga. Di lain sisi, beberapa spesies dapat beradaptasi sehingga mendapatkan manfaat dan berkembang walaupun terjadi perubahan habitat, seperti burung endemik Sulawesi (Waltert et al. 2005). Namun, walaupun trend keanekaragaman spesies tersebut telah diketahui secara global, keanekaragaman serangga pada hutan dataran rendah tropis di pulau-pulau kecil masih belum terdokumentasi (Abdulhadi et al. 2014).

Kumbang tinja (Coleoptera: Scarabaeinae) merupakan mega-fauna detritivor yang menguraikan kotoran dan bangkai hewan dalam ekosistem (Begon et al.

1990). Layanan jasa ekosistem ini mendukung ketersedian unsur hara tanah, peningkatan aerasi, penyerapan air tanah dan penyebaran biji, polinasi dan agens pengendali hayati (Scholtz et al. 2009). Di Mexico, kumbang tinja merupakan salah satu faktor penentu regenerasi hutan karena mampu memencarkan 28 biji spesies tumbuhan (Estrada dan Coates-Estrada 1991). Namun, keanekaragaman dan keberlanjutan hidup kumbang tinja dalam hutan hujan tropis menghadapi ancaman dari gangguan antropogenik, meliputi perburuan menyebabkan hilangnya sumber penyedia kotoran bagi komunitas kumbang tinja (Hanski dan Cambefort 1991), perubahan penggunaan lahan mempercepat penurunan jumlah dan komposisi spesies kumbang tinja (Davis 2000; Kessler et al. 2009; Braga et al.

2013), pengecilan ukuran tubuh kumbang tinja (Shahabuddin et al. 2010), bahkan memicu kepunahan spesies kumbang tinja asli hutan dan tergantikan oleh spesies generalis (Hallfter dan Arellano 2002).

Hutan Lambusango (65,000 Ha) merupakan satu-satunya hutan hujan dataran rendah tropis di Pulau Buton, Sulawesi. Kawasan hutan ini telah terpetakan menjadi kawasan konservasi, kawasan hutan produksi, penambangan aspal dan pemukiman penduduk. Konversi hutan alam oleh manusia terus berlangsung bahkan kawasan hutan telah menjadi target program perluasan area pemukiman penduduk dan penambangan aspal pemerintah kabupaten Buton (Seymour 2004). Akibatnya, aksestabilitas manusia ke dalam hutan meningkat, seperti pembukaan lahan pertanian, perburuan, pengambilan kayu ilegal, pengambilan rotan dan pembuatan jalan setapak maupun perburuan illegal. Di lain sisi, hutan Lambusango memiliki nilai konservasi yang tinggi. Hutan sekunder ini menjadi habitat bagi spesies-spesies endemik Sulawesi seperti anoa, monyet ekor panjang Buton, kus-kus dan tarsius. Tetapi, populasi dari masing-masing mamalia khas Sulawesi tersebut terus berkurang tiap tahun. Wheeler dan Dwiyahreni (2007) melaporkan angka perburuan ilegal anoa mencapai 8 ekor anoa setiap tahun, dari total kisaran populasi antara 100-150 anoa.

Gangguan antropogenik terhadap komunitas flora dan fauna di hutan Lambusango dapat memengaruhi komunitas kumbang tinja. Sebagai organisme yang sangat tergantung pada relasi donor-controlled, artinya organisme penyedia sumber daya (kotoran) mengontrol kepadatan sumber daya bagi organisme penerima, dan tidak ada cadangan kotoran (Begon et al. 1990), keberadaan kumbang tinja berkaitan erat dengan keberadaan penyedia sumber daya dan kondisi habitat.

(21)

Diharapkan dengan adanya penelitian ini, dapat menjadi sumber informasi baru bagi perkembangan ilmu ekologi serangga khususnya kumbang tinja pada habitat hutan dengan beragam tingkat gangguan habitat.

Metode Penelitian

Waktu dan Lokasi

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2013 sampai Januari 2015 meliputi pengambilan sampel kumbang tinja di lapang serta identifikasi dan analisis tanah di laboratorium. Penelitian lapang dilakukan di kawasan Hutan Lambusango (5°24'S, 123°07'E), Pulau Buton, Sulawesi Tenggara (Gambar 1). Penyortiran spesimen, identifikasi dan analisis data dilakukan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Validasi hasil identifikasi dilakukan di Laboratorium Entomologi, Zoologi, LIPI, Cibinong. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Kesuburan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB. Pengolahan data dan penyusunan tesis dilakukan bulan Februari hingga bulan September 2015.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian di hutan Lambusango, pulau Buton, Sulawesi Tenggara

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan terdiri atas alkohol 96%, air, garam, sabun, 2400 gram kotoran sapi yang segar, tanah dan lem. Alat yang digunakan meliputi gelas plastik (tinggi 9 cm, diameter 6,5 cm), plastik penutup perangkap (diameter 11,8 cm), kain kasa, satu set lidi (panjang 20 cm), sekop kecil, tali kasur, karet gelang pena marker, pinset, saringan, plastik spesimen, jarum serangga, pinning block,

