BAB II PENGATURAN PENGGUNAAN LABEL HALAL TERHADAP
B. Hak-Hak Konsumen Atas Kehalalan Produk Makanan
Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan erat dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih- lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen. Perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen dimaksud untuk menciptakan keseimbangan antara hak dan kewajiban konsumen tersebut.
Presiden Jhon. F. Kennedy dalam pidatonya dihadapan kongres pada tahun 1962 menyebutkan, ada 4 (empat) hak konsumen yang perlu dilindungi,82 yaitu: 78 QS 2:172; 5:4,5; 16:114; 23:51 79 QS 7:32 80 QS 2:35; 2:168 81
Wahbah al-Zuhailiy, Ushul Fiqh al-Islamiy, (Beirut : Dar al-Fikri, 1986), Jilid I, hal. 558 82
Bismar Nasution, Op. Cit, h. 121. Lihat juga Mariam Darus Badrul Zaman, Op. Cit, h. 5. Lihat juga Shidarta, Op. Cit, hal.16
1. Hak memperoleh keamanan (the right to safety). Aspek ini terutama ditujukan pada perlindungan konsumen terhadap pemasaran barang dan/atau jasa yang membahayakan keselamatan konsumen. Dalam rangka penggunaan hal ini pemerintah mempunyai peranan dan tanggung jawab yang sangat penting. Berbagai bentuk perundang-undangan harus ada dan telah dibentuk untuk penanggulangannya. Sekalipun dibanding dengan meningkatnya produksi, karena pembangunan ribuan jenis barang dan/atau jasa dirasakan peraturan untuk menjaga keselamatan dan keamanan tersebut masih kurang.83
2. Hak memilih (the right to choose). Hak ini bagi konsumen sebenarnya telah ditujukan pada apakah ia akan membeli atau tidak membeli suatu produk barang dan/atau jasa yang dibutuhkannya. Oleh karena itu tanpa ditunjang oleh hak untuk mendapatkan informasi yang jujur, tingkat pendidikan yang patut, dan penghasilan yang memadai maka hak ini tidak akan banyak artinya. Apalagi dengan meningkatnya teknik penggunaan pasar, terutama lewat iklan, maka hak untuk memilih ini lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor diluar diri konsumen.84
3. Hak mendapat informasi (the right to be informed). Hak ini mempunyai arti yang sangat fundamental bagi konsumen bila dilihat dari sudut kepentingan / kehidupan ekonominya. Setiap keterangan mengenai sesuatu barang yang akan dibelinya atau akan mengikat dirinya, haruslah diberikan selengkap mungkin dan
83
Ari Purwadi, Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan Konsumen, Majalah Yudika, Fakultas Hukum UNAIR, 1992, hal. 49
84 Ibid
dengan penuh kejujuran, informasi baik secara langsung maupun secara umum melalui berbagai media komunikasi seharusnya disepakai bersama untuk tidak menyesatkan.85
4. Hak untuk didengar (the right to be heard). Hak ini dimaksudkan untuk menjamin kepada konsumen bahwa kepentingannya harus diperhatikan dan tercermin dalam pola kebijaksanaan pemerintah termasuk didalamnya turut didengar dalam pembentukan kebijaksanaan tersebut.86
Pidato Jhon F. Kennedy tersebut menjadi inspirasi Perserikatan Bangsa- bangsa, sehingga PBB mengeluarkan resolusi Nomor 39/248 Tahun 1984 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection) yang merumuskan enam kepentingan konsumen yang harus dilindungi, meliputi:
1. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan kemanannya; 2. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;
3. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;
4. Pendidikan konsumen;
5. Tersedianya ganti rugi yang efektif;
6. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk
85
Ibid, hal. 50 86
menyuarakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.87
Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers
Union-IOCU) menambahkan 4 hak dasar konsumen yang harus dilindungi, yaitu:
1. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup; 2. Hak untuk memperoleh ganti rugi;
3. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
4. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.88
Masyarakat Ekonomi Eropa juga telah menetapkan hak-hak dasar konsumen yang perlu mendapat perlindungan, yaitu :
1. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan 2. Hak kepentingan ekonomi
3. Hak mendapat ganti rugi 4. Hak atas penerangan 5. Hak untuk didengar.89
Tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak tersebut, mereka bebas untuk menerima seluruhnya atau sebagian, misalnya YLKI menambahkan satu hak dasar lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen,
87
Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta : Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004), hal. 7. Lihat juga Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 27-28
88
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Yakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 39
89
yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga keseluruhannya dikenal sebagai panca-hak Konsumen.90
Menurut Prof. Hans W. Micklitz,91 dalam perlindungan konsumen secara garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan. Pertama, kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi). Kedua, kebijakan kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap ke-pentingan ekonomi konsumen (hak atas keamanan dan kesehatan). Konsumen tidak cukup dilindungi hanya berdasarkan kebijakan komplementer (memberikan informasi) saja, tetapi juga harus ditindaklanjuti dengan kebijakan kompensatoris guna meminimalisasi risiko yang ditanggung konsumen. Misalnya dengan mencegah produk berbahaya untuk tidak mencapai pasar sebelum lulus pengujian.
