• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Sewa Beli Rumah Negara Di Kota Medan

BAB II PENGATURAN SEWA BELI RUMAH NEGARA

C. Pengaturan Sewa Beli Rumah Negara Di Kota Medan

1. Timbulnya Perjanjian Sewa Beli

Istilah perjanjian sewa beli berasal dari kata “huurkoop” (bahasa Belanda) atau“hire purchase”(bahasa Inggris).

Dalam artikel 1576 h buku IV NBW, bahwa huurkoop atau sewa beli adalah “jual beli dengan angsuran (op afbetaling)di mana para pihak sepakat, bahwa barang yang dijual tidak langsung menjadi milik si pembeli dengan penyerahan barangnya” (Artikel 1576 h buku IV NBW).60

Dalam definisi ini, sewa beli dikonstruksikan sebagai : 1. Jual beli dengan angsuran

2. Obyek sewa beli tidak langsung menjadi pemilik 3. Pemilikan barang terjadi setelah pembayaran terakhir

Dalam pasal 1.a. Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi nomor: 34/KP/II/80 tentang Perizinan Sewa Beli (hire puchase), jual beli dengan Angsuran dan Sewa (Renting) disebutkan pengertian sewa beli adalah “jual beli barang di mana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap

59

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1993, Pasal 6.

60Salim HS,Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 128

pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga yang telah disepakati bersama dan diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut beralih dari penjual kepada pembeli setelah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual”

Unsur dalam perjanjian sewa beli menurut keputusan bersama adalah: 1. adanya jual beli barang

2. penjualan dengan memperhitungkan setiap pembayaran 3. obyek sewa beli diserahkan kepada pembeli

4. momentum peralihan hak milik setelah pelunasan terakhir

Apa yang disebutkan sebelumnya, dapat dipahami oleh karena disadari dengan sungguh bahwa, perkembangan masyarakat dan teknologi turut mendorong masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dengan berbagai cara. Salah satunya dengan cara perjanjian sewa beli.

Perjanjian ini timbul karena kemampuan ekonomi yang berbeda antara orang yang satu dengan orang lainnya. Keadaan yang demikian tidak dapat dihindari, mengingat sifat deferensiasi dalam bidang pendidikan, sosial, budaya dan dalam bidang ekonomi yang merupakan suatu kenyataan yang dapat dilihat, hal ini menunjukan suatu dinamika kehidupan dalam masyarakat. Dengan kenyataan tersebut dihubungkan dengan suatu perjanjian jual beli, sering ditemui dalam praktik sehari-hari, tentu akan timbul permasalahan. Hal ini timbul apabila seseorang yang akan membeli suatu barang tertentu, tetapi orang itu tidak dapat membayar lunas barang tersebut. Permasalahan seperti ini dapat diatasi dengan cara sebagai berikut:

Pembeli yang belum atau tidak dapat membayar tunai diberi kesempatan untuk mengasur harga barang tersebut dalam suatu jangka waktu tertentu. Selama angsuran harga belum dilunasi hak atas barang masih di tangan penjual dan baru berpindah apabila pembeli membayar angsuran sampai dengan selesai, secara yuridis pembeli berhak sepenuhnya atas barang yang dibelinya. Di negeri Belanda, perjanjian tersebut telah di atur dalamBurgerlijk Wetboek dan di Inggris juga telah diatur dalam undang-undang tersendiri yaitu “Hire Purchase Act” tahun 1965 yang diadakan disamping “Sale of Goods Act”pada tahun 1893.61

Sewa beli mula-mula timbul dalam praktik untuk menampung persoalan bagaimanakah cara memberikan jalan keluar apabila pihak penjual menghadapi banyak permintaan atas hasrat untuk membeli barangnya, tetapi calon-calon pembeli itu tidak mampu untuk membayarkan sekaligus, maka penjual bersedia untuk menerima bahwa, harga barangnya diangsur tetapi ia memberikan jaminan bahwa barangnya (sebelum harga dibayar lunas) tidak akan dijual oleh pembeli.62

Menghadapi kenyataan seperti demikian, khususnya yang menyangkut kehadiran dan kegunaan dari lembaga sewa beli ini, lewat pemerintahan c.q. Menteri Perdagangan dan Koperasi telah dikeluarkan “Surat Keputusan nomor 34/KP/II/80 bagi perusahaan-perusahaan yang akan mengadakan perjanjian sewa beli.”63

Perhatian ini memberikan suatu pengertian bahwa sebenarnya kehadiran dan kegunaan lembaga sewa beli ini bagi masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting dalam usaha membantu meningkatkan taraf hidup bagi golongan ekonomi lemah, dan juga membantu para pengusaha dalam memasarkan hasil produksinya.

