• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSPEKTIF KAJIAN ABORSI TERKAIT PEMENUHAN ASPEK KEADILAN DAN PERLINDUNGAN KORBAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PROSPEKTIF KAJIAN ABORSI TERKAIT PEMENUHAN ASPEK KEADILAN DAN PERLINDUNGAN KORBAN"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

JUSTICE AND VICTIMS PROTECTION victims with certain conditions. The problem in this research is how prospective abortion-related aspects of the fulfillment of justice and the protection of victims and bagamanakah form of legal protection against the fulfillment of the rights of abortion.

The approach used is a matter of normative juridical approach. The data used are primary and secondary data. Data that has been processed and then presented in a narrative form, and then to subsequently drawn a conclusion.

Based on the results of research and discussion in mind that prospective abortion under the Act 36 of 2009 the view that abortion is not a criminal offense. In Article 75 of this law states that the prohibition of abortion can be excluded based on the indication of a medical emergency and pregnancy caused by rape. Then the Government Regulation No. 61 of 2014 in Article 31, Paragraph (2) describes the act of abortion due to rape can only be done if the longest gestation age of 40 days counted from the first day of the last menstrual period. While medical emergency Indications include: life-threatening pregnancy and the health of the mother and fetus. Fulfillment of the legal protection of the rights granted in the form of abortion: abortion perpetrator is the victim of rape; Abortion perpetrators in a state suffering from Post Traumatic Stress Disorder, Actors abortion in circumstances noodtoestand and overmach, Protection of Family and Community.

(2)

KEADILAN DAN PERLINDUNGAN KORBAN

Oleh Dwi Esti

Kehamilan tidak dikehendaki khususnya korban perkosaan pada dasarnya membawa akibat buruk bagi korban. Aborsi merupakan tindakan yang diharapkan dapat mengurangi penderitaan yang dialami korban. Undang-Undang Nomor 39 tahun 2009 tentang Kesehatan memperbolehkan aborsi korban perkosaan dengan syarat tertentu. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah prospektif aborsi terkait pemenuhan aspek keadilan dan perlindungan korban dan bagamanakah bentuk perlindungan hukum terhadap pemenuhan hak-hak pelaku aborsi.

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa prospektif aborsi berdasarkan Undang-Undang No.36 Tahun 2009 memandang bahwa aborsi adalah bukan merupakan suatu tindak pidana. Dalam Pasal 75 undang-undang ini menyatakan bahwa larangan aborsi dapat dikecualikan berdasarkan adanya indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan. Kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 dalam Pasal 31 Ayat (2) menjelaskan tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Sedangkan Indikasi kedaruratan medis meliputi: kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu dan janin. Perlindungan hukum terhadap pemenuhan hak-hak pelaku aborsi diberikan dalam bentuk: Pelaku aborsi merupakan korban perkosaan; Pelaku Aborsi dalam keadaan menderita Post Traumatic Stress Disorder, Pelaku Aborsi dalam Keadaan noodtoestand dan overmach, Perlindungan dari Keluarga dan Masyarakat.

Diharapkan kepada aparat penegak hukum dalam memberi perlindungan kepada perempuan korban perkosaan seyogyanya dilandasi oleh rasa kemanusiaan. Diharapkan kepada masyarakat untuk ikut mendukung para perempuan korban kekerasan untuk mendapatkan perlindungan hukum, sehingga bangsa Indonesia menjadi negara yang berhasil mensejahterakan masyarakat yang dilandasi oleh rasa kemanusiaan.

(3)

PROSPEKTIF KAJIAN ABORSI TERKAIT PEMENUHAN ASPEK KEADILAN DAN PERLINDUNGAN KORBAN

Oleh

Dwi Esti Putriyana Devi

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM PROGRAM PASCA SARJANA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

PROSPEKTIF KAJIAN ABORSI TERKAIT PEMENUHAN ASPEK KEADILAN DAN PERLINDUNGAN KORBAN

(Tesis)

Oleh:

Dwi Esti Putriyana Devi

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM PROGRAM PASCA SARJANA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)
(6)
(7)
(8)

Halaman

4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 24

5. Analisis Data ... 25

3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Aborsi ... 36

B. Pengaturan Aborsi dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia .. 41

1. Pengaturan Aborsi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ... 42

2. Pengaturan Aborsi dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ... 47

C. Korban Kejahatan ... 51

1. Pengertian Korban Kejahatan ... 51

2. Jenis-Jenis Korban ... 52

(9)

Perlindungan Korban ... 58 1. Aborsi dalam Prospektif Perlindungan Hukum Terhadap

Korban ... 59 2. Aborsi dalam Prospektif Pemenuhan Aspek Keadilan Bagi

Korban ... 71 B. Perlindungan Hukum Terhadap Pemenuhan Hak-Hak Pelaku

Aborsi ... 80

IV. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 93 B. Saran ... 94

(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perempuan dalam situasi apapun rentan menjadi korban dari struktur atau sistem (sosial, budaya, maupun politik) yang menindas. Hal ini diperkuat oleh adanya pendapat bahwa posisi perempuan yang lemah membuat keberdayaan mereka untuk melindungi diri juga kurang. Dikatakan bahwa perempuan yang berada di dalam rumah pun dapat menjadi korban kekerasan dari suaminya, perempuan di tempat kerja juga dapat memperoleh pelecehan seksual baik dari atasan maupun rekan sekerjanya.1

Bentuk kekerasan terhadap perempuan bukan hanya kekerasan secara fisik, akan tetapi dapat juga meliputi kekerasan terhadap perasaan atau psikologis, kekerasan ekonomi, dan juga kekerasan seksual. Hal ini sesuai dengan pendapat Hayati yang mengatakan bahwa kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun non-verbal, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, terhadap seseorang atau sekelompok orang lainnya, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional, dan psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya.

