• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gunung Halimun Salak National Park Corridor Conservation for Javan Gibbon (Hylobates moloch Audebert 1797) Habitats

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gunung Halimun Salak National Park Corridor Conservation for Javan Gibbon (Hylobates moloch Audebert 1797) Habitats"

Copied!
180
0
0

Teks penuh

(1)

YUMARNI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Konservasi Koridor Taman

Nasional Gunung Halimun Salak untuk Habitat Owa Jawa (

Hylobates moloch

Audebert 1797) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan

belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor,

Februari

2012

(4)
(5)

YUMARNI. Gunung Halimun Salak National Park Corridor Conservation for

Javan Gibbon (

Hylobates moloch

Audebert 1797) Habitats. Under direction of

HADI SUKADI ALIKODRA, LILIK BUDI PRASETYO, and RINEKSO

SOEKMADI.

The Gunung Halimun Salak National Park (GHSNP) corridor is an area

connecting the Gunung Halimun and the Gunung Salak in the Gunung Halimun

Salak National Park (GHSNP). The corridor functions as a habitat and a

movement line for some important protected wildlife, such as javan gibbon

(

Hylobates moloch

Audebert 1797). Javan gibbon is an endemic primate of Java

Island. Its populations tend to decline and are scarcely distributed only in West

and Central Java. The IUCN (International Union for Conservation of Nature)

categorizes it as an endangered species. It is heavily dependent on its habitat

condition that should provide appropriate trees for its food and bed. The local

community’s high dependence on land and natural resources in the corridor has

become a thread to the existence of Javan gibbon. The study is aimed at

formulating the management of corridor models for conservation of the javan

gibbon. It employs the Line Transect Methods for the data of javan gibbon’s

population, the square line method for the javan gibbon’s habitat, and the use of

Arc GIS 9.3 program for spatial modelling of javan gibbon’s habitat suitability in

the National Park’s corridor, and the use of secondary data for the analisys of

social economy of community. The research found nine groups of javan gibbon

with 28 individuals in the corridor and nojavan gibbon in the research site of

Cipanas. The group density of javan gibbon varied from 0.01 to 0.03 groups per

km

2

, the population density was between 0.04 and 0.09 individual per km

2

. The

average of highest INP values of trees was owned by rasamala (

Altingia excelsa

)

at 144.26%, manii (

Maesopsis eminii

) at 64.65% and puspa (

Schima wallichii

) at

60.90%. The highest INP values for young trees were of kisireum (

Syzygium

rostratum

) 79.02%, manii (73.68%), and huru hiris (

Litsea brachystachya

)

62.69%, while those for sapling were of manii (88.58%), kopinango (

Nyssa

sp.)

81.12%, and mara bereum (

Macaranga triloba

) 63.53%, for seedling level of

batarua (

Quercus gemiliflorus

) 83.50%, manii (72.42%), and pasang (

Quercus

oldocarpa

) 44.39%. For the habitat suitability, all groups of javan gibbon were

found in the suitable class of habitat and nojavan gibbon found in the highly

suitable and unsuitable habitat. There were estimation 28,608 people living in the

corridor at 2020. most of them (76.58%) were at low level education (elementary

and middle school); 52.64% were at 19 to 59 years of age; 63.29% were farmers;

83.4% held land less than 0.25 hectares; and 86.7% had monthly family income

lower than Rp 74,000,-/capyta/year.

(6)
(7)

YUMARNI. Konservasi Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak untuk

Habitat Owa Jawa (

Hylobates moloch

Audebert 1797). Dibimbing oleh: HADI

SUKADI ALIKODRA, LILIK BUDI PRASETYO, DAN RINEKSO

SOEKMADI.

Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) berasal dari perluasan

Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), yang ditetapkan dengan SK Menteri

Kehutanan Nomor:175/Kpts-II/2003, dengan luas 113.357 ha. Perluasan ini

membentuk koridor TNGHS, yang menghubungkan Gunung Halimun dan

Gunung Salak. Fungsi koridor TNGHS adalah sebagai habitat dan jalur

pergerakan bagi owa jawa. Owa jawa merupakan primata endemik Pulau Jawa,

yang penyebarannya terbatas hanya di Jawa Barat dan Jawa Tengah. status owa

jawa menurut IUCN (

International Union for Conservation of Nature

) termasuk

kategori spesies yang terancam punah (

Endangered Species

). Selain

penyebarannya yang terbatas, populasi owa jawapun diperkirakan sudah sangat

sedikit. Hasil penelitian Kappeler (1987), memperkirakan populasi owa jawa di

Jawa Barat dan Jawa Tengah 8.000 individu. Iskandar (2007) memperkirakan

populasi owa jawa di TNGHS berkisar antara 2.318-2.695 individu. Supriatna

(2006) menyatakan bahwa diantara populasi owa jawa yang masih tersisa,

sebahagian besar berada di TNGHS.

Tujuan penelitian ini adalah: memformulasikan model konservasi koridor

TNGHS untuk habitat owa jawa. Penelitian ini dilakukan di koridor TNGHS,

berdasarkan administrasi pemerintahan koridor TNGHS berada pada dua

kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi (Kecamatan Kabandungan dengan desa

Cihamerang, Cipeuteuy, dan Kabandungan) dan Kabupaten Bogor (Desa Purasari

di Kecamatan Leuwiliang dan Desa Purwabakti di Kecamatan Pamijahan).

Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2010 sampai Juni 2011. Metode yang

dipakai adalah

line trnsect sampling

untuk owa jawa

,

metode garis berpetak untuk

habitat owa jawa, analisis

spasial

untuk kesesuaian habitat owa jawa, dan untuk

melihat tekanan terhadap koridor TNGHS akibat aktifitas penduduk dipakai data

sekunder tentang keadaan sosial ekonomi penduduk di koridor TNGHS.

Diidentifikasi sembilan kelompok owa jawa dengan 28 individu di koridor

TNGHS. Hasil penelitian ini lebih kecil apabila dibandingkan dengan Rinaldi

et

al

. (2008) yang menemukan 11 kelompok dan lebih besar apabila dibandingkan

dengan Komarudin (2009) yang menemukan empat kelompok. Hal ini dapat

terjadi karena perbedaan frekuensi perjumpaan dengan owa jawa, yang dapat

disebabkan oleh ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur pada jalur penelitian.

Di lokasi Sukagalih dan Cisarua ditemukan masing-masing dua kelompok owa

jawa dengan enam individu, di Cilodor ditemukan dua kelompok dengan lima

individu, di GH dan Ciherang masing-masing ditemukan satu kelompok dengan

empat individu, dan di Cipicung ditemukan satu kelompok dengan tiga individu.

Sementara di lokasi Cipanas tidak ditemukan kelompok owa jawa.

(8)

0,07 individu/km², GH dan Ciherang dengan masing-masing 0,06 individu/km²,

dan Cipicung 0,04 individu/km².

Kerapatan kelompok dan kerapatan populasi beberapa hasil penelitian

sebelum ini yaitu Komarudin (2009) menyatakan kerapatan kelompok owa jawa

di koridor TNGHS 5,7 kelompok/km² dan kerapatan populasi 21,42 individu/km²,

Iskandar (2007) menyatakan rerata kerapatan kelompok owa jawa di Citarik,

Cikaniki, Cibeureum, dan Cisalimar TNGHS 3,4 kelompok/km² dan kerapatan

populasi 8,2 individu/km², Nijman (2004) menyatakan kerapatan kelompok owa

jawa di Gunung Halimun 3,0 kelompok/km² dan kerapatan populasi 6,8

individu/km². Kecilnya kerapatan kelompok dan kerapatan populasi pada

penelitian ini apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Komarudin (2009)

disebabkan oleh semakin berkurangnya habitat owa jawa di koridor TNGHS.

Sesuai dengan hasil penelitian Cahyadi (2003) yang menyatakan bahwa, areal

berhutan di koridor TNGHS mengalami pengurangan setiap saat. Kemudian

apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Iskandar (2007) di Citarik, Cikaniki,

Cibeureum, dan Cisalimar TNGHS dan Nijman (2004) di Gunung Halimun

disebabkan oleh lebih jeleknya kondisi habitat owa jawa di koridor TNGHS dari

pada lokasi lain di TNGHS. Sesuai dengan hasil penelitian Rinaldi

et al

. (2008),

yang menyatakan bahwa hutan di kawasan koridor TNGHS terputus oleh semak

belukar dan tumbuhan kaliandra yang memanjang dari Utara ke Selatan.

Owa jawa terdistribusi hampir pada semua lokasi penelitian, kecuali di

lokasi Cipanas. Jumlah anggota masing-masing kelompok berkisar antara dua

sampai empat individu. Komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS secara

keseluruhan lengkap untuk semua tingkatan umur, yaitu ada pasangan induk,

anak remaja, dan ada bayi.

