YUMARNI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Konservasi Koridor Taman
Nasional Gunung Halimun Salak untuk Habitat Owa Jawa (
Hylobates moloch
Audebert 1797) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Februari
2012
YUMARNI. Gunung Halimun Salak National Park Corridor Conservation for
Javan Gibbon (
Hylobates moloch
Audebert 1797) Habitats. Under direction of
HADI SUKADI ALIKODRA, LILIK BUDI PRASETYO, and RINEKSO
SOEKMADI.
The Gunung Halimun Salak National Park (GHSNP) corridor is an area
connecting the Gunung Halimun and the Gunung Salak in the Gunung Halimun
Salak National Park (GHSNP). The corridor functions as a habitat and a
movement line for some important protected wildlife, such as javan gibbon
(
Hylobates moloch
Audebert 1797). Javan gibbon is an endemic primate of Java
Island. Its populations tend to decline and are scarcely distributed only in West
and Central Java. The IUCN (International Union for Conservation of Nature)
categorizes it as an endangered species. It is heavily dependent on its habitat
condition that should provide appropriate trees for its food and bed. The local
community’s high dependence on land and natural resources in the corridor has
become a thread to the existence of Javan gibbon. The study is aimed at
formulating the management of corridor models for conservation of the javan
gibbon. It employs the Line Transect Methods for the data of javan gibbon’s
population, the square line method for the javan gibbon’s habitat, and the use of
Arc GIS 9.3 program for spatial modelling of javan gibbon’s habitat suitability in
the National Park’s corridor, and the use of secondary data for the analisys of
social economy of community. The research found nine groups of javan gibbon
with 28 individuals in the corridor and nojavan gibbon in the research site of
Cipanas. The group density of javan gibbon varied from 0.01 to 0.03 groups per
km
2, the population density was between 0.04 and 0.09 individual per km
2. The
average of highest INP values of trees was owned by rasamala (
Altingia excelsa
)
at 144.26%, manii (
Maesopsis eminii
) at 64.65% and puspa (
Schima wallichii
) at
60.90%. The highest INP values for young trees were of kisireum (
Syzygium
rostratum
) 79.02%, manii (73.68%), and huru hiris (
Litsea brachystachya
)
62.69%, while those for sapling were of manii (88.58%), kopinango (
Nyssa
sp.)
81.12%, and mara bereum (
Macaranga triloba
) 63.53%, for seedling level of
batarua (
Quercus gemiliflorus
) 83.50%, manii (72.42%), and pasang (
Quercus
oldocarpa
) 44.39%. For the habitat suitability, all groups of javan gibbon were
found in the suitable class of habitat and nojavan gibbon found in the highly
suitable and unsuitable habitat. There were estimation 28,608 people living in the
corridor at 2020. most of them (76.58%) were at low level education (elementary
and middle school); 52.64% were at 19 to 59 years of age; 63.29% were farmers;
83.4% held land less than 0.25 hectares; and 86.7% had monthly family income
lower than Rp 74,000,-/capyta/year.
YUMARNI. Konservasi Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak untuk
Habitat Owa Jawa (
Hylobates moloch
Audebert 1797). Dibimbing oleh: HADI
SUKADI ALIKODRA, LILIK BUDI PRASETYO, DAN RINEKSO
SOEKMADI.
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) berasal dari perluasan
Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), yang ditetapkan dengan SK Menteri
Kehutanan Nomor:175/Kpts-II/2003, dengan luas 113.357 ha. Perluasan ini
membentuk koridor TNGHS, yang menghubungkan Gunung Halimun dan
Gunung Salak. Fungsi koridor TNGHS adalah sebagai habitat dan jalur
pergerakan bagi owa jawa. Owa jawa merupakan primata endemik Pulau Jawa,
yang penyebarannya terbatas hanya di Jawa Barat dan Jawa Tengah. status owa
jawa menurut IUCN (
International Union for Conservation of Nature
) termasuk
kategori spesies yang terancam punah (
Endangered Species
). Selain
penyebarannya yang terbatas, populasi owa jawapun diperkirakan sudah sangat
sedikit. Hasil penelitian Kappeler (1987), memperkirakan populasi owa jawa di
Jawa Barat dan Jawa Tengah 8.000 individu. Iskandar (2007) memperkirakan
populasi owa jawa di TNGHS berkisar antara 2.318-2.695 individu. Supriatna
(2006) menyatakan bahwa diantara populasi owa jawa yang masih tersisa,
sebahagian besar berada di TNGHS.
Tujuan penelitian ini adalah: memformulasikan model konservasi koridor
TNGHS untuk habitat owa jawa. Penelitian ini dilakukan di koridor TNGHS,
berdasarkan administrasi pemerintahan koridor TNGHS berada pada dua
kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi (Kecamatan Kabandungan dengan desa
Cihamerang, Cipeuteuy, dan Kabandungan) dan Kabupaten Bogor (Desa Purasari
di Kecamatan Leuwiliang dan Desa Purwabakti di Kecamatan Pamijahan).
Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2010 sampai Juni 2011. Metode yang
dipakai adalah
line trnsect sampling
untuk owa jawa
,
metode garis berpetak untuk
habitat owa jawa, analisis
spasial
untuk kesesuaian habitat owa jawa, dan untuk
melihat tekanan terhadap koridor TNGHS akibat aktifitas penduduk dipakai data
sekunder tentang keadaan sosial ekonomi penduduk di koridor TNGHS.
Diidentifikasi sembilan kelompok owa jawa dengan 28 individu di koridor
TNGHS. Hasil penelitian ini lebih kecil apabila dibandingkan dengan Rinaldi
et
al
. (2008) yang menemukan 11 kelompok dan lebih besar apabila dibandingkan
dengan Komarudin (2009) yang menemukan empat kelompok. Hal ini dapat
terjadi karena perbedaan frekuensi perjumpaan dengan owa jawa, yang dapat
disebabkan oleh ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur pada jalur penelitian.
Di lokasi Sukagalih dan Cisarua ditemukan masing-masing dua kelompok owa
jawa dengan enam individu, di Cilodor ditemukan dua kelompok dengan lima
individu, di GH dan Ciherang masing-masing ditemukan satu kelompok dengan
empat individu, dan di Cipicung ditemukan satu kelompok dengan tiga individu.
Sementara di lokasi Cipanas tidak ditemukan kelompok owa jawa.
0,07 individu/km², GH dan Ciherang dengan masing-masing 0,06 individu/km²,
dan Cipicung 0,04 individu/km².
Kerapatan kelompok dan kerapatan populasi beberapa hasil penelitian
sebelum ini yaitu Komarudin (2009) menyatakan kerapatan kelompok owa jawa
di koridor TNGHS 5,7 kelompok/km² dan kerapatan populasi 21,42 individu/km²,
Iskandar (2007) menyatakan rerata kerapatan kelompok owa jawa di Citarik,
Cikaniki, Cibeureum, dan Cisalimar TNGHS 3,4 kelompok/km² dan kerapatan
populasi 8,2 individu/km², Nijman (2004) menyatakan kerapatan kelompok owa
jawa di Gunung Halimun 3,0 kelompok/km² dan kerapatan populasi 6,8
individu/km². Kecilnya kerapatan kelompok dan kerapatan populasi pada
penelitian ini apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Komarudin (2009)
disebabkan oleh semakin berkurangnya habitat owa jawa di koridor TNGHS.
Sesuai dengan hasil penelitian Cahyadi (2003) yang menyatakan bahwa, areal
berhutan di koridor TNGHS mengalami pengurangan setiap saat. Kemudian
apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Iskandar (2007) di Citarik, Cikaniki,
Cibeureum, dan Cisalimar TNGHS dan Nijman (2004) di Gunung Halimun
disebabkan oleh lebih jeleknya kondisi habitat owa jawa di koridor TNGHS dari
pada lokasi lain di TNGHS. Sesuai dengan hasil penelitian Rinaldi
et al
. (2008),
yang menyatakan bahwa hutan di kawasan koridor TNGHS terputus oleh semak
belukar dan tumbuhan kaliandra yang memanjang dari Utara ke Selatan.
Owa jawa terdistribusi hampir pada semua lokasi penelitian, kecuali di
lokasi Cipanas. Jumlah anggota masing-masing kelompok berkisar antara dua
sampai empat individu. Komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS secara
keseluruhan lengkap untuk semua tingkatan umur, yaitu ada pasangan induk,
anak remaja, dan ada bayi.