1

Ekandari Sulistyaningsih, Fahturochman, Juni 2002, Dampak Sosial Psikologi Korban Perkosaan

(16)

Saat ini tindak pidana perkosaan merupakankejahatan yang cukup mendapat perhatiandi kalangan masyarakat. Kejahatan pemerkosaan mengalami peningkatan yang sangat signifikan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Modus operandi yang dilakukanpelaku tindak pemerkosaa cukup beragam, seperti: diancam, dipaksa, dirayu, dibunuh, dan diberi obat bius, perangsang dibohongi atau diperdaya dan sebagainya.

Kasus tindak pidana perkosaan paling banyak menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap penjatuhan putusan. Selain kesulitan dalam batasan di atas, juga kesulitan pembuktian misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang umumnya dilakukan tanpa kehadiran orang lain.2 Walaupun banyak tindak pidana perkosaan yang telah diproses sampai ke Pengadilan, tapi dari kasus-kasus itu pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang maksimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) BAB XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan (Pasal 281 s/d 296), khususnya yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan, Pasal 285 yang menyatakan:

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa

seorang perempuan bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas

tahun”.

Tindak pidana perkosaan berakibat kehamilan atapun tidak merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang merupakan contoh kerentanan posisi

2

(17)

perempuan, utamanya terhadap kepentingan seksual lakilaki. Citra seksual perempuan yang telah ditempatkan sebagai obyek seksual laki-laki, ternyata berimplikasi jauh pada kehidupan perempuan, sehingga dia terpaksa harus selalu menghadapi kekerasan, pemaksaan dan penyiksaan fisik serta psikis. Perhatian dan perlindungan terhadap kepentingan korban tindak pidana perkosaan baik melalui proses peradilan pidana maupun melalui sarana kepedulian sosial tertentu merupakan bagian mutlak yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan hukum pidana dan kebijakan-kebijakansosial, baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun oleh lembaga-lembaga sosial yang ada.

Dampak yang paling merugikan korban perkosaan adalah terjadinya kehamilan yangtidak dikehendaki. Kehamilan yang dialami korban sangatlah bertentangan dengan hak-hak reproduksi. Kehamilan tersebut akan membawa dampak negatif yakni mengalami penderitaan secara fisik, mental dan sosial. Korban mengalami trauma psikologis dan merasa tidak berharga lagi dimata masyarakat. Hal ini dapat mendorong korban untuk melakukan aborsi ilegal yang bisa membahayakan nyawa korban itu sendiri, yakni melalui cara-cara di luar medis, oleh tenaganon-medis yang tidak kompeten dan pada usia kandungan yang tidak memenuhi syarat medis.

(18)

pemicu seperti sudah terlalu banyak anak, kehamilan di luar nikah, dan korban perkosaan tersebut membuat seorang wanita memilih untuk menggugurkan kandungannya. Ada juga yang tetap mempertahankan kandungannya tersebut dengan alasan bahwa menggugurkan kandungan tersebut merupakan perbuatan dosa sehingga dia memilih untuk tetap mempertahankan kandungannya.

Aborsi istilah populernya adalah menggugurkan kandungan. Yang dimaksud dengan perbuatan menggugurkan kandungan adalah melakukan perbuatan yang bagaimanapun wujud dan caranya terhadap kandungan seorang perempuan yang menimbulkan akibat lahirnya bayi atau janin dari dalam rahimperempuan tersebut sebelum waktunya dilahirkan menurut alam. Perbuatan memaksa kelahiran bayi atau janin belum waktunya inisering disebut dengan abortus provocatus atau kadang disingkat dengan aborsi saja.3

Bagi kalangan yang tidak setuju dilakukannya aborsi bagi korban perkosaan mereka berpendapat setiap orang berhak untuk hidup, janin yang ada dalam kandungan perempuan akibat perkosaan itu adalah ciptaan tuhan yang berhak menikmati kehidupan. Bagi kalangan yang setuju dapat dilakukanya aborsi bagikorban perkosaan, kehamilan itu timbul bukandari atas kemauan korban jadi dapat mengurangipen deritaan korban baik secara psikis maupun sosial, maka diberi hak bagi korban perkosaan untuk dapat melakukan aborsi.

Aborsi merupakan tindak pidana namun bagi korban perkosaan diharapkan dapat perlindungan hukum bagi mereka yang melakukan pengguguran dengan harapan dapat mengurangi penderitaan yang dialami. Menurut ketua MUI "korban

3

(19)

perkosaan dapat melakukan aborsi selama usia kehamilanya belum mencapai usia 40 hari, sebab teraniaya bukan karena dikehendaki melainkan karena paksaan seseorang. Alasan utama melakukan aborsiuntuk menghindari kontroversi tentang hak hidupnya".4

Perdebatan mengenai aborsi banyak terjadi dimana-mana, baik yang dari media cetakmaupun elektronik. Tindakan aborsi setiap tahunnya meningkat, baik yang dilakukan tenaga medis, dukun maupun yang dilakukan perempuan itu sendiri. Banyak pendapat mengenai aborsi yang dapat dilegalkan terhadap perempuan korban pemerkosaan baik ditinjau dari hukum, hak-hak dari kesehatan reproduksi, dari para sarjana hukum, kelompok feminis, agama, maupun hak asai manusia. Sehingga hal ini menimbulkan perdebatan. Demikan juga di dalam peraturan perundang-undangan terdapat perbedaan yaitu KUHP melarang disisi lain aborsi diperbolehkan dengan alasan medis, menurut Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut Undang-Undang Kesehatan).

