• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Penggunaan Dan Pengawasan Label Halal Terhadap Produk Makanan Perspektif Perlindungan Konsumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaturan Penggunaan Dan Pengawasan Label Halal Terhadap Produk Makanan Perspektif Perlindungan Konsumen"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

PENGATURAN PENGGUNAAN DAN PENGAWASAN LABEL

HALAL TERHADAP PRODUK MAKANAN PERSPEKTIF

PERLINDUNGAN KONSUMEN

TESIS

Oleh

ALI AMRAN TANJUNG 077005110/HK

SE

K O L A

H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PENGATURAN PENGGUNAAN DAN PENGAWASAN LABEL

HALAL TERHADAP PRODUK MAKANAN PERSPEKTIF

PERLINDUNGAN KONSUMEN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ALI AMRAN TANJUNG 077005110/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : PENGATURAN PENGGUNAAN DAN PENGAWASAN LABEL HALAL TERHADAP PRODUK MAKANAN PERSPEKTIF PERLINDUNGAN KONSUMEN

Nama Mahasiswa : Ali Amran Tanjung Nomor Pokok : 077005110

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum) Ketua

(Prof. Dr. Hasballah Thaib, MA) (Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 31 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum Anggota : 1. Prof. Dr. Hasballah Thaib, MA

2. Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS 3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum

(5)

ABSTRAK

Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label.

Dengan ketentuan wajib diperiksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemeriksaan tersebut dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.

Dalam penelitian ini permasalahan yang akan dijawab yaitu: (1) Bagaimana pengaturan penggunaan label halal terhadap produk makanan? (2) Bagaimana pengawasan penggunaan label halal terhadap produk makanan? (3) Bagaimana sanksi terhadap pelanggaran penggunaan label halal?

Dari hasil penelitian, secara argumentatif dapat disebutkan bahwa; Pertama, pengaturan penggunaan Label Halal dan Sertifikat Halal belum mewajibkan seluruh produsen untuk mencantumkan label pada produknya apakah produk tersebut halal atau haram untuk dikonsumsi oleh konsumen Muslim. Kedua, pengawasan terhadap produk makanan yang menggunakan Label Halal secara illegal tidak maksimal, karena tidak adanya pengaturan yang khusus dalam bentuk peraturan perundang-undangan tentang Label Halal. Ketiga, belum ada keseragaman sanksi yang diterapkan oleh masing-masing peraturan perundang-undangan, meskipun Undang-undang Pangan, Perlindungan Konsumen, dan Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan telah mengatur sanksi atas penyalahgunaan terhadap Label Halal. Sehingga, bukan tidak mungkin akan menimbulkan kesulitan dalam penetapan sanksi yang harus diterapkan terkait dengan penyalahgunaan Label Halal.

(6)

ABSTRACT

Every people who produce or import food that put in Indonesian which is sell and told that the food can be eat for moeslem, to be responsible for approval that statement and should be put the explanation or legal mark.

With that statement so it can be examined it product in the institution that has legalize with the legalization. The control has done based on directive and the way that make of ministry of religion with attent to consider and suggest of institute of religion that has competence in that face.

In this research the problem going to answer, which is, 1) How use of legal mark in produce of food. 2) How to control in using legal mark in produce of food. 3) How doubt of collision in using legal mark.

From the result of research, in argumentation it can be conclude that; first, the system of using legal mark and certification not to oblige off all the producer to put the mark in their product to show it permitted or not for consumer of moeslem. Second, the control of food production which is use legal mark in the illegal condition not to maximum because there is no the specification rules in legislation about legal mark. Third, there is no same doubt that side of each legislation, although the legislation of food, shelter of consumer and the government rules about label and advertisement has arrange the doubt of misuse of legal mark, until not imposible it will be cause complication in resolution of doubt that should be realize in misuse of legal mark.

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat, hidayah dan karunia-Nya, serta kesehatan, keselamatan dan ilmu

pengetahuan yang merupakan amanah-Nya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.

Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah

yang terpilih untuk menghantarkan ajaran-Nya kepada umat manusia dan telah merubah

paradigma umat.

Penulisan tesis yang diberi judul: PENGATURAN PENGGUNAAN DAN

PENGAWASAN LABEL HALAL TERHADAP PRODUK MAKANAN

PERSPEKTIF PERLINDUNGAN KONSUMEN, adalah salah satu syarat yang harus

dipenuhi untuk menyelesaikan studi pada Program Magister Ilmu Hukum Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis meyakini bahwa tesis ini

merupakan amanah yang diberikan dan harus dipertanggungjawabkan sedaya mampu

dalam kerangka dan hakekat kemanusiaan yang penuh keterbatasan.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa tesis ini tidak akan selesai tanpa

bantuan, dukungan dan motivasi, dari berbagai pihak, baik moril maupun materil

yang telah diberikan kepada penulis. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih

yang sedalam-dalamnya dan setulus-tulusnya kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K). Rektor Universitas

Sumatera Utara dan seluruh staff dan jajarannya yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu pengetahuan di Universitas

(8)

2. Ibu Prof Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara, yang telah memberi kesempatan bagi penulis untuk menjadi

mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara

3. Bapak Prof. Dr. H. Bismar Nasution, SH, MH, sebagai Ketua Program Studi

Magister Ilmu Hukum, dimana penulis sangat kagum terhadap kepribadiannya

yang sangat mengayomi setiap mahasiswa, baik dalam proses bimbingan maupun

dalam proses belajar mengajar.

4. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M. Hum, sebagai Pembimbing Utama

penulis, yang dengan penuh kewibawaan dan kebapakan mengarahkan penulis

sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini.

5. Bapak Prof. Dr. Hasballah Thaib, selaku komisi pembimbing, yang telah memberi

kemudahan dan arahan-arahan dalam tulisan ini. Banyak pemikiran-pemikiran

yang telah beliau curahkan bagi penulis.

6. Bapak Prof Dr. Tan Kamello, SH, MS, selaku Komisi Pembimbing, yang telah

banyak memberikan wejangan-wejangan kepada penulis, yang pada akhirnya

membuka cakrawala berpikir penulis. Pada titik ini penulis menyadari betapa

lemahnya penulis dalam menguasai dan memecahkan suatu permasalahan.

7. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M. Hum, sebagai Penguji penulis, dengan

kebapakannya telah memberikan masukan-masukan yang cukup berharga demi

(9)

8. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum sebagai Penguji penulis, dengan keibuannya telah

memberikan motivasi, kemudahan dan pokok – pokok pikiran yang sangat

berharga demi kebaikan pada tulisan ini.

9. Bapak dan Ibu dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara khususnya Bapak dan Ibu dosen pada Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum.

10. Istri saya tercinta Zulfrida Andayani dan anak – anak saya tersayang Asiah

Afrianda Tanjung, Annisa Ananda Tanjung dan Muhamad Sulthan Tanjung yang

telah memberikan inspirasi dan motivasi kepada penulis untuk penyelesaian

penulisan tesis ini.

11. Seluruh rekan – rekan di Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum yang

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu serta rekan – rekan yang telah

membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.

12. Seluruh Pegawai / Staff Administrasi Program Magister Ilmu Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah banyak membantu memberikan kemudahan dalam

pengurusan administrasi.

Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan hidayah - Nya serta pahala

yang besar untuk membalas jasa-jasa yang telah penulis terima. Akhimya penulis

berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat.