Hasil analisis vegetasi pada seluruh lokasi penelitian ditemukan 77 jenis
vegetasi di koridor TNGHS, dan 42 jenis diantaranya adalah vegetasi tingkat
pohon. Rerata nilai INP tertinggi vegetasi tingkat pohon dimiliki oleh rasamala
(
Altingia excelsa
) yaitu 144,26%, diikuti oleh manii (
Maesopsis eminii
) dengan
nilai 64,65% dan puspa (
Schima wallichii
) dengan nilai 60,90%. Permudaan
vegetasi di koridor TNGHS terdiri dari 40 jenis vegetasi tingkat tiang, 51 jenis
vegetasi tingkat pancang, dan 45 jenis vegetasi tingkat semai. INP tertinggi
vegetasi tingkat tiang adalah 79,02% yaitu kisireum (
Syzygium rostratum
), diikuti
73,68% yaitu manii, dan 62,69% yaitu huru hiris (
Litsea brachystachya
). Vegetasi
tingkat pancang INP tertingginya 88,58% yaitu manii, diikuti 81,12% kopinango
(
Nyssa
sp.), dan 63,53% mara bereum (
Macaranga triloba
). Vegetasi tingkat
semai INP tertinggi 83,50% yaitu pasang batarua (
Quercus gemiliflorus
), diikuti
72,42% yaitu manii, dan 44,39% yaitu pasang (
Quercus oldocarpa
).
Peta kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS memperlihatkan
bahwa, semua kelompok owa jawa yang teridentifikasi berada pada kelas sesuai.
Hal ini dapat terjadi karena areal hutan di koridor TNGHS telah mengalami
degradasi dan fragmentasi, sehingga areal yang berhutan di koridor TNGHS sudah
sedikit dan terkelompok-kelompok menjadi areal yang kecil. Keadaan ini
menyebabkan habitat owa jawa di koridor TNGHS sudah sangat terdesak, yang
menyebabkan owa jawa hanya di jumpai pada areal-areal yang memang sesuai
untuk kehidupan mereka.
20,44 ha dan terfragmentasi, sehingga tidak memenuhi syarat untuk
home range
owa jawa. Kelas kesesuaian habitat tidak sesuai adalah berupa
enclave
, yang
banyak terdapat di koridor TNGHS yaitu berupa areal pertanian, perusahaan
pertambangan, dan kebun teh. Kelas kesesuaian habitat tidak sesuai jelas tidak
memenuhi syarat untuk kehidupan owa jawa yang
arboreal
, karena bukan
merupakan areal yang berhutan.
Tingginya aktifitas penduduk di koridor TNGHS disebabkan karena tingkat
sosial ekonomi penduduk yang relatif rendah. Rendahnya tingkat sosial ekonomi
penduduk di koridor TNGHS diindikasikan dengan: jumlah penduduk yang cukup
tinggi yaitu diperkirakan 28.608 jiwa pada tahun 2020, 76,58% penduduk
berpendidikan SD sampai SLTP, 52,64% penduduk berumur 19 sampai 59 tahun,
63,29% penduduk bekerja sebagai petani dengan harga komoditas pertanian yang
rendah, 53,3% keluarga dengan jumlah anggota keluarga lima sampai enam orang,
65,69% pengeluaran rumah tangga adalah untuk kebutuhan beras, 83,4%
kepemilikan lahan penduduk kurang dari 0,25 ha, 56,7% waktu tempuh penduduk
ke hutan adalah cepat (kurang 30 menit), 86,7% penduduk berpenghasilan
dibawah Rp. 74.000,-/kapita/bulan.
Upaya-upaya ke depan yang dapat dilakukan untuk konservasi koridor
TNGHS sebagai habitat owa jawa diantaranya adalah: Pertama selalu memantau
keberadaan populasi owa jawa yang sekarang masih tersisa, karena dengan cara
ini akan dapat diketahui kondisi populasi dan habitatnya. Kedua melakukan
peningkatan kuantitas dan kualitas habitat owa jawa di koridor TNGHS yang ada
sekarang, ini dapat dilakukan dengan menanam jenis-jenis pohon yang dibutuhkan
oleh owa jawa sebagai pohon pakan dan pohon tidur, seperti rasamala (
Altingia
excelsa
), puspa (
Schima wallichii
), manii (
Maesopsis eminii
), dan saninten
(
Castanopsis argentea
). Ketiga dengan meningkatkan luasan habitat yang sesuai
untuk kehidupan owa jawa, hal ini dapat dilakukan juga dengan penanaman untuk
memperluas tutupan lahan berupa hutan dan memperbaiki faktor-faktor
lingkungan yang mendukung kehidupan owa jawa. Keempat adalah dengan
meningkatkan taraf sosial ekonomi penduduk yang berada di koridor TNGHS,
sehingga ketergantungan mereka terhadap lahan dan suberdaya alam yang ada di
koridor TNGHS dapat diminimalkan.
Model konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa di koridor
TNGHS harus mempertimbangkan aspek perlindungan, pengawetan, dan
pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang ada di
koridor TNGHS. Aspek perlindungan dilakukan dengan melibatkan penduduk
setempat secara partisipatif, untuk menjaga sumberdaya alam dan lingkungan
yang ada di koridor TNGHS. Aspek pengawetan dilakukan dengan penanaman
untuk membuat penghubung (konektifitas)
antar habitat owa jawa yang
terfragmentasi di koridor TNGHS. Sementara konektifitas alami belum berfungsi
optimal, dapat dibangun konektifitas buatan (
artificial connectifity
) berupa
tiang-tiang atau jembatan penghubung yang sifatnya sementara. Aspek pemanfaatan
berorientasi pada peningkatan ekonomi penduduk setempat berbasis sumberdaya
hutan non kayu, hal ini dapat dilakukan melalui sistem agroforestri dengan
tumpang sari.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
YUMARNI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dosen penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S.
Prof. Dr. Ir. Ervizal A. M. Zuhud, M.S.
Dosen penguji pada Ujian Terbuka: Prof. (Ris.). Dr. M. Bismark, M.S.
PRAKATA
Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Penelitian
untuk penulisan disertasi ini dilakukan di koridor Taman Nasional Gunung
Halimun Salak Provinsi Jawa Barat, dari bulan Oktober 2010 sampai bulan Juni
2011. Tema yang dipilih untuk disertasi ini adalah: Konservasi Koridor Taman
Nasional Gunung Halimun Salak untuk Habitat Owa Jawa (
Hylobates moloch
Audebert 1797).
Penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan atas bimbingan,
bantuan, motivasi dari berbagai pihak, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1.
Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, M.S. selaku ketua komisi pembimbing,
Prof. Dr. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc. F.
selaku anggota komisi pembimbing, atas curahan waktu dan fikiran untuk
membimbing penulis dalam penulisan disertasi ini.
2.
Bapak Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S. dan Prof. Dr. Ir. Ervizal A. M.
Zuhud, M.S. selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
3.
Bapak Prof. (Ris) Dr. M. Bismark, M.S. dan Dr. Ir. Burhanuddin Masyud,
M.S., selaku dosen penguji luar komisi pada ujian terbuka Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
4.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional
yang memberikan Biaya Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dan Pemerintah
Daerah Provinsi Sumatera Barat atas beasiswa Pemda.
5.
Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan SPs IPB, beserta staf atas semua
layanannya,
6.
Koordinator Kopertis Wilayah X Padang beserta staf, atas izin melanjutkan
studi dan semua bantuannya.
7.
Rektor, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah Sumatera
8.
Kepala dan staf Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak Provinsi Jawa
Barat, atas fasilitas penelitian, bantuan literatur, peta-peta digital, dan
lain-lainnya.
9.
Soojung Ham: Division of Eco Science, Ewha Womans University Seoul
Korea, atas foto-foto owa jawa.
10.
Kepala dan staf Laboratorium Satwaliar, Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB, atas semua
layanannya.
11.
Teman-teman di Laboratorium Analisis Lingkungan, Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB, atas semua
bantuannya dalam analisis spasial.
12.
Teman-teman Hoya Club beserta keluarga atas semangat, dorongan, bantuan,
perhatian, dan kerjasamanya.
13.
Bapak H. M. Al-Husain dan bapak Somad, beserta tim atas pendampingan
selama kegiatan penelitian di lapangan.
14.
Kedua orang tua penulis Yusuf Dt. Bagindo dan Mardianis (Almh.) atas
semua jasa, perhatian, kasih sayang, doa, dan pengorbanan yang tidak
terhingga dan tidak akan terbalas.
15.
Uda, adik-adik beserta semua keluarga atas semua perhatian, kasih sayang,
dan doanya.
16.