Kasus ini beraawal antara bulan Mei sampai dengan Junir 2012, bertempat di Dusun Jetis, Desa Ngadirejo, Kecamatan Rengel, Kabupaten Tuban, Pelaku Agus Jamianto Bin Darno mengirim SMS kepada korban Siti Sulistyo Putri terlebih dahulu untuk janjian ketemuan, selanjutnya dengan bujuk rayu dan ancaman kekerasan terdakwa mengajak saudari Siti Sulistyo Putri Alias Puput Binti Beny Sujoko untuk melakukan persetubuhan hingga sebanyak empat kali. Setelah beberapa waktu pada bulan Agustus 2012, korban Siti Sulistyo Putri mengetahui kalau ia hamil yang diakibatkan perbuatan tesebut. Kemudian pada hari Rabu

4

(20)

tanggal 05 Desember 2012, Pelaku Agus Jamianto Bin bersama korban melakukan aborsi terhadap janin yang dikandung korban. Meskipun aborsi yang dilakukan korban akibat perkosaan, tetapi diproses secara hukum yang berlaku, tergantung dari keyakinan hakim untukmemberikan peringanan hukuman bagi pelaku, mengingat kehamilan akibat diperkosa dan masih dibawa umur.5

Melihat begitu banyaknya kasus aborsi yang terjadi di Indonesia saat ini, banyak perdebatan dan pertentangan dari yang pro dan yang kontra soal persepsi atau pemahamanmengenai undang-undang yang ada sampai saat ini. Baik Undang-Undang kesehatan, Undang-Undang-Undang-Undang Praktik Kedokteran, KUHP, Undang-Undang-Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga (KDRT) dan Undang-Undang hak asasi manusia. Keadaan seperti inilah dengan begitu banyak permasalahan yang kompleks yang membuat banyak timbul praktik aborsi gelap yang dilakukan baikoleh tenaga medis formal maupun tenaga medis informal, dan yang sesuai dengan standar operasional medis maupun yang tidak. Sebelum keluarnya Undang Kesehatan ketentuan mengenai aborsi diatur dalam Undang-Undang No 23 Tahun 1992. Dimana dalam ketentuan Undang-Undang-Undang-Undang Kesehatan memuat tentang aborsi yang dilakukan atas indikasi kedaruratan medis, yang mengancam nyawa ibu dan bayi lahir cacat sehingga sulit hidup diluar kandungan.

Sebelum terjadinya revisi Undang-undang kesehatan, masih banyak perdebatan mengenai aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan. Hal itu dikarenakan tidak terdapat pasal yang secara jelas mengatur mengenai aborsi terhadap korban

5

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 95/ Pid.Sus / 2013/ PN.TBN,

(21)

perkosaan.6 Selama ini banyak pandangan yang menafsirkan bahwa aborsi terhadap korban perkosaan disamakan dengan indikasi medis sehingga dapat dilakukan karena gangguan psikis terhadap ibu yang juga dapat mengancam nyawa sang ibu. Namun dipihak lain ada juga yang memandang bahwa aborsi terhadap korban perkosaan adalah aborsi kriminalis karena memang tidak membahayakan nyawa sang ibu dan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tidak termuat secara jelas di dalam pasalnya. Dengan keluarnya revisi Undang-undang Kesehatan maka mengenai legalisasi aborsi terhadap korban perkosaan telah termuat dengan jelas di dalam Pasal 75 ayat 2 Undang-Undang Kesehatan.

Upaya perekayasaan hukum tentang perkosaandi Indonesia kiranya merupakan momentum yang tepat karena pembangunan hukum didalam era Pembangunan antara lain bertujuan untuk melaksanakan penyusunan suatu sistem hukum (pidana) nasional.7Sekalipun naskah rancangan Undang-Undang Kesehatan yang baru sudah selesai disusun namun rancangan ketentuan sekitar tindak pidana aborsi (bukan jenisnya melainkan konstruksi hukumnya) masih memerlukan kajiansecara khusus terutama dari sudut pendekatan kriminologi dan viktimologi.

Cara pandang dari pembuat undang-undang dan masyarakat yang sempit juga mengakibatkan terabaikannya hak asasi wanita di negara ini. Ini berarti bahwa penderitaan yang dialami kaum wanita tetap merupakan suatu dilema yang tidak terjangkau oleh hukum dan tidak terpecahkan secara sosial. Padahal kita ketahuibahwa perkembangan-perkembangan dalam cara pandang dan berfikir masyarakat, khususnya praktisi hukum dan para dokter dapat berupa pendorong

6

Ninik Maryanti, Malpraktek Kedokteran, Bina Akasara, Jakarta, 2011, hlm. 25.

7

(22)

untuk mengadakan reformasi hukum, dalam hal perundang-undangan mengenai abortus. Tetapi apakah menjadi kendala bagi masyarakat dalam menyatukan pandangan untuk mewujudkan aspirasi mereka ke dalam suatu bentuk perundang-undangan yang konkrit.

B. Permasalahan dan Ruang Linkup Penelitian

1. Permasalahan

Sesuai dengan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah prospektif aborsi terkait pemenuhan aspek keadilan dan perlindungan korban?

b. Bagamanakah bentuk perlindungan hukum terhadap pemenuhan hak-hak pelaku aborsi?

2. Ruang Lingkup

Guna untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan menghindari terjadinya kesalah pahaman tentang pokok permasalahan yang dibahas maka penulis memandang perlu adanya pembatasan permasalahan. Adapun yang menjadi ruang lingkup dalam penulisan tesis ini adalah bidang hukum pidana khususnya tindak pidana di bidang kesehatan yaitu tindak pidana aborsi. Sedangkan dalam lingkup pembahasan dibatasi pada pembahasan mengenai pengaturan tindak pidana aborsi berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia dan aspek keadilan dan perlindungan hukum bagi pelaku aborsi korban pemerkosaan.

(23)

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini adalah:

a. Untuk mengetahui dan menganalisis prospektif aborsi terkait pemenuhan aspek keadilan dan perlindungan korban.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk perlindungan hukum terhadap pemenuhan hak-hak pelaku aborsi korban pemerkosaan.

2. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, maka penelitian memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah:

a. Secara Teoritis

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberi sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Hukum Pidana menyangkut pengaturan tindak pidana aborsi berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat menyempurnakan peraturan hukum yeng menyangkut tindak pidana di bidang kesehatan.

b. Secara Praktis

(24)

D. Kerangka Konsep

1. Kerangka Pikir

Gambar 1. Kerangka Pikir

2. Kerangka Teoritis

Kerangka teori adalah kemampuan seorang peneliti dalam mengaplikasikan pola berpikirnya dalam menyusun secara sistematis teori-teori yang mendukung permasalahan penelitian.Teori berguna menjadi titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalah. Fungsi teori sendiri adalah untuk menerangkan, meramalkan, memprediksi, dan menemukan keterpautan

fakta-Aborsi

Dilarang Diperbolehkan

(KUHP) 1. UU Kesehatan 2. PP No.61 Tahun

2014

Tujuan Hukum: 1. Teori Keadilan

2. Teori Perlindungan Hukum

Pemenuhan Hak Korban

(25)

fakta yang ada secara sistematis.8 Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Teori Keadilan

Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara dihadapan hukum sama. Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya.9

Keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua macam keadilan,

keadilan “distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan distributief ialah

keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut pretasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa. Dari pembagian macam keadilan ini Aristoteles mendapatkan banyak kontroversi dan perdebatan.10

Menurut Hans Kelsen, keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian

8

Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung, 2000, hlm. 224.

9

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2004, hlm. 239

10

(26)

besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini apat dijawab dengan menggunakan pengetahuan rasional, ang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh faktor-faktor emosional dn oleh sebab itu bersifat subjektif.11

Sebagaimana diketahui bahwa keadilan dan ketidakadilan tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari sering

dijumpai orang yang “main hakim sendiri”, sebenarnya perbuatan itu sama halnya

dengan perbuatan mencapai keadilan yang akibatnya terjadi ketidakadilan, khususnya orang yang dihakimi itu. Keadilan sosial menyangkut kepentingan masyarakat dengan sendirinya individu yang berkeadilan sosial itu harus menyisihkan kebebasan individunya untuk kepentingan Individu yang lainnya. Hukum nasional hanya mengatur keadilan bagi semua pihak, oleh karenanya keadilan didalam perspektif hukum nasional adalah keadilan yang menserasikan atau menselaraskan keadilan-keadilan yang bersifat umum diantara sebagian dari keadilan-keadilan individu. Dalam keadilan ini lebih menitikberatkan pada keseimbangan antara hak-hak individu masyarakat dengan kewajiban-kewajiban umum yang ada didalam kelompok masyarakat hukum.

Berdasarkan uraian di atas, teori keadilan menjadi landasan utama yang harus diwujudkan melalui hukum yang ada. Aristoteles menegaskan bahwa keadilan

11

(27)

adalah inti dari hukum. Baginya, keadilan dipahami dalam pengertian kesamaan, namun bukan kesamarataan. Membedakan hak persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya.

b. Teori Perlindungan Hukum Koraban Tindak Pidana

Korban adalah sebuah konsepsi mengenai realitas sebagaimana juga halnya obyek peristiwa-peristiwa. Konstruksi sosial hukum sendiri menyatakan bahwa semua kejahatan mempunyai korban. Adanya korban adalah indikasi bahwa ketertiban sosial yang ada terganggu, oleh karena itu dari sudut pandang legalitas, korban seringkali secara jelas diperinci.12 Pertimbangan sebab-sebab sosial dan psikologis bahkan medis, dari terjadinya perkosaan itu, tidak terlepas dari kewajiban memberikan perlindungan kepada para korban perkosaan dari masyarakat, karena bagaimanapun juga, akibat medis-sosial psikologis perbuatan yang kejiitu akan harus ditanggung oleh korban perkosaan itu :13

1) Pertama-tama, akibat perkosaan itu wanita yang bersangkutan dapat menjadi hamil. Akibatnya, ia akan melahirkan seorang anak yang mungkin sekali sangat dibencinya; bukan karena anak itu melakukansesuatu terhadapnya, tetapi karena ayahnya selain merusak tubuhnya juga merusak masa depannya. Dengan demikian perkosaan itu bahkan dapat merusak dua generasi, yaitu korban perkosaan dan anaknya yang tidak berdosa, karena status hukumnya ialah anak yang tidak sah dan ibu yang tidak sah.

12

Mulyana W. Kusuma, Aneka Permasalahan Dalam Ruang Lingkup Kriminologi, alumni,Bandung, 1981, hlm. 109

13

(28)

2) Kalau korban tidak sampai hamil, ia pasti kehilangan keperawanannya.

3) Bagaimanapun juga korban tindak pidana perkosaan selalu akan mengalami gangguan traumatis dan psikologis, yang kalau tidak dirawat dengan tepat dan penuh kasih sayang, akan menjadi proses yang berkepanjangan dan dapat merusak seluruh hidupnya. Ia merasa rendah diri dan ternoda, benci terhadap semua pria, dan takut memasuki jenjang perkawinan yang sangat mempengaruhi jalan hidupnya sehingga ia jauh dari kebahagiaan.

4) Jangan dilupakan pula bahwa korban tindak pidana perkosaan mungkin pula menjadi penderita penyakit kelamin dan bahkan terjangkit penyakit AIDS yang tentu saja sangat membahayakan kelangsungan hidupnya.

Selama ini pengaturan perlindungan korban khususnya dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia belum menampakkan pola yang jelas. Menurut Barda Nawawi Arief dalam hukum pidana positif yang berlaku pada saat ini perlindungan korban lebih banyak merupakan “perlindungan abstrak” atau “perlindungan tidak

langsung”. Artinya berbagai rumusan tindak pidana dalam peraturan

perundang-undanganselama ini pada hakekatnya telah ada perlindungan in abstracto secaralangsung terhadap kepentingan hukum dan hak asasi korban. Dikatakan demikian, karena tindak pidana menurut hukum positif tidak dilihat sebagai perbuatan menyerang atau melanggar kepentingan hukum seseorang (korban) secara pribadi dan konkret, tetapi hanya dilihat sebagai pelanggaran “norma atau tertib hukum in abstracto”.14

14

(29)

Akibatnya perlindungan korban tidak secara langsung dengan inconcreto, tetapi hanya in abstracto. Dengan kata lain, sistem sanksi dan pertanggungjawaban pidananya tidak tertuju pada perlindungan korbansecara langsung dan konkrit, tetapi hanya perlindungan korban secara tidak langsung dan abstrak. Jadi pertanggungjawaban pelaku bukanlah pertanggungjawaban terhadap kerugian atau penderitaan korban secaralangsung dan konkrit, tetapi lebih tertuju pada pertanggungjawaban pribadi atau individual.

