II. TINJAUAN PUSTAKA
2.4. Habitat 16
Semua makhluk hidup mempunyai tempat hidup, tempat hidup ini disebut
habitat. Habitat dalam batas tertentu harus sesuai dengan persyaratan hidup
makhluk hidup yang menghuninya. Batas bawah persyaratan hidup itu disebut
titik minimum dan batas atasnya disebut ttitik maksimum, antara dua kisaran ini
terdapat titik optimum. Ketiga titik itu yaitu titik minimum, maksimun, dan
optimum disebut titik kardinal. Apabila sifat habitat berubah sampai di luar titik
minimum atau maksimum, makhluk hidup akan mati atau berpindah. Apabila
perubahan terjadi dalam waktu yang lambat misalnya selama beberapa generasi,
makhluk hidup umumnya dapat menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru di
luar batas semula. Melalui proses adaptasi ini sebenarnya telah terbentuk makhluk
hidup yang mempunyai sifat lain, yang disebut ras baru atau bahkan dapat
terbentuk jenis baru (Soemarwoto 1997).
Habitat adalah suatu kawasan yang terdiri dari beberapa komponen, baik
komponen fisik maupun komponen biotik yang merupakan satu kesatuan dan
dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biak satwaliar. Satwaliar
menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung
kehidupannya. Habitat yang sesuai bagi satu jenis belum tentu sesuai untuk jenis
lainnya, karena setiap jenis satwaliar menghendaki kondisi habitat yang berbeda-
beda. Habitat berfungsi untuk penyediaan makanan, air, dan perlindungan. Jika
seluruh keperluan hidup satwaliar terdapat di dalam habitatnya, populasi akan
bertumbuh sampai terjadi persaingan dengan populasi lainnya. Pertumbuhan
populasi sangat ditentukan oleh jumlah minimum dari faktor fisik dan biotik yang
membatasi kehidupannya. Kuantitas dan kualitas habitat sangat menentukan
prospek pemanfaatan dan kelestarian satwaliar. Banyak kegagalan pengelolaan
satwaliar, disebabkan karena kurangnya perhatian untuk memperbaiki keadaan
habitatnya (Alikodra 1990).
Ancaman utama keanekaragaman hayati adalah rusak dan hilangnya habitat
mereka, dan cara yang paling baik untuk melindungi keanekaragaman hayati
adalah dengan memelihara habitatnya. Telah diketahui bahwa kerusakan habitat
merupakan hal yang menyebabkan kelompok hewan vertebrata terancam punah,
dan ini berlaku juga bagi hewan invertebrata, tumbuhan dan jamur. Kebanyakan
spesies makhluk hidup yang penting, hampir semua habitatnya di daerah
penyebaran mereka telah musnah dan hanya sedikit yang telah dijadikan daerah
yang dilindungi. Lebih dari 95% habitat untuk owa jawa dan lutung telah rusak,
dan mereka hanya dilindungi di sekitar 2% dari daerah penyebaran alaminya
(Indrawan et al. 2007).
Pemanfaatan strata hutan bervariasi menurut waktu dan ruang. Cara hidup
makhluk hidup pada habitatnya disebut relung, relung ada yang umum dan ada
yang khusus (Soemarwoto 1997). Relung untuk spesies tanaman terdiri dari jenis
tanah tempat tumbuhnya, banyaknya cahaya matahari dan kelembaban yang
dibutuhkan, jenis sistem penyerbukan, dan mekanisme penyebaran biji. Relung
untuk hewan terdiri dari jenis habitat yang ditempatinya, ketahanan terhadap
panas, kebutuhan nutrisi, daerah jelajah, dan kebutuhan akan air. Setiap
komponen relung dapat menjadi sumberdaya pembatas ketika komponen itu
membatasi ukuran populasi (Indrawan et al. 2007). Secara umum berbagai jenis
burung memanfaatkan relungnya pada siang hari, sedangkan mamalia pada malam
hari. Pengecualian untuk beberapa jenis mamalia seperti bajing dan primata,
memanfaatkan relungnya pada siang hari (Alikodra 1990).