Semua pihak yang telah memberikan bantuan yang tidak dapat disebutkan
satu persatu.
Semoga disertasi ini bermanfaat bagi semua pihak, dan dapat menambah
khasanah ilmu pengetahuan kita semua.
Bogor, Februari 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kotogadang Kabupaten Agam Provinsi Sumatera
Barat pada tanggal 19 Maret 1964 sebagai anak ke dua dari enam bersaudara, dari
pasangan orang tua Yusuf Dt. Bagindo dan Mardianis (Almh.). Pendidikan
Sarjana ditempuh di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Andalas Padang, lulus pada tahun 1990. Tahun 1999 penulis
diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor, dan menamatkannya pada tahun 2002. Kesempatan
untuk melanjutkan studi ke program doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan
Kehutanan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, diperoleh pada tahun
2006. Penulis mendapat Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional dan dari
Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat Padang.
Penulis bertugas sebagai dosen pada Fakultas Pertanian Universitas
Muhamadiyah Sumatera Barat Padang, dari tahun 1993 sampai 1997. Sejak Tahun
1998 sampai sekarang penulis bertugas di Fakultas Kehutanan perguruan tinggi
yang sama.
Selama mengikuti program doktor, penulis menjadi anggota Masyarakat
Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI). Artikel dengan judul Keadaan Sosial
Ekonomi Penduduk di Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak
(TNGHS) dan Pengaruhnya terhadap Konservasi Koridor TNGHS untuk Habitat
Owa Jawa (
Hylobates moloch
Audebert 1797) telah diterbitkan pada Jurnal
Menara Ilmu Volume I Nomor 27 Januari Tahun 2012, Analisis Habitat Owa
Jawa (
Hylobates moloch
Audebert 1797) di Koridor Taman Nasional Gunung
Halimun Salak, akan diterbitkan pada Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi
Alam Volume 9 Nomor 3 Tahun 2012. Analisis Populasi Owa Jawa (
Hylobates
moloch
Audebert 1797) di Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak, akan
diterbitkan pada Jurnal Media Konservasi. Karya-karya ilmiah tersebut adalah
Halaman
DAFTAR TABEL .………...xiii
DAFTAR GAMBAR ……….iv
DAFTAR LAMPIRAN ………...v
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 4
1.3. Tujuan Penelitian ... 5
1.4. Manfaat Penelitian ... 6
1.5. Kebaruan (
Novelty
) Penelitian ... 6
1.6. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konservasi ... 9
2.2. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) ... 9
2.3. Koridor ... 11
2.4. Habitat ... 16
2.5. Struktur Lansekap Ekologi ... 19
2.6. Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 21
2.7. Penginderaan Jauh (
Remote Sensing
) ... 24
2.8.
Pixel
... 26
2.9. Owa Jawa (
Hylobates moloch
Audebert 1797) ... 26
2.10. Tekanan terhadap Koridor TNGHS ... 30
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
3.1.1. Lokasi Penelitian ……….33
3.1.2. Waktu Penelitian ……….34
3.2. Bahan dan Alat Penelitian
3.2.1. Bahan Penelitian …...………...…...34
3.2.2. Alat Penelitian ……….35
3.3. Pelaksanaan Penelitian
3.3.1.
Owa
Jawa ………35
3.3.2.
Habitat
Owa Jawa ………...37
3.3.3. Tekanan terhadap Owa Jawa ……...………...45
IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) ... 40
4.2. Koridor TNGHS ... 44
4.3. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk di Koridor TNGHS ... 51
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Owa Jawa
5.1.1. Populasi Owa Jawa ……….65
5.1.2.
Distribusi
Kelompok Owa Jawa ………..69
5.1.3.
Komposisi
Kelompok Owa Jawa ………74
5.2. Habitat Owa Jawa
5.2.1. Kesesuaian Habitat Owa Jawa ………80
5.2.2. Analisis Vegetasi Habitat Owa Jawa ………..95
5.3. Tekanan terhadap Owa Jawa
5.3.1. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk ………...….106
5.3.2. Pengurangan Luasan Hutan ………..….………...110
5.3.3. Waktu Tempuh Penduduk ke Hutan ...………..111
5.3.4.Tingkat Umur Penduduk ………...……112
5.3.5.
Tingkat
Pendidikan Penduduk ………..113
5.3.6. Pekerjaan Penduduk ………..……...………..…..114
5.3.7. Penghasilan Penduduk ………..115
5.3.8. Jumlah Anggota Keluarga Penduduk ...……….117
5.3.9. Pengeluaran Rumah Tangga Penduduk ………....117
5.3.10. Pembahasan Umum Tekanan terhadap Koridor TNGHS ……..118
5.4. Formulasi Model Konservasi Koridor TNGHS
5.4.1. Aspek Perlindungan………...………...120
5.4.2. Aspek Pengawetan………...….120
5.4.3. Aspek Pemanfaatan………...………121
VI. PEMBAHASAN UMUM ……….116
VII. SIMPULAN DAN SARAN
.
7.1. Simpulan ... 123
7.2. Saran ... 124
DAFTAR PUSTAKA ………...……….125
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Faktor penyusun model kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS ... 40
2 Skor dan bobot faktor penyusun model kesesuaian habitat owa jawa ... 41
3 Perkembangan perubahan status lahirnya TNGHS ... 42
4 Luasan tipe penutupan lahan kawasan koridor TNGHS ... 47
5 Perubahan tutupan lahan di koridor TNGHS Tahun 1990 sampai 2001 ... 47
6 Pertumbuhan jumlah penduduk di koridor TNGHS tahun 1989-2004 ... 52
7 Pertumbuhan penduduk tahun 1989-2004 dan perkiraan jumlah penduduk
tahun 2020 di koridor TNGHS ... 52
8 Tingkat pendidikan penduduk di koridor TNGHS... 53
9 Struktur penduduk menurut umur di koridor TNGHS ... 53
10 Pekerjaan penduduk di koridor TNGHS ... 54
11 Penghasilan penduduk di koridor TNGHS ... 54
12 Harga jual beberapa komoditas pertanian di koridor TNGHS ... 55
13 Jumlah anggota keluarga di Koridor TNGHS ... 55
14 Pengeluaran rumah tangga di koridor TNGHS ... 56
15 Persentase luas pemilikan lahan penduduk di koridor TNGHS ... 56
16 Waktu tempuh penduduk ke hutan di koridor TNGHS ... 57
17 Jumlah kelompok, jumlah individu, kerapatan kelompok, dan kerapatan
populasi owa jawa di koridor TNGHS ... 59
18 Jumlah kelompok dan jumlah individu owa jawa di koridor TNGHS ... 63
19 Faktor lingkungan identifikasi kelompok owa jawa di koridor TNGHS ... 65
20 Jumlah dan komposisi kelompok owa Jawa di koridor TNGHS ... 69
21 Frekuensi relatif, dominansi relatif, kerapatan relatif, dan INP vegetasi
tingkat pohon di koridor TNGHS ... 90
22 Frekuensi relatif, dominansi relatif, kerapatan relatif, dan INP vegetasi tingkat
tiang di koridor TNGHS ... 94
23 Frekuensi relatif, dominansi relatif, kerapatan relatif, dan INP vegetasi tingkat
pancang di koridor TNGHS ... 96
Halaman
1 Kerangka pemikiran penelitian konservasi koridor TNGHS untuk habitat
owa jawa. ... 8
2 Peta TNGHS. ... 33
3 Peta batas administrasi koridor TNGHS. ... 34
4 Desain
Line Transect Methods.
