• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Korban Kejahatan

3. Hak-hak Korban Kejahatan

Setiap masyarakat banyak memperoleh informasi tentang berbagai peristiwa kejahatan, baik yang diperoleh dari berbagai media massa maupun media elektronik. Peristiwa-peristiwa kejahatan tersebut tidak sedikit menimbulkan berbagai penderitaan atau kerugian bagi korban dan juga keluarga korban. Guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam beraktivitas, tentunya kejahatan ini perlu ditanggulangi baik melalui pendekatan yang sifatnya preemptif, preventif maupun refresif, dan semua harus ditangani secara profesional serta oleh suatu lembaga yang berkompeten.

Berkaitan dengan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga khusus untuk menanganinya. Namun pertama-tama perlu disampaikan terlebih dahulu suatu informasi yang memadai mengenai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya. Tidak jarang ditemukan

seseorang yang mengalami penderitaan (fisik, mental, atau materiil) akibat suatu tindak pidana yang menimpa dirinya (karena kejadian ini merupakan aib bagi dirinya maupun keluarganya) sehingga lebih baik korban menyembunyikannya, atau korban menolak untuk mengajukan ganti kerugian karena dikhawatirkan prosesnya akan menjadi semakin panjang dan berlarut-larut yang dapat berakibat timbulnya penderitaan yang berkepanjangan.

Sekalipun demikian, tidak sedikit korban ataupun keluarganya mempergunakan hak-hak yang telah disediakan. Ada beberapa hak umum yang disediakan bagi korban atau keluarga korban kejahatan, yang meliputi:54

a. Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya. Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak lainnya, seperti negara atau lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani masalah ganti kerugian korban kejahatan.

b. Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi;

c. Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku; d. Hak untuk memperoleh bantuan hukum;

e. Hak untuk memperoleh kembali hak miliknya; f. Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis;

g. Berhak menolak menjadi saksi bila hal ini akan membahayakan dirinya. h. Berhak mempergunakan upaya hukum

i. Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan;

54

Van Boven, Mereka Yang Menjadi Korban: Hak Korban Atas Restitusi, Kompensasi, Dan Rehabilitasi, ELSAM, Jakarta, 2002, hlm xvi.

j. Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dengan kejahatan yang menimpa korban;

k. Hak atas kebebasan pribadi / kerahasiaan pribadi, seperti merahasiakan nomor telepon atau identitas korban lainnya.

Van Boven seorang pelapor khusus PBB mengemukakan hak-hak korban pelanggaran Hak Asasi Manusia secara komprehensif yang tidak hanya terbatas pada hak untuk tahu dan hak atas keadilan tetapi juga hak atas reparasi. Berdasarkan penyelidikan Van Boven, hak-hak tersebut sudah terangkai didalam berbagai instrumen-instrumen hak asasi manusia yang berlaku, dan sudah ditegaskan pula dalam putusan-putusan (yurisprudensi) komite-komite hak asasi manusia internasional maupun pengadilan regional hak asasi manusia.55 Yang dimaksud dengan hak reparasi atau lebih sering kita dengar dengan istilah seperti kompensasi, rehabilitasi dan restitusi yang bisa diterjemahkan sebagai proses pemulihan yaitu suatu hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun non material bagi korban pelanggaran hak asasi manusia; pemulihan ini sering disebut dengan istilah kompensasi, rehabilitasi dan restitusi.

Kompensasi merupakan kewajiban yang harus dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau diberikan dalam berbagai bentuk, seperti perawatan kesehatan mental fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan dan tanah. Sedangkan Restitusi adalah kewajiban pengembalian harta milik atau pembayaran atas kerusakan, atau kerugian yang diderita, penggantian biaya-biaya yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban atau penyediaan jasa oleh pelakunya sendiri.

55

Sementara Rehabilitasi merupakan kewajiban untuk memulihkan korban secara medis dan sosial.56

Hak-hak korban yang dipaparkan diatas menurut van Boven memang tidak mampu sepenuhnya memulihkan korban pada keadaannya semula. Karena pada dasarnya pelanggaran berat hak asasi manusia, apalagi yang dilakukan dalam skala besar tidak dapat diperbaiki. Sedangkan yang menjadi kewajibannya dari si korban adalah tidak main hakim sendiri, tidak menuntut kompensasi yang tidak sesuai dengan kemampuan pembuat korban dan bersedia menjadi saksi bila tidak membahayakan dirinya dan ada jaminan.57

