• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak-Hak dan Kewajiban Para Pihak

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PIHAK PEMBEL

A. Hak-Hak dan Kewajiban Para Pihak

Berdasarkan isi perjanjian dari sewa beli rumah negara, terdapat hal-hal yang mengatur mengenai hak dan kewajiban dari para pihak. Hal tersebut dapat terlihat dari penjelasan dibawah ini, yaitu:70

1. Hak Pihak Pertama

a. Berhak menetapkan harga rumah dan ganti rugi atas tanahnya. b. Berhak menerima pembayaran sejumlah uang dari pihak kedua.

c. Berhak memberi peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali apabila pihak kedua tidak memenuhi kewajiban atau melakukan pelanggaran dalam perjanjian.

d. Berhak menerima denda keterlambatan pembayaran dari pihak kedua. e. Berhak dibebaskan dari segala tuntutan atas kemungkinan adanya cacat

tersembunyi pada rumah yang bersangkutan.

f. Berhak memutuskan perjanjian secara sepihak apabila pihak kedua tidak mentaati peringatan terakhir dan melanggar ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.

g. Apabila perjanjian diputuskan karena pihak kedua tidak memenuhi syarat- syarat perjanjian, maka pihak pertama berhak atas 10% (sepuluh persen) dari pembayaran yang telah dilakukan oleh pihak kedua.

h. Berhak masuk kedalam rumah atau perkarangan yang menjadi objek perjanjian untuk keperluan pemeriksaan dan pengawasan.

2. Kewajiban Pihak Pertama

a. Menyerahkan hak milik atas rumah negara kepada pihak kedua dengan cara menerbitkan Surat Keputusan tentang penyerahan hak milik rumah kepada pihak kedua.

b. Menerbitkan Surat Keputusan Pelepasan Hak Atas Tanah.

c. Apabila perjanjian dibatalkan, maka pihak pertama harus mengembalikan kepada pihak kedua seluruh angsuran yang telah disetor setelah dikurangi 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang disetor.

d. Pihak pertama wajib mengembalikan 50% (lima puluh persen) dari jumlah angsuran yang telah dibayarkan oleh pihak kedua apabila dalam masa sewa beli tersebut rumah dan tanahnya musnah atau rusak karena sesuatu peristiwa yang terjadi diluar kemampuan kedua belah pihak.

3. Hak Pihak Kedua

a. Berhak menuntut penyerahan hak milik atas rumah kepada pihak pertama setelah angsuran yang terakhir dilunasi.

b. Berhak menerima sisa dari jumlah angsuran yang telah dibayar setelah dipotong 10% (sepuluh persen) jika perjanjian diputuskan oleh pihak pertama karena pihak kedua telah melanggar perjanjian.

c. Berhak menerima pengembalian sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah angsuran yang telah dibayarkan, apabila objek perjanjian musnah atau rusak dan tidak dapat dipergunakan lagi akibat peristiwa diluar kesalahan kedua belah pihak.

4. Kewajiban Pihak Kedua

a. Membayar angsuran pertama sebesar paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah yang telah ditetapkan.

b. Membayar sisa angsuran sesuai dengan jumlah yang ditetapkan dalam jangka waktu paling cepat 60 (enam puluh) bulan dan paling lambat 240 (dua ratus empat puluh) bulan, selambat-lambatnya 10 (sepuluh) bulan berikutnya.

c. Wajib memelihara rumah dan tanahnya dengan sebaik-baiknya selama sewa beli belum berakhir.

d. Wajib membayar denda 15% (lima belas persen) dari jumlah angsuran perbulan apabila terjadi keterlambatan membayar dan dibayar pada saat membayar angsuran yang terlambat tersebut dibayar.

e. Mematuhi larangan yang ditentukan dalam perjanjian sewa beli, antara lain mengubah bentuk dan pembagian ruangan, menjual atau

memindahtangankan sebagian atau seluruh rumah selama perjanjian sewa beli berlangsung tanpa seizin pihak pertama.

f. Membayar biaya yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian pada saat perjanjian sewa beli tersebut ditandatangani.

g. Pihak kedua wajib mengajukan permohonan atas hak tanahnya kepada kantor pertanahan setempat untuk mendapatkan haknya setelah angsuran terakhir dilunasi.