(22)

Metode Pengambilan Sampel Kumbang Tinja

Pengambilan sampel kumbang tinja dilakukan pada tiga tipe gangguan habitat di kawasan hutan sekunder Lambusango. Penggolongan gangguan habitat dibedakan berdasarkan kompleksitas strata vegetasi, tutupan tajuk dan aksesibilitas (Tabel 1). Metode yang digunakan merupakan kombinasi metode transek dan metode perangkap jebak dengan umpan (baited-pitfall trap)

(modifikasi dari Shahabudin et al. 2005). Penentuan transek di lokasi hutan disesuaikan dengan alur transek dan grid yang telah ditetapkan oleh Operation Wallacea (Seymour 2004). Sedangkan, pada lokasi kebun jambu mete ditentukan langsung pada saat di lapangan. Pada tiap lokasi dilakukan pengambilan sampel kumbang tinja dengan metode yang sama dan diperlukan satu hari untuk menyelesaikan pemasangan atau pengambilan sampel. Apabila sebelum dan sesudah pemasangan perangkap jebak menemui hambatan seperti hujan deras, maka sampling dibatalkan serta dilakukan pergantian perangkap dan umpan. Spesimen yang terjebak dalam perangkap sebelumnya tidak dikoleksi.

Tabel 1 Karakteristik lokasi penelitian

Tipe

Sumber :*(Seymour 2004; Singer dan Purwanto 2006). D=diameter; T=tinggi; odari desa terdekat

Persiapan Perangkap Jebak dengan Umpan

(23)

plastik penutup perangkap. Cairan perangkap dibuat dari campuran air, garam dan sabun. Untuk air dalam satu botol ukuran 600 ml, garam yang digunakan sejumlah ½ sendok teh dan sabun secukupnya, lalu campuran ini dikocok. Untuk setiap lokasi dibutuhkan 3 buah botol cairan perangkap.

Sampling Kumbang Tinja

Pada tiap lokasi dilakukan pengambilan sampel kumbang tinja dengan menggunakan perangkap jebak dengan umpan. Skematik pengambilan sampel kumbang tinja dapat dilihat pada Gambar 2.

Pada tiap luasan habitat, dipasang 30 gelas plastik beserta umpan. Pemasangan gelas dilakukan secara sistematis yaitu dalam suatu habitat ditentukan transek sepanjang 100 m, dipasang 10 gelas perangkap, dengan jarak antar perangkap sejauh 10 m. Metode pemasangan yang sama diulang sebanyak dua kali, dengan jarak antar transek yaitu 500 m. Tiap gelas perangkap dibenamkan sedalam 9 cm. Permukaan gelas harus sejajar permukaan tanah. Lalu, gelas perangkap diisi cairan perangkap sebanyak kurang lebih 50 ml. Kemudian, plastik penutup perangkap yang telah dipasang tripod dan umpan ditanam di atas gelas plastik. Jarak antar umpan dengan bibir gelas plastik 2 cm.

Gambar 2 Skema pengambilan sampel kumbang tinja di hutan Lambusango

Koleksi spesimen dilakukan setelah 48 jam pemasangan perangkap dan hanya dilakukan sekali pengambilan spesimen pada setiap transek. Selanjutnya, spesimen dibersihkan dengan air, disortir dan disimpan dalam larutan alkohol 96 %. Lalu dilanjutkan dengan identifikasi di laboratorium.

Pengukuran Vegetasi Bawah dan Serasah

Pengukuran dan pendokumentasian vegetasi bawah difokuskan pada keanekaragaman semak dan rumput. Data yang diambil meliputi jumlah individu untuk semak dan jumlah rumpun dari rumput. Pengukuran serasah meliputi persentase tutupan serasah. Analisis vegetasi bawah dan persentase tutupan serasah (leaflitter coverage) dilakukan pada plot yang sama, dengan ukuran 2 x 2 m pada tiap perangkap jebak. Titik pusat kuadran berada pada lubang perangkap jebak.

500 m

0 m 1000 m

100 m 10 m

(24)

Pengukuran Data Fisik

Pengukuran data fisik meliputi ketinggian, titik koordinat, sifat kimia dan fisik tanah. Pengukuran ketinggian dan posisi geografi dengan menggunakan GPS pada tiap transek penelitian.

Pengukuran sifat kimia dan fisik tanah dilakukan di Bogor. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada setiap transek penelitian pada kedalaman 0-20 cm. Ulangan yang dilakukan sebanyak tiga kali untuk tiap lokasi penelitian. Analisis sampel tanah meliputi: derajat keasaman tanah (pH) dan tekstur tanah (pasir, debu, dan liat).

Identifikasi Kumbang Tinja

Identifikasi dilakukan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen Proteksi Tanaman IPB. Kunci identifikasi spesies kumbang tinja merujuk pada kunci identifikasi Boucomont (1914), Balthasar (1963), Krikken dan Huijbregts (2008, 2009, 2011), Ochi dan Araya (1992), serta Ochi dan Kon (2004). Identifikasi dilakukan sampai pada tingkatan genus dan spesies. Validasi hasil identifikasi dikoordinasikan dengan Laboratorium Entomologi, Zoologi- LIPI di Bogor.