Medan, Agustus 2009 Wassalam

Penulis

(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Ali Amran Tanjung

Tempat/Tanggal Lahir : Nias, 18 Februari 1966

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan/ Jabatan : Wiraswasta/ Pengacara/ Direktur Utama PT Balai Lelang Sukses Mandiri

Pendidikan : SD Negeri Lawena Tamat Tahun 1979

SMP Negeri 3 Gunung Sitoli Tamat Tahun 1982

SMA Negeri 1 Gunung Sitoli Tamat Tahun 1985

IAIN Tamat Tahun 1992, Universitas Dharmawangsa Tamat Tahun 1999

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ……… vii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Perumusan Masalah ……… 11

C. Tujuan Penelitian ……… 12

D. Keaslian Penelitian ……… 12

E. Manfaat Penelitian ………. 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

G. Metode Penelitian ……….. 20

BAB II PENGATURAN PENGGUNAAN LABEL HALAL TERHADAP PRODUK MAKANAN ...………….. 24

A. Tinjauan Atas Label Halal ...……… 24

1. Pengertian Halal ……… 24

2. Tinjauan Atas Label Halal ……… 36

B. Hak-Hak Konsumen Atas Kehalalan Produk Makanan ………. 40

(12)

BAB III PENGAWASAN PENGGUNAAN LABEL HALAL TERHADAP

PRODUK MAKANAN ……… 69

A. Masa Berlaku Label Halal …….……… 69

B. Sistem Pengawasan dan Prosedur Perpanjangan Label Halal ……… 72

BAB IV SANKSI TERHADAP PENYALAHGUNAAN LABEL HALAL ... 82

A. Tinjauan Tentang Sanksi …..……….. 82

B. Sanksi terhadap Penyalahgunaan Label Halal …………... 84

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .….……… 90

A. Kesimpulan ……… 90

B. Saran ……….. 91

(13)

ABSTRAK

Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label.

Dengan ketentuan wajib diperiksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemeriksaan tersebut dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.

Dalam penelitian ini permasalahan yang akan dijawab yaitu: (1) Bagaimana pengaturan penggunaan label halal terhadap produk makanan? (2) Bagaimana pengawasan penggunaan label halal terhadap produk makanan? (3) Bagaimana sanksi terhadap pelanggaran penggunaan label halal?

Dari hasil penelitian, secara argumentatif dapat disebutkan bahwa; Pertama, pengaturan penggunaan Label Halal dan Sertifikat Halal belum mewajibkan seluruh produsen untuk mencantumkan label pada produknya apakah produk tersebut halal atau haram untuk dikonsumsi oleh konsumen Muslim. Kedua, pengawasan terhadap produk makanan yang menggunakan Label Halal secara illegal tidak maksimal, karena tidak adanya pengaturan yang khusus dalam bentuk peraturan perundang-undangan tentang Label Halal. Ketiga, belum ada keseragaman sanksi yang diterapkan oleh masing-masing peraturan perundang-undangan, meskipun Undang-undang Pangan, Perlindungan Konsumen, dan Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan telah mengatur sanksi atas penyalahgunaan terhadap Label Halal. Sehingga, bukan tidak mungkin akan menimbulkan kesulitan dalam penetapan sanksi yang harus diterapkan terkait dengan penyalahgunaan Label Halal.

(14)

ABSTRACT

Every people who produce or import food that put in Indonesian which is sell and told that the food can be eat for moeslem, to be responsible for approval that statement and should be put the explanation or legal mark.

With that statement so it can be examined it product in the institution that has legalize with the legalization. The control has done based on directive and the way that make of ministry of religion with attent to consider and suggest of institute of religion that has competence in that face.

In this research the problem going to answer, which is, 1) How use of legal mark in produce of food. 2) How to control in using legal mark in produce of food. 3) How doubt of collision in using legal mark.

From the result of research, in argumentation it can be conclude that; first, the system of using legal mark and certification not to oblige off all the producer to put the mark in their product to show it permitted or not for consumer of moeslem. Second, the control of food production which is use legal mark in the illegal condition not to maximum because there is no the specification rules in legislation about legal mark. Third, there is no same doubt that side of each legislation, although the legislation of food, shelter of consumer and the government rules about label and advertisement has arrange the doubt of misuse of legal mark, until not imposible it will be cause complication in resolution of doubt that should be realize in misuse of legal mark.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara-negara berkembang membutuhkan sistem ekonomi baru yang

efesien untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan (sustainable

development)1, ikut serta sebagai mitra dalam perekonomian global, guna melindungi

dan mengentaskan kemiskinan serta penderitaan manusia.2

Secara etika, setiap perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial

(corporate social responsibility3), yaitu kepedulian dan komitmen moral perusahaan

terhadap kepentingan masyarakat, terlepas dari kalkulasi untung dan rugi perusahaan.

Pada pihak lain, perusahaan yang menolak tanggung jawab sosial itu diantaranya

beralasan bahwa tanggung jawab sosial tersebut merupakan urusan pemerintah,

perusahaan hanya berfungsi sebagai lembaga pencari laba. Selain itu perusahaan

tersebut merasa bahwa selama produknya tidak merugikan masyarakat ia tidak perlu

memberi kompensasi apa-apa terhadap masyarakat.

1

Pembangunan yang berkelanjutan adalah suatu gagasan paradigma yang berupaya untuk memenuhi kebutuhan masakini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Sasaran uatama sustainable developmentadalah upaya dalam meningkatkan taraf hidup manusia sehingga kemiskinan dapat diminimalisir sampai titik terendah. Lihat Arif Budiman, Corporate Social Responsibility, Jawaban Bagi Model Pembangunan Indonesia Masa Kini, (Jakarta: ICSD, 2003), hal. 5

2

Michael Keating, Bumi Lestari Menuju Abad 21, (Jakarta : Kopalindo, 1994), hal. 72 3

(16)

Setiap perusahaan memiliki aktifitas memproduksi barang dan jasa untuk

mendapatkan keuntungan yang layak. Konsekuensinya perusahaan tersebut dalam

aktifitasnya harus memiliki rasa tanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan dan

masyarakat. Apabila memungkinkan, di samping mendapatkan keuntungan bagi

perusahaan sendiri juga sekaligus dapat memberikan kesejahteraan bagi lingkungan

dan masyarakat.4 Seperti halnya terhadap lingkungan hidup dan tenaga kerja,

perusahaan juga bertanggung jawab terhadap perlindungan konsumen dalam

menkonsumsi barang atau jasa yang diproduk oleh perusahaan tersebut. 5

Konsumen merupakan golongan yang rentan diekploitasi oleh pelaku usaha.

Karena itu diperlukan seperangkat peraturan hukum untuk melindungi konsumen.

Konsumen adalah “pengguna akhir” (end user) dari suatu produk,6 dalam

Undang-undang Perlindungan Konsumen disebutkan setiap orang pemakai barang dan jasa

yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, maupun

makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan7.

Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan

perlindungan hukum yang diberikan terhadap konsumen dalam usahanya untuk

memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang merugikan konsumen itu sendiri.

Perlindungan konsumen memiliki cakupan yang luas, meliputi perlindungan terhadap

konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan

4

Murti Sumarni dan Jhon Suprihanto, Pengantar Bisnis, Dasar-dasar Ekonomi Perusahaan, (Yogyakarta : Liberty, 1987), hal. 21

5

Ibid, hal. 23 6

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis di Era Global, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 227

7

(17)

barang dan jasa hingga sampai akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa tersebut.

Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa perlindungan

konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk

memberi perlindungan kepada konsumen.8

Perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan beberapa jenis

dan variasi dari masing-masing jenis barang dan jasa yang dapat dikonsumsi. Dengan

dukungan kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika, di mana terjadi

perluasan ruang gerak arus transaksi barang dan jasa melintasi batas-batas suatu

wilayah negara, konsumen pada akhirnya dihadapkan kepada berbagai jenis barang

dan jasa yang ditawarkan secara variatif.

Kondisi seperti ini, pada satu sisi memberikan manfaat bagi konsumen

karena kebutuhan akan barang dan jasa yang diinginkan dapat terpenuhi, serta

semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan

jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.