Perlindungan secara tidak langsung dalam peraturan hukum positif tersebut belum mampu memberikan perlindungan secara maksimal.Karena realitas di Indonesia menunjukkan bahwa hukum yang berlaku secara pasti pun belum mampu menjamin kepastian dan rasa keadilan. Kebanyakan orang melihat keberadaan sistem peradilan pidana formal sebagaimana adanya. Mereka tidak menyadari bahwa metode penanganan pelaku kejahatan bukanlah merupakan norma yang terjadidalam perkembangan sejarah. Sesungguhnya, versi peradilan pidana modern secara relatif terjadi fenomena baru. Hari-hari berlalu, pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan terarah pada korban dan keluarga

korban. Di sana tak ada “otoritas” untuk mengubah bagaimana menolong korban

dalam penerapan hukum pidana. Korban diharapkan membentengi dirinya sendiri dan masyarakat ikut serta dalam kesepakatan itu.

Konstatasi tersebut tidaklah bermaksud untuk menyarankanbahwa ketiadaan pengaturan tentang korban itu harus diikuti terus. Masyarakat mengenal sistem

dasar tentang “retribution” (bahwa pelakuakan menderita sebanding dengan

(30)

(pembayaran sejumlah uang dalam rangka untuk memberikan bantuan kepada korban). Sistem pertanggungjawaban ini menekankan pada prinsip yang dikenal dengan sebutan “lex talionis” (an eye for an eye, a tooth for atooth). Mungkin hal terpenting dari sistem ini adalah bahwa korban dan keluarganya menangani masalah dan bertanggungjawab untuk membayar kerugian akibat dari kejahatan. Aransemen ini sebetulnya telah menggambarkan suatu sistem yang disebut

“sistem peradilankorban”.15

Hal ini menuju pada suatu pemahaman formal mengenai „korban dalam acara

pidana‟. Seperti juga halnya aturan-aturan acara pidanaserta proses hukum yang

adil mengharuskan adanya praduga takbersalah, juga korban dalam acara pidana

harus dianggap sebagai„presumptive victim’. Sifat hipotesis pemahaman ini

nampak jelas jika seseorang memperhitungkan bahwa pemenjaraan dan hukuman tidak dapat menjamin hubungan antara pelanggar hukum dengan korban. Mungkin terdapat kekeliruan-kekeliruan yuridis dan mungkin terdapat kasus-kasus dimana korban tetap „presumptive‟ walaupun pelanggarnya telah dipidana.

Keadaan dimana korban menjadi saksi, maka bagitersangka, ia mungkin

merupakan “bukti” yang paling membahayakan bagi penuntutan. Bagi pengadilan,

kesaksian korban dipandang olehkarena saksi ini dalam persidangan akan dianggap mengetahui lebihbanyak mengenai pelanggaran hukuman daripada siapapun, kecuali tersangka sendiri. Hal lain yang penting mengenai korban

15

(31)

sebagai saksi ini adalah hak untuk menolak memberikan kesaksian. Pembenarannya adalah:16

1) Dengan memberikan kesaksian ia mengambil resiko penderitaan fisik atau psikis, yang mungkin dialaminya karena tindakan-tindakan pembalasan yang dilakukan oleh pendukung-pendukung sub kebudayaan tertentu (misalnya: gang-gang);

2) Resiko korban bahwa pengungkapan di muka umum mengenai halhalyang berhubungan dengan tersangka, barangkali membawaakibat-akibat emosional dan oleh karenanya akan mengakibatkan lebih jauh hambatan-hambatan massif bagi perkembangan psikologisnya.

Menurut ketentuan acara pidana, kepentingan-kepentingan pribadi korban harus diperhatikan dengan melihat kenyataan bahwa banyak aspek-aspek dalam hubungan pelanggar hukum dengan korbannya harus diungkapkan dalam

kondisi-kondisi, kedudukan, peranan dan fungsi “thepresumptive victim” berhadapan

dengan “the presumptive offender”. Perhatian dan perlindungan terhadap korban

kejahatan merupakan salah satu kebutuhan yang semakin mendesak berbagai negara untuk menyediakan kompensasi, restitusi dan pelayanan bagikorban kejahatan, namun ternyata masih sukar untuk memperjuangkan hak dan kepentingan korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana.

Viktimologi sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan yang mengkaji semua aspek yang berkaitan dengan korban dalam berbagaibidang kehidupan dan penghidupannya. Perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan adalah

16

(32)

suatu kegiatan pengembangan hakasasi manusia dan kewajiban hak asasi manusia. Perhatian dan perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan harus diperhatikan karena mereka sangat peka terhadap berbagai ancaman-ancaman gangguan mental, fisik, dan sosial.Selain itu, kerap kalimereka tidak mempunyai kemampuan untuk memelihara, membela serta mempertahankan dirinya.17

Perlunya diadakan pengelolaan korban tindak pidana perkosaan dalam rangka memberi perlindungan terhadap korban, yang meliputi prevensi, terapi dan rehabilitasi. Perhatian seyogyanya ditujukan pada korban, keluarga, lingkungan dan masyarakat luas. Jelasnya dalam pengelolaan korban tindak pidana perkosaan itu akandapat melibatkan banyak orang dari berbagai macam disiplin:18

a. Prevensi dapat berarti pencegahan timbulnya perkosaan dan dapatpula dimaksudkan sebagai pencegahan timbulnya masalah seksual di kemudian hari. Untuk menghindari terjadinya tindak pidana perkosaan maka disarankan agar para wanita untuk tidak bepergianseorang diri terutama pada waktu malam hari dan ke tempat yang lenggang dan sunyi. Ada baiknya kalau wanita belajar juga olahraga beladiri, sekedar untuk melindungi diri dari orang-orang yang berbuat jahat. Hindari membawa senjata tajam pada waktu bepergian, bilaterjadi usaha perkosaan maka bertindaklah wajar, sedapat mungkin tidak panik atau ketakutan.

b. Terapi pada korban tindak pidana perkosaan memerlukan perhatian yang tidak hanya terfokus pada korban saja. Selain keluhan dari parakorban, perlu pula didengar keluhan dari keluarga, keterangan orangyang menolongnya pertama

17

Arif Gosita, Bunga Rampai Viktimisasi,Eresco, Bandung, 1995, hlm. 136.