61Subekti,Op.cit., hal. 51 62Ibid, hal. 52

Perjanjian sewa beli terutama dalam praktek pelaksanaan tidak dapat terlepas dari ketentuan-ketentuan hukum perikatan pada umumnya, perjanjian sewa beli merupakan suatu perikatan yang dilahirkan dari perjanjian oleh karena itu maka para pihak tidak hanya terikat oleh kata-kata perjanjian itu, melainkan juga oleh itikad baik.

2. Dasar-dasar Hukum Perjanjian Sewa Beli

Sebagaimana telah penulis kemukakan pada awal bab ini bahwa, perjanjian sewa beli saat ini cukup berkembang dikalangan masyarakat luas, pada umumnya belum diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan, sehingga banyak menimbulkan berbagai ketidakpastian tentang lembaga sewa beli. Namun, perjanjian sewa beli ini muncul sebagai kebiasaan dalam praktik perdagangan yang bersumber pada asas kebebasan berkontrak (pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).

Di negara-negara tetangga kita, yang umumnya menganut sistem hukum Anglo-Saxon, lembaga sewa beli ini juga disebut “hire purchase” dan sudah diatur secara khusus di dalam undang-undang tersendiri. Contohnya, di Malaysia, diatur dalam “Hire Purchase Act,1976” dan di Singapura diatur dalam “Hire Purchase Act, 1969”.64

Karena Indonesia belum memiliki ketentuan yang merupakan pedoman dalam mengatur lalu lintas perjanjian sewa beli, di samping terjadinya peningkatan akan kebutuhan konsumsi masyarakat akan suatu barang maka, melalui pemerintah

dikeluarkan suatu Surat Keputusan yang antara lain mengatur perjanjian sewa beli di Indonesia, melalui keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi nomor 34/KP/II/80 tentang Perizinan Kegiatan Sewa Beli (Hire Purchase), jual beli dengan angsuran, dan sewa (renting). Karena belum ada ketentuan yang mengatur, seringkali di dalam praktik masih ditemukan kesulitan. Misalnya, yang menyangkut obyek dari perjanjian sewa beli, bagaimana pengaturan perjanjiannya, risikonya dan sebagainya.

Sudah tentu semuanya ini belum ada yang dapat mengaturnya di dalam suatu ketentuan sehingga dalam praktik sering terdapat kesimpangsiuran. Penting untuk dikemukakan pula dalam hal ini bahwa, surat keputusan yang dimaksudkan tersebut pada prinsipnya belum mengatur secara terperinci mengenai sewa beli. Oleh karena itu sampai sekarang dapatlah dipahami bahwa, ketentuan mengenai sewa beli belum dapat menjamin kepastian hukum.

Dapatlah dikemukakan di sini beberapa hal yang telah diatur dalam Surat Keputusan tersebut yang antara lain adalah:

Dalam pasal 1.a. dikemukakan definisi dari sewa beli, yaitu; ‘Sewa beli adalah jual beli barang di mana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.”

Pasal 1.b. menyebutkan bahwa: “Jual beli dengan angsuran adalah jual beli barang di mana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara menerima

pelunasan pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dalam beberapa kali angsuran atas harga barang yang disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian serta hak milik atas barang tersebut beralih dari penjual kepada pembeli pada saat barangnya diserahkan oleh penjual kepada pembeli.”

Pada pasal 1.b. tersebut, barangnya seketika diserahkan dalam miliknya si pembeli, namun harganya boleh diangsur. Dengan demikian si pembeli seketika sudah menjadi pemilik mutlak dari barangnya dan tinggallah ia mempunyai utang kepada si penjual berupa harga atau sebagian dari harga yang belum dibayarnya, maka ia bebas untuk menjualnya lagi karena itu sudah menjadi barang miliknya.