Hasil analisis vegetasi pada seluruh lokasi penelitian ditemukan 77 jenis

vegetasi di koridor TNGHS, dan 42 jenis diantaranya adalah vegetasi tingkat

pohon. Rerata nilai INP tertinggi vegetasi tingkat pohon dimiliki oleh rasamala

(

Altingia excelsa

) yaitu 144,26%, diikuti oleh manii (

Maesopsis eminii

) dengan

nilai 64,65% dan puspa (

Schima wallichii

) dengan nilai 60,90%. Permudaan

vegetasi di koridor TNGHS terdiri dari 40 jenis vegetasi tingkat tiang, 51 jenis

vegetasi tingkat pancang, dan 45 jenis vegetasi tingkat semai. INP tertinggi

vegetasi tingkat tiang adalah 79,02% yaitu kisireum (

Syzygium rostratum

), diikuti

73,68% yaitu manii, dan 62,69% yaitu huru hiris (

Litsea brachystachya

). Vegetasi

tingkat pancang INP tertingginya 88,58% yaitu manii, diikuti 81,12% kopinango

(

Nyssa

sp.), dan 63,53% mara bereum (

Macaranga triloba

). Vegetasi tingkat

semai INP tertinggi 83,50% yaitu pasang batarua (

Quercus gemiliflorus

), diikuti

72,42% yaitu manii, dan 44,39% yaitu pasang (

Quercus oldocarpa

).

Peta kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS memperlihatkan

bahwa, semua kelompok owa jawa yang teridentifikasi berada pada kelas sesuai.

Hal ini dapat terjadi karena areal hutan di koridor TNGHS telah mengalami

degradasi dan fragmentasi, sehingga areal yang berhutan di koridor TNGHS sudah

sedikit dan terkelompok-kelompok menjadi areal yang kecil. Keadaan ini

menyebabkan habitat owa jawa di koridor TNGHS sudah sangat terdesak, yang

menyebabkan owa jawa hanya di jumpai pada areal-areal yang memang sesuai

untuk kehidupan mereka.

(9)

20,44 ha dan terfragmentasi, sehingga tidak memenuhi syarat untuk

home range

owa jawa. Kelas kesesuaian habitat tidak sesuai adalah berupa

enclave

, yang

banyak terdapat di koridor TNGHS yaitu berupa areal pertanian, perusahaan

pertambangan, dan kebun teh. Kelas kesesuaian habitat tidak sesuai jelas tidak

memenuhi syarat untuk kehidupan owa jawa yang

arboreal

, karena bukan

merupakan areal yang berhutan.

Tingginya aktifitas penduduk di koridor TNGHS disebabkan karena tingkat

sosial ekonomi penduduk yang relatif rendah. Rendahnya tingkat sosial ekonomi

penduduk di koridor TNGHS diindikasikan dengan: jumlah penduduk yang cukup

tinggi yaitu diperkirakan 28.608 jiwa pada tahun 2020, 76,58% penduduk

berpendidikan SD sampai SLTP, 52,64% penduduk berumur 19 sampai 59 tahun,

63,29% penduduk bekerja sebagai petani dengan harga komoditas pertanian yang

rendah, 53,3% keluarga dengan jumlah anggota keluarga lima sampai enam orang,

65,69% pengeluaran rumah tangga adalah untuk kebutuhan beras, 83,4%

kepemilikan lahan penduduk kurang dari 0,25 ha, 56,7% waktu tempuh penduduk

ke hutan adalah cepat (kurang 30 menit), 86,7% penduduk berpenghasilan

dibawah Rp. 74.000,-/kapita/bulan.

Upaya-upaya ke depan yang dapat dilakukan untuk konservasi koridor

TNGHS sebagai habitat owa jawa diantaranya adalah: Pertama selalu memantau

keberadaan populasi owa jawa yang sekarang masih tersisa, karena dengan cara

ini akan dapat diketahui kondisi populasi dan habitatnya. Kedua melakukan

peningkatan kuantitas dan kualitas habitat owa jawa di koridor TNGHS yang ada

sekarang, ini dapat dilakukan dengan menanam jenis-jenis pohon yang dibutuhkan

oleh owa jawa sebagai pohon pakan dan pohon tidur, seperti rasamala (

Altingia

excelsa

), puspa (

Schima wallichii

), manii (

Maesopsis eminii

), dan saninten

(

Castanopsis argentea

). Ketiga dengan meningkatkan luasan habitat yang sesuai

untuk kehidupan owa jawa, hal ini dapat dilakukan juga dengan penanaman untuk

memperluas tutupan lahan berupa hutan dan memperbaiki faktor-faktor

lingkungan yang mendukung kehidupan owa jawa. Keempat adalah dengan

meningkatkan taraf sosial ekonomi penduduk yang berada di koridor TNGHS,

sehingga ketergantungan mereka terhadap lahan dan suberdaya alam yang ada di

koridor TNGHS dapat diminimalkan.

Model konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa di koridor

TNGHS harus mempertimbangkan aspek perlindungan, pengawetan, dan

pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang ada di

koridor TNGHS. Aspek perlindungan dilakukan dengan melibatkan penduduk

setempat secara partisipatif, untuk menjaga sumberdaya alam dan lingkungan

yang ada di koridor TNGHS. Aspek pengawetan dilakukan dengan penanaman

untuk membuat penghubung (konektifitas)

antar habitat owa jawa yang

terfragmentasi di koridor TNGHS. Sementara konektifitas alami belum berfungsi

optimal, dapat dibangun konektifitas buatan (

artificial connectifity

) berupa

tiang-tiang atau jembatan penghubung yang sifatnya sementara. Aspek pemanfaatan

berorientasi pada peningkatan ekonomi penduduk setempat berbasis sumberdaya

hutan non kayu, hal ini dapat dilakukan melalui sistem agroforestri dengan

tumpang sari.

(10)
(11)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar IPB.

(12)
(13)

YUMARNI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(14)

Dosen penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S.

Prof. Dr. Ir. Ervizal A. M. Zuhud, M.S.

Dosen penguji pada Ujian Terbuka: Prof. (Ris.). Dr. M. Bismark, M.S.

(15)

PRAKATA

Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas

segala karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Penelitian

untuk penulisan disertasi ini dilakukan di koridor Taman Nasional Gunung

Halimun Salak Provinsi Jawa Barat, dari bulan Oktober 2010 sampai bulan Juni

2011. Tema yang dipilih untuk disertasi ini adalah: Konservasi Koridor Taman

Nasional Gunung Halimun Salak untuk Habitat Owa Jawa (

Hylobates moloch

Audebert 1797).

Penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan atas bimbingan,

bantuan, motivasi dari berbagai pihak, pada kesempatan ini penulis

menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1.

Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, M.S. selaku ketua komisi pembimbing,

Prof. Dr. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc. F.

selaku anggota komisi pembimbing, atas curahan waktu dan fikiran untuk

membimbing penulis dalam penulisan disertasi ini.

2.

Bapak Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S. dan Prof. Dr. Ir. Ervizal A. M.

Zuhud, M.S. selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup Sekolah

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

3.

Bapak Prof. (Ris) Dr. M. Bismark, M.S. dan Dr. Ir. Burhanuddin Masyud,

M.S., selaku dosen penguji luar komisi pada ujian terbuka Sekolah

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

4.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional

yang memberikan Biaya Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dan Pemerintah

Daerah Provinsi Sumatera Barat atas beasiswa Pemda.

5.

Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan SPs IPB, beserta staf atas semua

layanannya,

6.

Koordinator Kopertis Wilayah X Padang beserta staf, atas izin melanjutkan

studi dan semua bantuannya.

7.

Rektor, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah Sumatera

(16)

8.

Kepala dan staf Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak Provinsi Jawa

Barat, atas fasilitas penelitian, bantuan literatur, peta-peta digital, dan

lain-lainnya.

9.

Soojung Ham: Division of Eco Science, Ewha Womans University Seoul

Korea, atas foto-foto owa jawa.

10.

Kepala dan staf Laboratorium Satwaliar, Departemen Konservasi

Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB, atas semua

layanannya.

11.

Teman-teman di Laboratorium Analisis Lingkungan, Departemen Konservasi

Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB, atas semua

bantuannya dalam analisis spasial.

12.

Teman-teman Hoya Club beserta keluarga atas semangat, dorongan, bantuan,

perhatian, dan kerjasamanya.

13.

Bapak H. M. Al-Husain dan bapak Somad, beserta tim atas pendampingan

selama kegiatan penelitian di lapangan.

14.

Kedua orang tua penulis Yusuf Dt. Bagindo dan Mardianis (Almh.) atas

semua jasa, perhatian, kasih sayang, doa, dan pengorbanan yang tidak

terhingga dan tidak akan terbalas.

15.

Uda, adik-adik beserta semua keluarga atas semua perhatian, kasih sayang,

dan doanya.

16.

Semua pihak yang telah memberikan bantuan yang tidak dapat disebutkan

satu persatu.