... 36
5 Proses pembuatan peta ketinggian tempat dan Kemiringan lereng. ... 38
6 Alur penentuan peta kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS. ... 39
7 Desain plot Metode Garis Berpetak………..44
8 Kerapatan kelompok dan kerapatan populasi owa jawa di koridor TNGHS 61
9 Areal di koridor TNGHS yang didominasi oleh semak belukar (a) dan
kaliandra (b). ... 62
10 Jumlah kelompok dan jumlah individu owa jawa di koridor TNGHS. ... 64
11 Peta distribusi kelompok owa jawa di koridor TNGHS. ... 64
12 Jumlah dan komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS... 69
13 Persentase komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS. ... 70
14 Persentase tingkatan umur owa jawa di koridor TNGHS. ... 71
15 Persentase kelompok owa jawa pada masing-masing lokasi di koridor
TNGHS. ... 74
16 Peta tutupan lahan di koridor TNGHS. ... 75
17 Peta jarak dari areal pertanian di koridor TNGHS. ... 77
Halaman
1 Data identifikasi kelompok owa jawa di koridor TNGHS...138
2. Jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di Koridor TNGHS………139
3. Famili dan jumlah jenis tumbuhan di koridor TNGHS……….……..141
4. Sebaran jenis vegetasi tingkat pohon pada tiap lokasi………142
5. Sebaran jenis vegetasi tingkat tiang pada tiap lokasi………..144
6. Sebaran jenis vegetasi tingkat pancang pada tiap lokasi……….………146
1.1. Latar Belakang
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan bagian dari
Kawasan Pelestarian Alam. Sebagai Kawasan Pelestarian Alam, TNGHS
merupakan kawasan ekologi dengan fungsi sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa,
serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
(Ditjend. PHKA 2004). Fokus utama pengelolaan TNGHS adalah untuk
mempertahankan perwakilan ekosistem hutan pegunungan Provinsi Jawa Barat,
yang unik dan memiliki keanekaragaman jenis hayati yang tinggi. Fungsi TNGHS
diantaranya adalah sebagai tempat perlindungan terhadap tumbuhan dan
satwa-satwa langka dan hampir punah, perlindungan terhadap sumber air, pendidikan
dan penelitian, serta rekreasi alam (GHSNPMP-JICA 2007a).
TNGHS berasal dari perluasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH),
yang ditetapkan dengan SK Menteri Kehutanan Nomor:175/Kpts-II/2003.
Perluasan ini merupakan perubahan fungsi kawasan hutan produksi Perum
Perhutani dan hutan lindung serta hutan produksi terbatas yang berada di sekitar
TNGH, menjadi satu kesatuan kawasan konservasi TNGHS dari luas awal 40.000
hektar menjadi 113.357 hektar (GHSNPMP-JICA 2007b). TNGHS merupakan
pusat keanekaragaman hayati yang masih tersisa di Provinsi Jawa Barat, serta
merupakan ekosistem hutan hujan tropis pegunungan terluas di Pulau Jawa
(GHSNPMP-JICA 2009).
Perluasan TNGH menjadi TNGHS, membentuk koridor TNGHS. Koridor
adalah areal yang menghubungkan dua ekosistem dengan kawasan yang terpisah,
fungsi koridor adalah sebagai habitat dan jalur pergerakan bagi satwa-satwa
penting dan dilindungi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Forman
dan Godron 1986). Koridor TNGHS merupakan areal memanjang dari Barat ke
Timur yang menghubungkan dua ekosistem utama di TNGHS, yaitu ekosistem
Gunung Halimun dan ekosistem Gunung Salak (GHSNPMP-JICA 2009). Koridor
TNGHS merupakan habitat dan jalur pergerakan bagi satwa-satwa penting dan
dilindungi di TNGHS, salah satu diantaranya adalah owa jawa (
Hylobates moloch
Owa jawa adalah primata endemik Pulau Jawa, yang penyebarannya sangat
terbatas yaitu hanya di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Status owa jawa menurut
IUCN (
International Union for Conservation of Nature
) termasuk kategori spesies
yang terancam punah (
Endangered Species
) (IUCN 2008). Selain penyebarannya
yang terbatas, populasi owa jawa pun diperkirakan sudah sangat sedikit
(MacKinnon 1987). Hasil penelitian Kappeler (1987), memperkirakan populasi
owa jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah sekitar 8.000 individu. Iskandar (2007)
memperkirakan populasi owa jawa di TNGHS berkisar antara 2.318-2.695
individu. Supriatna (2006) menyatakan bahwa, diantara populasi owa jawa yang
masih tersisa sebahagian besar berada di TNGHS.
Fungsi koridor TNGHS sangat penting untuk makhluk yang hidup di
Gunung Halimun dan Gunung Salak, sehingga koridor TNGHS ini perlu dipantau
keadaannya setiap waktu. Owa jawa merupakan spesies payung (
umbrella
species
), berkurangnya owa jawa di koridor TNGHS menjadi pertanda rusaknya
koridor TNGHS ini. Luas koridor yaitu 4.200 ha dan sepertiganya sudah menjadi
semak belukar, pohon-pohon besar sebagian telah menghilang. Kehidupan owa
jawa sangat bergantung pada kondisi habitatnya, karena mereka membutuhkan
pohon-pohon besar untuk pergerakan, mencari makan, dan beristirahat
(Supriyanto 2007).
Menurut Alikodra (1997) kualitas dan kuantitas habitat sangat menentukan
komposisi, penyebaran, dan produktifitas satwaliar. Owa jawa merupakan salah
satu jenis primata yang sangat sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungannya
(Iskandar
et al
. 2009). Kehidupan dan perkembangan owa jawa di koridor
TNGHS, membutuhkan habitat dengan jenis-jenis pohon tertentu dan tajuk pohon
yang saling tersambung. Kondisi koridor TNGHS sekarang mengalami
fragmentasi dan degradasi, yang mengakibatkan hubungan antar tajuk pohon
terputus dan ekosistem owa jawa menjadi terganggu.
Data citra satelit (
satellite image
) TM tahun 1990 sampai 2001
memperlihatkan bahwa, terjadi penyempitan dan fragmentasi koridor TNGHS.
Selama 11 tahun areal berhutan koridor TNGHS telah mengalami penurunan
sebesar 52% yaitu seluas 347,523 ha, dari luas 666,508 ha pada tahun 1990
memperlihatkan bahwa luas hutan di koridor TNGHS yang masih tersisa adalah
1.069,67 ha atau 25,43% dari luas koridor TNGHS yaitu 4.206,18 ha. Hutan yang
masih tersisa di koridor TNGHS ini terdiri dari hutan primer 268,56 ha, hutan
sekunder 759,06 ha, dan hutan tanaman 42,05 ha (GHSNPMP-JICA 2009).
Owa jawa untuk dapat bertahan hidup dan berkembang biak, membutuhkan
habitat yang sesuai untuk kehidupannya yang
arboreal
. Kesesuaian habitat owa
jawa dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan habitatnya, diantaranya adalah
tutupan lahan, jarak dari areal pertanian, jarak dari permukiman, jarak dari jalan,
ketinggian tempat, jarak dari sungai, dan kemiringan lereng. Kualitas faktor-faktor
lingkungan ini secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh aktifitas
manusia di koridor TNGHS. Aktifitas atau ketergantungan manusia terhadap
lahan dan sumberdaya alam yang ada di koridor TNGHS, dipengaruhi oleh
keadaan sosial ekonomi masyarakat yang berada di koridor TNGHS. Sesuai
dengan yang dikemukakan oleh MacKinnon
et al.
(1993) bahwa pengelolaan
kawasan yang dilindungi membutuhkan dukungan dari masyarakat yang ada di
dalam dan sekitarnya, karena mereka banyak menggantungkan hidupnya dari
produk dan jasa hutan yang ada di kawasan tersebut.
Ada lima desa dari dua kabupaten dan tiga kecamatan yang berada dalam
koridor TNGHS. Masyarakat dari lima desa ini aktifitas kehidupannya sangat
tergantung dari dalam koridor TNGHS (GHSNPMP-JICA 2009). Koridor
TNGHS banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk permukiman, lahan
pertanian (sawah dan ladang), mengambil kayu bakar dan makanan ternak, serta
keperluan lainnya. Aktifitas masyarakat ini berawal dari pengelolaan hutan
bersama masyarakat (PHBM), yang dilakukan oleh Perum Perhutani sebelum
perluasan TNGH. Kondisi ini mengharuskan pengelolaan koridor TNGHS,
dilakukan secara bersama dengan masyarakat.
Lemahnya pengakuan masyarakat terhadap eksistensi batas kawasan
TNGHS di lapangan serta belum selesainya proses tata batas dan zonasi TNGHS,
merupakan kendala bagi pengelola TNGHS untuk mempertahankan kemantapan
kawasan hutan dan menjalankan fungsi penegakan hukum yang dapat diterima
para pihak (GHSNPMP-JICA 2008). Masyarakat harus diberi pemahaman bahwa
belukar, sehingga perlu direstorasi. Akibat banyaknya areal semak belukar ini
hubungan antara Gunung Halimun dan Gunung Salak terputus, dan keadaan ini
tidak cocok untuk kehidupan owa jawa (Supriyanto 2007).
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan, maka penting dilakukan penelitian
untuk: Memformulasikan upaya-upaya konservasi koridor TNGHS untuk habitat
owa jawa, dengan memperhatikan aspek owa jawanya sendiri, habitatnya, dan
tekanan terhadap koridor TNGHS akibat aktifitas penduduk.