Identifikasi Vegetasi Bawah

Identifikasi vegetasi bawah dilakukan di Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Kunci identifikasi vegetasi bawah merujuk pada tiga tipe referensi, terdiri atas buku identifikasi (Whitten et al. 1987; Sastrapradja dan Afriastini 1980; Zamora dan Co 1986) dan artikel ilmiah (Ramadhanil 2006). Identifikasi vegetasi bawah dikelompokkan pada kelas semak, paku, rumput dan terna.

Analisis Penelitian

Data hasil penelitian ditabulasi dengan menggunakan microsoft excel. Pengolahan data menggunakan paket vegan dari software R-Statistic (R Development Core Team 2011), program Primer, dan program CANOCO Version 4.56 Maret 2009. Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik parametrik untuk uji beda nilai tengah dan statistik non-parametrik untuk pengukuran estimasi spesies, pengukuran keanekaragaman dan komposisi kumbang tinja dan pengukuran hubungan antara kumbang tinja dan karakteristik lingkungan. Pengujian beberapa nilai tengah data menggunakan ANOVA, uji lanjut nilai tengah menggunakan uji Beda Nyata Jujur Tukey (Gotelli dan Ellison 2013).

Estimasi Kekayaan Spesies Kumbang Tinja

Estimasi kekayaan spesies kumbang tinja pada tiap lokasi dihitung dengan menggunakan estimator asimtotik Chao 1 (Chao et al. 2009). Indeks Chao 1 merupakan alat ukur estimasi spesies berdasarkan ekstrapolasi data jumlah individu terkecil atau individu yang jarang ditemukan (rare species), yang dirumuskan sebagai berikut :

(25)

Keterangan :

Sobs = Jumlah spesies yang diobservasi pada sampel

f1 = Jumlah singletons (spesies pada sampel diwakilkan oleh 1 individu)

f2 = Jumlah doubletons (spesies pada sampel diwakilkan oleh 2 individu)

Analisis Keragaman

Analisis keragaman kumbang tinja dihitung berdasarkan prinsip keaneakaragaman alfa, yaitu ukuran keanekaragaman pada tingkat yang paling sederhana yang dapat didefenisikan sebagai jumlah spesies yang ditemukan dalam komunitas (Magurran 2004). Pengukuran keanekaragaman α pada tiap lokasi dapat dihitung dengan menggunakan rumus indeks Shannon-Wienner (H’ , dan kemerataan spesies dianalisis dengan indeks kemerataan Shannon-Wiener (J’ , dan dominansi spesies pada tiap lokasi dapat dihitung denganan rumus Indeks Simpson (D) (Magurran 2004). Uji lanjut terhadap nilai H’ dihitung dengan menggunakan uji t dengan ragam dan derajat bebas yang dikembangkan untuk perhitungan keanekaragaman (Magurran 1988).

Indeks Shannon-Wienner

H’= - Σ pi ln pi

Pengukuran Kemerataan Shannon

J’= H’/ln S

Keterangan :

H’ = Indeks Shannon-Wienner

pi = proporsi individu yang ditemukan pada spesies ke-i

S = jumlah spesies

Indeks Simpson

D = Σ Keterangan :

D = Indeks Simpson

ni = jumlah individu pada spesies ke-i

N = jumlah total individu yang ditemukan

Analisis Kesamaan Komunitas

Analisis kesamaan komunitas dihitung berdasarkan prinsip kedekatan jarak. Indeks Bray-Curtis (Magurran 2004) digunakan untuk mengukur ketidaksamaan jarak antar spesies berdasarkan data kelimpahan individu, yang dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan :

CN = Indeks Bray-Curtis

2jN = jumlah kelimpahan spesies terendah yang ditemukan pada 2 lokasi Na = jumlah individu pada lokasi A

(26)

Nilai CN pada rentang 0 hingga 1. Nilai 1 mengindikasikan jumlah spesies yang ditemukan pada kedua habitat adalah sama. Uji lanjut terhadap kesamaan komposisi komunitas kumbang tinja dihitung dengan menggunakan Analisis Kesamaan Satu Arah (ANOSIM).

Matriks kesamaan spesies (dihitung dari nilai 1 - CN) dipetakan dalam grafik dua dimensi dengan menggunakan pendekatan Non-Metric Multidimensional Scaling (NMDS) (Clarke 1993). NMDS merupakan salah satu ordinasi multivariat dengan tujuan menempatkan objek-objek yang berbeda dalam ruang ordinasi dengan menggunakan pendekatan rank-order terhadap jarak original atau nilai ketidaksamaan. Jika objek memiliki kesamaan yang tinggi, maka objek tersebut terletak saling berdekatan dalam ordinasi. Jika objek terletak saling berjauhan maka, objek tersebut berbeda satu dengan yang lain, atau tidak ada kesamaan antar objek. Ketepatan obyek pada posisi dalam grafik ditunjukkan oleh nilai

stress, yang dirumuskan sebagai berikut:

 Stress <0.05 menandakan representasi objek dalam ordinasi terbaik, tidak ada kemungkinan kesalahan dalam peletakkan objek dalam ordinasi

Stress <0.1 menandakan representasi objek dalam ordinasi yang tepat, tanpa ada kemungkinan yang signifikan dalam kesalahan peletakkan objek dalam ordinasi

Stress <0.2 menandakan representasi objek dalam ordinasi masih tepat, walaupun telah terdapat potensi kesalahan dalam peletakkan objek dalam ordinasi

Stress >0.2 menandakan objek tidak tepat dalam ordinasi, sehingga tidak layak untuk digunakan

Stress 0.35-0.4 menunjukkan objek terletak sangat random dalam ordinasi, yang menandakan korelasi yang kecil pada rank kesamaan objek

Respons Kumbang Tinja pada Berbagai Karakteristik Lingkungan

Respons kumbang tinja pada beberapa karakteristik lingkungan dihitung dengan menggunakan pendekatan Redundancy Analysis (RDA). RDA merupakan teknik analisis regresi multivariat yang menerangkan pengaruh variabel lingkungan (explanatory variable) terhadap spesies (response variable) (van den Wollenberg 1977; Legendre dan Legendre 1998). Karakteristik lingkungan yang dipilih meliputi tipe gangguan, tipe vegetasi bawah, dan persentase serasah.

(27)

respons variabel. Karakteristik lingkungan dan spesies diperlihatkan berupa garis linier, sedangkan tipe gangguan berupa titik. Kedekatan posisi spesies dengan karakteristik lingkungan menunjukkan spesies tersebut memiliki hubungan yang kuat dengan karakteristik lingkungan. Sudut yang terbentuk antar vektor mengindikasikan pengaruh vektor lingkungan terhadap spesies dan tipe gangguan, dan pengaruh antar vektor lingkungan. Nilai pengaruh diperkirakan berdasarkan nilai cosine yang terbentuk antar dua vektor lingkungan. Jika sudut yang terbentuk adalah 900, maka nilai cosine 90=0, artinya kedua vektor tersebut tidak berpengaruh. Jika sudut antar kedua vektor membentuk sudut <900, mengindikasikan pengaruh yang besar. Tetapi, pengaruh yang terbentuk tidak mengindikasikan terjadinya asosiasi antar vektor.

Karakteristik Tanah

Karakteristik tanah yang diperoleh dari hasil analisis laboratorium diuraikan secara deskriptif, meliputi tekstur tanah dan derajat keasaman tanah.

Hasil

Komunitas Kumbang Tinja

Komunitas kumbang tinja yang ditemukan pada penelitian ini meliputi 26 spesies dari sub famili Coprinae dan Scarabaeinae, dengan total 1710 individu (Tabel 2). Kumbang tinja ini dikategorikan ke dalam suku Coprini-genus Copris

(n=124, S=2), suku Gymnnopleurini-genus Gymnopleurus (n=689, S=1) dan Onthophagini-genus Onthophagus (n=897, S=23).

Kelimpahan (jumlah) individu kumbang tinja pada tiap tingkat gangguan habitat sangat fluktuatif (Gambar 3 (a)). Rata-rata jumlah individu yang ditemukan pada lokasi dengan tingkat gangguan sedang (33.17 ± 1.60) memiliki nilai dua kali lebih besar dari rata-rata jumlah individu yang terperangkap pada lokasi dengan tingkat gangguan rendah (12.70 ± 2.82).

Gambar 3 Rata-rata kelimpahan individu (a) kekayaan spesies (b) kumbang tinja pada gradient gangguan habitat. Aritmatematika rata-rata ± SE dan hasil ANOVA tercantum. Huruf yang berbeda di atas bar mengindikasikan perbedaan yang nyata antar tipe gangguan habitat

0

(28)

Jumlah individu terkecil ditemukan pada lokasi dengan tingkat gangguan tinggi dengan nilai rata-rata jumlah individu sebesar 11.13 ± 2.54. Tidak ditemukan perbedaan yang nyata pada rata-rata jumlah individu pada lokasi dengan tingkat gangguan rendah dan tinggi, tetapi terdapat perbedaan kelimpahan individu kumbang tinja yang nyata antara lokasi dengan gangguan sedang dengan lokasi dengan gangguan rendah dan tingi (F2.87=26.721, P<0.05) (Lampiran 1).

Rata-rata kekayaan spesies menunjukkan pola yang sama dengan kelimpahan individu, yaitu tidak ditemukan perbedaan yang nyata antara rata-rata jumlah spesies pada lokasi dengan tingkat gangguan rendah dan tinggi, tetapi terdapat perbedaan kekayaan spesies yang nyata antara lokasi dengan gangguan sedang dengan lokasi dengan tingkat gangguan rendah dan tinggi (F2.87=16.183, P<0.05) (Gambar 3 (b); (Lampiran 1)). Secara berturut-turut, rata-rata kekayaan spesies yang ditemukan pada tiap tipe gangguan, yaitu 4.77 ± 0.39 (rendah), 7.30 ± 0.41 (sedang), dan 3.87 ± 0.52 (tinggi). Dari total spesies yang ditemukan, hanya 42% spesies yang dapat ditemukan di semua tipe gangguan habitat. Penelitian ini juga menemukan 21 spesies endemik Sulawesi dan sekitar 11 spesies endemik merupakan spesies hutan, tiap spesies endemik memiliki sebaran yang berbeda antar tipe gangguan habitat. 8 spesies dari 26 spesies yang ditemukan dapat berasosiasi dengan kotoran anoa.