B. Perlindungan Hukum Bagi Pihak Pembeli Pada Sewa Beli Rumah Negara Dalam melaksanakan haknya seorang kreditor harus memperhatikan kepentingan debitor dalam situasi tertentu. Jika kreditor menuntut haknya pada saat yang paling sulit bagi debitor, maka kreditor dapat saja dianggap melaksanakan perjanjian tidak dengan itikad baik.

Dalam praktik, berdasarkan asas itikad baik, hakim dapat rnenggunakan wewenangnya untuk mencampuri isi perjanjian, sehingga nampaknya itikad baik bukan saja harus ada pada pelaksanaan perjanjian, tetapi juga pada saat dibuatnya atau ditandatanganinya perjanjian.71

Menurut penulis, dengan adanya asas itikad baik, sebaiknya harus ada suatu hubungan keperdataan yang baik, antara para pihak harus ada keseimbangan hak dan kewajiban juga keseimbangan untung dan rugi. Asas ini sejalan dengan fungsi serta tujuan hukum pada umumnya yaitu menciptakan serta memberi rasa keadilan kepada

71Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal 4-5

masyarakat. Implementasinya lebih lanjut terhadap kajian asas tersebut sebelumnya, semakin lebih jelas apabila kita menelusuri dan menelaah masalah hubungan keperdataan terutama yang telah dipakai sebagai hukum positif dan masih berlaku sampai saat mi di Negara Indonesia yaitu, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Adapun yang menjadi dasar hukum penjualan rumah negara secara sewa beli adalah:

1. UU No. 72 tahun 1957 tentang Penetapan UU No. 11 tahun 1955 tentang Penjualan Rumah Negara kepada Pegawai Negeri.

2. UU No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. 3. PP. No. 40 tahun 1994 tentang Rumah Negara.

4. PP No. 31 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas PP No.40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara.

5. Keppres No. 13 tahun 1974 tentang Perubahan dan Penetapan Status Rumah Negara.

6. Keppres No. 40 tahun 1974 tentang Tata Cara Penjualan Rumah Negara.

7. Keppres No. 81 tahun 1982 tentang Perubahan Keppres No. 13 tahun 1974 tentang Perubahan Penetapan Status Rumah Negara.

8. Peraturan Presiden No. 11 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengadaan, Penetapan Status dan Pengalihan Hak Atas Rumah Negara

9. Peraturan Menteri Keuangan No. 138/PMK.06/2010 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) Berupa Rumah Negara.

Di dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum perdata, pasal 1320 telah diatur tentang syarat-syarat itu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, 3. Suatu hal tertentu,

4. Suatu sebab yang halal.

Yang pertama sekali disyaratkan tentang kata sepakat atau konsensus. Dalam hal ini kedua belah pihak harus benar-benar berada dalam kondisi yang bebas. Bebas di sini berarti, adanya kemauan diantara para pihak untuk sepakat membuat suatu perjanjian yang tidak berdasarkan pada suatu paksaan dan pihak lain. Secara tegas telah disebutkan bahwa di dalam mernbuat suatu perjanjian tidak boleh terjadi kekhilafan, penipuan apalagi paksaan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal-pasal 1323, 1328, 1329 dan 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Demikian pula dengan syarat yang kedua disebutkan tentang kecakapan para pihak untuk mengadakan perjanjian. Unsur kecakapan meliputi unsur kematangan dan keewasaan di dalarn berpikir dan bertindak. Unsur ini terutama menentukan layak atau tidaknya seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum.

Apabila kita memperhatikan apa yang diuraikan sebelumnya, maka dapatlah ditarik suatu kesirnpulan bahwa apa yang dimaksudkan dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak lain adalah untuk menghindari suatu bentuk hubungan keperdataan yang tidak adil dan tidak seimbang, sebagaimana yang disebutkan pada asas itikad baik. Bertolak dan pemahaman asas tersebut maka setiap

perjanjian sewa beli yang dibuat haruslah bersumber dan mencerminkan pada asas keseirnbangan antara para pihak.