Dalam ekonomi Islam, konsumen dikendalikan oleh lima prinsip dasar, yaitu; prinsip kebenaran, kebersihan, kesederhanaan, kemaslahatan, dan moralitas.92
Prinsip kebenaran, prinsip ini mengatur agar konsumen untuk
mempergunakan barang dan/atau jasa yang dihalalkan oleh Islam, baik dari segi zat, proses produksi, distribusi, hingga tujuan mengkonsumsi barang dan/atau jasa tersebut.93 Maka dalam ekonomi Islam barang dan/atau jasa yang halal dari segi
90
Shidarta, Op. Cit, hal. 16 91
Ibid, hal. 49 92
M.A. Mannan, Islamic Economics, Theory and Practice, (Delhi, Idarah-I Adabiyat-I Delli, 1980), hal. 80
93
zatnya dapat menjadi haram, ketika cara memproduksi dan tujuan mengkonsumsinya melanggar ketentuan-ketentuan syara’.
Prinsip kebersihan, bahwa konsumen berdasarkan ajaran Islam harus
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang bersih, baik, tidak kotor atau menjijikkan, serta tidak bercampur dengan najis. Karena barang dan/atau jasa yang haram, kotor, dan bernajis membawa kemudaratan duniawi dan ukhrawi.94
Prinsip kesederhanaan, Islam memberikan standarisasi bagi konsumen
untuk tidak berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, serta mampu mengekang hawa nafsu dari pemborosan dan keinginan yang berlebihan.95 Selain itu, Islam juga mengajarkan kepada konsumen untuk menjaga keseimbangan, tidak terlalu kikir dan tidak terlalu berlibihan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.96
Prinsip kemaslahatan, bahwa Islam membolehkan konsumen untuk
mempergunakan barang dan/atau jasa selama barang dan/jasa tersebut memberikan kebaikan serta kesempurnaan dalam mengabdikan diri kepada Allah. Disamping itu, Islam juga membolehkan konsumen untuk mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang haram jika dalam dalam keadaan tertentu (darurat) atau kondisi terpaksa, selama tidak berlebihan dan tidak melampuai batas.97
Prinsip moralitas atau akhlak, seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum melakukan seuatu dan menyatakan terima kasih kepada-Nya
94 QS 2:219; 5:90; 6:145; 95 QS 6:141; 7:31; 25:67 96 QS 25:67 97 QS 2:173; 6:119,145; 16:115
setelah melakukan sesuatu. Islam mengajarkan agar konsumen memenuhi etika, kesopanan, bersyukur, zikir dan fikir, serta mengesampingkan sifat-sifat tercela dalam mengkonsumsi barang dan jasa.98
Di Indonesia, signifikansi pengaturan hak-hak konsumen melalui undang- undang merupakan bagian dari implimentasi sebagai suatu negara kesejahteraan, karena Undang-undang Dasar 1945 disamping sebagai konstitusi politik juga dapat disebut konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang mengandung ide negara kesejahteraan yang tumbuh berkembang karena pengaruh sosialisme sejak abad 19.99 Indonesia melalui Undang-undang Perlindungan Konsumen dengan tegas telah menyebutkan hak-hak konsumen, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 Undang- undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai berikut: 10. Hak atas keamanan, kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa
11. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan 12. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur dan mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa
13. Hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakannya
98
QS 2:177; 3:191; 14:7; 36:35; 76:8 99
Jimmly Asshiddiqie, Undang-undang Daar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1998, hal. 1-2
14. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut
15. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
16. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara secara benar dan jujur secara tidak diskriminatif
17. Hak untuk mendapat konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
18. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya, seperti: Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 5 ayat (1) UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan sebagainya.