18

(33)

kali dan informasi dari lingkungannya. Kebutuhan akan terapi justru sering ditimbulkan oleh adanya gangguan keluarga atau lingkungannya. Tujuan terapi pada korbantindak pidana perkosaan adalah untuk mengurangi bahkan dimungkinkan untuk menghilangkan penderitaannya. Di samping itujuga untuk memperbaiki perilakunya, meningkatkan kemampuannya untuk membuat dan mempertahankan pergaulan sosialnya. Hal ini berarti bahwa terapi yang diberikan harus dapat mengembalikan sikorban pada pekerjaan atau kesibukannya dalam batas-batas kemampuannya dan kebiasaan peran sosialnya. Terapi harus dapat memberi motivasi dan rangsangan agar korban tindak pidana perkosaan dapat melakukan hal-hal yang bersifat produktif dankreatif.

c. Rehabilitasi korban tindak pidana perkosaan adalah tindakan fisikdan psikososial sebagai usaha untuk memperoleh fungsi dan penyesuaian diri secara maksimal dan untuk mempersiapkan korban secara fisik, mental dan sosial dalam kehidupannya dimasa mendatang. Tujuan rehabilitasi meliputi aspek medik, psikologik dansosial. Aspek medik bertujuan mengurangi invaliditas, dan aspekpsikologik serta sosial bertujuan kearah tercapainya penyesuaian diri, harga diri dan juga tercapainya pandangan dan sikap yang sehatdari keluarga dan masyarakat terhadap para korban tindak pidana perkosaan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka para korban tindak pidana perkosaan selalu mendapatkan pelayanan medik psikiatrik yang intensif.

3. Konseptual

(34)

memahami tulisan ini. Berdasarkan judul akan diuraikan berbagai istilah sebagai berikut :

a. Tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Tindak pidana adalah suatu pelanggaran terhadap norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.19

b. Abortus provocatus adalah istilah latin yang secara resmi dipakai dalam kalangan kedokteran dan hukum. Yang artinya adalah dengan sengaja mengakhiri kehidupan kandungan dalam rahim seorang wanita hamil. Berbeda dengan abortus spontaneous yaitu kandungan seorang wanita hamil yang gugur secara spontan. Untuk itu perlu dibedakan antara pengguguran kandungan dan keguguran. Pengguguran kandungan dilakukan dengan sengaja, sedangkan kegugurang terjadi secara tidak disengaja. Untuk menunjukkan pengguguran kandungan, istilah yang sering digunakan sekarang adalah aborsi.20

c. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi

19

PAF Lamintang, Delik-delik khusus, Sinar Baru ,Bandung,1984, hlm 185.

20

(35)

hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.21

d. Keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya atau menempatkan sesuatu pada proporsinya yang tepat dan memberikan kepada seseorang sesuatu yang menjadi haknya.22

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Masalah

Proses pengumpulan dan penyajian sehubungan dengan penelitian ini maka digunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris.

a. PendekatanYuridis Normatif adalah suatu pendekatan yang dilakukan dimana pengumpulan dan penyajian data dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan pokok bahasan penulisan Tesis ini.

b. Pendekatan Yuridis Empiris yaitu dengan melakukan pengkajian dan pengolahan terhadap data primer sebagai data utama yaitu fakta-fakta dan perilaku empiris di lapangan.23

Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan peraturan perundang-perundang-undangan saat ini sudah memberikan keadilan dan perlindungan hukum bagi pelaku aborsi korban

21

Zahirin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 2

22

Abdual Aziz Dahlan, et. all, (editor), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 2, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997, hlm. 25

23

(36)

pemerkosaan. Sedangkan pendekatan digunakan untuk menganalisis hukum bukan semata-mata sebagai perangkat peraturan perundang-undangan yang bersifat normatif saja, tetapi hukum dilihat sebagai perilaku masyarakat yang menggejala dalam kehidupan masyarakat. Berbagai temuan lapangan yang bersifat individual, kelompok akan dijadikan bahan utama dalam mengungkapkan permasalahan yang diteliti dengan berpegang pada ketentuan normatif.

2. Sumber dan Jenis data

Sumber dan jenis data dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder, yaitu :

a. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan studi kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip yang bersifat teoritis, konsep-konsep, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan di bahas,24yang terdiri antara lain:

1) Bahan Hukum Primer, antara lain:

a) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945. b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946tentang Pemberlakuan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

d) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

24

(37)

e) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

f) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.

g) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dalam hal ini teori-teori yang dukemukakan para ahli dan peraturan-peraturan pelaksana dari Undang-Undang yang mengatur tentang anak, serta literatur dan hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan pokok bahasan.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dariJurnal, Kamus, Internet, serta surat kabar dan lain-lain.

b. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari observasi di lapangan. Dalam rangka penelitian lapangan terutama yang menyangkut pokok bahasan tesis ini.25 Penentuan narasumber dalam penelitian ini diambil dari beberapa

orang populasi secara “purposive sampling” atau penarikan sample yang

bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subjek berdasarkan pada permasalahan yang dibahas dalam penenlitian ini.