Pada sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut mengakibatkan kedudukan

produsen dan konsumen tidak seimbang, dimana konsumen berada pada posisi yang

lemah. Konsumen menjadi objek aktifitas bisnis untuk meraup keuntungan yang

sebesar-besarnya oleh perusahaan melalui kiat promosi dan cara penjualan yang

merugikan konsumen.9

8

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 9

(18)

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat untuk mengkonsumsi

barang dan jasa, namun sayangnya kecenderungan kebutuhan masyarakat terhadap

barang dan jasa yang demikian besar tersebut oleh beberapa pihak yang tidak

bertanggung jawab dijadikan suatu kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang

sebesar-besarnya. Dalam rangka untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya

tersebut para produsen harus bersaing sesama mereka dengan perilaku bisnisnya,

yang akhirnya tidak tertutup kemungkinan tidak lagi memperhatikan kepentingan

konsumen.

Penyampaian informasi produk kepada publik yang diutamakan adalah

produk tersebut telah memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan peraturan

menyangkut perlindungan konsumen (consumer protection), seperti yang telah

ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen. Karena hak-hak konsumen harus menjadi prioritas utama setiap

perusahaan, yaitu hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

menkonsumsi barang atau jasa.

Guidelines for Consumer Protection of 1985, yang ditetapkan PBB pada

tanggal 9 April 1985 menyatakan bahwa “konsumen dimanapun mereka berada, dari

segala bangsa, mempunyai hak-hak dasar sosialnya” hak-hak dasar dimaksud adalah

hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar dan jujur, hak untuk

(19)

hak untuk mendapatkan ganti rugi, hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar manusia,

dan hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik.10

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

menetapkan hak-hak konsumen sebagai berikut:11

1. Hak atas keamanan, kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang

dan/atau jasa

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa

tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan

3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur dan mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa

4. Hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang dan/atau jasa yang

digunakannya

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa

perlindungan konsumen secara patut

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara secara benar dan jujur secara tidak

diskriminatif

8. Hak untuk mendapat konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang

dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana

mestinya

10

Bismar Nasution, Keterbukaan dalam Pasar Modal, (Jakarta : UI, 2001), hal. 121. Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2002), hal. 20

11

(20)

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.12

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

menyebutkan bahwa hak konsumen termasuk mengenai hak atas informasi yang

benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan jasa.13 Berarti

perusahaan yang membuat produk harus memberikan informasi yang benar, jelas dan

jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta memberi penjelasan

penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.14

Berdasarkan hak-hak konsumen tersebut, maka penyampaian informasi

yang berkaitan dengan produk harus dapat memberikan kepuasan kepada konsumen.

Hal tersebut dilakukan untuk melindungi hak-hak konsumen. Maka perlu ditekankan,

bahwa penyampaian informasi yang berkaitan dengan produk makanan harus

memberikan jaminan bahwa produk makanan tersebut adalah halal.

Banyaknya pangan yang beredar di masyarakat tanpa mengindahkan

ketentuan tentang pencantuman label dinilai sudah meresahkan. Perdagangan pangan

yang kedaluwarsa, pemakaian bahan pewarna yang tidak diperuntukkan bagi pangan

atau perbuatan-perbuatan lain yang akibatnya sangat merugikan masyarakat, bahkan

dapat mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, terutama bagi anak-anak

pada umumnya dilakukan melalui penipuan pada label pangan atau melalui iklan.

12

Seperti hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 5 ayat (1).

13

Pasal 4 huruf c Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 14

(21)

Label dan iklan pangan yang tidak jujur dan atau menyesatkan berakibat buruk

terhadap perkembangan kesehatan manusia.

Perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab bukan semata-mata

untuk melindungi kepentingan masyarakat yang mengkonsumsi pangan. Melalui

pengaturan yang tepat berikut sanksi-sanksi hukum yang berat, diharapkan setiap

orang yang memproduksi pangan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah

Indonesia untuk diperdagangkan dapat memperoleh perlindungan dan jaminan

kepastian hukum. Persaingan dalam perdagangan pangan diatur supaya pihak yang

memproduksi pangan dan pengusaha iklan diwajibkan untuk membuat iklan secara

benar dan tidak menyesatkan masyarakat melalui pencantuman label15 dan iklan16

pangan yang harus memuat keterangan mengenai pangan dengan jujur.

Dalam hubungannya dengan masalah label dan iklan pangan maka

masyarakat perlu memperoleh informasi yang benar, jelas dan lengkap baik mengenai

kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukannya mengenai pangan

yang beredar di pasaran. Informasi pada label pangan atau melalui iklan sangat

diperlukan bagi masyarakat agar supaya masing-masing individu secara tepat dapat

15

Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan, yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Label. Pasal 1 Angka 3 PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan

16

(22)

menentukan pilihan sebelum membeli dan atau mengkonsumsi pangan. Tanpa adanya

informasi yang jelas maka kecurangan-kecurangan dapat terjadi.

Tidak hanya masalah yang berhubungan dengan kesehatan saja yang perlu

diinformasikan secara benar dan tidak menyesatkan melalui label dan atau iklan

pangan, namun perlindungan secara batiniah perlu diberikan kepada masyarakat.

Masyarakat Islam merupakan jumlah terbesar dari penduduk Indonesia yang secara

khusus dan non diskriminatif perlu dilindungi melalui pengaturan halal.

Bagaimanapun juga, kepentingan agama atau kepercayaan lainnya tetap dilindungi

melalui tanggung jawab pihak yang memproduksi pangan atau memasukkan pangan

ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan bagi keperluan tersebut.

Produk pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan

air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau

minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku

pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan

atau pembuatan makanan atau minuman.17

Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke

dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan

tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut

dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label.18

17

Pasal 1 Angka 1 PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan 18

(23)

Dengan ketentuan wajib diperiksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada

lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku19. Pemeriksaan tersebut dilaksanakan berdasarkan

pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan memperhatikan

pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang

tersebut.20

Produk makanan halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan

sesuai dengan syari’at Islam, yakni:21

1. Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.

2. Tidak mengadung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-bahan yang

berasal dari organ manusia, darah, kotoran dan lain sebagainya.

3. Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara

syari’at Islam.

4. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, tempat pengolahan, tempat

pengelolaan dan transportasi tidak boleh digunakan untuk babi dan/atau barang

tidak halal lainnya. Jika pernah dipergunakan untuk babi dan/atau barang tidak

halal lainnya terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tata cara syari’at Islam.

5. Semua makanan dan minuman yang tidak mengadung khamar.

19

Pasal 11 ayat (1) PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan 20

Pasal 11 ayat (2) PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan 21

(24)

Kasus PT. Ajinomoto Indonesia yang memproduksi bumbu masak

menunjukkan terjadinya pelanggaran terhadap Pasal 7 huruf b Undang-undang

Perlindungan Konsumen, mengenai kewajiban pelaku usaha untuk memberikan

informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan jasa

serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

Kasus Ajinomoto tersebut berawal dari pengumuman Majelis Ulama

Indonesia (MUI) bahwa ada unsur enzim babi dalam ajinomoto. Selanjutnya MUI

meminta masyarakat untuk sementara tidak menkonsumsi ajinomoto. Di samping itu,

PT. Ajinomoto Indonesia menarik produknya dari pasaran di seluruh Indonesia, yang

jumlahnya diperkirakan mencapai 2.000 sampai 3.000 ton.

Berkaitan dengan hal-hal tesebut di atas, maka konsumen perlu dilindungi

secara hukum dari kemungkinan kerugian yang dialaminya dalam menkonsumsi

suatu produk. Hal ini sejalan dengan ketentuan Undang-undang Perlindungan

Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, yang mengharapkan dapat menciptakan kegiatan

usaha yang fair, tidak hanya bagi kalangan pelaku usaha melainkan secara langsung

untuk kepentingan konsumen.