1.2. Perumusan Masalah
Kehidupan owa jawa semakin terancam dengan adanya indikasi penurunan
kuantitas dan kualitas habitat mereka di koridor TNGHS (Rinaldi
et al
. 2008). Hal
ini dapat mengakibatkan penurunan populasi bahkan kepunahan bagi primata
endemik Pulau Jawa ini, sehingga perlu dilakukan pemantauan populasi, kualitas
dan kuantitas habitat, dan intensitas gangguan akibat aktifitas manusia terhadap
kehidupan owa jawa di koridor TNGHS
Keberadaan owa jawa di koridor TNGHS sangat dipengaruhi oleh kuantitas
dan kualitas habitatnya. Kuantitas dan kualitas habitat ini akan menentukan
kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS. Faktor-faktor yang menentukan
kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS diantaranya adalah jenis tutupan
lahan, jarak dari areal pertanian, jarak dari permukiman, jarak dari jalan raya,
ketinggian tempat, jarak dari sungai, dan kemiringan lereng. Agar koridor
TNGHS sesuai sebagai habitat owa jawa, maka harus diperhatikan faktor-faktor
lingkungan yang mendukung untuk kehidupan owa jawa tersebut.
Koridor TNGHS banyak mengalami tekanan, yang diakibatkan oleh aktifitas
penduduk yang tinggal di sana. Tekanan yang terjadi seperti berupa perambahan
hutan untuk dijadikan lahan pertanian berupa sawah dan ladang, penambahan
areal permukiman seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, dan
penebangan liar. Semua gangguan tersebut berpengaruh terhadap kuantitas dan
kualitas habitat owa jawa di koridor TNGHS, karena owa jawa membutuhkan
kondisi hutan dengan jenis-jenis pohon tertentu dan tajuk pohon yang saling
tersambung untuk kelangsungan hidupnya. Habitat dengan semua komponennya
yang dibutuhkannya seperti tersedianya cukup pohon sebagai sumber makanan,
pohon tempat tidur dan tempat berlindung, serta ruang untuk bergerak.
Usaha yang dapat dilakukan untuk melindungi kelestarian owa jawa di
koridor TNGHS adalah dengan menyediakan habitat dan ruang pergerakan yang
sesuai untuk kehidupan mereka, serta meminimalkan tekanan terhadap habitat
owa jawa di koridor TNGHS. Koridor TNGHS dapat berfungsi sebagai habitat
maupun jalur pergerakan dari kawasan Gunung Halimun ke Gunung Salak, atau
sebaliknya bagi owa jawa (GHSNPMP-JICA 2009). Dengan tersedianya habitat
dan ruang pergerakan bagi owa jawa, serta kecilnya tekanan yang terjadi akibat
aktifitas manusia di koridor TNGHS, berarti kita dapat melestarikan owa jawa
yang harus mendapatkan makanan, melakukan pergerakan, beristirahat, dan
terhindar dari gangguan predator dan manusia.
Situasi yang ada saat ini menimbulkan masalah yang menjadi fokus
penelitian ini yaitu:
1.
Berapa jumlah populasi, dimana distribusi, dan bagaimana komposisi
kelompok owa jawa di koridor TNGHS.
2.
Bagaimana tingkat kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS.
3.
Bagaimana kuantitas dan kualitas habitat owa jawa di koridor TNGHS.
4.
Seberapa besar tekanan terhadap koridor TNGHS, akibat aktifitas
penduduk di koridor TNGHS.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah: memformulasikan model konservasi koridor
TNGHS untuk habitat owa jawa. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat tujuan
antara sebagai berikut:
1.
Menghitung populasi, menggambarkan distribusi, dan mendeskripsikan
komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS.
2.
Melakukan analisis spasial tingkat kesesuaian habitat owa jawa di koridor
TNGHS.
3.
Menganalisis kuantitas dan kualitas habitat owa jawa di koridor TNGHS.
4.
Mengetahui tekanan terhadap koridor TNGHS, akibat aktifitas penduduk
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah berupa informasi atau masukan bagi
pengelola TNGHS terkait dengan konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa
jawa, ditinjau dari aspek keberadaan owa jawanya, tingkat kesesuaian serta
ekologi habitatnya, dan potensi ancaman terhadap owa jawa akibat aktifitas
penduduk yang tinggal di koridor TNGHS.
1.5. Kebaruan (
Novelty
) Penelitian
Keterbaruan dari penelitian ini adalah formulasi model konservasi koridor
TNGHS untuk habitat owa jawa, ditinjau dari aspek owa jawanya, ekologi
habitatnya, dan ancaman terhadap owa jawa akibat aktifitas penduduk yang
tinggal di koridor TNGHS.
1.6. Kerangka Pemikiran Penelitian
Keberadaan koridor TNGHS salah satunya ditujukan sebagai jalur
pergerakan dan habitat bagi owa jawa. Owa jawa merupakan primata endemik
Pulau Jawa, penyebarannya terbatas hanya di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Populasi owa jawa diperkirakan sudah sangat sedikit (Indrawan
et al.
2007),
diantara populasi owa jawa yang masih tersisa sebahagian besar berada di
TNGHS (Supriatna 2006). Status owa jawa menurut IUCN adalah spesies yang
terancam punah (
Endangered Species
) (IUCN 2008). Hasil penelitian Kappeler
(1987), memperkirakan populasi owa jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah sekitar
8.000 individu. Iskandar (2007) memperkirakan populasi owa jawa di TNGHS
berkisar antara 2.318-2.695 individu. Kondisi seperti digambarkan tersebut,
sangat mengkhawatirkan akan kelangsungan hidup dari kelompok primate yang
dilindungi ini.
Owa jawa membutuhkan hutan dengan jenis-jenis pohon tertentu dan
pohon-pohon yang tinggi, multi strata, tajuk yang rapat dan saling tersambung untuk
kelangsungan hidupnya yang
arboreal
dan untuk pergerakannya secara
brakhiasi
.
Saat ini koridor TNGHS mengalami degradasi yang cukup serius, yang
diakibatkan oleh adanya perubahan kawasan hutan alam menjadi hutan tanaman,
lahan pertanian dan perkebunan, serta permukiman oleh masyarakat (Cahyadi
karena pada hutan tanaman satu strata dan pada areal pertanian yang sudah tidak
ada pohon-pohonnya tidak sesuai untuk kehidupan owa jawa.
Owa jawa membutuhkan jenis-jenis pohon tertentu untuk dijadikan pohon
pakan dan pohon tidur. Jenis-jenis pohon yang dibutuhkan owa jawa tersebut
seperti jenis-jenis darangdan (
Ficus sinuata
), pasang batarua (
Quercus
gemiliflorus
), rasamala (
Altingia excelsa
), dan saninten (
Castanopsis javanica
)
yang sekarang sudah jarang ditemui di TNGHS (Iskandar 2007). Perlu dilakukan
analisis vegetasi habitat owa jawa di koridor TNGHS, sebagai salah satu indikasi
untuk melihat kualitas habitat owa jawa di koridor TNGHS dan untuk
merencanakan upaya konservasi koridor TNGHS sebagai habitat owa jawa.
Fragmentasi dan degradasi hutan di koridor TNGHS akan menimbulkan
perubahan lansekap dan tutupan lahan, hal ini akan mempengaruhi kuantitas dan
kualitas habitat owa jawa. Habitat merupakan aspek penting yang mempengaruhi
kehidupan owa jawa. Komponen habitat yang sangat penting bagi kelangsungan
hidup owa jawa adalah vegetasi. Vegetasi bagi owa jawa berfungsi sebagai
penyedia pohon-pohon sebagai tempat mencari makanan, tempat tidur, tempat
berlindung, dan ruang pergerakan.
Tingginya aktifitas penduduk di koridor TNGHS, seperti bertani (sawah dan
ladang), bertempat tinggal, pengambilan kayu bakar dan makanan ternak, dan
perburuan (GHSNPMP-JICA 2009), akan menyebabkan tekanan terhadap koridor
TNGHS sebagai habitat owa jawa. Tekanan tersebut dapat menyebabkan
menurunnya kuantitas dan kualitas habitat mereka, maupun merasa terganggunya
owa jawa berada di koridor TNGHS karena kehadiran manusia. Akibat dari semua
ini akan mempengaruhi jumlah populasi, daerah distribusi, dan komposisi
kelompok owa jawa yang dapat bertahan hidup di koridor TNGHS.