Dalam pengaturan hukum pidana terhadap korban kejahatan dikenal dengan 2 model yaitu model hak-hak procedural dan model hak-hak pelayanan. Yang dimaksud dengan model hak-hak procedural yaitu si korban diberikan hak berperan aktif dalam proses persidangan di pengadilan dan mendudukkan sikorban sebagai seorang subjek yang harus diberi hak-hak yuridis yang luas untuk mengejar kepentingannya. Sedangkan model hak-hak pelayanan, penekanan diletakkan pada perlunya diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan. Polisi dapat mempergunakan korban kejahatan yaitu memberikan motivasi dan perlindungan keamanan. Kejaksaan dalam rangka penanganan perkaranya, pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat retributive dan dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum pidana dijatuhkan.

56

Ibid.

57

IV. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka kesimpulan dan saran yang dapat diberikan adalah:

1. Prospektif aborsi berdasarkan Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memandang bahwa aborsi adalah bukan merupakan suatu tindak pidana. Dalam Pasal 75 undang-undang ini menyatakan bahwa larangan aborsi dapat dikecualikan berdasarkan adanya indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan. Kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 dalam Pasal 31 Ayat (2) menjelaskan tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Sedangkan Indikasi kedaruratan medis meliputi: kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu; dan/atau kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan. Dari ketentuan tersebut, tindakan aborsi dimungkinkan sebagai upaya pemberian perlindungan pada para korban kejahatan dalam rangka mengembangkan keadilan dengan aborsi sebagai bentuk perlindungan

hukum bagi perempuan korban perkosaan. Kasus kehamilan akibat pemerkosaan dianggap merugikan karena akan memberi luka batin bagi korban, oleh karenanya ada pengecualian aborsi bagi korban perkosaan bertujuan untuk memberikan jaminan dan perlindungan hukum terhadap hak- hak reproduksi korban perkosaan sebagai perwujudan hak asasi manusia. 2. Perlindungan hukum terhadap pemenuhan hak-hak pelaku aborsi diberikan

dalam bentuk Pelaku aborsi merupakan korban perkosaan, korban perkosaan yang hamil melakukan aborsi tersebut diberikan jaminan secara hukum maupun medis; Pelaku Aborsi dalam keadaan menderita Post Traumatic Stress Disorder, Dukungan pemulihan dan perlindungan terhadap korban kejahatan adalah kewajiban Negara melakukan segala cara untuk memberikan dukungan, pemulihan dan perlindungan korban; Pelaku Aborsi dalam Keadaan noodtoestand dan overmach, aborsi pada korban perkosaan terjadi konflik antara 2 (dua) hak, apakah perempuan yang melakukan aborsi atas kandungannya dapat dipidana atau tidak dapat dinilai dari kepentingan manakah yang lebih utama; Perlindungan dari Keluarga dan Masyarakat, peran keluarga dan masyarakat juga mempunyai peran penting untuk membantu memulihkan kondisi kejiwaan korban.

B. Saran

Atas dasar kesimpulan tersebut diatas, maka penulis mengemukakan saran-saran sebagai berikut:

1. Diharapkan kepada aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) dalam member pelayanan dan perlindungan kepada perempuan korban perkosaan

seyogyanya dilandasi oleh rasa kemanusiaan, dan dalam menangani kasus perkosaan tidak hanya menggunakan landasan KUHP saja melainkan juga menggunakan undang-undang lain yang berkaitan.

2. Diharapkan kepada masyarakat untuk ikut mendukung para perempuan korban kekerasan (perkosaan) untuk mendapatkan perlindungan hukum, sehingga bangsa Indonesia menjadi negara yang berhasil mensejahterakan masyarakat yang dilandasi oleh rasa kemanusiaan.

A. Buku

Abdussalam, H.R., 2007, Kriminologi, Restu Agung, Jakarta.

_______________, 2006. Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam mewujudkan Rasa. Keadilan Masyarakat,. Restu Agung, Jakarta.

Apeldoorn, L..J. Van, 1996, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, cetakan ke-26, Jakarta.

Atmasasmita, Romli,1995,Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju, Bandung.

Boven, Theo Van, 2002, Mereka Yang Menjadi Korban: Hak Korban Atas Restitusi, Kompensasi, Dan Rehabilitasi, ELSAM, Jakarta.

Chazawi, Adami, 2004, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Chisbiyah, Yayah, dkk, 1997, Kehamilan Yang Tidak Dikehendaki, PPPK-UGM, Yogyakarta.

Dahlan, Abdual Aziz,et. all, (editor), 1997, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 2, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.