Keanekaragaman Kumbang Tinja

Keanekaragaman alfa bervariasi antar tipe gangguan habitat (Tabel 3). Indeks Shannon-Wiener mengkategorikan keanekaragaman kumbang tinja di hutan Lambusango sebagai tipe sedang ( <H’<3 . Lokasi dengan tingkat gangguan rendah memiliki proporsi kekayaan spesies (H’ . 7 ) dan kemerataan (E=0.802 lebih besar dari gangguan sedang (H’ 1.660; E=0.545) dan rendah (H’ 2.094; E=0.725). Hasil t-test terhadap indeks Shannon-Wiener mengindikasikan bahwa keanekaragaman alfa pada level gangguan rendah dan tinggi berbeda dengan tingkat gangguan sedang (p<0.05, dbrendah-tinggi=1148, dbrendah-tinggi=665, dbsedang-tinggi=841). Peluang terjadinya dominansi spesies lebih besar pada lokasi dengan tingkat gangguan sedang (D=0.640) daripada gangguan habitat rendah (D=0.854) dan gangguan habitat tinggi (D=0.833).

Estimasi Asimtotik Kekayaan Spesies Kumbang Tinja

(29)

Tabel 2 Kekayaan spesies dan kelimpahan individu kumbang tinja pada gradien gangguan antropogenik

Suku/Spesies Tingkat gangguan habitat Deskripsi Kategori Kode spesies

Onthopagus limbatus 0 0 1 ES;areaterbuka*@ Spesialist O11

Onthophagus

(30)

Tabel 3 Indeks keanekaragaman alfa pada tiga tingkat gangguan habitat Indeks keanekaragaman alfa Tingkat gangguan habitat P

Rendah Sedang Tinggi

Jumlah spesies 15 21 18

Indeks Shanon-Wienner (H') 2.171a 1.660b 2.094a 0.05*

Kemerataan (E) 0.802 0.545 0.725

Indeks Dominansi (D) 0.854 0.640 0.833

*t test pada selang kepercayaan 95% (Magurran 1988)

Tabel 4 Estimasi asimtotik kekayaan spesies kumbang tinja berdasarkan data kelimpahan individu

Tingkat

gangguan n Sobs SChao1 f1 f2 q0

n* (g=1)

n* (g=0.95)

n* (g=0.90)

Rendah 381 15 15 1 2 0.0026 0 0 0

Sedang 995 21 29 4 1 0.0040 8660 3399 2019 Tinggi 334 18 36 6 1 0.0180 5325 2307 1613

Ket: n=jumlah individu; Sobs=jumlah spesies yang diobservasi; SChao1=jumlah spesies dugaan

berdasarkan Indeks Chao1; f1=singleton sp; f2=doubleleton sp; q0=peluang spesies dugaan,

dihitung (f1/n); n*=jumlah tambahan individu untuk mencapai estimasi Chao mencapai

100%(g=1), 95%(g=0.95), 90%(g=0.90)

Komposisi Komunitas Kumbang Tinja

Berdasarkan nilai kesamaan spesies, komposisi komunitas kumbang tinja terindikasi sangat bervariasi (Tabel 5). Tiap tipe gangguan habitat memiliki kisaran nilai kesamaan spesies yang berbeda, yaitu secara berturut-turut 56.55% (rendah), 82.14% (sedang), dan 55.56% (tinggi). Sedangkan komposisi spesies antar tipe gangguan habitat, kesamaan spesies tertinggi ditemukan pada lokasi dengan tingkat gangguan rendah dan tingkat gangguan sedang (53.85%), sedangkan kesamaan spesies terendah ditemukan pada lokasi dengan tingkat gangguan sedang dan tingkat gangguan tinggi (18.22%).

Tabel 5 Indeks kesamaan Bray-Curtis komunitas kumbang tinja

R1 R2 R3 S1 S2 S3 T1 T2 T3

R1 1.00

R2 56.55 1.00

R3 36.84 41.41 1.00

S1 53.85 43.53 20.79 1.00

S2 41.61 44.90 24.62 82.14 1.00

S3 34.89 33.88 17.69 74.40 78.95 1.00

T1 31.15 42.99 35.85 27.42 32.09 22.76 1.00

T2 38.36 50.97 22.13 37.38 33.47 28.81 39.41 1.00

T3 28.23 48.62 43.64 21.81 23.80 18.22 55.56 45.42 1.00

(31)

Ordinasi Non-Multi Dimensional Scalling (NMDS) berdasarkan nilai kesamaan spesies dari indeks Bray-Curtis memetakan struktur komposisi komunitas kumbang tinja menjadi tiga kelompok yang saling bebas antar tipe gangguan habitat (Gambar 4). Hasil analisis kesamaan (ANOSIM) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan komposisi spesies kumbang tinja yang nyata antar tingkat gangguan habitat (R = 0.7617, P = 0.005).