Bahwa perusahaan didirikan untuk mengelola sumber daya guna memenuhi

kebutuhan manusia dengan memperoleh keuntungan. Namun perusahaan tersebut

juga berdiri di tengah-tengah komsumennya, oleh karena itu perusahaan harus

(25)

mendapatkan keuntungan. Dengan demikian perusahaan harus mengimplimentasikan

etika berusaha dalam hubungan antara perusahaan dengan konsumen.22

Pada hakikatnya, kepedulian dan tanggung jawab perusahaan terhadap

masyarakat umum adalah untuk kepentingan perusahaan itu sendiri. Keuntungan

tersebut yang diperloleh dari tanggung jawab dan kepedulian terhadap masyarakat

umum dapat direalisasikan dengan bentuk kepercayaan publik yang kemudian

bergerak ke arah pemetikan hasil dari kepercayaan publik tersebut.23

Pengaturan label halal dalam perlindungan konsumen tidak dimaksudkan

untuk mematikan ataupun melemahkan usaha dan aktifitas perusahaan, tetapi justru

sebaliknya, sebab pengaturan lebel halal diharapkan mampu mendorong iklim dan

persaingan usaha yang sehat, serta diharapkan dapat melahirkan perusahaan yang

tangguh dalam menghadapi persaingan sehat melalui penyediaan barang dan jasa

yang berkualitas.24

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka

penulis akan melakukan penelitian dengan judul: PENGATURAN PENGGUNAAN

DAN PENGAWASAN LABEL HALAL TERHADAP PRODUK MAKANAN PERSPEKTIF PERLINDUNGAN KONSUMEN.

22

Sukanto Rebsohadiprojo M.Com at all, Pengantar Ekonomi Perusahaan, (Yogyakarta: BPFE, 1990), hal. 197

23

Lihat Arif Budiman, Op. Cit. hal. 15 24

(26)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka sebelumnya diinventarisasi

dan diidentifikasi untuk menentukan mana yang perlu diteliti dan mana yang tidak,

maka dapat dirumuskan masalah yang berhubungan dengan Pengaturan Penggunaan

dan Pengawasan Label Halal terhadap Produk Makanan Perspektif Perlindungan

Konsumen adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan penggunaan label halal terhadap produk makanan?

2. Bagaimana pengawasan penggunaan label halal terhadap produk makanan?

3. Bagaimana sanksi terhadap pelanggaran penggunaan label halal?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas,

maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan penggunaan label halal terhadap produk makanan.

2. Untuk mengetahui pengawasan penggunaan label halal terhadap produk makanan.

3. Untuk mengetahui sanksi terhadap pelanggaran penggunaan label halal.

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan hasil-hasil penelitian yang ada pada

perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU), penelitian mengenai Pengaturan

Penggunaan dan Pengawasan Label Halal terhadap Produk Makanan Perspektif

Perlindungan Konsumen ini belum pernah dilakukan dalam topik dan

(27)

Jadi penelitian ini dapat disebut “asli”, karena sesuai dengan asas-asas

keilmuan, yang jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk dikritisi yang

sifatnya konstruktif sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.

E. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini diharapan memberikan masukan bagi ilmu

pengetahuan, khususnya hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Penelitian ini

juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat

peraturan perlindungan konsumen di Indonesia.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada

pengusaha, praktisi, dan seluruh konsumen, serta Majelis Ulama Indonesia yang

berwenang menerbitkan sertifikasi label halal terhadap produk makanan, agar

perlindungan konsumen dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Interaksi hubungan sosial kemasyarakatan tidak terlepas dari kepentingan,

baik kepentingan yang sama maupun kepentingan yang berbeda. Dalam konteks

kepentingan tersebut, sering terjadi pertentangan kepentingan yang pada akhirnya

dapat melanggar hak-hak masyarakat lainnya. Hal ini juga dapat terjadi dalam

kegiatan-kegiatan ekonomi, maka pada posisi ini dibutuhkan peraturan-peraturan

(28)

Tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan (rechtsgerechtigheid),

kemanfaatan (rechtsutiliteit), dan kepastian hukum (rechtszekerheid).25 Dalam hal

mewujudkan keadilan, Adam Smith melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice),

selanjutnya Smith mengatakan bahwa “tujuan keadilan adalah untuk melindungai diri

dari kerugian” (the end of the justice to secure from the injury).26 Menurut GW

Paton, hak yang diberikan oleh hukum ternyata tidak hanya mengandung unsur

perlindungan dan kepentingan tetapi juga unsur kehendak (the element of will).27

Keadilan (adl) merupakan nilai paling asasi dalam ajaran Islam.

Menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman adalah tujuan utama dari

risalah para Rasul-Nya (QS 57:25). Keadilan sering kali diletakkan sederajat

dengan kebajikan dan ketakwaan (QS 5:8). Seluruh ulama terkemuka sepanjang

sejarah Islam menempatkan keadilan sebagai unsur paling utama dalam maqashid

syariah. ”Ibn Taimiyah menyebut keadilan sebagai nilai utama dari tauhid,

sementara Muhammad Abduh menganggap kezaliman (zulm) sebagai kejahatan

yang paling buruk (aqbah al-munkar) dalam kerangka nilai-nilai Islam. Sayyid

Qutb menyebut keadilan sebagai unsur pokok yarig komprehensif dan terpenting

dalam semua aspek kehidupan”.28

25

Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosialogis, (Jakarta : Gunung Agung, 2002), hal. 85

26

Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, (Medan, Universitas Sumatera Utara, 2004), h. 4-5. Sebagaimana dikutip dari Neil Mac Cormick, Adam Smith on Law, Vavariso University Law Review, Vol. 15, 1981, hal. 244

27

George Whitercross Paton, A Text-Book of Jurisprudence, Second Edition, (London, Oxford University Press, 1951), hal. 221

28

(29)

Dalam perkembangan masyarakat modern yang ditandai dengan revolusi

industri, terjadi perkembangan yang pesat dengan teknologi dalam kehidupan

masyarakat sehingga kemajuan usaha tidak cukup hanya dilakukan secara individual,

melainkan sudah harus bekerja secara berkelompok.29 Dilain pihak, kemajuan dunia

usaha tersebut juga diikuti dengan peningkatan produktifitas, yang justru pada satu

sisi menguntungkan konsumen dan pada sisi lain merugikan konsumen.

Menguntungkan konsumen, karena konsumen dapat memilih produk yang

diinginkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya dari sejumlah variasi

produk yang beredasr di pasar. Namun hal tersebut juga dapat merugikan konsumen

jika perkembangan produktifitas produsen tidak diikuti dengan perkembangan

pengaturan hukumnya serta penegakan hukumnya, sehingga konsumen kesulitan

untuk memilih produk mana yang layak dan tidak layak untuk dikonsumsi, atau

produk mana yang halal atau haram.

Pada prinsipnya semua bahan makanan dan minuman adalah halal, kecuali

yang diharamkan oleh syari’at Islam. Bahan makanan dan minuman yang diharamkan

syari’at Islam adalah; bangkai, darah, babi dan hewan yang disembelih dengan nama

selain Allah (QS. Al-Baqarah : 173). Sedangkan minuman yang diharamkan adalah

semua bentuk khamar dan/atau minuman berakohol (QS. Al-Baqarah : 219). Hewan

yang dihalalkan akan berubah statusnya menjadi haram apabila mati karena tercekik,

ternetur, jatuh tertanduk, diterkam binatang buas dan yang disembelih untuk berhala

29

(30)

(QS. Al-Maidah : 3), jika hewan-hewan ini sempat disembelih dengan menyebut

nama Allah sebelum mati, maka akan tetap halal kecuali diperuntukan bagi berhala.