Bertitik tolak dari pemikiran yang ada, maka penelitian ini penting
dilakukan, yang bertujuan untuk memformulasikan model konservasi koridor
TNGHS sebagai habitat owa jawa. Tujuan penelitian ini dicapai dengan
melakukan perhitungan jumlah populasi, mengetahui distribusi, dan
mendeskripsikan komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS, menganalisis
tingkat kesesuaian serta kualitas dan kuantitas habitat owa jawa di koridor
Penelitian ini akan mengetahui keadaan populasi owa jawa itu sendiri,
tingkat kesesuaian serta kualitas dan kuantitas habitat owa jawa, dan tingkat
tekanan penduduk terhadap habitat owa jawa di koridor TNGHS. Hasil akhir yang
diharapkan dari penelitian ini adalah memformulasikan model konservasi koridor
TNGHS untuk habitat owa jawa.
Diagram alir kerangka pemikiran penelitian konservasi koridor TNGHS
untuk habitat owa jawa, dapat dilihat pada Gambar 1.
[image:34.842.115.684.82.1098.2]
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian konservasi koridor TNGHS untuk
habitat owa jawa.
Habitat
Owa Jawa
Aktifitas
Penduduk di
Koridor TNGHS
Keadaan Populasi, Kesesuaian Habitat, Kuantitas dan
Kualitas Habitat, dan Tekanan terhadap Owa Jawa
- Populasi
- Distribusi
- Komposisi
Tekanan terhadap
Owa Jawa dan
Habitatnya
Formulasi Model Konservasi
Koridor TNGHS
U
k H bi
O
J
- Peta Kesesuaian
Habitat Owa Jawa
- INP Vegetasi
Koridor TNGHS
- Jumlah Populasi
- Peta Distribusi
-
Komposisi Kelompok
Penduduk
Analisis
2.1. Konservasi
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menyebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Anonim 1990).
2.2. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menyebutkan bahwa taman nasional adalah Kawasan Pelestarian Alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Anonim 1990).
Tujuan pengelolaan taman nasional adalah untuk melindungi kawasan alami dan berpemandangan alam indah yang penting, secara nasional atau internasional serta memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan, dan rekreasi (MacKinnon et al. 1993). Fungsi taman nasional adalah sebagai: (1) kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, (2) kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan (3) kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Ditjen. PHPA 1996).
TNGHS (Dirjen. PHKA 2006b). TNGHS terletak pada dua provinsi yaitu Provinsi
Jawa Barat yang meliputi dua kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi dan
Kabupaten Bogor dan Provinsi Banten dengan Kabupaten Lebak. TNGHS
ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003
tanggal 10 Juni 2003 dengan luas 113.357 hektar (GHSNPMP-JICA 2007a).
TNGHS sebagai Kawasan Pelestarian Alam, adalah merupakan kawasan
ekologi. Fungsi utamanya adalah sebagai sistem penyangga kehidupan dengan
fokus pengelolaan untuk mempertahankan perwakilan ekosistem hutan
pegunungan Jawa Barat (Ditjen. PHKA 2006a). Kawasan TNGHS berupa bentang
alam yang unik dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Fungsi yang
diemban oleh TNGHS diantaranya adalah sebagai tempat perlindungan terhadap
satwa langka dan hampir punah, sebagai tempat perlindungan terhadap
sumber-sumber daya alam yang mengandung kekayaan genetis, sebagai tempat
perlindungan terhadap sumber air, sebagai tempat pendidikan dan penelitian, dan
sebagai tempat rekreasi alam (GHSNPMP-JICA 2007a).
Pembagian kawasan TNGHS sangat penting, setiap bagian kawasan
memiliki peranan yang cukup berarti, sehingga masing-masing perlu
dipertahankan atau dilestarikan. Pembagian ini antara lain adalah: (1) kawasan
hutan pegunungan bawah dan atas yang merupakan hutan primer, harus
dipertahankan untuk menjadi areal inti sebagai preservasi hewan dan tumbuhan
liar, (2) kawasan hutan pegunungan atas (>1800 m dpl) yang tidak terlalu luas di
Gunung Salak mempunyai vegetasi yang sangat spesifik, sehingga keberadaan
kawasan ini menjadi sangat penting bagi TNGHS, (3) kawasan hutan pegunungan
rendah yang berfungsi sebagai habitat hidupan liar seperti leopard dan gibbon, (4)
hutan tanaman, areal ini dapat digunakan sebagai daerah penyangga (
buffer zone
)
antara TNGHS dan daerah di luarnya (Mirmanto
et al
. 2008).
Suryanti (2007) menyatakan bahwa terdapat tiga macam ekosistem yang
memiliki zona berbeda di TNGHS, yaitu zona hutan kaki pegunungan, zona hutan
sub pegunungan, dan zona hutan pegunungan. Pengaruh elemen-elemen lansekap
buatan manusia seperti patch areal pertanian, patch areal perkebunan teh, patch
areal pertambangan, dan patch permukiman, akan menyebabkan hilangnya
2.3. Koridor
Salah satu hal yang menarik dalam merancang sistem kawasan konservasi
adalah menggunakan koridor habitat. Koridor habitat dapat menghubungkan
kawasan dilindungi yang terisolasi, agar dapat terbentuk suatu sistem kawasan
yang lebih luas. Koridor habitat adalah jalur lahan yang menjadi penghubung
antara satu kawasan konservasi dengan kawasan lainnya yang berdekatan. Koridor
habitat (koridor konservasi atau koridor pergerakan) memungkinkan tumbuhan
dan satwa untuk menyebar dari satu kawasan ke kawasan yang lain, serta
memungkinkan terjadinya aliran gen dan bahkan kolonisasi habitat yang sesuai.
Melalui koridor habitat tersebut, beberapa kawasan yang terisolasi dapat
dihubungkan satu sama lain. Populasi-populasipun dapat saling berintegrasi,
sehingga membentuk suatu metapopulasi (Indrawan
et al
. 2007).
Menurut Forman dan Godron (1986), koridor adalah areal yang
menghubungkan dua daerah dalam suatu lansekap. Koridor dapat digunakan
untuk habitat, penghubung, jalur pergerakan, proteksi, sumberdaya alam, dan
estetika. Kebanyakan koridor digunakan untuk penghubung (konektifitas) karena
merupakan areal yang efisien untuk mekanisme pergerakan hewan, akan tetapi
koridor sering kali juga dimanfaatkan oleh pemburu untuk menangkap hewan
yang lewat di sana. Pada saat hewan melewati koridor, pemburu biasanya dengan
mudah dapat menangkap hewan-hewan tersebut, karena areal koridor yang
biasanya relatif kecil. Koridor kadang-kadang juga merupakan daerah isolasi
bagi hewan-hewan tertentu, karena biasanya merupakan suatu areal dengan
vegetasi yang hampir seragam.
Caughley dan Sinclair (1994) menyatakan keuntungan dari adanya koridor
adalah:
1. Mempertinggi kecepatan migrasi, dimana dapat:
a. Meningkatkan
species richness
(prediksi teori biogeograpi pulau).
b. Meningkatkan ukuran populasi untuk spesies tertentu dan kemungkinan
menurunkan kepunahan (memberikan penyelamatan), atau mengadakan
kembali populasi lokal yang sudah punah di alam.
2. Memberikan perluasan areal mencari makan untuk berbagai spesies.
3. Memberikan jalan untuk lari dari predator untuk bergerak diantara
patch.
4. Memberikan macam-macam habitat dan dapat memperoleh rangkaian tingkat
penerimaan, untuk spesies yang memerlukan variasi habitat untuk aktifitas
yang berbeda, atau sikap dalam tingkatan siklus hidup mereka.
5. Memberikan alternatif tempat perlindungan untuk gangguan yang besar,
seperti keluar dari gangguan kebakaran.
6. Memberikan jalan keluar untuk perpindahan, menyediakan kesempatan
rekreasi, dan mempercantik pemandangan alam dan penggunaan lahan.
Kerugian dari adanya koridor menurut Caughley dan Sinclair (1994) adalah:
1. Meningkatkan angka imigrasi, dimana dapat:
a. Memudahkan penyebaran penyakit endemik, serangga hama, spesies
eksotik, rumput-rumputan, dan menimbulkan spesies-spesies yang tidak
diingini dan melewati lansekap.
b. Menurunkan level variasi genetik diantara populasi atau sub populasi, atau
mengganggu adaptasi lokal dan menjadikan terbentuknya gen komplek
(tekanan silang luar).
2. Memfasilitasi penyebaran sumber bencana, seperti kebakaran dan gangguan
abiotik lainnya (penularan sumber bencana).