Semoga disertasi ini bermanfaat bagi semua pihak, dan dapat menambah

khasanah ilmu pengetahuan kita semua.

Bogor, Februari 2012

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kotogadang Kabupaten Agam Provinsi Sumatera

Barat pada tanggal 19 Maret 1964 sebagai anak ke dua dari enam bersaudara, dari

pasangan orang tua Yusuf Dt. Bagindo dan Mardianis (Almh.). Pendidikan

Sarjana ditempuh di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam Universitas Andalas Padang, lulus pada tahun 1990. Tahun 1999 penulis

diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Program Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor, dan menamatkannya pada tahun 2002. Kesempatan

untuk melanjutkan studi ke program doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan

Kehutanan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, diperoleh pada tahun

2006. Penulis mendapat Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional dan dari

Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat Padang.

Penulis bertugas sebagai dosen pada Fakultas Pertanian Universitas

Muhamadiyah Sumatera Barat Padang, dari tahun 1993 sampai 1997. Sejak Tahun

1998 sampai sekarang penulis bertugas di Fakultas Kehutanan perguruan tinggi

yang sama.

Selama mengikuti program doktor, penulis menjadi anggota Masyarakat

Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI). Artikel dengan judul Keadaan Sosial

Ekonomi Penduduk di Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak

(TNGHS) dan Pengaruhnya terhadap Konservasi Koridor TNGHS untuk Habitat

Owa Jawa (

Hylobates moloch

Audebert 1797) telah diterbitkan pada Jurnal

Menara Ilmu Volume I Nomor 27 Januari Tahun 2012, Analisis Habitat Owa

Jawa (

Hylobates moloch

Audebert 1797) di Koridor Taman Nasional Gunung

Halimun Salak, akan diterbitkan pada Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi

Alam Volume 9 Nomor 3 Tahun 2012. Analisis Populasi Owa Jawa (

Hylobates

moloch

Audebert 1797) di Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak, akan

diterbitkan pada Jurnal Media Konservasi. Karya-karya ilmiah tersebut adalah

(18)
(19)

Halaman

DAFTAR TABEL .………...xiii

DAFTAR GAMBAR ……….iv

DAFTAR LAMPIRAN ………...v

I. PENDAHULUAN

 

1.1. Latar Belakang ... 1 

1.2. Perumusan Masalah ... 4 

1.3. Tujuan Penelitian ... 5 

1.4. Manfaat Penelitian ... 6 

1.5. Kebaruan (

Novelty

) Penelitian ... 6 

1.6. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA

 

2.1. Konservasi ... 9 

2.2. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) ... 9 

2.3. Koridor ... 11 

2.4. Habitat ... 16 

2.5. Struktur Lansekap Ekologi ... 19 

2.6. Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 21 

2.7. Penginderaan Jauh (

Remote Sensing

) ... 24 

2.8.

Pixel

... 26 

2.9. Owa Jawa (

Hylobates moloch

Audebert 1797) ... 26 

2.10. Tekanan terhadap Koridor TNGHS ... 30

III. METODE PENELITIAN

 

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.1.1. Lokasi Penelitian ……….33

3.1.2. Waktu Penelitian ……….34

3.2. Bahan dan Alat Penelitian

3.2.1. Bahan Penelitian …...………...…...34

3.2.2. Alat Penelitian ……….35

3.3. Pelaksanaan Penelitian

3.3.1.

Owa

Jawa ………35

3.3.2.

Habitat

Owa Jawa ………...37

3.3.3. Tekanan terhadap Owa Jawa ……...………...45

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

 

4.1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) ... 40 

4.2. Koridor TNGHS ... 44 

4.3. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk di Koridor TNGHS ... 51 

(20)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

 

5.1. Owa Jawa

5.1.1. Populasi Owa Jawa ……….65

5.1.2.

Distribusi

Kelompok Owa Jawa ………..69

5.1.3.

Komposisi

Kelompok Owa Jawa ………74

5.2. Habitat Owa Jawa

5.2.1. Kesesuaian Habitat Owa Jawa ………80

5.2.2. Analisis Vegetasi Habitat Owa Jawa ………..95

5.3. Tekanan terhadap Owa Jawa

5.3.1. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk ………...….106

5.3.2. Pengurangan Luasan Hutan ………..….………...110

5.3.3. Waktu Tempuh Penduduk ke Hutan ...………..111

5.3.4.Tingkat Umur Penduduk ………...……112

5.3.5.

Tingkat

Pendidikan Penduduk ………..113

5.3.6. Pekerjaan Penduduk ………..……...………..…..114

5.3.7. Penghasilan Penduduk ………..115

5.3.8. Jumlah Anggota Keluarga Penduduk ...……….117

5.3.9. Pengeluaran Rumah Tangga Penduduk ………....117

5.3.10. Pembahasan Umum Tekanan terhadap Koridor TNGHS ……..118

5.4. Formulasi Model Konservasi Koridor TNGHS

5.4.1. Aspek Perlindungan………...………...120

5.4.2. Aspek Pengawetan………...….120

5.4.3. Aspek Pemanfaatan………...………121

VI. PEMBAHASAN UMUM ……….116

VII. SIMPULAN DAN SARAN

.

 

7.1. Simpulan ... 123 

7.2. Saran ... 124

DAFTAR PUSTAKA ………...……….125

(21)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Faktor penyusun model kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS ... 40

2 Skor dan bobot faktor penyusun model kesesuaian habitat owa jawa ... 41

3 Perkembangan perubahan status lahirnya TNGHS ... 42

4 Luasan tipe penutupan lahan kawasan koridor TNGHS ... 47

5 Perubahan tutupan lahan di koridor TNGHS Tahun 1990 sampai 2001 ... 47

6 Pertumbuhan jumlah penduduk di koridor TNGHS tahun 1989-2004 ... 52

7 Pertumbuhan penduduk tahun 1989-2004 dan perkiraan jumlah penduduk

tahun 2020 di koridor TNGHS ... 52

8 Tingkat pendidikan penduduk di koridor TNGHS... 53

9 Struktur penduduk menurut umur di koridor TNGHS ... 53

10 Pekerjaan penduduk di koridor TNGHS ... 54

11 Penghasilan penduduk di koridor TNGHS ... 54

12 Harga jual beberapa komoditas pertanian di koridor TNGHS ... 55

13 Jumlah anggota keluarga di Koridor TNGHS ... 55

14 Pengeluaran rumah tangga di koridor TNGHS ... 56

15 Persentase luas pemilikan lahan penduduk di koridor TNGHS ... 56

16 Waktu tempuh penduduk ke hutan di koridor TNGHS ... 57

17 Jumlah kelompok, jumlah individu, kerapatan kelompok, dan kerapatan

populasi owa jawa di koridor TNGHS ... 59

18 Jumlah kelompok dan jumlah individu owa jawa di koridor TNGHS ... 63

19 Faktor lingkungan identifikasi kelompok owa jawa di koridor TNGHS ... 65

20 Jumlah dan komposisi kelompok owa Jawa di koridor TNGHS ... 69

21 Frekuensi relatif, dominansi relatif, kerapatan relatif, dan INP vegetasi

tingkat pohon di koridor TNGHS ... 90

22 Frekuensi relatif, dominansi relatif, kerapatan relatif, dan INP vegetasi tingkat

tiang di koridor TNGHS ... 94

23 Frekuensi relatif, dominansi relatif, kerapatan relatif, dan INP vegetasi tingkat

pancang di koridor TNGHS ... 96

(22)
(23)

Halaman

1 Kerangka pemikiran penelitian konservasi koridor TNGHS untuk habitat

owa jawa. ... 8 

2 Peta TNGHS. ... 33 

3 Peta batas administrasi koridor TNGHS. ... 34 

4 Desain

Line Transect Methods.