Pada pasal 1.c. menyebutkan bahwa “Sewa (renting)adalah kegiatan dagang di bidang sewa menyewa atas barang, di mana hak milik atas barang yang disewakan tetap berada dalam pemilikan barang.”

Dari ketentuan pasal 1.a dan 1.b. dapat dilihat dua jenis perjanjian yang hampir serupa namun, mempunyai perbedaan yang prinsipil, yakni dalam hal peralihan hak atas obyek.

Kedua jenis perjanjian tersebut adalah “sewa beli” dan “jual beli dengan angsuran.” Bila diamati dari ketentuan hukumnya maka secara jelas dapat dikatakan bahwa, bagi pihak pembeli, jual beli dengan angsuran lebih menguntungkan oleh karena itu dalam hal jual beli dengan angsuran, begitu telah terjadi kesepakatan yang kemudian diikuti pembayaran uang muka dan barang diserahkan, saat itu pula hak milik atas barang tersebut beralih. Jadi di sini peralihan hak milik ditandai dengan penyerahan barang dari pihak penjual kepada pihak pembeli. Lain halnya pada sewa

beli, peralihan hak milik baru menjadi setelah angsuran terakhir dari harga barang dilunasi oleh pembeli.

Secara khusus bagi pihak pembeli, tentu akan terasa lebih aman dan bebas, apabila semakin cepat dapat memiliki sesuatu barang yang diinginkan. Karena bagi pembeli, baik dalam sewa beli maupun dalam jual beli dengan angsuran, mempunyai suatu keinginan yang sama yaitu bagaimana agar dapat memiliki barang yang diinginkan. Hal ini dapat dipahami, karena memiliki (secara hukum) sesuatu barang, seseorang akan lebih leluasa memperlakukan barang tersebut sesuai keinginannya.

Bagi seorang penjual selain keuntungan yang diharapkan, masalah jaminan juga merupakan suatu hal yang sangat penting. Jaminan yang dimaksudkan di sini ialah agar barang yang belum dilunasi, setiap saat masih tetap berada dalam tangan pembeli sehingga, bila terjadi sesuatu terhadap barang tersebut, seperti kemacetan dalam pembayaran, pihak penjual dapat menarik barang itu setiap saat sebagai jaminan pelunasan. Walaupun dari ketentuan hukum, kedua jenis perjanjian ini menunjukan suatu perbedaan yang prinsipil namun bila diamati dalam praktiknya, perbedaan tersebut tidak nampak sama sekali.

Sesuai pengamatan, penulis berpendapat bahwa, apa yang dikenal dengan “jual beli dengan angsuran” pada akhirnya menuju pada bentuk sewa beli. Karena, dari beberapa formulir perjanjian, yang walaupun pada kopnya tertulis “jual beli dengan kredit” namun, bila diamati ketentuan pasal-pasal selalu saja ada salah satu klausula, yang tidak memperbolehkan atau melarang pihak pembeli untuk mengalihkan barangnya kepada pihak ketiga sebelum barang tersebut dilunasi.

Hal tersebut berarti bahwa, sebelum harga barang tersebut dilunasi, pihak pembeli belum berstatus sebagai pemilik. Jadi sama dan sesuai dengan ketentuan hukum dari sewa beli. Dengan demikian, bila dalam praktiknya sebagaimana dalam berbagai formulir disebut jual beli dengan kredit, maka sebenarnya isinya sama dengan sewa beli.

b) Pengaturan Sewa Beli Rumah Negara

Pengaturan mekanisme yang berkaitan dengan rumah negara terdapat dalam Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pengadaan, Penetapan Status, Pengalihan Status, dan Pengalihan Hak atas Rumah Negara. Disebutkan bahwa pengadaan rumah negara yang diperuntukan bagi perorangan dapat dilakukan dengan cara pembangunan, pembelian, tukar menukar atau tukar bangun, Pengadaan rumah negara ini harus sesuai dengan standar tipe dan klas rumah negara, yaitu:

No. Tipe dan Klas Peruntukan

1. Tipe Khusus

(luas bangunan 400m2 dan luas tanah 1000m2)

Menteri, Kepala LPND, Kepala Lembaga Tinggi Negara, dan Pejabat-pejabat yang setingkat Menteri

2. Tipe A

(luas bangunan 250m2 dan luas tanah 600m2)