3. Peningkatan keberadaan pemburu satwa liar dan predator.
4. Koridor pada umumnya memotong bidang suatu areal, mengakibatkan satwa
sulit untuk memperluas areal penyebaran.
5. Ketika kualitas habitat koridor rendah, dibutuhkan biaya sebagai pemeliharaan
daerah konvensional untuk melindungi habitat spesies terancam punah.
Koridor merupakan areal yang cukup diperhitungkan untuk fungsi ekologis,
dalam suatu areal lansekap. Koridor dapat berupa pagar dari tumbuhan yang
berfungsi sebagai tempat perlindungan, jalan untuk perpindahan atau
konektifitas
dan saluran. Pembuatan koridor pada suatu areal lansekap biasanya diperlukan
untuk kepentingan komunitas hewan tertentu, karena dapat menambah keragaman
habitat. Penambahan elemen-elemen lansekap, mampu meningkatkan kerapatan
spesies hewan tertentu (Lavers dan Haines-Young 1993). Semakin banyak jumlah
dalam suatu lansekap, dan akan dapat meningkatkan kepadatan populasi asli yang
dapat bertahan di lokasi tersebut (Indrawan
et al
. 2007).
Koridor juga dapat berfungsi membantu melestarikan satwa yang harus
melakukan migrasi musiman diantara berbagai seri habitat yang berbeda-beda,
untuk mendapatkan makanan; bila satwa ini hanya dibatasi pada satu cagar alam
tunggal, maka mereka dapat mati kelaparan. Prinsip ini telah dipraktekkan di
Costa Rika untuk menghubungkan dua suaka marga satwa, Taman Nasional
Braulio Carillo dan Stasion Biologi La Selva. Kedua daerah konservasi yang
berbeda ketinggian tersebut dihubungkan oleh La Zona Protectora, suatu koridor
hutan yang luasnya 7.700 ha dengan lebar beberapa kilometer. Areal ini
memungkinkan setidaknya 35 spesies burung bermigrasi antara kedua kawasan
konservasi tersebut (Indrawan
et al
. 2007).
Hewan-hewan besar seperti gajah, idealnya kawasan habitat mereka harus
mencakup seluruh daerah jelajah populasi gajah tersebut. Beberapa negara telah
menetapkan koridor gajah untuk melindungi daerah alam di sepanjang jalur
migrasi, seperti Muangthai dan Sri Lanka (MacKinnon
et al.
1993). Pengamatan
terhadap mamalia
arboreal
di Brasil menunjukkan bahwa, koridor-koridor selebar
30 sampai 40 meter cukup untuk perpindahan sebahagian besar spesies dan bila
lebar koridor ditingkatkan menjadi 200 meter cukup untuk perpindahan semua
spesies (Indrawan
et al
. 2007).
Secara nyata ide mengenai koridor tampaknya menarik, akan tetapi koridor
juga mempunyai beberapa dampak negatif, misalnya memungkinkan perpindahan
berbagai spesies pembawa hama dan penyakit. Suatu penyakit dapat menyebar
dengan cepat melalui jalur hubungan yang ada, sehingga satu investasi tunggal
saja akan dapat secara cepat menyebar ke seluruh cagar alam yang berhubungan.
Keadaan ini akan menyebabkan kepunahan dari beragam populasi dari spesies
langka. Hewan yang berpindah melalui koridor juga mungkin akan berhadapan
dengan resiko predasi yang lebih besar, karena baik pemburu maupun pemangsa
(termasuk manusia) cenderung untuk terkonsentrasi pada jalur yang digunakan
hewan tersebut. Saat ini bukti nyata yang mendukung nilai dari koridor masih
sangat terbatas, secara umum nilai dari koridor habitat akan bervariasi menurut
Koridor secara jelas dibutuhkan pada jalur perpindahan, yang telah diketahui
oleh satwa di daerah tersebut. Potongan habitat asli yang disisakan di antara dua
kawasan konservasi, sering dapat berfungsi sebagai ”batu loncatan” yang akan
menjembatani perpindahan satwa. Koridor-koridor yang sudah terbentuk perlu
selalu dilestarikan. Banyak diantara koridor yang ada sekarang terletak sepanjang
aliran sungai, dan karena itu dapat merupakan habitat tersendiri bagi spesies
tertentu yang secara biologi penting keberadaannya (Indrawan
et al
. 2007).
Berdasarkan bentuk dan fungsinya Forman (1982) membedakan koridor
menjadi empat tipe yaitu:
1.
Line Corridor
: Berupa pagar tanaman pada pinggir jalan, arealnya biasanya
sempit berfungsi untuk memberikan jalur perpindahan, dan merupakan habitat
utama bagi
edge spesies
.
2.
Strip Corridor
: Arealnya lebih luas dengan lingkungan
interior
yang dapat
memberikan jalur perpindahan dan habitat bagi
spesies interior
.
3.
Gabungan antara
Line
dan
Strip Corridor
: Koridor ini berbentuk lingkaran,
sehingga dapat memberikan jalur alternatif untuk perpindahan, yang bertujuan
untuk menjauhi predator, berfungsi juga untuk tempat mencari makan dan
biasanya lebih disukai oleh banyak hewan.
4.
Stream Corridor
: Merupakan bentuk ganda dari
Strip Corridor
dengan pinggir
jalur perairan, cukup lebar untuk memberikan lingkungan
interior
dengan
aliran air yang baik. Koridor ini berfungsi untuk membantu
kontrol nutrient
permukaan, erosi, endapan lumpur dan banjir.
Koridor TNGHS merupakan areal memanjang dari Barat ke Timur, yang
menghubungkan dua kawasan penting di TNGHS yaitu kawasan Gunung
Halimun dan Gunung Salak. Wilayah koridor merupakan areal yang sangat
penting bagi TNGHS, karena berfungsi sebagai penghubung dua ekosistem utama
yaitu Gunung Halimun dan Gunung Salak, sebagai tempat terjadinya aliran
genetik dalam pelestarian keanekaragaman hayati dan fungsinya sebagai sistem
penyangga kehidupan (Rinaldi
et al
. 2008).
Koridor TNGHS berada pada dua kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi dan
Kabupaten Bogor. Kabupaten Sukabumi meliputi Kecamatan Kabandungan
meliputi Kecamatan Leuwiliang (Desa Purasari) dan Kecamatan Pamijahan (Desa
Purwabakti). Bagian Utara koridor seluas 1.662, 78 hektar masuk ke dalam
wilayah Kabupaten Bogor, sedangkan bagian Selatan seluas 2.533,00 hektar
berada dalam Kabupaten Sukabumi. Perbatasan ke dua kabupaten ini terletak
memanjang dari Barat ke Timur yang merupakan bagian tertinggi dari kawasan
koridor TNGHS (GHSNPMP-JICA 2009).
Sebagai areal yang menghubungkan dua fungsi ekologis, yaitu kawasan
Gunung Halimun dan Gunung Salak. Koridor TNGHS berfungsi sebagai habitat,
sumber pakan, jalur pergerakan satwa, dan lintasan pemencaran biji pepohonan
dari kedua kawasan tersebut. Koridor TNGHS merupakan habitat yang dapat
mendukung kelangsungan hidup keanekaragaman hayati pada dua ekosistem yang
terfragmen yaitu Gunung Halimun dan Gunung Salak, serta untuk lebih
meningkatkan fungsi kedua ekosistem tersebut sebagai sistem penyangga
kehidupan (GHSNPMP-JICA 2009).
Hutan di koridor TNGHS mengalami degradasi yang signifikan dalam 11
tahun terakhir. Degradasi hutan yang terjadi di koridor TNGHS sebesar 52% atau
seluas 347,523 hektar, dimana luas hutan di koridor TNGHS 666,508 hektar pada
tahun 1990 menjadi 318,985 hektar pada tahun 2001 (Cahyadi 2003). Degradasi
ini mengakibatkan
konektivitas
ekosistem satwa terganggu, seperti owa jawa yang
memerlukan pohon-pohon sebagai media pergerakan, pohon tidur, dan sumber
pakan seperti jenis saninten (
Castanopsis argentea
), pasang (
Quercus
sp.), dan
Ficus
sp. (Iskandar 2007). Macan tutul (
Panthera pardus
) yang menjadi satwa
maskot Provinsi Jawa Barat juga terancam. Elang Jawa (
Spizaetus bartelsi
), salah
satu satwa terancam punah dalam Appendix II CITES juga mengalami hal serupa.
Saat ini diperkirakan koridor TNGHS sudah tidak mampu lagi menyediakan
pohon-pohon untuk kelangsungan hidup hewan-hewan tersebut
(GHSNPMP-JICA 2007b).