... 36 

5 Proses pembuatan peta ketinggian tempat dan Kemiringan lereng. ... 38 

6 Alur penentuan peta kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS. ... 39

7 Desain plot Metode Garis Berpetak………..44

8 Kerapatan kelompok dan kerapatan populasi owa jawa di koridor TNGHS 61 

9 Areal di koridor TNGHS yang didominasi oleh semak belukar (a) dan

kaliandra (b). ... 62 

10 Jumlah kelompok dan jumlah individu owa jawa di koridor TNGHS. ... 64 

11 Peta distribusi kelompok owa jawa di koridor TNGHS. ... 64 

12 Jumlah dan komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS... 69 

13 Persentase komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS. ... 70 

14 Persentase tingkatan umur owa jawa di koridor TNGHS. ... 71 

15 Persentase kelompok owa jawa pada masing-masing lokasi di koridor

TNGHS. ... 74 

16 Peta tutupan lahan di koridor TNGHS. ... 75 

17 Peta jarak dari areal pertanian di koridor TNGHS. ... 77

(24)
(25)

Halaman

1 Data identifikasi kelompok owa jawa di koridor TNGHS...138

2. Jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di Koridor TNGHS………139

3. Famili dan jumlah jenis tumbuhan di koridor TNGHS……….……..141

4. Sebaran jenis vegetasi tingkat pohon pada tiap lokasi………142

5. Sebaran jenis vegetasi tingkat tiang pada tiap lokasi………..144

6. Sebaran jenis vegetasi tingkat pancang pada tiap lokasi……….………146

(26)
(27)

1.1. Latar Belakang

Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan bagian dari

Kawasan Pelestarian Alam. Sebagai Kawasan Pelestarian Alam, TNGHS

merupakan kawasan ekologi dengan fungsi sebagai perlindungan sistem

penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa,

serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya

(Ditjend. PHKA 2004). Fokus utama pengelolaan TNGHS adalah untuk

mempertahankan perwakilan ekosistem hutan pegunungan Provinsi Jawa Barat,

yang unik dan memiliki keanekaragaman jenis hayati yang tinggi. Fungsi TNGHS

diantaranya adalah sebagai tempat perlindungan terhadap tumbuhan dan

satwa-satwa langka dan hampir punah, perlindungan terhadap sumber air, pendidikan

dan penelitian, serta rekreasi alam (GHSNPMP-JICA 2007a).

TNGHS berasal dari perluasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH),

yang ditetapkan dengan SK Menteri Kehutanan Nomor:175/Kpts-II/2003.

Perluasan ini merupakan perubahan fungsi kawasan hutan produksi Perum

Perhutani dan hutan lindung serta hutan produksi terbatas yang berada di sekitar

TNGH, menjadi satu kesatuan kawasan konservasi TNGHS dari luas awal 40.000

hektar menjadi 113.357 hektar (GHSNPMP-JICA 2007b). TNGHS merupakan

pusat keanekaragaman hayati yang masih tersisa di Provinsi Jawa Barat, serta

merupakan ekosistem hutan hujan tropis pegunungan terluas di Pulau Jawa

(GHSNPMP-JICA 2009).

Perluasan TNGH menjadi TNGHS, membentuk koridor TNGHS. Koridor

adalah areal yang menghubungkan dua ekosistem dengan kawasan yang terpisah,

fungsi koridor adalah sebagai habitat dan jalur pergerakan bagi satwa-satwa

penting dan dilindungi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Forman

dan Godron 1986). Koridor TNGHS merupakan areal memanjang dari Barat ke

Timur yang menghubungkan dua ekosistem utama di TNGHS, yaitu ekosistem

Gunung Halimun dan ekosistem Gunung Salak (GHSNPMP-JICA 2009). Koridor

TNGHS merupakan habitat dan jalur pergerakan bagi satwa-satwa penting dan

dilindungi di TNGHS, salah satu diantaranya adalah owa jawa (

Hylobates moloch

(28)

Owa jawa adalah primata endemik Pulau Jawa, yang penyebarannya sangat

terbatas yaitu hanya di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Status owa jawa menurut

IUCN (

International Union for Conservation of Nature

) termasuk kategori spesies

yang terancam punah (

Endangered Species

) (IUCN 2008). Selain penyebarannya

yang terbatas, populasi owa jawa pun diperkirakan sudah sangat sedikit

(MacKinnon 1987). Hasil penelitian Kappeler (1987), memperkirakan populasi

owa jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah sekitar 8.000 individu. Iskandar (2007)

memperkirakan populasi owa jawa di TNGHS berkisar antara 2.318-2.695

individu. Supriatna (2006) menyatakan bahwa, diantara populasi owa jawa yang

masih tersisa sebahagian besar berada di TNGHS.

Fungsi koridor TNGHS sangat penting untuk makhluk yang hidup di

Gunung Halimun dan Gunung Salak, sehingga koridor TNGHS ini perlu dipantau

keadaannya setiap waktu. Owa jawa merupakan spesies payung (

umbrella

species

), berkurangnya owa jawa di koridor TNGHS menjadi pertanda rusaknya

koridor TNGHS ini. Luas koridor yaitu 4.200 ha dan sepertiganya sudah menjadi

semak belukar, pohon-pohon besar sebagian telah menghilang. Kehidupan owa

jawa sangat bergantung pada kondisi habitatnya, karena mereka membutuhkan

pohon-pohon besar untuk pergerakan, mencari makan, dan beristirahat

(Supriyanto 2007).

Menurut Alikodra (1997) kualitas dan kuantitas habitat sangat menentukan

komposisi, penyebaran, dan produktifitas satwaliar. Owa jawa merupakan salah

satu jenis primata yang sangat sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungannya

(Iskandar

et al

. 2009). Kehidupan dan perkembangan owa jawa di koridor

TNGHS, membutuhkan habitat dengan jenis-jenis pohon tertentu dan tajuk pohon

yang saling tersambung. Kondisi koridor TNGHS sekarang mengalami

fragmentasi dan degradasi, yang mengakibatkan hubungan antar tajuk pohon

terputus dan ekosistem owa jawa menjadi terganggu.

Data citra satelit (

satellite image

) TM tahun 1990 sampai 2001

memperlihatkan bahwa, terjadi penyempitan dan fragmentasi koridor TNGHS.

Selama 11 tahun areal berhutan koridor TNGHS telah mengalami penurunan

sebesar 52% yaitu seluas 347,523 ha, dari luas 666,508 ha pada tahun 1990

(29)

memperlihatkan bahwa luas hutan di koridor TNGHS yang masih tersisa adalah

1.069,67 ha atau 25,43% dari luas koridor TNGHS yaitu 4.206,18 ha. Hutan yang

masih tersisa di koridor TNGHS ini terdiri dari hutan primer 268,56 ha, hutan

sekunder 759,06 ha, dan hutan tanaman 42,05 ha (GHSNPMP-JICA 2009).

Owa jawa untuk dapat bertahan hidup dan berkembang biak, membutuhkan

habitat yang sesuai untuk kehidupannya yang

arboreal

. Kesesuaian habitat owa

jawa dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan habitatnya, diantaranya adalah

tutupan lahan, jarak dari areal pertanian, jarak dari permukiman, jarak dari jalan,

ketinggian tempat, jarak dari sungai, dan kemiringan lereng. Kualitas faktor-faktor

lingkungan ini secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh aktifitas

manusia di koridor TNGHS. Aktifitas atau ketergantungan manusia terhadap

lahan dan sumberdaya alam yang ada di koridor TNGHS, dipengaruhi oleh

keadaan sosial ekonomi masyarakat yang berada di koridor TNGHS. Sesuai

dengan yang dikemukakan oleh MacKinnon

et al.

(1993) bahwa pengelolaan

kawasan yang dilindungi membutuhkan dukungan dari masyarakat yang ada di

dalam dan sekitarnya, karena mereka banyak menggantungkan hidupnya dari

produk dan jasa hutan yang ada di kawasan tersebut.

Ada lima desa dari dua kabupaten dan tiga kecamatan yang berada dalam

koridor TNGHS. Masyarakat dari lima desa ini aktifitas kehidupannya sangat

tergantung dari dalam koridor TNGHS (GHSNPMP-JICA 2009). Koridor

TNGHS banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk permukiman, lahan

pertanian (sawah dan ladang), mengambil kayu bakar dan makanan ternak, serta

keperluan lainnya. Aktifitas masyarakat ini berawal dari pengelolaan hutan

bersama masyarakat (PHBM), yang dilakukan oleh Perum Perhutani sebelum

perluasan TNGH. Kondisi ini mengharuskan pengelolaan koridor TNGHS,

dilakukan secara bersama dengan masyarakat.

Lemahnya pengakuan masyarakat terhadap eksistensi batas kawasan

TNGHS di lapangan serta belum selesainya proses tata batas dan zonasi TNGHS,

merupakan kendala bagi pengelola TNGHS untuk mempertahankan kemantapan

kawasan hutan dan menjalankan fungsi penegakan hukum yang dapat diterima

para pihak (GHSNPMP-JICA 2008). Masyarakat harus diberi pemahaman bahwa

(30)

belukar, sehingga perlu direstorasi. Akibat banyaknya areal semak belukar ini

hubungan antara Gunung Halimun dan Gunung Salak terputus, dan keadaan ini

tidak cocok untuk kehidupan owa jawa (Supriyanto 2007).

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan, maka penting dilakukan penelitian

untuk: Memformulasikan upaya-upaya konservasi koridor TNGHS untuk habitat

owa jawa, dengan memperhatikan aspek owa jawanya sendiri, habitatnya, dan

tekanan terhadap koridor TNGHS akibat aktifitas penduduk.