Gambar 4 NMDS kesamaan spesies kumbang tinja berdasarkan indeks Bray-Curtis pada gradient gangguan antropogenik (stress=0.048). Garis penghubung menunjukkan gangguan habitat yang sama

Guild Kelompok Kumbang Tinja

Roller (penggulung kotoran) dan tunneller (penggali terowongan) merupakan dua tipe guild kelompok kumbang tinja yang ditemukan pada berbagai tingkat gangguan habitat di hutan Lambusango (Gambar 5). Tipe guild kleptoparasites tidak ditemukan, sedangkan tipe dweller ditemukan satu spesies (Aphodius sp.1 dari famili Aphodiidae), tetapi tidak menjadi famili fokus penelitian. Dari 26 spesies yang ditemukan pada penelitian ini, kelompok roller

terwakilkan hanya pada spesies G. planus (1 spesies), sisanya 25 spesies merupakan kelompok tunneller, yang terdiri dari 2 spesies dari genus Copris dan 23 spesies dari genus Onthophagus. Satu kelompok roller dan 11 kelompok

tunneller (C. erratus masayukii, O. aureopilosus, O. curvicarinatus, O. fulvus, O. griseoaeneus, O. holosericus, O. ribbei, O. rosenbergi, O. scrutator, dan O. wallacei) ditemukan di semua tipe gangguan habitat. Kelompok tunneller lainnya memiliki asosiasi yang spesifik dengan tipe gangguan habitat, seperti spesies O. discedens hanya ditemukan pada tipe gangguan rendah.

Rendah

Sedang

(32)

Gambar 5 Guild kumbang tinja pada gangguan habitat rendah, sedang dan tinggi (R=Roller; T=Tunneller; R(1)=Gp; T(10)=Ce,O3,O5,O7,O9, O10,O14,O15,O19, O23)

(33)

Model respons dan kepadatan individu 6 spesies endemik Sulawesi

Kemampuan adaptasi kumbang tinja terhadap berbagai tipe gangguan habitat membentuk dua tipe relung habitat, yaitu generalis dan spesialis (Gambar 6). Masing-masing relung memiliki spesies spesifik relung dengan model respons yang fluktuatif. Berdasarkan lima spesies endemik Sulawesi yang terkoleksi, C. erratus mayasukii dikategorikan ke dalam relung generalis. Relung hutan terpetakan pada kepadatan spesies O. aureopilosus. Spesies O. scrutator mampu beradaptasi pada daerah hutan yang mengalami gangguan habitat tipe sedang dengan kepadatan 0.4 individu/m2, sedangkan spesies O.limbatus merupakan spesies spesifik relung lanskap termodifikasi manusia dengan kepadatan 0.008 individu/m2.

Respons Kumbang Tinja terhadap Faktor Lingkungan

Redundancy Analyses (RDA) menguraikan respons yang spesifik antara 14 spesies kumbang tinja dengan tumbuhan bawah (Gambar 7) dan tutupan serasah (Gambar 8). Tumbuhan bawah dapat memengaruhi komunitas kumbang tinja hingga mencapai 51% (constraint variance value) (Lampiran 3). Tes permutasi Monte Carlo (p=999) memperkirakan tumbuhan bawah memengaruhi komunitas kumbang tinja secara signifikan pada nilai akar ciri (eigen value) axis 1 (λ=3.15) (F1,23=10.517; P=0.001) dan nilai akar ciri axis 2 (λ=2.60) (F1,23=8.697; P=0.001).

Berdasarkan sudut yang terbentuk antar vektor, tipe tumbuhan bawah memiliki pengaruh yang fluktuatif terhadap 8 spesies kumbang tinja. Tumbuhan terna memengaruhi keberadaan O. holosericus (O10) dan G. planus (Gp). Kehadiran spesies O. rosenbergi (O15), O. toraut (O21), O. wallacei (O23), O.

griseoaeneus (O9), O. scrutator (O19), dan O. fulvus (O7), dipengaruhi oleh tumbuhan paku, rumput, dan semak. Sedangkan, keberadaan spesies O. fuscotriatus (O8), C. celebensis (Cc), O. ribbei (O14), O. aureopilosus (O3), O.

curvicarinatus (O5), dan C. erratus mayasukii (Ce) tidak dipengaruhi oleh empat tumbuhan bawah.

Tingkat gangguan habitat juga dapat dideteksi dari tipe tumbuhan bawah. Tumbuhan paku, rumput, dan semak lebih dominan ditemukan pada habitat dengan tingkat gangguan tinggi. Tumbuhan terna cenderung ditemukan lebih banyak pada habitat dengan tingkat gangguan sedang. Tetapi, pada habitat dengan tingkat gangguan rendah dan 6 titik habitat dengan tingkat gangguan sedang, pengaruh keempat variabel tumbuhan bawah sangat kecil.