Sekretaris Jendral, Inspektur Jendral, Direktur Jendral, Kepala Badan, Deputi, dan Pejabat setingkat esselon I atau PNS Golongan IV/e dan IV/d 3. Tipe B

(Luas bangunan 120 m2 dan luas tanah 350m2)

Direktur, Kepala Biro, Inspektur, Kepala pusat, Kakanwil, Asisten Deputi, Sekretaris Direktorat Jenderal, Sekretaris Badan, dan Pejabat setingkat Esselon II atau PNS Golongan IV/d sampai IV/e

No. Tipe dan Klas Peruntukan 4. Tipe C

(luas bangunan 70m2 dan luas tanah 120m2)

Kepala Sub Direktorat, Kepala Bagian, Kepala Bidang, Pejabat Setingkat Esselon III atau PNS Golongan IV/a sampai dengan IV/c 5. Tipe D

(luas bangunan 50m2 dan luas tanah 120m2

Kepala Seksi, Kepala Sub Bagian, Kepala Sub Bidang, Pejabat setingkat Esselon IV atau PNS Golongan III/a sampai III/b

6. Tipe E

(luas bangunan 36m2 dan luas tanah 100m2

Kepala Sub Seksi, Pejabat Setingkat atau PNS Golongan II/d ke bawah

Setelah melakukan kegiatan pengadaan, semua rumah negara ini wajib didaftarkan kepada Menteri Pekerjaan Umum (dhi. Dirjen Cipta Karya), dengan tujuan:

1. Untuk mengetahui status dan penggunaan rumah negara

2. Mengetahui jumlah secara tepat dan rinci jumlah aset yang berupa rumah negara

3. Menyusun program kebutuhan pembangunan rumah negara

4. Mengetahui besarnya pemasukan keuangan kepada negara dari hasil sewa dan pengalihan hak rumah negara

5. Menyusun rencana biaya pemeliharaan dan perawatan

Dalam mendaftarkan rumah-rumah negara ini, harus ditempuh prosedur pendaftaran sebagai berikut:

1. Pimpinan instansi yang bersangkutan mendaftar dengan membawa kelengkapan: surat permohonan pendaftaran, daftar inventarisasi, kartu legger/gambar arsip rumah dan gambar situasi, fotokopi keputusan otorisasi pembangunan rumah/surat keterangan perolehan dari instansi yang bersangkutan, fotokopi tanda bukti hak atas tanah atau surat keterangan tentang penguasaan tanah, fotokopi Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau surat keterangan membangun dari instansi yang bersangkutan.

2. Pendaftaran diajukan kepada Menteri Pekerjaan Umum (dhi. Dirjen Cipta Karya) melalui:

i. Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan, apabila rumah negara terletak di DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi; atau

ii. Kepala Dinas Pekerjaan Umum / Dinas Teknis Propinsi yang membidangi rumah negara, apabila rumah negara terletak di luar DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.

3. Setelah pendftaran maka:

a. Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan memberikan Surat Keterangan Bukti Pendaftaran Rumah Negara (SKBPRN) dengan penetapan Huruf Daftar Nomor (HDNo.) yang digunakan dalam penetapan status rumah negara dan sebagai dasar perencanaan anggaran pemeliharaan dan perawatan rumah negara.

b. Kepala Dinas Pekerjaan Umum / Dinas Teknis Propinsi yang membidangi rumah negara menyampaikan laporan pelaksanaan pendaftaran rumah

negara kepada Dirjen Cipta Karya melalui Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan secara periodik dengan tembusan kepada Menteri Keuangan (dhi. Dirjen Kekayaan Negara).

Pendaftaran Rumah Negara dilakukan untuk:

1. mengetahui secara tepat dan rinci jumlah aset negara yang berupa rumah 2. menyusun program kebutuhan pembangunan Rumah Negara

3. mengetahui besarnya pemasukan keuangan kepada Negara dari hasil sewa, penjualan, penghapusan dan pajak bumi dan bangunan

4. menyusun standar biaya pemeliharaan dan perawatan

Bersamaan dengan kegiatan mendaftarkan rumah negara, dilakukan juga penetapan status oleh Pimpinan Instansi yang bersangkutan, berdasarkan usulan dari Pejabat Esselon I atau Pejabat yang ditunjuk yang menjadi bagian dari keseluruhan kegiatan pengelolaan terhadap rumah negara. Paling lambat 1 (satu) tahun sejak dimiliki oleh negara, Pimpinan Instansi mengeluarkan keputusan penetapan yang ditembuskan kepada Menteri Pekerjaan Umum selaku pembina Rumah Negara dan Menteri Keuangan selaku Pengelola Barang Milik Negara. Sementara penetapan Rumah Negara Golongan III dilakukan oleh Menteri Pekerjaan Umum.