Populasi satwa liar berfluktuasi dari waktu ke waktu, sesuai dengan
fluktuasi keadaan lingkungannya. Fluktuasi populasi ini dapat berkembang, stabil,
ataupun menurun. Pengelolaan populasi bertujuan untuk mendapatkan kondisi
populasi yang stabil, dimana struktur populasinya (komposisi kelamin dan umur)
mampu menjamin keseimbangan jumlah anggota populasinya. Banyak diantara
spesies satwaliar yang tersebar di wilayah zoogeografisnya, pada saat ini terancam
kepunahan. Banyak faktor yang menyebabkan kepunahan ini, terutama karena
penyempitan dan kerusakan habitat. Keadaan hutan yang rusak karena berbagai
sebab, dapat mendesak kehidupan satwa liar. Program yang harus dijalankan
bukan hanya melestarikan spesies yang terancam punah, tetapi juga sekaligus
melestarikan habitatnya. Pengelolaan habitat merupakan kegiatan praktis
mengatur kombinasi faktor fisik dan biotik lingkungan, sehingga dicapai suatu
kondisi yang optimal bagi perkembangan satwaliar (Alikodra 1997).
Masyarakat satwaliar di lantai hutan sangat bervariasi, terutama sangat
ditentukan oleh komposisi jenis tumbuhan sebagai habitat mereka, kerapatan, dan
letak tempatnya. Taman Nasional Ujung Kulon misalnya dicirikan dengan adanya
mamalia besar, terutama badak jawa (Rhinoceros sondaicus), banteng
(Bos
javanicus), dan babi hutan (Sus scrofa). Pada stratum antara 20 sampai 30 meter
dari permukaan tanah dijumpai kera ekor panjang (Macaca fascicularis) dan
berbagai macam burung, diantaranya yang khas adalah burung rangkong
(Alikodra 1990).
Perbedaan kepadatan populasi satwa pada suatu habitat dapat terjadi karena
beberapa faktor yaitu: (1) kemampuan individu populasi untuk melakukan
pergerakan, (2) adanya penghalang-penghalang baik fisik maupun biologis, (3)
pengaruh kegiatan manusia, (4) kemampuan suatu wilayah untuk mendukung dan
merangsang satwa untuk datang ke wilayah tersebut (Alikodra 1990). Nijman
(2006) mengemukakan bahwa, terjadinya gangguan pada habitat akan sangat
mempengaruhi kepadatan populasi.
Suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara
makhluk hidup dengan lingkungannya disebut ekosistem. Ekosistem terbentuk
oleh komponen hidup dan tak hidup di suatu tempat, yang berinteraksi
membentuk suatu kesatuan yang teratur. Keteraturan ini terjadi karena adanya
arus meteri dan energi yang terkendalikan oleh arus informasi antara komponen
dalam ekosistem itu. Masing-masing komponen itu mempunyai fungsi atau
relung. Selama masing-masing komponen itu melakukan fungsinya dan bekerja
sama dengan baik, keteraturan ekosistem itupun akan terjaga. Keteraturan
ekosistem, menunjukkan ekosistem tersebut berada dalam suatu keseimbangan
tertentu. Keseimbangan itu tidak bersifat statis melainkan dinamis, akan selalu
berubah-rubah. Kadang-kadang perubahan itu besar, kadang-kadang kecil.
Perubahan itu dapat terjadi secara alamiah, maupun sebagai akibat dari aktifitas
manusia (Soemarwoto 1997).
Setiap spesies primata mempunyai respon yang berbeda terhadap
penebangan hutan. Pada kelompok Hylobates suaranya akan berkurang selama
ada kegiatan eksploitasi hutan, tetapi mereka tetap mempertahankan teritorinya.
Beberapa bulan setelah kegiatan eksploitasi selesai, suara mereka kedengaran
ramai kembali. Pengaruh eksploitasi hutan terhadap primata dapat disebabkan
oleh beberapa hal yaitu: Suara yang ditimbulkan oleh alat-alat berat dan rusaknya
habitat dapat menimbulkan stress dan mengubah perilaku, rusaknya pohon-pohon
penghasil buah dan rusaknya pohon/ cabang yang dipergunakan untuk tempat
berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya, setelah kegiatan eksploitasi
regenerasi pohon sangat lambat sehingga sering kondisi semula tidak dapat
terbentuk kembali (Alikodra 1997).
Dalam dokumen
Gunung Halimun Salak National Park Corridor Conservation for Javan Gibbon (Hylobates moloch Audebert 1797) Habitats
(Halaman 42-45)