(34)

Gambar 7 Ordinasi triplot skala 2 RDA dari 14 spesies kumbang tinja dengan tumbuhan bawah pada axis 1 dan axis 2 ( = spesies; O=tingkat gangguan habitat, O1-O10 (Rendah), O11-O20 (Sedang), O21-O30 (Tinggi))

Berdasarkan sudut yang terbentuk antar vektor, persentase tutupan serasah memberikan pengaruh yang besar hingga kecil terhadap keberadaan spesies. Tutupan serasah yang rendah (0%-24.5%) mendukung keberadaan spesies O. griseoaeneus (O9), O. fuscotriatus (O8), O. rosenbergi (O15), dan O. scrutator (O19). Tutupan serasah yang sedang (25%-49.5%) memengaruhi kehadiran spesies

O. wallacei (O23) dan O. toraut (O21). Habitat dengan persentase tutupan serasah yang tebal (50%-100%) memengaruhi keberadaan spesies O. ribbei (O14), O.

aureopilosus (O3), C. celebensis (Cc), O. curvicarinatus (O5), C. erratus

(35)

Gambar 8 Ordinasi triplot skala 2 RDA dari 14 spesies kumbang tinja dengan persentase tutupan serasah pada axis 1 dan axis 2 ( =spesies; O=tingkat gangguan habitat, O1-O10 (Rendah), O11-O20 (Sedang), O21 -O30 (Tinggi))

Karakteristik Tanah Hutan Lambusango

Berdasarkan analisis tanah, kelompok kumbang tinja di hutan Lambusango hidup pada dua karakteristik tanah, yaitu tanah liat berdebu pada lokasi dengan tingkat gangguan rendah dan tanah lempung berdebu untuk lokasi dengan tingkat gangguan sedang dan tinggi. Derajat keasaman tanah (pH) yang ditemukan di hutan Lambusango berkisar antara nilai sedang hingga rendah, terdiri atas pH 5.1 pada lokasi dengan tingkat gangguan rendah, pH 5.8 pada lokasi dengan tingkat gangguan sedang, dan pH pada lokasi tingkat gangguan tinggi adalah 6.8.

Pembahasan

Keanekaragaman Kumbang Tinja pada Gangguan Antropogenik

Intensitas gangguan antropogenik pada habitat alami meningkatkan kekayaan spesies, kelimpahan individu, dan estimasi penambahan spesies kumbang tinja (Coleoptera: Scarabaeinae) di Hutan Lambusango, Pulau Buton.

(36)

(Davis et al. 2001; Filgueiras et al. 2015; Halffter dan Arrelano 2002; Nichols et al. 2007).

Penelitian ini menemukan bahwa kekayaan spesies dan kelimpahan individu yang ditemukan pada habitat dengan tingkat gangguan rendah tidak berbeda nyata dengan habitat dengan tingkat gangguan tinggi, tetapi keanekaragaman pada kedua tipe gangguan habitat berbeda nyata dengan habitat dengan tipe gangguan sedang, walaupun jika dikaji dari struktur dan komposisi kumbang tinja menunjukkan perubahan antar tipe gangguan habitat. Sekitar 42% dari total jumlah spesies dapat ditemukan pada tiap tipe gangguan habitat, hal ini menandakan bahwa tingkatan gangguan habitat memengaruhi jumlah spesies lebih dari 50% dari total spesies. Selain itu, gangguan habitat yang meningkat juga berkorelasi positif dengan peluang penambahan spesies. Estimasi kekayaan spesies pada habitat dengan tingkat gangguan tinggi bernilai dua kali lebih besar daripada habitat dengan gangguan rendah dan sedang.

Namun, indeks keanekaragaman alfa dan nilai kesamaan spesies dari penelitian ini mengindikasikan bahwa tingkatan gangguan habitat menurunkan variasi keanekaragaman spesies. Penelitian ini menemukan proporsi kekayaan spesies dan kemerataaan spesies kumbang tinja pada habitat dengan tingkat gangguan rendah lebih tinggi daripada habitat dengan tingkat gangguan sedang dan tinggi. Pada habitat dengan gangguan sedang memiliki kecendrungan dominansi spesies.

Perbedaan respons kumbang tinja tersebut dapat dipengaruhi oleh karakteristik habitat pada tiap tipe gangguan habitat. Pada tingkat gangguan sedang, karakteristik habitatnya merupakan hutan sekunder yang letaknya berdekatan dengan jalan raya, kebun masyarakat, serta lokasi ini menjadi lebih terbuka karena adanya akses jalan setapak permanen dan jalan setapak tradisional. Pada tingkat gangguan tinggi, karakteristik habitatnya adalah perkebunan jambu mete yang terletak berdekatan dengan hutan alam dan jalan raya, sehingga dapat dikatakan berada pada satu bentang alam dengan hutan Lambusango, selain itu areal dengan gangguan tinggi juga menjadi areal penggembalaan sapi. Sangat kontras, pada lokasi dengan tingkat gangguan tinggi terletak di hutan primer dengan tingkat aksestabilitas manusia yang rendah. Karakteristik dari tiap tipe gangguan habitat membentuk daya dukung lingkungan dan efek tepi bagi spesies kumbang tinja dan tingkat keanekaragamannya.