Status-status rumah negara ini dapat berubah apabila dikemudian hari terdapat kondisi tertentu yang menyebabkan pengalihan status rumah negara, maupun pengalihan hak atas rumah negara. Perubahan maupun pengalihan hak ini yang kerap kali menimbulkan sengketa atau permasalahan sehingga dalam setiap tahapannya

harus memperhatikan dan memenuhi prosedur sebagaimana dipersyaratkan peraturan- peraturan yang ada.

Dalam hal proses pengalihan status hak kepemilkan atas rumah negara harus memperhatikan ataupun mengacu pada peraturan-peraturan yang ditujukan terhadap hak kepemilikan rumah negara tersebut. Peraturan tersebut dibuat untuk agar mekanisme kepemilikan hak dapat sesuai dengan aturan yang jelas dan meminimalisir segala kemungkinan dengan hal-hal yang bertentangan dengan peraturan-peraturan tersebut, seperti adanya pengurusan yang tidak sesuai dengan prosedur, serta syarat-syarat yang seharusnya dipenuhi misalnya rumah yang ingin diajukan perubahan kepemilkan. Hak tersebut merupakan rumah yang umur kepemilikannya kurang dari 10 tahun dan juga tidak diperuntukan bagi perorangan yang tidak memilki wewenang akan rumah negara tersebut.

Selain rumah negara sebagai barang milik negara yang harus dibina dan diawasi, seluruh pembayaran sewa rumah negara maupun pembayaran harga Rumah Negara Golongan III (pengalihan hak) juga harus dipertanggungjawabkan.

Pembayaran sewa rumah negara dihitung berdasarkan tarif yang ditetapkan sesuai Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 373/KPTS/M/2001 tanggal 16 Juli 2001 tentang Sewa Rumah Negara, yang dilakukan melalui pemotongan langsung dari gaji atau dengan menyetor langsung ke KPPN melalui Bank Pemerintah. Laporan pembayaran sewa tersebut secara berkala akan disampaikan datanya kepada instansi yang bersangkutan untuk kemudian diteruskan ke Direktorat Bina Teknik.

Sementara untuk pembayaran harga Rumah Negara Golongan III (pengalihan hak) harus disetor oleh penyewa beli ke rekening Kas Umum Negara, dan KPPN akan melaporkan hasil penerimaan negara tersebut kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Keuangan. Berdasarkan pelaporan pembayaran yang diterima Menteri Pekerjaan Umun dan Menteri Keuangan memilki fungsi-fungsi tersendiri akan hal tersebut.

Pelaporan yang ditujukan pada Menteri Pekerjaan Umum memiliki fungsi agar dapat diketehui bahwa rumah negara yang menjadi objek sewa beli tersebut benar-benar merupakan rumah negara yang berstatus golongan III. Status rumah negara tersebut tidak dalam proses sengketa, rumah tersebut telah cukup umur yakni 10 tahun masa kepemilikannya.

Fungsi pelaporan tersebut adalah apabila pembayaran tersebut sudah dalam status lunas, maka dalam hal ini Menteri Pekerjaan Umum agar dapat lebih cepat menetapkan penyerahan atas hak milik rumah dan pelepasan hak atas tanah dengan bedasarkan surat keputusan yang ditujukan kepada penyewa beli tersebut. Adapun fungsi pelaporan terhadap Menteri Keuangan yakni agar dapat kiranya rumah negara yang telah lunas pembayarannya dihapuskan dari daftar barang milik negara.

Dalam hal proses peningkatan hak tentang tanah rumah tempat tinggal yang dibeli oleh pegawai negeri dari Pemerintah dapat ditingkatkan haknya menjadi Hak Milik berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik atas Tanah Untuk Rumah Tinggal Yang Telah Dibeli oleh Pegawai Negeri dari Pemerintah.