1.2. Perumusan Masalah

Kehidupan owa jawa semakin terancam dengan adanya indikasi penurunan

kuantitas dan kualitas habitat mereka di koridor TNGHS (Rinaldi

et al

. 2008). Hal

ini dapat mengakibatkan penurunan populasi bahkan kepunahan bagi primata

endemik Pulau Jawa ini, sehingga perlu dilakukan pemantauan populasi, kualitas

dan kuantitas habitat, dan intensitas gangguan akibat aktifitas manusia terhadap

kehidupan owa jawa di koridor TNGHS

Keberadaan owa jawa di koridor TNGHS sangat dipengaruhi oleh kuantitas

dan kualitas habitatnya. Kuantitas dan kualitas habitat ini akan menentukan

kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS. Faktor-faktor yang menentukan

kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS diantaranya adalah jenis tutupan

lahan, jarak dari areal pertanian, jarak dari permukiman, jarak dari jalan raya,

ketinggian tempat, jarak dari sungai, dan kemiringan lereng. Agar koridor

TNGHS sesuai sebagai habitat owa jawa, maka harus diperhatikan faktor-faktor

lingkungan yang mendukung untuk kehidupan owa jawa tersebut.

Koridor TNGHS banyak mengalami tekanan, yang diakibatkan oleh aktifitas

penduduk yang tinggal di sana. Tekanan yang terjadi seperti berupa perambahan

hutan untuk dijadikan lahan pertanian berupa sawah dan ladang, penambahan

areal permukiman seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, dan

penebangan liar. Semua gangguan tersebut berpengaruh terhadap kuantitas dan

kualitas habitat owa jawa di koridor TNGHS, karena owa jawa membutuhkan

kondisi hutan dengan jenis-jenis pohon tertentu dan tajuk pohon yang saling

tersambung untuk kelangsungan hidupnya. Habitat dengan semua komponennya

(31)

yang dibutuhkannya seperti tersedianya cukup pohon sebagai sumber makanan,

pohon tempat tidur dan tempat berlindung, serta ruang untuk bergerak.

Usaha yang dapat dilakukan untuk melindungi kelestarian owa jawa di

koridor TNGHS adalah dengan menyediakan habitat dan ruang pergerakan yang

sesuai untuk kehidupan mereka, serta meminimalkan tekanan terhadap habitat

owa jawa di koridor TNGHS. Koridor TNGHS dapat berfungsi sebagai habitat

maupun jalur pergerakan dari kawasan Gunung Halimun ke Gunung Salak, atau

sebaliknya bagi owa jawa (GHSNPMP-JICA 2009). Dengan tersedianya habitat

dan ruang pergerakan bagi owa jawa, serta kecilnya tekanan yang terjadi akibat

aktifitas manusia di koridor TNGHS, berarti kita dapat melestarikan owa jawa

yang harus mendapatkan makanan, melakukan pergerakan, beristirahat, dan

terhindar dari gangguan predator dan manusia.

Situasi yang ada saat ini menimbulkan masalah yang menjadi fokus

penelitian ini yaitu:

1.

Berapa jumlah populasi, dimana distribusi, dan bagaimana komposisi

kelompok owa jawa di koridor TNGHS.

2.

Bagaimana tingkat kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS.

3.

Bagaimana kuantitas dan kualitas habitat owa jawa di koridor TNGHS.

4.

Seberapa besar tekanan terhadap koridor TNGHS, akibat aktifitas

penduduk di koridor TNGHS.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah: memformulasikan model konservasi koridor

TNGHS untuk habitat owa jawa. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat tujuan

antara sebagai berikut:

1.

Menghitung populasi, menggambarkan distribusi, dan mendeskripsikan

komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS.

2.

Melakukan analisis spasial tingkat kesesuaian habitat owa jawa di koridor

TNGHS.

3.

Menganalisis kuantitas dan kualitas habitat owa jawa di koridor TNGHS.

4.

Mengetahui tekanan terhadap koridor TNGHS, akibat aktifitas penduduk

(32)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah berupa informasi atau masukan bagi

pengelola TNGHS terkait dengan konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa

jawa, ditinjau dari aspek keberadaan owa jawanya, tingkat kesesuaian serta

ekologi habitatnya, dan potensi ancaman terhadap owa jawa akibat aktifitas

penduduk yang tinggal di koridor TNGHS.

1.5. Kebaruan (

Novelty

) Penelitian

Keterbaruan dari penelitian ini adalah formulasi model konservasi koridor

TNGHS untuk habitat owa jawa, ditinjau dari aspek owa jawanya, ekologi

habitatnya, dan ancaman terhadap owa jawa akibat aktifitas penduduk yang

tinggal di koridor TNGHS.

1.6. Kerangka Pemikiran Penelitian

Keberadaan koridor TNGHS salah satunya ditujukan sebagai jalur

pergerakan dan habitat bagi owa jawa. Owa jawa merupakan primata endemik

Pulau Jawa, penyebarannya terbatas hanya di Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Populasi owa jawa diperkirakan sudah sangat sedikit (Indrawan

et al.

2007),

diantara populasi owa jawa yang masih tersisa sebahagian besar berada di

TNGHS (Supriatna 2006). Status owa jawa menurut IUCN adalah spesies yang

terancam punah (

Endangered Species

) (IUCN 2008). Hasil penelitian Kappeler

(1987), memperkirakan populasi owa jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah sekitar

8.000 individu. Iskandar (2007) memperkirakan populasi owa jawa di TNGHS

berkisar antara 2.318-2.695 individu. Kondisi seperti digambarkan tersebut,

sangat mengkhawatirkan akan kelangsungan hidup dari kelompok primate yang

dilindungi ini.

Owa jawa membutuhkan hutan dengan jenis-jenis pohon tertentu dan

pohon-pohon yang tinggi, multi strata, tajuk yang rapat dan saling tersambung untuk

kelangsungan hidupnya yang

arboreal

dan untuk pergerakannya secara

brakhiasi

.

Saat ini koridor TNGHS mengalami degradasi yang cukup serius, yang

diakibatkan oleh adanya perubahan kawasan hutan alam menjadi hutan tanaman,

lahan pertanian dan perkebunan, serta permukiman oleh masyarakat (Cahyadi

(33)

karena pada hutan tanaman satu strata dan pada areal pertanian yang sudah tidak

ada pohon-pohonnya tidak sesuai untuk kehidupan owa jawa.

Owa jawa membutuhkan jenis-jenis pohon tertentu untuk dijadikan pohon

pakan dan pohon tidur. Jenis-jenis pohon yang dibutuhkan owa jawa tersebut

seperti jenis-jenis darangdan (

Ficus sinuata

), pasang batarua (

Quercus

gemiliflorus

), rasamala (

Altingia excelsa

), dan saninten (

Castanopsis javanica

)

yang sekarang sudah jarang ditemui di TNGHS (Iskandar 2007). Perlu dilakukan

analisis vegetasi habitat owa jawa di koridor TNGHS, sebagai salah satu indikasi

untuk melihat kualitas habitat owa jawa di koridor TNGHS dan untuk

merencanakan upaya konservasi koridor TNGHS sebagai habitat owa jawa.

Fragmentasi dan degradasi hutan di koridor TNGHS akan menimbulkan

perubahan lansekap dan tutupan lahan, hal ini akan mempengaruhi kuantitas dan

kualitas habitat owa jawa. Habitat merupakan aspek penting yang mempengaruhi

kehidupan owa jawa. Komponen habitat yang sangat penting bagi kelangsungan

hidup owa jawa adalah vegetasi. Vegetasi bagi owa jawa berfungsi sebagai

penyedia pohon-pohon sebagai tempat mencari makanan, tempat tidur, tempat

berlindung, dan ruang pergerakan.

Tingginya aktifitas penduduk di koridor TNGHS, seperti bertani (sawah dan

ladang), bertempat tinggal, pengambilan kayu bakar dan makanan ternak, dan

perburuan (GHSNPMP-JICA 2009), akan menyebabkan tekanan terhadap koridor

TNGHS sebagai habitat owa jawa. Tekanan tersebut dapat menyebabkan

menurunnya kuantitas dan kualitas habitat mereka, maupun merasa terganggunya

owa jawa berada di koridor TNGHS karena kehadiran manusia. Akibat dari semua

ini akan mempengaruhi jumlah populasi, daerah distribusi, dan komposisi

kelompok owa jawa yang dapat bertahan hidup di koridor TNGHS.

Bertitik tolak dari pemikiran yang ada, maka penelitian ini penting

dilakukan, yang bertujuan untuk memformulasikan model konservasi koridor

TNGHS sebagai habitat owa jawa. Tujuan penelitian ini dicapai dengan

melakukan perhitungan jumlah populasi, mengetahui distribusi, dan

mendeskripsikan komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS, menganalisis

tingkat kesesuaian serta kualitas dan kuantitas habitat owa jawa di koridor

(34)

Penelitian ini akan mengetahui keadaan populasi owa jawa itu sendiri,

tingkat kesesuaian serta kualitas dan kuantitas habitat owa jawa, dan tingkat

tekanan penduduk terhadap habitat owa jawa di koridor TNGHS. Hasil akhir yang

diharapkan dari penelitian ini adalah memformulasikan model konservasi koridor

TNGHS untuk habitat owa jawa.