Echols, dan Hassan Shaddily, 1992, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta. Ekototama, Suryono, dkk., 2001, Abortus Prookatus bagi Korban Perkosaan

Perspektif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, Uniersitas Admajaya, Yogyakarta.

Ensiklopedi Indonesia, 1998, Abortus, Ikhtiar Baru, Jakarta.

Friedrich, Carl Joachim, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandun.

Gosita, Arif, 1995, Bunga Rampai Viktimisasi, Eresco, Bandung.

Hamdani, Njowito, 1992, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Edisi Kedua, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Harahap, Zahirin, 2001, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Idries, Abdul Mun'im, 2002, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Binarupa. Aksara, Jakarta.

Kelsen, Hans, 2011, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung.

Kusuma, Mulyana W., 1982, Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan-Kejahatan Kekerasan, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Kusmaryanto, SCJ., 2002, Kontroversi Aborsi. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.

Lamintang, PAF, 1984, Delik-delik khusus, Sinar Baru, Bandung.

Mansur, Dikdik M Arief, dan Eliatris Gultom, 2010, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita, Rajawali, Jakarta.

Marpaung, Leden,1996, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta.

Maryanti, Ninik, 2011, Malpraktek Kedokteran, Bina Akasara, Jakarta. Mochtar, Rustam, 1998, Sinopsis Obsetetri, EGC, Jakarta.

Moleong, Lexy J., 2000, Metodelogi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Moeljatno, 1990, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. Mulyadi, Lilik,2004, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan Viktimologi,

Djambatan, Jakarta.

Muhdiono, 2002, Aborsi Menurut Hukum Islam (Perbandingan Madzab Syafi’i dan Hanafi, Skripsi, UIN, Yogyakarta.

Novita, Dewi, 1997, Aborsi menurut Petugas Kesehatan, PPPK-UGM, Yogyakarta.

Sadli, Saparinah,2001, Beberapa Catatan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia, Makalah Program Studi Kajian Wanita PPS-UI, Jakarta.

Setyowati, Sri, 2002, Masalah Abortus Kriminalis di Indonesia dan Hubungannya dengan Keluarga Berencana Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, TP, Jakarta.

Yayasan Pengembangan Pedesaan, 1997, Kesehatan Reproduksi, cet. 1, Danar Wijaya, Malang.

Lamintang, P.A.F., 1990, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung.

Ekotama, Suryono, 2001, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan, Andi Offset, Yogyakarta.

Weda, Wade Darma, 1996, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Yulia, Rena, 2010, Viktimologi Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan , Graha Ilmu, Yogyakarta.

.

B. Makalah dan Jurnal

Barda Nawawi Arief, Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan Pidana, Jurnal Hukum Pidana Dan Kriminologi, Vol. I/No.I/1998.

Hartono Hadisaputro, “Aborsi dan Perlindungan Hak Reproduksi Perempuan”,

Makalah, disampaikan dalam Diskusi Publik “Aborsi dan Perlindungan

Hak Reproduksi Perempuan”, Semarang, 30 Januari 2010.

Lilien Eka Chandra, Tanpa Indikasi Medis Ibu, Aborsi sama dengan Kriminal, Lifestyle, Mei 2006,

Lukman Hakim Nainggolan, 2006, Aspek Hukum terhadap Abortus Provocatus dalam Perundang-undangan di Indonesia, Jurnal Equality, Vol.11 No. 2, Agustus

Seminar Nasional Tentang Aspek Perlindungan Hukum Bagi Korban Perkosaan,1991, (Aspek Politik Perundang-undangan Perlindungan Korban Perkosaan), Fakultas HukumUniversitas Sebelas Maret, Surakarta.

Seminar Nasional Tentang Aspek Perlindungan Hukum Bagi Korban Perkosaan, 1991, (Gangguan Psikiatrik Korban Perkosaan), Fakultas Hukum Universitas Sebelas maret, Surakarta.

Seminar Nasional Tentang Aspek Perlindungan Hukum Bagi Korban Perkosaan, 1991, (Perkosaan, Berbagai Penafsirannya Dan Penanganan Korbannya), Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

C. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946tentang Pemberlakuan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi

D. Media Cetak dan Elektronik

http://sipangkar.blogspot.com/2011/03/makalahaborsi-menurut-hukum-di.html. http://putusan.mahkamahagung.go.id/main/pencarian

http://fatur.staff.ugm.ac.id. http://situs.kerespro.info.

Dokumen terkait