Disamping hak-hak dalam Pasal 4 UUPK tersebut, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam Pasal 7 UUPK yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.
Dalam Pasal 7 UUPK disebutkan bahwa, kewajiban pelaku usaha adalah: 1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharan;
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Selain hak-hak yang telah disebutkan tersebut, ada juga hak untuk dilindngi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur, yang dalam hukum dikenal dengan terminologi “persaingan curang” (unfair competition) atau “persaingan usaha tidak sehat”.100
Selain memperoleh hak-hak tersebut, konsumen juga diwajibkan untuk: 1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
2. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa .
100
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.101
Secara umum hubungan hukum antara produsen atau pelaku usaha dengan konsumen (pemakai akhir) dari suatu produk merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena adanya saling keterkaitan kebutuhan antara pihak produsen dengan konsumen.
Menurut Sudaryatmo, hubungan hukum antara produsen dengan konsumen karena keduanya menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi antara yang satu dengan yang lain.102 Hubungan hukum antara produsen dengan konsumen yang berkelanjutan terjadi sejak proses produksi, distribusi, pemasaran dan penawaran.103
Produsen membutuhkan dan bergantung kepada dukungan konsumen sebagai pelanggan, dimana tanpa adanya dukungan konsumen maka tidak mungkin produsen dapat menjamin kelangsungan usahanya, sebaliknya konsumen membutuhkan barang dari hasil produksi produsen. Saling ketergantungan kebutuhan tersebut diatas dapat menciptakan suatu hubungan yang terus dan berkesinambungan sepanjang masa.
Secara individu hubungan hukum antara konsumen dengan produsen adalah bersifat keperdataan, yaitu karena perjanjian jual beli, sewa beli, penitipan dan
101
Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 5 102
Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 23 103
sebagainya. Namun karena oleh produk yang dihasilkan oleh produsen tersebut dapat dimanfaatkan oleh banyak orang, maka secara kolektif hubungan hukum antara konsumen dengan produsen tidak lagi hanya menyangkut bidang hukum perdata, akan tetapi juga memasuki bidang hukum publik, seperti hukum pidana, hukum administrasi negara dan sebagainya.
Dari hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha telah melahirkan beberapa doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen, sebagai berikut:
1. Let the buyer beware atau caveat emptor104 berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang seimbang, sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi konsumen. Menurut doktrin ini, dalam hubungan jual beli keperdataan yang wajib berhati-hati adalah pembeli (konsumen), dengan demikian akan menjadi kesalahan dan tanggung jawab konsumen sendiri bila ia sampai membeli dan mengkonsumsi produk yang tak tidak layak. Doktrin ini banyak ditentang oleh gerakan perlindungan konsumen (konsumerisme). Dengan adanya UUPK, kecenderungan caveat emptor dapat mulai diarahkan sebaliknya menuju caveat venditor105 (pelaku usaha yang perlu berhati-hati).106
104
Doktrin caveat emptor mengharuskan si pembeli berhati-hati. Hal ini memberikan penekanan terhadap ketentuan yang menyatakan seorang pembeli harus memeriksa, menimbang dan mencobanya sendiri. Doktrin ini juga mengharuskan pembeli agar peduli dan ingat bahwa ia sedang membeli haknya orang lain. Si pembeli harus berhati-hati tentang keadaannya ketika ia membeli hak orang lain. Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co. St. Paul, Minn, 1990, hal. 222
105
Doktrin caveat venditor merupakan lawan caveat emptor yang diartikan sebagai si penjual harus berhati-hati (let the seller beware). Ibid
106
2. The due care theory, doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai
kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produknya, baik barang maupun jasa, dan selama berhati-hati maka pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan bila terjadi kerugian yang diderita oleh konsumen. Jika ditafsirkan secara a-contratio, maka untuk menyalahkan pelaku usaha, seseorang (konsumen) harus dapat membuktikan bahwa pelaku usaha tersebut telah melanggar prinsip kehati-hatian.107