Prosedur perolehan Hak Miliknya dilakukan dengan pengajuan permohonan tertulis kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan melampirkan:65

1. untuk tanah yang diatasnya berdiri rumah Negara golongan III adalah: a. surat tanda bukti pelunasan harga rumah Negara dan tanahnya

b.surat keputusan Departemen Pekerjaan Umum bahwa rumah yang bersangkutan sudah menjadi milik pemohon

c. bukti identitas pemohon 2. untuk tanah lainnya berupa:

a. surat tanda bukti pelunasan harga tanahnya

b. surat pelepasan hak atas tanah dari lembaga pemerintah yang bersangkutan kepada pemohon

c. bukti identitas diri

Untuk perolehan hak milik tersebut dan pendaftarannya pemohon dowajibkan membayar uang administrasi kepada Negara dan biaya pendaftaran haknya sesuai ketentuan yang berlaku yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002.

Selanjutnya atas permohonan pendaftaran hak, Kantor Pertanahan melakukan pengukuran tanah tersebut, kemudian dikeluarkan perintah setor pungutan. setelah selesai pengukuran dan dibayar lunas, Kepala Kantor Pertanahan melakukan tindakan berupa:66

65

Prof. DR. Mhd. Yamin Lubis, SH, MS, CN dan Abd. Rahim Lubis, SH, MKn,Hukum Pendaftaran Tanah, CV. Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 310

a. konfirmasi pemberian hak milik dengan surat keputusan sesuai bentuk yang ditentukan

b. mendaftarkan hak milik yang bersangkutan dengan menyebutkan nomor keputusan ini dan nomor konfirmasinya sebagai penetapan yang menjadi dasar adanya hak milik tersebut dalam buku tanah dan sertifikatnya.

Khusus yang status tanahnya Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai, permohonan harus disertai sertifikatnya, kemudian dengan pesyaratan yang serupa diatas, dilakukan pendaftaran mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai tersebut dalam buku tanah baru dengan surat ukur yang lama dengan menyebutkan Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1998 tersebut sebagai dasarnya dan kemudian diterbitkan sertifikatnya.67

Apabila pemegang akta perjanjian sewa beli rumah negara telah meninggal dunia, sesuai dalam klausul perjanjian sewa beli rumah negara, maka ahli warisnya dapat melanjutkan perjanjian tersebut. Jika dalam kondisi ahli waris memiliki akta perjanjian sewa beli rumah negara atau pengalihan hak, maka departemen yang menjual rumah dinas kepada karyawannya biasanya dilakukan secara diangsur dan dibuat perjanjian sewa beli dan ada jangka waktunya. Setelah habis jangka waktu sewa beli maka ada surat pelepasan hak dari departemen yang bersangkutan kepada karyawannya yang membeli rumah dinas tersebut. Karena itu, sertifikat Hak Guna Bangunan / Hak Pakai atas rumah dinas tersebut sudah atas nama pembeli.

Dengan demikian, apabila ada akta sewa beli atau penjualan / pengalihan hak, maka berarti rumah dinas tersebut jatuh kepada ahli waris. Sehingga ahli waris dapat mengajukan balik nama ke atas nama ahli waris. Selain itu, sebagai ahli waris dapat

mengajukan peningkatan Hak Guna Bangunan / Hak Pakai menjadi Hak Milik dengan memenuhi persyaratan-persyaratan dan dokumen-dokumen yang diperlukan dan membayar pemasukan kepada negara.

Permohonan peningkatan ini diajukan kepada Kantor Pertanahan setempat sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik atas Tanah untuk Rumah Tinggal. Sedangkan apabila akta sewa beli tidak ada, maka rumah tersebut tetap milik departemen yang bersangkutan. Dengan meninggalnya pegawai dari departemen tersebut, maka seharusnya ahli waris menyerahkan kembali rumah dinas tersebut kepada perusahaan.

PROSES PELAKSANAAN PENGALIHAN SEWA BELI RUMAH NEGARA

PADA PERUMAHAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PROPINSI

SUMATERA UTARA 1. Isi perjanjian

Pada proses peaksanaan pengalihan sewa beli rumah negara terdapat perjanjian

Dokumen terkait