25

(38)

3. Penetuan Narasumber

Pada penelitian ini penentuan narasumber berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditetapkan yaitu para pihak yang dianggap memahami dan mengerti seputar permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu mengenai penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang dan pencabulan anak di bawah umur. Adapun narasumber yang telah ditentukan tersebut adalah sebagai berikut:

1) Penyidik Kepolisian Polresta Bandar Lampung : 1 Orang 2) Dokter Ahli Kandungan RSU Abdoel Moeloek : 1 Orang 3) Akademisi Hukum FH Universitas Lammpung : 1 Orang 4) Praktisi Hukum/Advokat : 1 Orang +

Jumlah : 4 Orang

4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

a. Pengumpulan Data

Proses dalam melakukan pengumpulan data, baik data primer maupun data sekunder dipergunakan alat-alat pengumpulan data sebagai berikut :

1) StudiKepustakaan (Library Research)

(39)

2) Studi Lapangan (Field Research)

Studi Lapangan adalah pengumpulan data secara langsung ke lapangan dengan mempergunakan teknik pengumpulan data dengan Wawancara/Interview. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terbuka. Peneliti bertanya langsung kepada informan yang dipilih, yaitu pihak-pihak yang berkompeten yang dianggap mampu memberikan gambaran daninformasi yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian ini.

b. Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

1) Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul dan permasalahan.

2) Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasi atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif.

3) Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterprestasikan data.

5. Analisis Data

(40)

adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.26 Pengertian dianlisis disini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis, sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara berfikir deduktif-induktif, dan mengikuti tata tertib. dalam penulisan laporan-laporan penelitian ilmiah. Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Dari hasil tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

F. Sistematika Penulisan

Penelitian ini, untuk memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai bahasan dalam penulisan hukum ini, penulis membagi penulisan hukum ini menjadi empat bab dan tiap-tiap bab dibagi dalam sub-sub bab yang disesuaikan dengan luas pembahasannya. Sistematika penulisan itu sendiri sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini akan diuraikan mengenai Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Kerangka Konsep, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan Hukum.

26

(41)

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan memuat studi pustaka yang meliputi tinjauan tentang aborsi, tinjauan tentang teori keadilan dalam hukum nasional, tinjauan tentang perlindungan hukum korban tindak pidana, dan tinjauan tentang legalitas aborsi di Indonesia.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan mengenai metode yang akan digunakan dalam penelitian tesis ini, yang memuat pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penetuan populasi dan sampel, metode pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menjawab apa yang menjadi pokok permasalah yang dibahas dalam penelitian ini yaitu mengenai prospektif aborsi terkait pemenuhan aspek keadilan dan perlindungan korban dan bentuk perlindungan hukum terhadap pemenuhan hak-hak pelaku aborsi.

BAB V : PENUTUP

(42)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Aborsi

1. Pengertian Aborsi

Istilah aborsi dalam pengertian awam adalah pengguguran kandungan, keluarnya hasil konsepsi atau pembuahan sebelum waktunya. Abortion dalam kamus Inggris Indonesia diterjemahkan dengan pengguguran kandungan.27 Dalam Blaks’s Law Dictionary, kata abortion yang diterjemahkan menjadi aborsi dalam bahasa Indonesia mengandung arti: “The spontaneous or articially induced expulsion of an embrio or featus. As used in illegal context refers to induced abortion. Dengan demikian, menurut Blaks’s Law Dictionary, keguguran dengan keluarnya embrio atau fetus tidak semata-mata karena terjadi secara alamiah, akan tetapi juga disengaja atau terjadi karena adanya campur tangan (provokasi) manusia.28

Ensiklopedi Indonesia memberikan penjelasan bahwa abortus diartikan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi 28 minggu atau sebelum janin

27

Echols, dan Hassan Shaddily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1992, hlm. 2

28

(43)

mencapai berat 1.000 gram.29 Untuk lebih memperjelas maka berikut ini akan penulis kemukakan defenisi para ahli tentang aborsi, yaitu:30

a. Eastman: Aborsi adalah keadaan terputusnya suatu kehamilan dimana fetus belum sanggup berdiri sendiri di luar uterus. Belum sanggup diartikan apabila fetus itu beratnya terletak antara 400 – 1000 gr atau kehamilan kurang dari 28 minggu;

b. Jeffcoat: Aborsi yaitu pengeluaran dari hasil konsepsi sebelum 28 minggu, yaitu fetus belum viable by llaous;

c. Holmer: Aborsi yaitu terputusnya kehamilan sebelum minggu ke-16 dimana plasentasi belum selesai.

Dalam pengertian medis, aborsi adalah terhentinya kehamilan dengan kematian dan pengeluaran janin pada usia kurang dari 20 minggu dengan berat janin kurang dari 500 gram, yaitu sebelum janin dapat hidup di luar kandungan secara mandiri.31 Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal

dengan istilah ”aborsi”, berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur

dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup diluar kandungan. Dalam kaitanya dengan hal ini, Suryono Ekotama, dkk mengemukakan pendapat sebagai berikut: Dari segi medis, tidak ada batasan pasti kapan kandungan bias digugurkan. Kandungan perempuan bisa digugurkan kapan saja sepanjang ada indikasi medis untuk menggugurkn kandungan itu. Misalnya jika diketahui anak yang akan lahir mengalami cacat berat atau si ibu menderita penyakit jantung yang akan sangat berbahaya sekali untuk keselamatan jiwanya pada saat melahirkan nanti.

29

Ensiklopedi Indonesia, Abortus, Ikhtiar Baru, Jakarta, 1998, hlm. 22

30

Rustam Mochtar, Sinopsis Obsetetri, EGC, Jakarta, 1998, hlm. 209.