Salah satu keadaan yang menyebabkan timbulnya perjanjian sewa beli dapat disebutkan di sini adalah kedudukan ekonomi para pihak yang tidak seimbang. Jadi sebenarnya bukan hubungan perikatannya yang tidak adil, tetapi menurut hemat penulis, justru kedudukan pihak yang tidak seirnbang sebagai akibat dan adanya perbedaan kedudukan ekonomi itulah yang kemudian sering melahirkan isi perjanjian yang tidak adil dan merugikan satu pihak. Masalah kedudukan pihak yang kuat dan yang lemah secara ekonomi dalam suatu perjanjian memang merupakan suatu problema, karena justru hal ini berkaitan dengan masalah penggunaan kekuasaan ekonomi oleh yang kuat terhadap yang lemah.

Pada kenyataannya, faktor kekuasaan ekonomi, memang cukup berperan penting di dalam mengadakan suatu perjanjian. Apa yang diartikan sebagai kekuasaan ekonomi yang lemah tidak hanya terbatas pada faktor kemiskinan dan faktor rendahnya pendapatan saja, tetapi lebih rendah dari pada itu kekuasaan ekonomi yang lemah dapat pula mencakup faktor minimnya pendidikan dan faktor kebutuhan yang mendesak.

Menurut Abdurachman, umumnya dalam konsepsi hukum modern, pengertian tentang perbuatan hukum adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang terdiri dan berbuat atau tidak berbuat, berdasarkan norma-norma hukum yang berlaku dengan melihat pada sifat dan perbuatan itu, keadaan dan cara di mana perbuatan itu dilakukan, dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku perbuatan. Sedangkan

bilamana perbuatan itu bertentangan dengan norma-norma hukum yang berlaku, dinilai sebagai perbuatan melawan hukum.72

Sebagai suatu perjanjian, berdasarkan pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, sewa beli juga merupakan suatu perbuatan hukum, karena setiap perjanjian yang dibuat, secara sah berlaku sebagai Undang-undang, bagi mereka yang membuatnya.

Ketentuan di atas mengandung pengertian bahwa, setiap perjanjian mengikat kedua belah pihak dan mempunyai kekuatan hukum yang berlaku sebagai undang- undang. Penting untuk dikemukakan dalam hal in ketentuan pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang - undang Hukum Perdata, tidaklah berarti bahwa para pihak itu bebas untuk mengadakan janji sesuai dengan apa yang mereka kehendaki.

Jadi dapatlah dikemukakan bahwa, kebebasan berkontrak itu dibatasi oleh adanya persyaratan yang diungkapkan di dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata butir ke-4 yang menyebutkan bahwa, di dalam melakukan suatu perjanjian harus ada suatu sebab yang halal. Dalam pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa, “suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukurn.”73

72Abdurrachman, Aneka Masalah Hukum Dalam Pembangunan di Indonesia, Tarsito, Bandung, 1979, hal 83

73R. Soetojo Prawirohamijojo dan Martalena Pohan, Hukum Perikatan, Bina Ilmu, Surabaya, 1979, hal 182

Selanjutnya pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang - undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Maksudnya, perjanjian tersebut harus berjalan menurut norma kepatutan dan keadilan. Dalam hal ini yang beritikad baik dalam rnelaksanakan suatu perjanjian berdasarkan kepatutan dan keadilan perlu dan harus mendapat perlindungan hukum.

Jadi dapatlah dipahami bahwa, kedudukan dan hubungan hukum antara pembeli dan penjual dalam perjanjian sewa beli umumnya tidak berbeda dengan kedudukan dan hubungan hukum dalam perjanjian pada urnumnya. Pada prinsipnya hubungan hukum itu diikat oleh kewajiban dan para pihak sesuai dengan isi dan perjanjian.

Sebagaimana sudah penulis kemukakan sebelumnya bahwa, tirnbulnya perjanjian yang tidak adil dan tidak seimbang sebagai akibat adanya perbedaan kekuatan ekonomi antara pembeli dan penjual hingga kondisi menjadi tidak berimbang. Ketidak seimbangnya kondisi inilah yang memungkinkan paksaan secara diam-diam kehendak sepihak dan pihak yang mempunyai kedudukan ekonomi kuat, kepada pihak yang lemah kekuatan ekonominya.