Sesungguhnya pengaturan penggunaan label halal perspektif perlindungan

konsumen memiliki dua fungsi sekaligus; Pertama, fungsi pengawasan terhadap

produsen, Pengaturan penggunaan label halal tidak dimaksudkan untuk mematikan

ataupun melemahkan produktifitas perusahaan, tetapi justru sebaliknya pengaturan

lebel halal diharapkan mampu mendorong iklim persaingan usaha sehat dan

melahirkan perusahaan yang tangguh melalui penyediaan barang dan jasa yang

berkualitas. Kedua, fungsi perlindungan hak-hak konsumen, kepedulian dan tanggung

jawab perusahaan terhadap masyarakat adalah untuk kepentingan perusahaan itu

sendiri yang diperloleh dari kepercayaan publik dan kemudian bergerak ke arah

pemetikan hasil dari kepercayaan publik tersebut.

Berdasarkan hal di atas, maka kerangka teori yang diambil sebagai bagian

dari penelitian ini adalah dengan menggunakan teori keadilan, dan halalan-thayyiban.

Teori keadilan yang dimaksudkan dalam penelitian ini untuk memberikan jaminan

atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian

dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.30 Lebih jauh

lagi, keamanan dan keselamatan konsumen juga diperuntukkan bagi keamanan dan

keselamatan akidah konsumen dalam mengkonsumesi barang dan jasa. Demikian

juga halnya dengan keamanan dan keselamatan lahiriah dan batiniah konsumen.

30

(31)

Dalam Islam, hukum perlindungan konsumen mengacu kepada konsep halal

dan haram,31 serta keadilan ekonomi, berdasarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip

ekonomi Islam.32 Aktifitas ekonomi Islam dalam perlindungan konsumen meliputi

perlindungan terhadap zat, proses produksi, distribusi, tujuan produksi, hingga pada

akibat menkonsumsi barang dan/atau jasa tersebut. Maka dalam ekonomi Islam,

barang dan/atau jasa yang halal dari segi zatnya dapat menjadi haram, ketika cara

memproduksi dan tujuan mengkonsumsinya melanggar ketentuan-ketentuan syara’.

Karena itu pula, tujuan konsumen muslim dalam mengkonsumsi barang

dan/atau jasa bertujuan untuk mengabdi dan merealisasikan tujuan yang dikehendaki

Allah SWT. Fuqaha’ memberikan empat tingkatan bagi konsumen, yakni:33

1. Wajib, mengkonsumsi sesuatu untuk menghindari dari kebinasaan, dan jika tidak

mengkonsumsi kadar ini -padahal mampu- akan berdosa.

2. Sunnah, mengkonsumsi lebih dari kadar yang menghindarkan dari kebinasaan,

dan menjadikan seorang muslim mampu shalat berdiri dan mudah berpuasa.

3. Mubah, sesuatu yang lebih dari sunnah sampai batas kenyang.

31

Terkait dengan makanan dan minuman, pada prinsipnya semua bahan makanan dan minuman adalah halal, kecuali yang diharamkan oleh syari’at Islam. Bahan makanan dan minuman yang diharamkan syari’at Islam adalah; bangkai, darah, babi dan hewan yang disembelih dengan nama selain Allah (QS. Al-Baqarah: 173). Sedangkan minuman yang diharamkan adalah semua bentuk khamar dan/atau minuman berakohol (QS. Al-Baqarah: 219). Hewan yang dihalalkan akan berubah statusnya menjadi haram apabila mati karena tercekik, terbetur, jatuh tertanduk, diterkam binatang buas dan yang disembelih untuk berhala (QS. Al-Maidah: 3), jika hewan-hewan ini sempat disembelih dengan menyebut nama Allah sebelum mati, maka akan tetap halal kecuali diperuntukan bagi berhala.

32

Muhammad dan Alimin, Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, (Yogyakarta : BPFE, 2004), hal. 132

33

(32)

4. Konsumsi yang melebihi batas kenyang. Dalam hal ini terdapat dua pendapat,

salah satunya menyatakan makruh, dan yang lain menyatakan haram.

Secara etimologi, kata halalan berarti hal-hal yang boleh dan dapat

dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang

melarangnya. Sedangkan thayyib berarti makanan yang tidak kotor atau rusak dari

segi zatnya, atau tercampur benda najis. Ada juga yang mengartikan sebagai makanan

yang mengundang selera konsumennya dan tidak membahayakan fisik serta akalnya,

dalam Al-Quran, kata halalan selalu diikuti kata thayyib.34

Al-Qur’an menyebutkan tentang makanan thayyibãt dalam beberapa ayat,

yakni (Al-Baqarah: 57, 168, 172), (Al-Ma’idah: 4, 5, 88), (Al-A’raf: 157, 160),

(An-Nahl: 72, 114), (Al-Isra’: 70), (Al-Mu’minun: 51).

Makanan yang halalan dan thayyiban harus diterjemahkan lebih jauh lagi,

yakni halalan dan thayyiban terhadap asal dan jenis bahan baku, campuran, proses

pembuatan, pemasaran serta akibat dari menkonsumsi makanan tersebut.

2. Kerangka Konsepsi

Guna menghindarkan perbedaan pengertian tentang istilah-istilah yang

dipergunakan dalam penulisan ini, maka sangat dibutuhkan definisi konsepsional dari

istilah-istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini terkait dengan pengaturan

penggunaan dan pengawasan Label Halal perspektif perlindungan konsumen, yakni:

34

(33)

Makan dan makanan, sesuatu yang dapat ditelan, dikunyah dengan

memasukkannya melalui mulut.35 Sedangkan Halal berasal dari bahasa Arab yang

berarti “melespaskan” dan “tidak terikat”, secara etimologi halal berarti hal-hal yang

boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan

yang melarangnya. 36

Pengaturan penggunaan produk halal di Indonesia, memiliki dua hal yang

saling terkait, yaitu sertifikasi dan labelisasi. Sertifikasi halal merupakan pemeriksaan

yang rinci terhadap produk makanan yang selanjutnya diputuskan dalam bentuk fatwa

MUI. Sedangkan Sertifikat Fatwa Halal MUI adalah fatwa MUI terhadap produk

makanan yang telah diperiksa oleh LP POM (Lembaga Pengkajian Pangan,

Obat-obatan dan Kosmetika) MUI.37

Sedangkan labelisasi halal adalah perizinan pemasangan kata “HALAL”

pada kemasan produk dari suatu perusahaan oleh Badan POM. Izin pencantuman

label ”HALAL” pada kemasan produk makanan yang dikeluarkan oleh Badan POM

didasarkan rekomendasi MUI dalam bentuk Sertikat Halal MUI. Sertifikat Halal MUI

dikeluarkan oleh MUI berdasarkan hasil pemeriksaan LP POM MUI.38

Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer, secara harfiah

arti kata consumer adalah (lawan dari produser) setiap orang yang menggunakan

barang. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia yang memberi arti kata

35

WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1976), hal. 622

36

Lois Ma’luf, Al-Munjid, (Beirut-Lebanon, Dar El-Machreq Sarl Publisher, 1986), hal. 146

37

Aisjah Girindra, Op. Cit, hal. 69 38

(34)

consumer sebagai pemakai atau konsumen.39 Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa konsumen adalah setiap

orang yang memakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lainnya dan

tidak untuk diperdagangkan.40

Sedangkan perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk

menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam

usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang merugikan konsumen itu

sendiri. Undang-undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa, perlindungan

konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk

memberi perlindungan kepada konsumen.41

G. Metode Penelitian

Kata metode berasal dari bahasa Yunani “methods” yang berarti jalan dan

cara. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara

kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang

bersangkutan.42

39

Jhon M. Echols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1986), hal. 124