3. The privity of contract, doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai
kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjadi suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan atas hal-hal diluar yang telah diperjanjikan, artinya konsumen boleh menggugat pelaku usaha berdasarkan wanprestasi (contractual liability).108
Undang-undang Perlindungan Konsumen telah mengatur hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha, dan telah melahirkan 2 (dua) bentuk tanggung jawab, yaitu: tanggung jawab produk109 (product liability) dan tanggung jawab professional110 (professional liability).111
107 Ibid, hal. 51 108 Ibid, hal.52 109
Tanggung jawab produk yang biasa di sebut “product liability” adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (product manufacturer) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut. Lihat H.E. Saefullah, Tanggung Jawab Produsen Terhadap Akibat Hukum yang Ditimbulkan dari Produk dalam menghadapi Era Perdagangan Bebas, Makalah dalam Seminar Nasional Perspektif Hukum Perlindungan konsumen dalam Sistem Hukum Nasional Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Fakultas Hukum UNISBA, Bandung, 1998, h. 5. Nahattands v. Lambocks menyebutkan bahwa product liability adalah suatu konsepsi hukum yang intinya dimaksudkan memberikan perlindungan kepada konsumen yaitu dengan jalan membebaskan
Tanggung jawab produk dapat diartikan sebagai tanggung jawab para produsen untuk produk yang dibawanya kedalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Kata “produk” diartikannya sebagai barang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak (tetap). Tanggung jawab itu dapat bersifat kontraktual (perjanjian) atau berdasarkan undang-undang (gugatannya atas perbuatan melawan hukum), namun dalam tanggung jawab produk, penekanannya ada pada yang terakhir (tortuous
liability).112 Pasal 19 Ayat (1) UUPK secara lebih tegas merumuskan tanggung jawab produk ini dengan menyatakan: “Pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”.
Jika tanggung jawab produk berkaitan dengan produk barang, maka tanggung jawab professional (professional liability) lebih berhubungan dengan jasa.113 Sama seperti dalam tanggung jawab produk, sumber persoalan dalam tanggung jawab professional ini dapat timbul karena para penyedia jasa professional konsumen dari beban untuk membuktikan bahwa kerugian konsumen timbul akibat kesalahan dalam proses produksi dan sekaligus melahirkan tanggung jawab produsen untuk memberikan ganti rugi. Lihat dalam Nurmardiito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan tentang perlindungan Konsumen Dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Makalah dalam Seminar Nasional Perspektif Hukum Perlindungan konsumen dalam Sistem Hukum Nasional Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Fakultas Hukum UNISBA, Bandung, 1998, hal. 17
110
Tanggung jawab professional (professional liability) adalah tanggung jawab hukum (legal liability) dalam hubungan dengan jasa professioanal yang diberikan kepada klien atau konsumen. Lihat Shidarta, Op. Cit, hal.68
111
Undang-undang Perlindungan Konsumen Bab VI Pasal 19 sampai Pasal 28 112
Shidarta, Op. Cit, hal. 65 113
Jenis jasa yang diberikan dalam hubungan antara tenaga professional dan kliennya juga berbeda. Ada jasa yang diperjanjikan menghasilkan sesuatu (resultaat verbintenis), tetapi ada yang diperjanjikan untuk mengupayakan sesuatu (inspanningsverbintenis). Kedua jenis perjanjian ini memberi konsekuensi yang berbeda dalam tanggung jawab professional yang bersangkutan. Ibid
tidak memenuhi perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat kelalaian penyedia jasa tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan hukum.114 Pelanggaran terhadap tanggung jawab professional ini dapat berimplikasi sangat membahayakan jiwa konsumen, misalnya malpraktik di bidang kedokteran. Oleh karena itu, Pasal 19 Ayat (1) UUPK sekaligus juga memuat tanggung jawab pelaku usaha di bidang jasa.