Pada umumnya keadaan seperti yang disebutkan sebelumnya sering dijumpai di dalam praktik perjanjian sewa beli. Jika diamati lebih seksama, bentuk serta isi dan perjanjian sewa beli, maka dapat dilihat bahwa, perjanjian itu tidak adil dan tidak berimbang karena terlalu banyak meletakkan kewajiban kepada pembeli, misalnya dalam jumlah harga berikut keuntungan kewajiban untuk melakukan angsuran.

Penjual memberikan kepada pembeli suatu perjanjian standar yang berisi hak serta kewajiban dan para pihak. Dalam keadaan yang demikian, pilihan pembeli hanyalah satu di antara dua yaitu menandatangani perjanjian standar tersebut atau menolaknya. Tidaklah ada kemungkinan bagi pernbeli untuk membicarakan atau merundingkan tentang syarat yang telah ditentukan dalam perjanjian.

Terhadap bentuk perjanjian semacam ini, Salim H. S., berpendapat bahwa, terdapat “bermacam-macam dugaan sehubungan dengan latar belakang atau alasan penjual untuk rnemilih kebijaksanaan membuat perjanjian standar.”74 Disatu pihak didasari atas alasan kegunaan dan biaya, dilain pihak ada pula dugaan bahwa, penjual menolak untuk membicarakan syarat-syarat perjanjian dengan pembeli dengan anggapan bahwa, pembeli tidak rnempunyai pilihan lain selain dari pada harus menerima syarat - syarat perjanjian yang diajukan kepadanya.

“Prof. Dr. Ny. Mariam Darus Badrulzaman, dalam kaitannya antara lain mengatakan bahwa, perjanjian standar mengandung sifat-sifat yang banyak menimbulkan kerugian pada pembeli”.75 Adapun ciri-ciri dan perjanjian tersebut adalah:

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang ekonominya kuat (penjual), 2. Pembeli (debitor) sama sekali tidak diikut sertakan menentukan isi perjanjian.

74Salim HS,Hukum Kontrak , Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal 135

75Mariam Darus Badrulzaman,Pembentukan Hukum Nasional dan Masalahnya, Op.cit, hal 47

3. Terdorong untuk kebutuhannya, debitor terpaksa menerima dan menandatangani isi perjanjian itu,

4. Bentuknya tertulis,

5. Dipersiapkan terlebih dahuluh secara massal dan kolektif.

Pada pembahasan sebelumnya, jelasnya bahwa kedudukan dan hubungan hukum antara penjual dan pembeli, khususnya pernbeli memiliki kedudukan dan tempat yang kurang menguntungkan bahkan senantiasa berada dalam kedudukan yang lemah. Dalam Perjanjian Sewa Beli Rumah Negara, klausul atau syarat tentang denda hampir merupakan suatu kebutuhan utama. Sebab penjual didalam pembuatan perjanjian, selalu mengantisipasi hal-hal atau keadaan seandainya terjadi keterlambatan pembayaran. Penjual telah mengantisipasi sebelumnya agar tidak menimbulkan kerugian baginya dengan pencantuman syarat denda tersebut diharapkan pembayaran dari pembeli dapat lancar.

Dalam hal resiko merupakan kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak. Yang menjadi masalah dalam resiko ini adalah siapa yang harus memikul kerugian tersebut.

Dalam hukum perjanjian, resiko berkaitan erat dengan kewajiban untuk memikul kerugian akibat suatu peristiwa yang bukan kesalahan pembeli yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan maka dalam surat Perjanjian Sewa Beli Rumah Negara telah

mencantumkan klausul tentang reiko secara jelas sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 Perjanjian Sewa Beli Rumah Negara yang menyebutkan:

(1). apabila dalam masa perjanjian sewa beli, rumah dan tanah dimaksud musnah atau rusak berat sehingga tidak dapat dipergunakan atau ditempati lagi, sedangkan kemusnahan atau kerusakan itu terjadi diluar kemampuan kedua belah pihak, maka perjanjian sewa beli ini batal menurut hukum.

(2). apabila yang musnah atau rusak berat hanya rumahnya saja, sedangkan kemusnahan atau kerusakan itu terjadi diluar kemampuan kedua belah pihak, maka perjanjian sewa beli dapat dilanjutkan hanya atas tanahnya saja.