Faktor penyebab rusaknya koridor TNGHS adalah okupasi lahan garapan
dan penebangan liar yang mengakibatkan lahan semak belukar (4.206,18 ha)
mendominasi kawasan koridor, dan hutan alam primer yang tersisa diperkirakan
hanya tinggal sekitar 216 ha saja. Garapan terjadi karena sebelum tahun 2003 oleh
di hutan produksi dan hutan lindung, dengan menanam jati dan tanaman pertanian
dan perkebunan (GHSNPMP-JICA 2009).
Restorasi di koridor TNGHS perlu mempertimbangkan aspek ekologis dan
pengaturan akses kepada masyarakat. Departemen Kehutanan mendesain zona
khusus di koridor TNGHS, yang memungkinkan akses kepada masyarakat
diberikan melalui penanaman jenis asli yang sekaligus bermanfaat bagi
masyarakat dan lingkungannya, serta menanam tanaman obat/palawija sebagai
tanaman sela (GHSNPMP-JICA 2009).
Pencanangan restorasi kawasan konservasi di Propinsi Jawa Barat dan
Banten pada tahun 2007, dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam (PHKA) di koridor TNGHS. Pencanangan tersebut
menandai dimulainya zona khusus di koridor TNGHS. Pencanangan ditandai
dengan penanaman aren (
Arenga pinnata
) seluas 22,5 hektar sepanjang batas
kawasan, 7,5 hektar tanaman penghidupan; durian, mangga, rambutan di luar
batas kawasan dan penanaman hutan rakyat 20 hektar di luar kawasan.
Penanaman tersebut merupakan rangkaian kegiatan Model Kampung Konservasi
yang didampingi oleh konsorsium yang terdiri dari TNGHS, GHSNPMP-JICA,
PT. Chevron, PT. PLN, Pemerintah Kabupaten Sukabumi, Lembaga Swadaya
Masyarakat PEKA dan Absolut (GHSNPMP-JICA 2009).
2.4. Habitat
Semua makhluk hidup mempunyai tempat hidup, tempat hidup ini disebut
habitat. Habitat dalam batas tertentu harus sesuai dengan persyaratan hidup
makhluk hidup yang menghuninya. Batas bawah persyaratan hidup itu disebut
titik minimum dan batas atasnya disebut ttitik maksimum, antara dua kisaran ini
terdapat titik optimum. Ketiga titik itu yaitu titik minimum, maksimun, dan
optimum disebut titik kardinal. Apabila sifat habitat berubah sampai di luar titik
minimum atau maksimum, makhluk hidup akan mati atau berpindah. Apabila
perubahan terjadi dalam waktu yang lambat misalnya selama beberapa generasi,
makhluk hidup umumnya dapat menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru di
luar batas semula. Melalui proses adaptasi ini sebenarnya telah terbentuk makhluk
hidup yang mempunyai sifat lain, yang disebut ras baru atau bahkan dapat
Habitat adalah suatu kawasan yang terdiri dari beberapa komponen, baik
komponen fisik maupun komponen biotik yang merupakan satu kesatuan dan
dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biak satwaliar. Satwaliar
menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung
kehidupannya. Habitat yang sesuai bagi satu jenis belum tentu sesuai untuk jenis
lainnya, karena setiap jenis satwaliar menghendaki kondisi habitat yang
berbeda-beda. Habitat berfungsi untuk penyediaan makanan, air, dan perlindungan. Jika
seluruh keperluan hidup satwaliar terdapat di dalam habitatnya, populasi akan
bertumbuh sampai terjadi persaingan dengan populasi lainnya. Pertumbuhan
populasi sangat ditentukan oleh jumlah minimum dari faktor fisik dan biotik yang
membatasi kehidupannya. Kuantitas dan kualitas habitat sangat menentukan
prospek pemanfaatan dan kelestarian satwaliar. Banyak kegagalan pengelolaan
satwaliar, disebabkan karena kurangnya perhatian untuk memperbaiki keadaan
habitatnya (Alikodra 1990).
Ancaman utama keanekaragaman hayati adalah rusak dan hilangnya habitat
mereka, dan cara yang paling baik untuk melindungi keanekaragaman hayati
adalah dengan memelihara habitatnya. Telah diketahui bahwa kerusakan habitat
merupakan hal yang menyebabkan kelompok hewan vertebrata terancam punah,
dan ini berlaku juga bagi hewan invertebrata, tumbuhan dan jamur. Kebanyakan
spesies makhluk hidup yang penting, hampir semua habitatnya di daerah
penyebaran mereka telah musnah dan hanya sedikit yang telah dijadikan daerah
yang dilindungi. Lebih dari 95% habitat untuk owa jawa dan lutung telah rusak,
dan mereka hanya dilindungi di sekitar 2% dari daerah penyebaran alaminya
(Indrawan
et al
. 2007).
Pemanfaatan strata hutan bervariasi menurut waktu dan ruang. Cara hidup
makhluk hidup pada habitatnya disebut relung, relung ada yang umum dan ada
yang khusus (Soemarwoto 1997). Relung untuk spesies tanaman terdiri dari jenis
tanah tempat tumbuhnya, banyaknya cahaya matahari dan kelembaban yang
dibutuhkan, jenis sistem penyerbukan, dan mekanisme penyebaran biji. Relung
untuk hewan terdiri dari jenis habitat yang ditempatinya, ketahanan terhadap
panas, kebutuhan nutrisi, daerah jelajah, dan kebutuhan akan air. Setiap
membatasi ukuran populasi (Indrawan
et al
. 2007). Secara umum berbagai jenis
burung memanfaatkan relungnya pada siang hari, sedangkan mamalia pada malam
hari. Pengecualian untuk beberapa jenis mamalia seperti bajing dan primata,
memanfaatkan relungnya pada siang hari (Alikodra 1990).
Populasi satwa liar berfluktuasi dari waktu ke waktu, sesuai dengan
fluktuasi keadaan lingkungannya. Fluktuasi populasi ini dapat berkembang, stabil,
ataupun menurun. Pengelolaan populasi bertujuan untuk mendapatkan kondisi
populasi yang stabil, dimana struktur populasinya (komposisi kelamin dan umur)
mampu menjamin keseimbangan jumlah anggota populasinya. Banyak diantara
spesies satwaliar yang tersebar di wilayah zoogeografisnya, pada saat ini terancam
kepunahan. Banyak faktor yang menyebabkan kepunahan ini, terutama karena
penyempitan dan kerusakan habitat. Keadaan hutan yang rusak karena berbagai
sebab, dapat mendesak kehidupan satwa liar. Program yang harus dijalankan
bukan hanya melestarikan spesies yang terancam punah, tetapi juga sekaligus
melestarikan habitatnya. Pengelolaan habitat merupakan kegiatan praktis
mengatur kombinasi faktor fisik dan biotik lingkungan, sehingga dicapai suatu
kondisi yang optimal bagi perkembangan satwaliar (Alikodra 1997).
Masyarakat satwaliar di lantai hutan sangat bervariasi, terutama sangat
ditentukan oleh komposisi jenis tumbuhan sebagai habitat mereka, kerapatan, dan
letak tempatnya. Taman Nasional Ujung Kulon misalnya dicirikan dengan adanya
mamalia besar, terutama badak jawa (
Rhinoceros sondaicus
), banteng
(
Bos
javanicus
), dan babi hutan (
Sus scrofa
). Pada stratum antara 20 sampai 30 meter
dari permukaan tanah dijumpai kera ekor panjang (
Macaca fascicularis
) dan
berbagai macam burung, diantaranya yang khas adalah burung rangkong
(Alikodra 1990).
Perbedaan kepadatan populasi satwa pada suatu habitat dapat terjadi karena
beberapa faktor yaitu: (1) kemampuan individu populasi untuk melakukan
pergerakan, (2) adanya penghalang-penghalang baik fisik maupun biologis, (3)
pengaruh kegiatan manusia, (4) kemampuan suatu wilayah untuk mendukung dan
merangsang satwa untuk datang ke wilayah tersebut (Alikodra 1990). Nijman
(2006) mengemukakan bahwa, terjadinya gangguan pada habitat akan sangat
Suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara
makhluk hidup dengan lingkungannya disebut ekosistem. Ekosistem terbentuk
oleh komponen hidup dan tak hidup di suatu tempat, yang berinteraksi
membentuk suatu kesatuan yang teratur. Keteraturan ini terjadi karena adanya
arus meteri dan energi yang terkendalik