Diagram alir kerangka pemikiran penelitian konservasi koridor TNGHS

untuk habitat owa jawa, dapat dilihat pada Gambar 1.

[image:34.842.115.684.82.1098.2]

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian konservasi koridor TNGHS untuk

habitat owa jawa.

Habitat

Owa Jawa

Aktifitas

Penduduk di

Koridor TNGHS

Keadaan Populasi, Kesesuaian Habitat, Kuantitas dan

Kualitas Habitat, dan Tekanan terhadap Owa Jawa

- Populasi

- Distribusi

- Komposisi

Tekanan terhadap

Owa Jawa dan

Habitatnya

Formulasi Model Konservasi

Koridor TNGHS

U

k H bi

O

J

- Peta Kesesuaian

Habitat Owa Jawa

- INP Vegetasi

Koridor TNGHS

- Jumlah Populasi

- Peta Distribusi

-

Komposisi Kelompok

Penduduk

Analisis

(35)

2.1. Konservasi

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menyebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Anonim 1990).

2.2. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menyebutkan bahwa taman nasional adalah Kawasan Pelestarian Alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Anonim 1990).

Tujuan pengelolaan taman nasional adalah untuk melindungi kawasan alami dan berpemandangan alam indah yang penting, secara nasional atau internasional serta memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan, dan rekreasi (MacKinnon et al. 1993). Fungsi taman nasional adalah sebagai: (1) kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, (2) kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan (3) kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Ditjen. PHPA 1996).

(36)

TNGHS (Dirjen. PHKA 2006b). TNGHS terletak pada dua provinsi yaitu Provinsi

Jawa Barat yang meliputi dua kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi dan

Kabupaten Bogor dan Provinsi Banten dengan Kabupaten Lebak. TNGHS

ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003

tanggal 10 Juni 2003 dengan luas 113.357 hektar (GHSNPMP-JICA 2007a).

TNGHS sebagai Kawasan Pelestarian Alam, adalah merupakan kawasan

ekologi. Fungsi utamanya adalah sebagai sistem penyangga kehidupan dengan

fokus pengelolaan untuk mempertahankan perwakilan ekosistem hutan

pegunungan Jawa Barat (Ditjen. PHKA 2006a). Kawasan TNGHS berupa bentang

alam yang unik dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Fungsi yang

diemban oleh TNGHS diantaranya adalah sebagai tempat perlindungan terhadap

satwa langka dan hampir punah, sebagai tempat perlindungan terhadap

sumber-sumber daya alam yang mengandung kekayaan genetis, sebagai tempat

perlindungan terhadap sumber air, sebagai tempat pendidikan dan penelitian, dan

sebagai tempat rekreasi alam (GHSNPMP-JICA 2007a).

Pembagian kawasan TNGHS sangat penting, setiap bagian kawasan

memiliki peranan yang cukup berarti, sehingga masing-masing perlu

dipertahankan atau dilestarikan. Pembagian ini antara lain adalah: (1) kawasan

hutan pegunungan bawah dan atas yang merupakan hutan primer, harus

dipertahankan untuk menjadi areal inti sebagai preservasi hewan dan tumbuhan

liar, (2) kawasan hutan pegunungan atas (>1800 m dpl) yang tidak terlalu luas di

Gunung Salak mempunyai vegetasi yang sangat spesifik, sehingga keberadaan

kawasan ini menjadi sangat penting bagi TNGHS, (3) kawasan hutan pegunungan

rendah yang berfungsi sebagai habitat hidupan liar seperti leopard dan gibbon, (4)

hutan tanaman, areal ini dapat digunakan sebagai daerah penyangga (

buffer zone

)

antara TNGHS dan daerah di luarnya (Mirmanto

et al

. 2008).

Suryanti (2007) menyatakan bahwa terdapat tiga macam ekosistem yang

memiliki zona berbeda di TNGHS, yaitu zona hutan kaki pegunungan, zona hutan

sub pegunungan, dan zona hutan pegunungan. Pengaruh elemen-elemen lansekap

buatan manusia seperti patch areal pertanian, patch areal perkebunan teh, patch

areal pertambangan, dan patch permukiman, akan menyebabkan hilangnya

(37)

2.3. Koridor

Salah satu hal yang menarik dalam merancang sistem kawasan konservasi

adalah menggunakan koridor habitat. Koridor habitat dapat menghubungkan

kawasan dilindungi yang terisolasi, agar dapat terbentuk suatu sistem kawasan

yang lebih luas. Koridor habitat adalah jalur lahan yang menjadi penghubung

antara satu kawasan konservasi dengan kawasan lainnya yang berdekatan. Koridor

habitat (koridor konservasi atau koridor pergerakan) memungkinkan tumbuhan

dan satwa untuk menyebar dari satu kawasan ke kawasan yang lain, serta

memungkinkan terjadinya aliran gen dan bahkan kolonisasi habitat yang sesuai.

Melalui koridor habitat tersebut, beberapa kawasan yang terisolasi dapat

dihubungkan satu sama lain. Populasi-populasipun dapat saling berintegrasi,

sehingga membentuk suatu metapopulasi (Indrawan

et al

. 2007).

Menurut Forman dan Godron (1986), koridor adalah areal yang

menghubungkan dua daerah dalam suatu lansekap. Koridor dapat digunakan

untuk habitat, penghubung, jalur pergerakan, proteksi, sumberdaya alam, dan

estetika. Kebanyakan koridor digunakan untuk penghubung (konektifitas) karena

merupakan areal yang efisien untuk mekanisme pergerakan hewan, akan tetapi

koridor sering kali juga dimanfaatkan oleh pemburu untuk menangkap hewan

yang lewat di sana. Pada saat hewan melewati koridor, pemburu biasanya dengan

mudah dapat menangkap hewan-hewan tersebut, karena areal koridor yang

biasanya relatif kecil. Koridor kadang-kadang juga merupakan daerah isolasi

bagi hewan-hewan tertentu, karena biasanya merupakan suatu areal dengan

vegetasi yang hampir seragam.

Caughley dan Sinclair (1994) menyatakan keuntungan dari adanya koridor

adalah:

1. Mempertinggi kecepatan migrasi, dimana dapat:

a. Meningkatkan

species richness

(prediksi teori biogeograpi pulau).

b. Meningkatkan ukuran populasi untuk spesies tertentu dan kemungkinan

menurunkan kepunahan (memberikan penyelamatan), atau mengadakan

kembali populasi lokal yang sudah punah di alam.

(38)

2. Memberikan perluasan areal mencari makan untuk berbagai spesies.

3. Memberikan jalan untuk lari dari predator untuk bergerak diantara

patch.

4. Memberikan macam-macam habitat dan dapat memperoleh rangkaian tingkat

penerimaan, untuk spesies yang memerlukan variasi habitat untuk aktifitas

yang berbeda, atau sikap dalam tingkatan siklus hidup mereka.

5. Memberikan alternatif tempat perlindungan untuk gangguan yang besar,

seperti keluar dari gangguan kebakaran.

6. Memberikan jalan keluar untuk perpindahan, menyediakan kesempatan

rekreasi, dan mempercantik pemandangan alam dan penggunaan lahan.

Kerugian dari adanya koridor menurut Caughley dan Sinclair (1994) adalah:

1. Meningkatkan angka imigrasi, dimana dapat:

a. Memudahkan penyebaran penyakit endemik, serangga hama, spesies

eksotik, rumput-rumputan, dan menimbulkan spesies-spesies yang tidak

diingini dan melewati lansekap.

b. Menurunkan level variasi genetik diantara populasi atau sub populasi, atau

mengganggu adaptasi lokal dan menjadikan terbentuknya gen komplek

(tekanan silang luar).

2. Memfasilitasi penyebaran sumber bencana, seperti kebakaran dan gangguan

abiotik lainnya (penularan sumber bencana).

3. Peningkatan keberadaan pemburu satwa liar dan predator.

4. Koridor pada umumnya memotong bidang suatu areal, mengakibatkan satwa

sulit untuk memperluas areal penyebaran.

5. Ketika kualitas habitat koridor rendah, dibutuhkan biaya sebagai pemeliharaan

daerah konvensional untuk melindungi habitat spesies terancam punah.

Koridor merupakan areal yang cukup diperhitungkan untuk fungsi ekologis,

dalam suatu areal lansekap. Koridor dapat berupa pagar dari tumbuhan yang

berfungsi sebagai tempat perlindungan, jalan untuk perpindahan atau

konektifitas

dan saluran. Pembuatan koridor pada suatu areal lansekap biasanya diperlukan

untuk kepentingan komunitas hewan tertentu, karena dapat menambah keragaman

habitat. Penambahan elemen-elemen lansekap, mampu meningkatkan kerapatan

spesies hewan tertentu (Lavers dan Haines-Young 1993). Semakin banyak jumlah

(39)

dalam suatu lansekap, dan akan dapat meningkatkan kepadatan populasi asli yang

dapat bertahan di lokasi tersebut (Indrawan

et al

. 2007).