40

Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 41

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 42

(35)

Penelitian43 dalam bahasa Inggris disebut “research”, yang berawal dari

kata “re” yang berarti “kembali” dan “to search” yang berarti “mencari”, pada

dasarnya yang dicari itu adalah “pengetahuan yang benar” untuk menjawab

pertanyaan dan permasalahan yang didapatkannya lewat kegiatan berfikir dengan

menggunakan logika yang ditempuh melalui prosedur penalaran.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian

yuridis normatif, yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dalam

penelitian melalui pendekatan asas-asas hukum serta mengacu kepada norma-norma

hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Mengambil

istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut dengan istilah penelitian

doktrinal (doctrine research) yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik yang

tertulis di dalam hukum (law as written in the book) maupun hukum yang diputuskan

oleh hakim melalui proses pengadilan (law is it is decided by the judge through

judicial process).44

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analisis yang bertujuan untuk

menggambarkan, menginventarisasi dan menganalisis teori-teori dan

peraturan-peraturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Maka

43

C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Abad ke-20, (Bandung, Alumni, 1994), h. 96. Kata “penelitian” sebenarnya merupakan terjemahan dari istilah “research” yang semula hanya digunakan untuk penelitian di bidang teknik dan ilmu alam. Kemudian istilah research juga mulai digunakan dalam ilmu ekonomi, ilmu sosial, dan terakhir dalam ilmu hukum serta politik.

44

(36)

metode penelitian hukum yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini

dilakukan dengan pendekatan kualitatif.

2. Sumber Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi, teori,

atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang

berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa peraturan

perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.

Dari sudut informasi, maka sumber data penelitian kepustakaan (library

research) dapat dikumpulkan atas tiga kelompok,45 yaitu:

a. Bahan hukum primer, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, dan peraturan-peraturan pelaksanaannya.

b. Bahan hukum skunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan

dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang relevan

dengan objek penelitian ini.46

45

Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, (Medan, Pustaka Bangsa Press, 2003), hal.17

46

(37)

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder, seperti

kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah.47

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara

penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research).

Penelitian kepustakaan (library research) bertujuan untuk menghimpun data-data

yang berasal dari buku-buku, peraturan perundang-undangan, jurnal ilmiah, maupun

majalah-majalah yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Sedangkan

penelitian lapangan (field research) dimaksudkan untuk memperoleh data primer

yang berhubungan dengan materi penelitian ini.

4. Analisis Data

Dalam analisis data akan dilakukan pemilihan pasal-pasal yang berisi

ketentuan yang mengatur tentang pengaturan penggunaan dan pengawasan label halal

perspektif perlindungan konsumen, kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal

tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan

yang akan dibahas dalam penelitian ini. Data yang berupa peraturan tersebut akan

dianalisis secara deduktif kualitatif agar sampai pada suatu kesimpulan akhir yang

akan menjawab semua pokok permasalahan dalam penelitian ini.48

47

Soerjono Soenkanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 13

48

(38)

BAB II

PENGATURAN PENGGUNAAN LABEL HALAL TERHADAP

PRODUK MAKANAN

A. Tinjauan Atas Label Halal 1. Pengertian Halal

Salah satu ciri manusia sebagai mahluk hidup adalah adanya kebutuhan akan

makan dan minum untuk keberlangsungan dan bertahan hidup. Namun konsumsi

makanan dan minuman dimaksud di sini bukanlah semata-mata hanya pemenuhan

hidup, tapi lebih dari itu pemenuhan gizi yang memiliki standar kesehatan bagi

manusia itu sendiri. Disadari atau tidak, menyeleksi jenis-jenis makanan yang

masuk ke dalam tubuh merupakan salah satu bentuk upaya mahluk hidup untuk bisa

bertahan hidup pula. Secara insting tidak mungkin mahluk hidup akan sengaja

memasukkan bahan beracun ke dalam tubuhnya, sehingga hidup mereka menderita.

Suatu benda atau perbuatan itu tidak terlepas dari lima perkara, yaitu halal,

haram, syuhbat, makruh dan mubah. Terhadap barang yang halal secara mutlak kita

disuruh oleh Allah untuk memakannya; sedang terhadap yang haram kita disuruh

untuk menjauhinya. Karena makanan yang halal itu dapat menambah cahaya imam

dan membuat terkabulnya doa.49

49

(39)

Allah SWT dalam firman-Nya mengatakan bahwa :

Wahai sekalian manusia! makanlah sebagian dari makanan yarrg ada dibumi ini,

yanghalal dan baikdanjanganlah kamu menuruti jejak langkah setan, sesungguhnya

setan itu adalah musuh kamu yang nyata. "(QS. Al-Baqarah: 168)

"Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan

kepadamu; dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu berirnan kepada-Nya. "(QS.

Al-Maidah: 88).

Rasulullah saw pernah berkata kepada Sa'ad bin Abi Waqqash ra ” "Pilihlah

makanan yang halal, niscahya doamu akan dikabulkan”.

Dari kedua ayat Al-Qur’an dan hadis tersebut di atas, maka adalah wajib bagi

masyarakat muslim untuk menjaga kehalalan makanan yang akan dikonsumsinya.

”Sebelum mengkonsumsi setiap muslim harus sangat yakin (haqqul yaqin) mengenai

kehalalannya”.50

Kata halal berasal dari bahasa Arab yang berarti “melespaskan” dan “tidak

terikat”, secara etimologi halal berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena

bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. 51 Atau

diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi.

Sedangkan thayyib berarti makanan yang tidak kotor atau rusak dari segi

zatnya, atau tercampur benda najis. Ada juga yang mengartikan sebagai makanan

50

Aisjah Girindra, Op cit, hal. 14 51

(40)

yang mengundang selera konsumennya dan tidak membahayakan fisik serta akalnya,

dalam Al-Quran, kata halalan selalu diikuti kata thayyib.52

Makanan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan

yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik yang menyangkut

bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu dan bahan penolong

lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan

iradiasi pangan, dan yang pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum

agama Islam.53

Makanan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik

yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau

minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku

pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan

atau pembuatan makanan dan minuman.54

Sedangkan produksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan,

menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali dan

atau mengubah bentuk pangan.55

Secara umum ada tiga katagori makanan yang dikonsumsi manusia, yakni;

nabati, hewani, dan produk olahan. Makanan yang berbahan nabati secara

keseluruhan adalah halal, dan kerena itu boleh dikonsumsi kecuali yang mengandung

52

Aisjah Girindra, Op cit, hal.20 53

Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan 54

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan 55

(41)

racun, bernajis, dan/atau memabukkan. Sedangkan makanan yang berasal dari hewani

terbagi dua, yaitu hewan laut yang secara keseluruhan boleh dikonsumsi dan hewan

darat yang hanya sebagian kecil saja yang tidak boleh dikonsumsi. Sementara itu

kehalalan atau keharaman makanan olahan sangat tergantung dari bahan (baku,

tambahan, dan/atau penolong) dan proses produksinya.56

Produk makanan halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan

sesuai dengan syari’at Islam, yakni:57

6. Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.

7. Tidak mengadung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-bahan yang

berasal dari organ manusia, darah, kotoran dan lain sebagainya.

8. Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara

syari’at Islam.

9. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, tempat pengolahan, tempat

pengelolaan dan transportasi tidak boleh digunakan untuk babi dan/atau barang

tidak halal lainnya. Jika pernah dipergunakan untuk babi dan/atau barang tidak

halal lainnya terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tata cara syari’at Islam.