Karena Telah diperjanjikan dalam perjanjian sewa beli rumah negara, maka pihak penyewa beli telah mengambil resiko dalam perjanjian ini yaitu menanggung akibat perjanjian meskipun merupakan suatu kerugian baginya. Dalam Pasal 1266 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu peristiwa yang tertentu itu harus dianggap sebagai syarat yang membebaskan dalam hal ini yaitu wanprestasi. Jadi pasal 1266 KUH Perdata sebenarnya adalah pasal yang mengatur tentang hal-hal yang umum.76

Syarat yang dapat dilakukan oleh pihak lain bila terjadi wanprestasi berdasarkan Pasal 1267 KUH Perdata. Dalam Pasal tersebut nenyatakan bahwa

76H. Mashudi, Mohammad Chaidir Ali,Bab-bab Hukum Perikatan (Pengertian-pengertian

”orang terhadap siapaverbintenisitu tidak dipenuhi, maka ia bisa memiliki pihak lain untuk mengadakan pemenuhan perjanjian dan pemecahan perjanjian dengan penggantian kerugian.

Dalam Perjanjian Sewa Beli Rumah Negara ini, perjanjian dapat dibatalkan secara sepihak oleh pihak pertama, apabila pihak kedua tidak mentaati peringatan terakhir yang ternyata pernah membeli atau memperoleh rumah dari Rumah Negara berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, dalam masa perjanjian sewa beli, diberhentikan tidak dengan hormat atau diberhentikan dengan hormat kepegawaiannya, tanpa menerima hak pensiun atau dicabut hak pensiunnya dalam masa perjanjian sewa beli, atas kehendak sendiri tidak memenuhi lagi persyaratan tersebut dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994.

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen Pasal 18 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa :

”pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditunjukkan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan dalam klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha”.

Sebagaimana yang tercantum dalam klausul Perjanjian Sewa Beli Rumah Negara, pada Pasal 2, bahwa Pihak Pertama dibebaskan dari segala tuntutan hukum atas kemungkinan adanya cacat-cacat yang tersembunyi pada rumah tersebut. Sehingga dalam hal ini, Pihak Pertama atau pelaku usaha, menyatakan pengalihan tanggung jawab atas segala kemungkinan adanya cacat tersembunyi pada rumah tersebut. Misalnya sering terjadi kerusakan-kerusakan pada bangunan.

BAB IV

PERMASALAHAN YANG TERJADI SERTA UPAYA PENYELESAIAN PERMASALAHAN TERHADAP SEWA BELI RUMAH NEGARA

A. Permasalahan Yang Terjadi Pada Praktek Sewa Beli Rumah Negara

Dalam melaksanakan perjanjian sewa beli rumah negara ini, terdapat beberapa kesulitan atau kendala-kendala yang terjadi, diantaranya ialah:77

1. Kurangnya dokumen-dokumen pendukung bukti kepemilikan, hal tersebut mengakibatkan waktu proses kepemilikan menjadi lama dikarenakan harus melalui proses-proses seperti persetujuan pengalihan hak dari departemen yang diberikan hak pakai terhadap rumah negara tersebut oleh pemerintah atau negara.

2. Sistem birokrasi yang tidak mencerminkan konsep pelayanan publik yang baik dalam hal proses kepemilikan rumah negara yang dapat diperjual belikan yang selanjutnya proses berakhir dengan adanya bukti kepemilikan sertifikat. 3. Bahwa masih ada sebagian penghuni rumah negara yang telah membeli rumah

tersebut belum mendapatkan sertifikat kepemilikan rumah negara.

4. Pada saat dilaksanakannya perjanjian sewa beli, pihak kedua meninggal dunia dan hingga kini rumah tersebut masih di tempati oleh anak-anak sebagai ahli

77Wawancara dengan Bapak Abdurrachman, SH, Kepala Sub Bagian Umum, Hukum dan Humas Kantor Wilayah Departemen Perhubungan Propinsi Sumatera Utara, selaku Pihak Kedua dalam Perjanjian Sewa Beli Rumah Negara, 7 November 2010, pukul 13.30 WIB

warisnya. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat 1 perjanjian sewa beli rumah negara, dikatakan:

“apabila pihak kedua meninggal dalam masa perjanjian sewa beli, maka ahli warisnya dapat meneruskan perjanjian ini”.