Koridor juga dapat berfungsi membantu melestarikan satwa yang harus

melakukan migrasi musiman diantara berbagai seri habitat yang berbeda-beda,

untuk mendapatkan makanan; bila satwa ini hanya dibatasi pada satu cagar alam

tunggal, maka mereka dapat mati kelaparan. Prinsip ini telah dipraktekkan di

Costa Rika untuk menghubungkan dua suaka marga satwa, Taman Nasional

Braulio Carillo dan Stasion Biologi La Selva. Kedua daerah konservasi yang

berbeda ketinggian tersebut dihubungkan oleh La Zona Protectora, suatu koridor

hutan yang luasnya 7.700 ha dengan lebar beberapa kilometer. Areal ini

memungkinkan setidaknya 35 spesies burung bermigrasi antara kedua kawasan

konservasi tersebut (Indrawan

et al

. 2007).

Hewan-hewan besar seperti gajah, idealnya kawasan habitat mereka harus

mencakup seluruh daerah jelajah populasi gajah tersebut. Beberapa negara telah

menetapkan koridor gajah untuk melindungi daerah alam di sepanjang jalur

migrasi, seperti Muangthai dan Sri Lanka (MacKinnon

et al.

1993). Pengamatan

terhadap mamalia

arboreal

di Brasil menunjukkan bahwa, koridor-koridor selebar

30 sampai 40 meter cukup untuk perpindahan sebahagian besar spesies dan bila

lebar koridor ditingkatkan menjadi 200 meter cukup untuk perpindahan semua

spesies (Indrawan

et al

. 2007).

Secara nyata ide mengenai koridor tampaknya menarik, akan tetapi koridor

juga mempunyai beberapa dampak negatif, misalnya memungkinkan perpindahan

berbagai spesies pembawa hama dan penyakit. Suatu penyakit dapat menyebar

dengan cepat melalui jalur hubungan yang ada, sehingga satu investasi tunggal

saja akan dapat secara cepat menyebar ke seluruh cagar alam yang berhubungan.

Keadaan ini akan menyebabkan kepunahan dari beragam populasi dari spesies

langka. Hewan yang berpindah melalui koridor juga mungkin akan berhadapan

dengan resiko predasi yang lebih besar, karena baik pemburu maupun pemangsa

(termasuk manusia) cenderung untuk terkonsentrasi pada jalur yang digunakan

hewan tersebut. Saat ini bukti nyata yang mendukung nilai dari koridor masih

sangat terbatas, secara umum nilai dari koridor habitat akan bervariasi menurut

(40)

Koridor secara jelas dibutuhkan pada jalur perpindahan, yang telah diketahui

oleh satwa di daerah tersebut. Potongan habitat asli yang disisakan di antara dua

kawasan konservasi, sering dapat berfungsi sebagai ”batu loncatan” yang akan

menjembatani perpindahan satwa. Koridor-koridor yang sudah terbentuk perlu

selalu dilestarikan. Banyak diantara koridor yang ada sekarang terletak sepanjang

aliran sungai, dan karena itu dapat merupakan habitat tersendiri bagi spesies

tertentu yang secara biologi penting keberadaannya (Indrawan

et al

. 2007).

Berdasarkan bentuk dan fungsinya Forman (1982) membedakan koridor

menjadi empat tipe yaitu:

1.

Line Corridor

: Berupa pagar tanaman pada pinggir jalan, arealnya biasanya

sempit berfungsi untuk memberikan jalur perpindahan, dan merupakan habitat

utama bagi

edge spesies

.

2.

Strip Corridor

: Arealnya lebih luas dengan lingkungan

interior

yang dapat

memberikan jalur perpindahan dan habitat bagi

spesies interior

.

3.

Gabungan antara

Line

dan

Strip Corridor

: Koridor ini berbentuk lingkaran,

sehingga dapat memberikan jalur alternatif untuk perpindahan, yang bertujuan

untuk menjauhi predator, berfungsi juga untuk tempat mencari makan dan

biasanya lebih disukai oleh banyak hewan.

4.

Stream Corridor

: Merupakan bentuk ganda dari

Strip Corridor

dengan pinggir

jalur perairan, cukup lebar untuk memberikan lingkungan

interior

dengan

aliran air yang baik. Koridor ini berfungsi untuk membantu

kontrol nutrient

permukaan, erosi, endapan lumpur dan banjir.

Koridor TNGHS merupakan areal memanjang dari Barat ke Timur, yang

menghubungkan dua kawasan penting di TNGHS yaitu kawasan Gunung

Halimun dan Gunung Salak. Wilayah koridor merupakan areal yang sangat

penting bagi TNGHS, karena berfungsi sebagai penghubung dua ekosistem utama

yaitu Gunung Halimun dan Gunung Salak, sebagai tempat terjadinya aliran

genetik dalam pelestarian keanekaragaman hayati dan fungsinya sebagai sistem

penyangga kehidupan (Rinaldi

et al

. 2008).

Koridor TNGHS berada pada dua kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi dan

Kabupaten Bogor. Kabupaten Sukabumi meliputi Kecamatan Kabandungan

(41)

meliputi Kecamatan Leuwiliang (Desa Purasari) dan Kecamatan Pamijahan (Desa

Purwabakti). Bagian Utara koridor seluas 1.662, 78 hektar masuk ke dalam

wilayah Kabupaten Bogor, sedangkan bagian Selatan seluas 2.533,00 hektar

berada dalam Kabupaten Sukabumi. Perbatasan ke dua kabupaten ini terletak

memanjang dari Barat ke Timur yang merupakan bagian tertinggi dari kawasan

koridor TNGHS (GHSNPMP-JICA 2009).

Sebagai areal yang menghubungkan dua fungsi ekologis, yaitu kawasan

Gunung Halimun dan Gunung Salak. Koridor TNGHS berfungsi sebagai habitat,

sumber pakan, jalur pergerakan satwa, dan lintasan pemencaran biji pepohonan

dari kedua kawasan tersebut. Koridor TNGHS merupakan habitat yang dapat

mendukung kelangsungan hidup keanekaragaman hayati pada dua ekosistem yang

terfragmen yaitu Gunung Halimun dan Gunung Salak, serta untuk lebih

meningkatkan fungsi kedua ekosistem tersebut sebagai sistem penyangga

kehidupan (GHSNPMP-JICA 2009).

Hutan di koridor TNGHS mengalami degradasi yang signifikan dalam 11

tahun terakhir. Degradasi hutan yang terjadi di koridor TNGHS sebesar 52% atau

seluas 347,523 hektar, dimana luas hutan di koridor TNGHS 666,508 hektar pada

tahun 1990 menjadi 318,985 hektar pada tahun 2001 (Cahyadi 2003). Degradasi

ini mengakibatkan

konektivitas

ekosistem satwa terganggu, seperti owa jawa yang

memerlukan pohon-pohon sebagai media pergerakan, pohon tidur, dan sumber

pakan seperti jenis saninten (

Castanopsis argentea

), pasang (

Quercus

sp.), dan

Ficus

sp. (Iskandar 2007). Macan tutul (

Panthera pardus

) yang menjadi satwa

maskot Provinsi Jawa Barat juga terancam. Elang Jawa (

Spizaetus bartelsi

), salah

satu satwa terancam punah dalam Appendix II CITES juga mengalami hal serupa.

Saat ini diperkirakan koridor TNGHS sudah tidak mampu lagi menyediakan

pohon-pohon untuk kelangsungan hidup hewan-hewan tersebut

(GHSNPMP-JICA 2007b).

Faktor penyebab rusaknya koridor TNGHS adalah okupasi lahan garapan

dan penebangan liar yang mengakibatkan lahan semak belukar (4.206,18 ha)

mendominasi kawasan koridor, dan hutan alam primer yang tersisa diperkirakan

hanya tinggal sekitar 216 ha saja. Garapan terjadi karena sebelum tahun 2003 oleh

(42)

di hutan produksi dan hutan lindung, dengan menanam jati dan tanaman pertanian

dan perkebunan (GHSNPMP-JICA 2009).

Restorasi di koridor TNGHS perlu mempertimbangkan aspek ekologis dan

pengaturan akses kepada masyarakat. Departemen Kehutanan mendesain zona

khusus di koridor TNGHS, yang memungkinkan akses kepada masyarakat

diberikan melalui penanaman jenis asli yang sekaligus bermanfaat bagi

masyarakat dan lingkungannya, serta menanam tanaman obat/palawija sebagai

tanaman sela (GHSNPMP-JICA 2009).