10. Semua makanan dan minuman yang tidak mengadung khamar.

Maka, secara umum makanan dan minuman yang aram terdiri dari hewan,

tumbuh-tumbuhan adalah sebagai berikut:

56

Aisjah Girindra, Op. Cit, hal. 24 57

(42)

1. Hewan: bangkai, darah, babi dan hewan yang disembelih dengan nama selain

Allah.58 Hewan yang dihalalkan akan berubah statusnya menjadi haram apabila

mati karena tercekik, ternetur, jatuh tertanduk, diterkam hewan buas dan yang

disembelih untuk berhala,59 kecuali ikan dan belalang boleh dikonsumsi tanpa

disembelih. Hewan yang dipandang jijik atau kotor menurut naluri manusia.60

Hewan dan burung buas yang bertaring dan memiliki cakar, hewan-hewan yang

oleh ajaran Islam diperintahkan membunuhnya seperti ular, gagak, tikus, anjing

galak dan burung elang dan sejenisnya, hewan-hewan yang dilarang

membunuhnya seperti semut, lebah, burung hud-hud, belatuk, hewan yang hidup

di dua jenis alam seperti kodok, penyu, buaya.61

2. Tumbuh-tumbuhan, sayur-sayuran dan buah-buahan boleh dimakan kecuali yang

mendatangkan bahaya atau memabukkan baik secara langsung maupun melalui

proses. Maka semua jenis tumbuh-tumbuhan yang mengandung racun atau yang

memabukkan haram dimakan.62

3. Semua jenis minuman adalah halal kecuali minuman yang memabukkan seperti

arak dan yang dicampur dengan benda-benda najis, baik sedikit maupun

banyak.63

QS. Al-A’raf : 157. Lebih lanjut lihat dalam Imam Al-Ghazali, Penyunting Ahmad Shiddiq, Benang Tipis antara Halal dan Haram, (Surabaya, Putra Pelajar, 2002), hal. 119

61

Departemen Agama RI, Op. Cit, hal. 9-11 62

Ibid, hal. 12 63

(43)

Adapun hal-hal yang diharamkan dalam makanan adalah sebagai berikut :

a. Bang

Al-Qur'an ialah

bangk

mbelih, dan yang

apa ynag dipotong dari hewan

hidup

angkai. "(HR. Abu Dawud dan Thrmudzi

tersebut diatas, maka bangkai yang ada di bawah

tuh ke dalam sesuatu dan mati di sana,

maka tidaklah menyebabkan bernajis. kai

Pertama. kali haramnya makanan yang disebut dalam

ai, sebagaimana yang tertera dalam surat al-maidah ayat 3:

"Telah diharamkan atas kamu bangkai, darah, daging babi, hewan yang

disembelih bukan karena Allah, yang (mati) karena dicekik, yang mati

karena dipukul, yang (mati) karena jatuh dari atas, yang (mafi) karena

dimakan oleh hewan buas kecuali yang dapat kamu se

disembelih untuk berhala. "(QS. Al-Maidah ayat 3)

Bangkai yaitu hewan yang mati dengan sendirinya tanpa ada suatu usaha

manusia yang memang sengaja di sembelih menurut ketentuan agama atau

dengan berburu. Termasuk dalam hal ini yaitu

, berdasarkan hadits Abu Waqid al-Laitsi:

"Telah bersabda Rasulullah saw, "Apa yang dipotorlgdari hewan ternak,

sedang ia masih hidup, adalah b

dan diakui sebagi hadits Hasan)

Dikecualikan dari bangkai

ini adalah halal untuk dimakan:

1) Bangkai ikan dan belalang;

2) Bangkai hewan dan tidak mempunyai darah mengalir seperti semut, lebah dan

(44)

3) Tulang dari bangkai, tanduk, bulu, rambut, kuku dan kulit serta apa yang

sejenis dengan itu hukumnya suci, karena asalnya semua ini adalah suci dan

tak ada dalil mengatakan najis.

Sesuatu yang dilarang atau diharamkan dalam agama, khususnya dalam

agama Islam pasti ada hikmahnya. Diantara hikmah diharamkannya bangkai adalah

sebagai berikut :64

1) Naluri manusia yang sehat pasti tidak akan makan barrgkai dan diapun kan menganggapnya kotor. Para cerdik cendikia di kalangan mereka pasti akan beranggapan, bahwa makan bangkai itu adalah suatu perbuatan yang rendah yang dapat menurunkan moral manusia. Oleh karena itu seluruh agama Samawi memandangnya bangkai itu suatu makanan yang haram. Mereka tidak boleh makan kecuali yang disembelih, sekalipun berbeda cara menyembelihnya.

2) Supaya setiap muslim suka membinasakan bertujuan berkehendak dalam seluruh hal, sehingga tidak ada seorang muslimpun yang memperoleh sesuatu atau memetik buah melainkan setelah dia mengkongkritkan niat, tujuan dan usaha untuk mencapai apa yang dimaksud. Begitulah, maka arti menyembelih yang dapat mengeluarkan hewan dari kedudukannya sebagai bangkai tidak lain adalah bertujuan untuk merenggaut jiwa hewan karena hendak memakannnya.

3) Hewan yang mati dengan sendirinya, pada umumnya mati karena suatu sebab; mungkin karena penyakit yang mengancam, atau karena sesuatu sebab mendadak, atau karena makan tumbuh-tumbuhan yang rnengandung racun dan lain sebagainya. Kesemuanya ini tidak dapat dijamin untuk tidak membahayakan. Contohnya seperti hewan yang mati karena sangat lemah ka-rena keadaannya yang tidak normal.

4) Allah mengharamkan bangkai kepada kita ummat manusia, berarti dengan ia telah memberi kesempatan kepada hewan atau burung untuk memakannya sebagi tanda kasih sayang Allah ke pada hewan atau burung-burung tersebut. Karena hewanhewan itu adalah makhluk seperti juga manusia.

5) Agar manusia selalu memperhatikan hewan-hewan yang dimilikinya, tidak membiarkan begitu saja hewannya itu diserang oleh sakit dan kelemahan sehingga mati dan hancur. Tetapi dia harus segera memberikan pengobatan atau mengistirahatkan.

64

(45)

b. A l - M u n k h o n i q o h

Al-Munkhoniqoh adalah hewan yang mati karena dicekik, baik dengan cara

menghimpit leher hewan tersebut ataupun meletakkan kepala hewan pada tempat

yang sempit dan sebagainya sehingga hewan tersebut mati. Hewan yang demikian

ini disebut bangkai. Sekalipun bangkai itu dari hewan yang halal, kalau matinya

dicekik maka diharamkan untuk memakannya.

c. A l - M a u q y u d z a h

Al-Mauquudzah adalah bianatang yang mati karena dipukul dengan tongkat dan

sebagainya. Hewan yang mati karena di pukul dengan tongkat ini dinamakan

bangkai.

d. Al-Mutariddiyah

Al-Mutariddiyah adalah hewan yang jatuh dari tempat yang tinggi sehingga

mati. Misalnya hewan yang jatuh ke dalam sumur.

e. An-Nathihah

Al-Nathihah adalah hewan yang baku hantam antara satu dengan yang lain,

sehingga mati. Hewan An-Natihah ini adalah termasuk bangkai.

f. Mas Akalas Sabu'u

Mas akalas sabu'u adalah hewan yang disergap oleh hewan dengan dimakan

sebagian dagingnya sehingga mati. Hewan yang mati karena oleh hewan buas

(46)

g. Darah yang mengalir

Darah yang mengalir adalah termasuk makanan yang diharamkan untuk

mamakannya. Ibnu Abbas pernah ditanya tentang limpa (thihal), maka jawab

beliau: Makanlah? Orang-orang kemudian berkata: Itu kan darah. Maka jawab

Ibnu Abbas: Darah yang diharamkan atas kamu hanyalah darah yang mengalir.

h. Daging Babi

Daging babi adalah merupakan makanan yang diharamkan dalam Islam.