(37)

horizontal dan vertikal yang secara nyata memengaruhi distribusi mamalia yang tidak dapat terbang (non-flying mammal), sumber produser kotoran.

Keanekaragaman kumbang tinja yang berbeda pada tiap tipe gangguan habitat juga dipengaruhi oleh kehadiran spesies langka (rare species) atau spesies yang hanya ditemukan satu individu (singletons species) dan dua invidu (doubletons species). Penelitian ini menemukan spesies langka dan estimasinya pada habitat dengan tingkat gangguan tinggi lebih besar daripada habitat dengan tingkat gangguan rendah dan sedang. Hal ini dapat terjadi karena adanya ketersediaan sumber daya kotoran yang tinggi pada habitat dengan tingkat gangguan tinggi, yaitu menjadi areal penggembalaan sapi oleh masyarakat dari desa terdekat dengan hutan. Berdasarkan karakteristik geologi kepulauan Sulawesi, nilai endemisitas fauna di Sulawesi mencapai 75% (Hanski dan Krikken 1991), sehingga memungkinkan peluang kehadiran spesies yang berbeda antar tipe gangguan habitat di hutan Lambusango, Pulau Buton Namun, jika berdasarkan ketersedian sumber kotoran, pada hutan hujan tropis, kotoran dari mamalia herbivor merupakan salah satu sumber makanan yang penting bagi kumbang tinja (Estrada et al. 1993). Trend kehadiran spesies langka pada penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Carpio et al. (2009), yaitu spesies langka dengan kriteria singletons, doubletens, dan tripletons semakin meningkat pada habitat hutan alami.

Guild dan Niche (Relung) Kumbang Tinja pada Gangguan Antropogenik

Kumbang tinja dengan perilaku tunneller (pembuat terowongan) dan roller

(penggulung kotoran) merupakan dua tipe guild dari sub famili Scarabaeinae yang ditemukan di hutan tropis Buton. Tipe perilaku tunneler dominan ditemukan (S=25). Keragaman guild kumbang tinja dipengaruhi oleh tipe tanah (Hanski dan Cambeforti 1991), dan tipe hutan (Andersen 2005). Menurut Hanski (1983), habitat terbaik bagi kelompok tunneler adalah hutan dari batuan ultra basa dan kapur (limestone). Hutan Lambusango merupakan hutan limestone (Singer dan Purwanto 2006).

Sebaran guild pada tiap tingkatan gangguan habitat juga berbeda, hal ini diduga berkaitan erat dengan habitus makro kumbang tinja (tanah) yang berbeda. Tekstur liat berdebu (silty-clay) untuk tipe gangguan rendah dan tekstur lempung berdebu (silty-loam) untuk tipe gangguan sedang dan tinggi. Lumaret dan Kirk (1991) menyatakan bahwa kumbang tinja Scarab dapat hidup pada tekstur tanah pasir (sandy), debu (silty), dan liat (clay), tetapi untuk keberhasilan perkembangan larva, tekstur tanah pasir yang lembab merupakan habitat yang ideal (Osberg et al.1994).

Variasi respons kumbang tinja terhadap gangguan habitat juga terindikasi melalui relung (niche). Kompetisi terhadap sumber daya kotoran membentuk dua tipe relung yaitu relung generalis dan spesialis. Dari lima spesies endemik Sulawesi (C. erratus mayasukii, O. aureopilosus, O scrutator, O. griseoeneus, dan

Gambar

Gambar 1 Peta lokasi penelitian di hutan Lambusango, pulau Buton, Sulawesi Tenggara
Tabel 1  Karakteristik lokasi penelitian
Gambar 2 Skema pengambilan sampel kumbang tinja di hutan Lambusango
Gambar 3 Rata-rata kelimpahan individu (a) kekayaan spesies (b) kumbang tinja pada gradient gangguan habitat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dapat kami sampaikan kepada saudar a, bahw a ber dasar kan hasil Evaluasi ter hadap Dokumen Penaw ar an Administr asi, Tekhnis dan Biaya yang telah dilakukan oleh Kelompok Ker ja

[r]

Fotocopy berkas yang tercantum didalam formulir isian kualifikasi penawaran yang saudara sampaikan pada paket pekerjaan tersebut untuk diserahkan pada Pokja sebanyak 1 (satu)

[r]

Kepada para peserta lelang yang berkeberatan atas penetapan pemenang Pelelangan Umum tersebut di atas dapat mengajukan sanggahan kepada Panitia Pengadaan Barang

Penelitian dengan menggunakan model pembelajaran Problem Basde Laerning ini dapat memberikan pengetahuan baru dan pilihan model pembelajaran alternatif bagi guru,

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Salim (2014) yang menunjukan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap perataan laba, hal ini berarti tindakan perataan

Hasil penelitian menunjukan bahwa, 1 Program pengembangan budaya religius di MTs Hidayatul Mubtadi’in Malang diantaranya: Sholat dhuha dan dzuhur berjama’ah, program tartil setiap