Permasalahan yang timbul karena ketidaktahuan dari ahli warisnya dan tidak ada dana dari anak-anaknya sehingga pembayaran sewa beli tersebut tidak dilaksanakan

5. Adanya suami isteri yang bekerja di instansi yang berbeda, keduanya telah mendapat rumah negara dan hal tersebut diketahui, dan setelah beberapa kali pembayaran telah dilangsungkan, suami isteri tersebut tinggal di daerah yang berbeda.

Pada kenyataannya dalam proses perjanjian sewa beli rumah negara dikota Medan 4 (empat) tahun terakhir ini, tidak ditemukan kendala-kendala khusus, semua berjalan dengan lancar, hanya saja kemungkinan adanya keterlambatan waktu dalam proses perjanjian sewa beli rumah negara tersebut.78

B. Upaya Penyelesaian Permasalahan Terhadap Sewa Beli Rumah Negara Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan beberapa upaya-upaya penyelesaian, yaitu sebagai berikut:

1. Harus melengkapi dokumen-dokumen pendukung sesuai ketentuan yang berlaku agar proses perjanjian sewa beli tersebut lancar dan tidak memakan waktu yang lama.

78Hasil Wawancara dengan RV. Simanjuntak, SH selaku Kepala Unit Pelaksanaan Teknis Rumah Sewa/Rumah Negara, pada hari Kamis, 2 Desember 2010, pukul 14.00 WIB.

2. Dalam proses pelaksanan pelayanan publik yang baik lebih mengedepankan konsep atau berdasarkan sistem “good governance” dimana prinsip-prinsip tersebut dapat menjadi pedoman atau prosses kepemilikan rumah negara ini. 3. Adanya solusi lain dalam hal apabila dokumen-dokumen pendukung sebagai

syarat pengalihan hak yang dijadikan sebagai pengganti, apabila dokumen seperti sertifikat tidak lagi ada atau tidak dimiliki. Solusi tersebut seperti adanya surat pernyataan pengalihan hak dari instansi yang diberikan kewenangan hak pakai dari pemerintahan atau negara sebagai bukti atau syarat kepengurusan kepemilikan rumah negara.

4. Sebagai penyelesaian dari masalah tersebut dan dengan kebijaksanaan dari instansi tempat bekerja sebagai mediator, maka dikirimkan surat kepada Departemen yang berwenang untuk memberikan keringanan kepada ahli waris tersebut terhadap pembayaran uang sewa belinya dengan tetapi dilaksanakan pengawasan terhadap rumah negara tersebut.

5. Sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara, keadaan tersebut diperbolehkan, akan tetapi pengalihan haknya hanya dapat diberikan pada satu pihak saja. Tentu saja hal ini dapat merugikan pihak kedua tersebut. Karena hal tersebut oleh pegawai instansi Departemen dari pihak kedua tersebut perjanjian tersebut dibatalkan dan diminta perhitungannya.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pengaturan perjanjian sewa beli rumah negara di kota medan saat ini masih berjalan dan masih ada, hal tersebut dapat terlihat dari adanya proses kepemilikan rumah negara yang konsepnya menggunakan perjanjian sewa beli untuk mengatur hak dan kewajiban baik dari pembeli maupun penjual dalam satu objek yaitu rumah negara.

2. Perlindungan hukum bagi pembeli dalam perjanjian sewa beli rumah negara belum sepenuhnya mencerminkan kepentingan dari pembeli dikarenakan pasal- pasal yang termuat ataupun persyaratan-persyaratan yang mengatur akan kepemilkan rumah negara tersebut lebih banyak menguntungkan pihak penjual dari pada pembeli, hal tersebut dapat dilihat dari pasal yang mengatur mengenai cara pembayaran, dimana apabila pembayaran atas rumah negara tersebut telah lunas maka proses kepemilkannya baru dapat dilakukan setelah melewati 5 (lima) tahun.

3. Dalam perjanjian sewa beli rumah negara, masalah yang timbul dari pihak pembeli yaitu adanya kekurangan suatu informasi dalam hal proses pengalihan kepemilikan sedangkan permasalahan yang timbul pada proses kepemilikan Rumah Negara tersebut pada beberapa tahun belakangan ini terhenti dikarenakan

mengalami kesulitan dalam proses kepemilikan yang harus berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan.

Saran

1. Penggunaan perjanjian sewa beli tidak hanya diperuntukan terhadap Rumah

Dokumen terkait