Menurut penyelidikan para ilmuwan, bahwa daging babi itu sangat berbahaya

karena salah satu sebab timbulnya cacing pita yang dapat berbahaya.

Pemanfaatan babi hukumnya haram, baik atas daging, lemak, maupun bagian-bagian lainnya. Firman Allah SWT dalam (QS 5:3) mengharamkan konsumsi bangkai, darah, dan daging babi. Demikian juga dengan firman-Nya dalam (QS 6:145 dan 16:115), mengharamkan konsumsi bangkai, darah, dan daging babi. Dalil- dalil pada beberapa ayat ini merupakan nash yang jelas, yang menegaskan tentang keharaman, antara lain mengkonsumsi babi. Al-quran menggunakan kata lakhma (daging) karena sebagian besar pengambilan manfaat dari babi adalah daging. Selain itu, dalam daging babi selalu terdapat lemak. Kendati Al-Quran menggunakan kata lakhma, pengharaman babi bukan hanya dagingnya. Tetapi seluruh tubuh hewan babi. Pandangan ini sesuai dengan kaidah usul fiqh: min

dzikri'l juz i wa iradati'l kulli. Artinya yang disebut sebagian dan

dikehendaki keseluruhannya.65

i. Hewan yang disembelih bukan karena Allah

Hewan yang disembelih bukan karena Allah, yaitu hewan yang disembelih

dengan menyebut nama selain Allah, misalnya dengan menyebut nama berhala.

Kaum penyembah berhala (Wat saniyyin)dahulu apabila hendak menyembelih

hewan, mereka sebut nama-nama berhala mereka seperti Lataa dan ‘Uzza. Ini

65

(47)

berarti suatu taqarrub (mendekatkan diri) kepada selain Allah dan menyembah

kepada selain asma Allah yang Maha Besar.

Penyembelihan merupakan syarat kehalalan konsumsi daging hewan. Dalam fiqih

penyembelihan diistilahkan sebagai al-dzakah, yang berarti al-tathayyub

(bersih atau membersihkan). Misalnya, udara itu thayyib atau bersih. Diartikan

dengan penyembelihan disebabkan kebolehan syariat menjadikannya bersih.

Selain itu, ada pula yang mengartikan sebagai tatmin (sempurna). Dengan

demikian, penyembelihan adalah menyembelih hewan dengan memotong

hulqun (jalan pernapasan) atau mariah (jalan makanan dan minuman). Adapun

syarat sahnya penyembelihan adalah sebagai berikut:66

1) Penyembelih haruslah Muslim, yang sempurna akalnya dan mengetahui

syarat-syarat penyembelihan. Maka sembelihan orang yang tidak sadarkan

diri (seperti mabuk, gila, dan sebagainya), dan anak-anak yang belum

mumayyiz tidak halal dimakan.

2) Menggunakan pisau yang tajam.

3) Memotong trachea (saluran nafas), osephagus (saluran makanan), arteri, dan

venajugalaris (arteri dan vena besar di leher).

4) Menyebut nama Allah SWT.

Dalam penyembelihan disunnahkan untuk menghadapkan hewan ke arah kiblat,

seraya merebahkannya ke sebelah kiri, dan membaca shalawat nabi.

66

(48)

j. Khamar (alkohol)

Masyarakat Arab memiliki kebiasan memproduksi dan mengkonsumsi khamar

(air api). Namun demikian, kebiasaan ini berangsur-angsur mereka tinggalkan

semenjak Allah SWT menegaskan berbagai dampak buruk khamar yang dapat

menguras harta benda dan merusak akal sehat, seperti tertuang dalam QS

An-Nahl : 67, yang menyatakan "Dan dari buah kurma dan anggur, bisa kamu buat

minuman memabukkan dan rizki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian

ini terdapat tanda-tanda kebesaran Allah SWT bagi orang-orang yang

memikirkan". Umar ra. menangkap pesan ayat itu dalam konteks realitas

masyarakatnya. Ia kemudian berdoa: "ya Allah, jelaskan kepada hambaMu ini

secara tuntas tentang khamar, karena ternyata khamar selain menguras harta

juga merusak akal". Allah SWT menjawab pertanyaan Umar melalui

wahyu-Nya kepada Rasulullah SAW dengan paparan objektif: setitik nikmat minuman

keras, menimbulkan malapetaka (dosa) besar. Meski demikian Allah belum

memberikan keputusan final. Tampaknya manusia masih diberi kesempatan

untuk membuktikan sendiri dampak buruk khamar. Maka Allah berfirman :

"Mereka bertanya kepadamu mengenai khamar dan judi, Katakanlah, pada

yang deinikian itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia,

tetapi dosanya lebih besar dari manfaatnya ”.

Produksi dan konsumsi khamar jalan terus. Umar belum puas dan kembali

berdoa. Kemudian turun wahyu kepada Rasulullah SAW (QS An Nisaa: 43)

(49)

yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk,

sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan".

Umar ra. masih belum puas. Sebelum ada keputusan final, ayat itu bisa diberi

kesimpulan terbalik (konklusi resiprokal), yakni boleh mabuk diluar waktu

shalat. Umar pun kembali berdoa, lantasturun wahyu kepada Rasulullah SAW

(Al Maidah : 90-91), yang menyatakan, "Hai orang-orang yang beriman,

sesungguhnya minuman khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi

nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan".

Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, supaya kamu beruntung. Sesungguhnya

setan bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara

kamu lantaran minum khamar dan berjudi, dan menghalangi kamu dari

mengingat Allah SWT dan melakukan shalat, maka berhentilah kamu

(mengerjakan hal itu).

Dalam salah satu Mudzakarah Nasional yang diselenggarkan oleh LP POM

MUI pada tanggal 30 September dan 10 ktober 1993 di Jakarta, diperoleh

kesepakatan mengenai status hukum minuman beralkohol. Meminum minuman

beralkohol, sedikit atau banyak hukumnya haram. Demikian pula dengan

kegiatan memproduksi, mengedarkan, memperdagangkan, membeli, dan

menikmati hasil atau keuntungan dari perdagangan minuman beralkohol.67

67

Referensi

Dokumen terkait

Konsumen yang menyatakan ingin menggunakan kosmetik berlabel halal (Wardah) cukup baik yaitu 55% dari seluruh responden dan di sisi lain dinyatakan yang menyatakan bahwa label

Pencantuman kata halal pada label mengandung adanya suatu pernyataan yang membawa pada implikasi keagamaan dan budaya, pola logo halal yang tidak bisa di palsukan

Konsumen yang mempunyai pendidikan tinggi akan mengetahui tentang label halal yang tertera pada kemasan dan mampu menjelaskan ciri-ciri label halal yang resmi dikeluarkan

32 Sebagaimana diketahui bahwa kewajiban pelaku usaha mencantumkan keterangan tidak halal pada produk yang berasal dari bahan yang diharamkan, merupakan kewajiban

Kewajiban dari pelaku usaha dalam memberikan label halal pada kemasan. produk makanan halal, dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun

Berdasarkan dari data penelitian dapat diketahui bahwa pemahaman label halal pada masyarakat Pelaihari lebih cenderung memilih makanan yang berlabel halal, dari hasil penelitian

Pengertian Sertifikat Halal Sertifikat halal adalah suatu fatwa tertulis dari Majelis Ulama Indonesia MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam.46

Pengaruh Label Halal Terhadap Keputusan Penggunaan Kosmetik Dikalangan Mahasiswi Studi Kasus Fakultas Ekonomi dan Bisinis Unismuh Makassar Skripsi Program Studi Ekonomi Islam