Konsepsi tanggung jawab dalam pengaturan UUPK secara mendasar mempunyi perbedaan dengan pengaturan tanggung jawab dalam KUH Perdata. Menurut KUH Perdata bahwa tanggung jawab pelaku usaha (produsen) untuk memberikan ganti kerugian didapat setelah konsumen yang menderita kerugian dapat membuktikan bahwa kerugian yang timbul merupakan kesalahan dari pelaku usaha (vide Pasal 1365 KUH.Perdata jo Pasal 163 HIR/283 Rbg). Sedangkan dalam UUPK mengatur kewajiban sebaliknya, dimana pelaku usaha berkewajiban membuktikan bahwa kerugian yang diderita konsumen bukan merupakan dari akibat kesalahan/kelalaian pelaku usaha, sekalipun dalam hal ini pihak konsumen yang pertama mengajukan dalil kerugian tersebut (vide Pasal 19 s/d 28 UUPK), dan inilah yang dikenal dengan tanggung jawab mutlak (strick liability)115.
114
Untuk menentukan apakah suatu tindakan menyalahi tanggung jawab profesioanl, maka perlu ada ukuran yang jelas. Indikator tersebut ditetapkan tidak dalam undang-undang, tetapi ditetapkan oleh asosiasi profesi. Asosiasi inilah yang menetapkan standar pelayanan yang wajib diberikan kepada klien dari setiap tenaga professional yang berkecimpung dalam profesi tersebut. Ibid, hal. 68
115
Tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam hukum perlindungan konsumen dirasakan sangat penting, paling tidak didasarkan pada empat alasan, yaitu: pertama, tanggung jawab mutlak merupakan istrumen hukum yang relative masih baru untuk memperjuangkan hak konsumen memperoleh ganti kerugian. Kedua, tanggung jawab mutlak merupakan bagian dan hasil dari
Dalam prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) memberikan pengertian bahwa tergugat selalu bertanggungjawab tanpa melihat ada atau tidaknya kesalahan atau tidak melihat siapa yang bersalah, tanggung jawab yang memandang “kesalahan” sebagai sesuatu tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada hakekatnya ada atau tidak ada.116 Namun demikian, hal ini tidak selamanya diterapkan secara mutlak, karena dalam tanggung jawab mutlak sekalipun masih tetap ada pengecualian yang membebaskan tergugat dari tanggung jawabnya. Pengecualian yang dimaksud antara lain adalah keadaan force majeure, atau suatu kondisi terpaksa yang terjadi karena keadaan alam dan tidak mungkin dihindari.
Konsep tanggung jawab mutlak (strict liability) yang ada dalam UUPK itu sendiri, di Amerika Serikat telah dikenal dan diberlakukan sejak tahun 1960-an. Dimana dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak ini semua konsumen yang dirugikan akibat suatu produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut konpensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidaknya unsur kesalahan pada pihak produsen. Dua kasus utama yang merupakan prinsip
perubahan hukum di bidang ekonomi, khususnya industri dan perdagangan yang dalam prakteknya sering menampakkan kesenjangan antara standar yang diterapkan di negara yang satu dengan negara lainnya, dan kesenjangan dalam negara yang bersangkutan, yitu antar kebutuhan keadilan masyarakat dengan standar perlindungan konsumen dalam hukum positifnya. Ketiga, penerapan prinsip tanggung jawab mutlak melahirkan masalah baru bagi produsen, yaitu bagaimana produse menangani risiko gugatan konsumen. Keempat, Indonesia merupakan contoh yang menggambarkan dua kesenjangan yang dimaksud, yaitu antara standar norma dalam hukum positif dan kebutuhan perlindungan kepentingan dan hak-hak konsumen. Lihat Inosentius Samsul, Op. Cit, hal. 1
116
Endang Saefullah Wiradipraja, Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Udara Indonesia, Eresco, Bandung, 1991, hal. 33
tanggung jawab mutlak, yang kemudian diikuti oleh pengadilan-pengadilan lain adalah kasus Spence V Theree Builders and Mansory Supply Inc 1959.117
Dalam sistem hukum Amerika Serikat untuk menjerat produsen agar bertanggung jawab terhadap produk yang merugikan konsumen, maka dimungkinkan untuk menerapkan asas (strict liability) atau digunakan istilah tanggung jawab tidak terbatas menurut Robert N. Gorley sebagaimana dikutip M. Yahya Harahap, strict
liability ditegakkan pada prinsip:118
1. Pertanggungjawaban hukum atas setiap perbuatan atau aktivitas yang menimbulkan kerugian jiwa atau harta terhadap orang lain.
2. Pertanggungjawaban hukum tanpa mempersoalkan kesalahan baik yang berupa