Pencanangan restorasi kawasan konservasi di Propinsi Jawa Barat dan

Banten pada tahun 2007, dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan

dan Konservasi Alam (PHKA) di koridor TNGHS. Pencanangan tersebut

menandai dimulainya zona khusus di koridor TNGHS. Pencanangan ditandai

dengan penanaman aren (

Arenga pinnata

) seluas 22,5 hektar sepanjang batas

kawasan, 7,5 hektar tanaman penghidupan; durian, mangga, rambutan di luar

batas kawasan dan penanaman hutan rakyat 20 hektar di luar kawasan.

Penanaman tersebut merupakan rangkaian kegiatan Model Kampung Konservasi

yang didampingi oleh konsorsium yang terdiri dari TNGHS, GHSNPMP-JICA,

PT. Chevron, PT. PLN, Pemerintah Kabupaten Sukabumi, Lembaga Swadaya

Masyarakat PEKA dan Absolut (GHSNPMP-JICA 2009).

2.4. Habitat

Semua makhluk hidup mempunyai tempat hidup, tempat hidup ini disebut

habitat. Habitat dalam batas tertentu harus sesuai dengan persyaratan hidup

makhluk hidup yang menghuninya. Batas bawah persyaratan hidup itu disebut

titik minimum dan batas atasnya disebut ttitik maksimum, antara dua kisaran ini

terdapat titik optimum. Ketiga titik itu yaitu titik minimum, maksimun, dan

optimum disebut titik kardinal. Apabila sifat habitat berubah sampai di luar titik

minimum atau maksimum, makhluk hidup akan mati atau berpindah. Apabila

perubahan terjadi dalam waktu yang lambat misalnya selama beberapa generasi,

makhluk hidup umumnya dapat menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru di

luar batas semula. Melalui proses adaptasi ini sebenarnya telah terbentuk makhluk

hidup yang mempunyai sifat lain, yang disebut ras baru atau bahkan dapat

(43)

Habitat adalah suatu kawasan yang terdiri dari beberapa komponen, baik

komponen fisik maupun komponen biotik yang merupakan satu kesatuan dan

dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biak satwaliar. Satwaliar

menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung

kehidupannya. Habitat yang sesuai bagi satu jenis belum tentu sesuai untuk jenis

lainnya, karena setiap jenis satwaliar menghendaki kondisi habitat yang

berbeda-beda. Habitat berfungsi untuk penyediaan makanan, air, dan perlindungan. Jika

seluruh keperluan hidup satwaliar terdapat di dalam habitatnya, populasi akan

bertumbuh sampai terjadi persaingan dengan populasi lainnya. Pertumbuhan

populasi sangat ditentukan oleh jumlah minimum dari faktor fisik dan biotik yang

membatasi kehidupannya. Kuantitas dan kualitas habitat sangat menentukan

prospek pemanfaatan dan kelestarian satwaliar. Banyak kegagalan pengelolaan

satwaliar, disebabkan karena kurangnya perhatian untuk memperbaiki keadaan

habitatnya (Alikodra 1990).

Ancaman utama keanekaragaman hayati adalah rusak dan hilangnya habitat

mereka, dan cara yang paling baik untuk melindungi keanekaragaman hayati

adalah dengan memelihara habitatnya. Telah diketahui bahwa kerusakan habitat

merupakan hal yang menyebabkan kelompok hewan vertebrata terancam punah,

dan ini berlaku juga bagi hewan invertebrata, tumbuhan dan jamur. Kebanyakan

spesies makhluk hidup yang penting, hampir semua habitatnya di daerah

penyebaran mereka telah musnah dan hanya sedikit yang telah dijadikan daerah

yang dilindungi. Lebih dari 95% habitat untuk owa jawa dan lutung telah rusak,

dan mereka hanya dilindungi di sekitar 2% dari daerah penyebaran alaminya

(Indrawan

et al

. 2007).

Pemanfaatan strata hutan bervariasi menurut waktu dan ruang. Cara hidup

makhluk hidup pada habitatnya disebut relung, relung ada yang umum dan ada

yang khusus (Soemarwoto 1997). Relung untuk spesies tanaman terdiri dari jenis

tanah tempat tumbuhnya, banyaknya cahaya matahari dan kelembaban yang

dibutuhkan, jenis sistem penyerbukan, dan mekanisme penyebaran biji. Relung

untuk hewan terdiri dari jenis habitat yang ditempatinya, ketahanan terhadap

panas, kebutuhan nutrisi, daerah jelajah, dan kebutuhan akan air. Setiap

(44)

membatasi ukuran populasi (Indrawan

et al

. 2007). Secara umum berbagai jenis

burung memanfaatkan relungnya pada siang hari, sedangkan mamalia pada malam

hari. Pengecualian untuk beberapa jenis mamalia seperti bajing dan primata,

memanfaatkan relungnya pada siang hari (Alikodra 1990).

Populasi satwa liar berfluktuasi dari waktu ke waktu, sesuai dengan

fluktuasi keadaan lingkungannya. Fluktuasi populasi ini dapat berkembang, stabil,

ataupun menurun. Pengelolaan populasi bertujuan untuk mendapatkan kondisi

populasi yang stabil, dimana struktur populasinya (komposisi kelamin dan umur)

mampu menjamin keseimbangan jumlah anggota populasinya. Banyak diantara

spesies satwaliar yang tersebar di wilayah zoogeografisnya, pada saat ini terancam

kepunahan. Banyak faktor yang menyebabkan kepunahan ini, terutama karena

penyempitan dan kerusakan habitat. Keadaan hutan yang rusak karena berbagai

sebab, dapat mendesak kehidupan satwa liar. Program yang harus dijalankan

bukan hanya melestarikan spesies yang terancam punah, tetapi juga sekaligus

melestarikan habitatnya. Pengelolaan habitat merupakan kegiatan praktis

mengatur kombinasi faktor fisik dan biotik lingkungan, sehingga dicapai suatu

kondisi yang optimal bagi perkembangan satwaliar (Alikodra 1997).

Masyarakat satwaliar di lantai hutan sangat bervariasi, terutama sangat

ditentukan oleh komposisi jenis tumbuhan sebagai habitat mereka, kerapatan, dan

letak tempatnya. Taman Nasional Ujung Kulon misalnya dicirikan dengan adanya

mamalia besar, terutama badak jawa (

Rhinoceros sondaicus

), banteng

(

Bos

javanicus

), dan babi hutan (

Sus scrofa

). Pada stratum antara 20 sampai 30 meter

dari permukaan tanah dijumpai kera ekor panjang (

Macaca fascicularis

) dan

berbagai macam burung, diantaranya yang khas adalah burung rangkong

(Alikodra 1990).

Perbedaan kepadatan populasi satwa pada suatu habitat dapat terjadi karena

beberapa faktor yaitu: (1) kemampuan individu populasi untuk melakukan

pergerakan, (2) adanya penghalang-penghalang baik fisik maupun biologis, (3)

pengaruh kegiatan manusia, (4) kemampuan suatu wilayah untuk mendukung dan

merangsang satwa untuk datang ke wilayah tersebut (Alikodra 1990). Nijman

(2006) mengemukakan bahwa, terjadinya gangguan pada habitat akan sangat

(45)

Suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara

makhluk hidup dengan lingkungannya disebut ekosistem. Ekosistem terbentuk

oleh komponen hidup dan tak hidup di suatu tempat, yang berinteraksi

membentuk suatu kesatuan yang teratur. Keteraturan ini terjadi karena adanya

arus meteri dan energi yang terkendalik

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian konservasi koridor TNGHS untuk
Gambar 2 Peta TNGHS.
Gambar 3 Peta batas administrasi koridor TNGHS.
Gambar 6 Alur pembuatan peta kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS.
+7

Referensi

Dokumen terkait

 Menuliskan bilangan yang sesuai dengan banyak benda pada papan tulis..  Membaca nama bilangan yang tertera pada

3.1 Menerapkan aturan yang berkaitan dengan etika dan moral terhadap perangkat keras dan perang lunak  Menjelaskan tentang. aturan hak cipta 

Sehingga ketika mengerjakan soal matematika jika konteks yang dipahami kurang tepat siswa akan menjawab dengan kurang tepat, (2) persepsinya lemah sehingga dalam

Data mengenai penerapan pembelajaran aktif tipe quiz team dalam kegiatan belajar mengajar matematika khususnya pada pokok pembahasan bangun ruang sisi datar

pengenalan huruf alphabet yang di minati anak usia dini dengan cara

Variabel (SPLDV). Calon subyek pada Analisis data pada penelitian ini penelitian ini sebanyak 8 siswa. 8 siswa mengacu pada indikator kemampuan dipilih secara

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kekuatan tarik dan kekuatan bending pada komposit serat batang pohon pisang yang disusun 5 lapis dengan susunan serat -30

user interface merupakan bagian dari perangkat lunak yang menjadi sarana komunikasi antara user dengan sistem serta dapat memberikan kemudahan dan tidak membingungkan bagi user