31

(44)

Sekalipun janin itu sudah berusia lima bulan atau enam bulan, pertimbangan medis masih membolehkan dilakukan abortus provocatus.32

Abortus provocatus yang dikenal di Indonesia dengan istilah aborsi berasal dari bahasa latin yang berarti pengguguran kandungan karena kesengajaan. Abortus Provocatus merupakan salah satu dari berbagai macam jenis abortus. Dalam kamus Latin-Indonesia sendiri, abortus diartikan sebagai wiladah sebelum waktunya atau keguguran. Pengertian aborsi atau Abortus Provocatus adalah penghentian atau pengeluaran hasil kehamilan dari rahim sebelum waktunya. Dengan kata lain “pengeluaran” itu dimaksudkan bahwa keluarnya janin disengaja dengan campur tangan manusia, baik melalui cara mekanik, obat atau cara lainnya.33

Demikian antara lain pengertian aborsi atau pengguguran kandungan, baik pengertian menurut ilmu kedokteran, pengertian umum, maupun pengertian menurut ilmu hukum, bahwa pengguguran kandungan itu adalah suatu perbuatan yang sengaja dilakukan atau dilakukan sebelum waktunya.

2. Jenis-jenis Aborsi

Proses abortus dapat berlangsung dengan cara:34

a. Spontan/alamiah (terjadi secara alami, tanpa tindakan apapun); b. Buatan/sengaja (aborsi yang dilakukan secara sengaja);

c. Terapeutik/medis (aborsi yang dilakukan atas indikasi medis karena terdapatnya suatu permasalahan/komplikasi)

32

Suryono Ekototama, dkk.,Op.Cit., hlm. 35

33

Kusmaryanto, SCJ., Kontroversi Aborsi. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta, 2002, hlm. 203

34

(45)

Abortus secara medis dapat dibagi menjadi dua macam: a. Abortus spontaneous

Abortus spontaneous adalah aborsi yang terjadi dengan tidak didahului faktor-faktor mekanis ataupun medicinalis semata-mata disebabkan oleh faktor-faktor alamiah. Rustam Mochtar dalam Muhdiono menyebutkan macam-macam aborsi spontan:35

1) Abortus completes, (keguguran lengkap) artinya seluruh hasil konsepsi dikeluarkan sehingga rongga rahim kosong.

2) Abortus inkopletus, (keguguran bersisa) artinya hanya ada sebagian dari hasil konsepsi yang dikeluarkan yang tertinggal adalah deci dua dan plasenta

3) Abortus iminen, yaitu keguguran yang membakat dan akan terjadi dalam hal ini keluarnya fetus masih dapat dicegah dengan memberikan obat-obat hormonal dan anti pasmodica

4) Missed abortion, keadan di mana janin sudah mati tetapi tetap berada dalam rahim dan tidak dikeluarkan selama dua bulan atau lebih.

5) Abortus habitulis atau keguguran berulang adalah keadaan dimana penderita mengalami keguguran berturut-turut 3 kali atau lebih.

6) Abortus infeksious dan abortus septic, adalah abortus yang disertai infeksi genital

Kehilangan janin tidak disengaja biasanya terjadi pada kehamilan usia muda (satu sampai dengan tiga bulan). Ini dapat terjadi karena penyakit antara lain:

35

(46)

demam; panas tinggi; ginjal TBC, Sipilis atau karena kesalahan genetik. Pada aborsi sepontan tidak jarang janin keluar dalam keadaan utuh.36

Kadangkala kehamilan seorang wanita dapat gugur dengan sendirinya tanpa adanya suatu tindakan ataupun perbuatan yang disengaja. Hal ini sering

disebut dengan “keguguran” atau aborsi spontan. Ini sering terjadi pada

ibu-ibu yang masih hamil muda, dikarenakan suatu akibat yang tidak disengaja dan diinginkan atupun karena suatu penyakit yang dideritanya. Dalam usia yang sangat muda keguguran dapatsaja terjadi, misalnya karena aktivitas ibu yang mengandung terlalu berlebihan, stress berat, berolahraga yang membahayakan keselamatan janin seperti bersepeda dan sebagainya.

b. Abortus provokatus

Abortus provokatus adalah aborsi yang disengaja baik dengan memakai obat-obatan maupun alat-alat. Aborsi provocatus merupakan istilah lain yang secara resmi dipakai dalam kalangan kedokteran dan hukum. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh. Menurut Fact Abortion, Info Kit on Women’s Health oleh Institute For Social, Studies anda Action, Maret 1991, dalam istilah kesehatan” aborsi didefenisikan sebagai penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi rahim (uterus), sebelum janin (fetus) mencapai 20

minggu.” Di Indonesia belum ada batasan resmi mengenai pengguguran

kandungan (aborsi). ”aborsi didefenisikan sebagai terjadinya keguguran janin;

36

(47)

melakukan aborsi sebagai melakukan pengguguran (dengan sengaja karena tidak mengiginkan bakal bayi yang dikandung itu)”37

Ada beberapa istilah untuk menyebut keluarnya konsepsi atau pembuahan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang biasa disebut aborsi (abortion), di antaranya: Abortion criminalis, yaitu pengguguran kandungan secara bertentangan dengan hukum; Abortion Eugenic, yaitu pengguguran kandungan untuk mendapat keturunan yang baik; Abortion induced/ provoked/ provocatus, yaitu pengguguran kandungan karena disengaja; Abortion Natural, yaitu pengguguran kandungan secara alamiah; Abortion Spontaneous, yaitu pengguguran kandungan secara tidak disengaja; dan Abortion Therapeutic, yaitu pengguguran kandungan dengan tujuan untuk menjaga kesehatan sang ibu.38

Aborsi yang dilakukan secara sengaja (abortus provocatus) ini terbagi menjadi dua:

1) Abortus provocatus medicinalis

Adalah aborsi yang dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi medis, yaitu apabila tindakan aborsi tidak diambil akan membahayakan jiwa ibu. Abortus provokatus medisinalis/artificialis/therapeuticus adalah aborsi yang dilakukan dengan disertai indikasi medis. Di Indonesia yang dimaksud dengan indikasi medis adalah demi menyelamatkan nyawa ibu. Adapun syarat-syarat yang ditentukan sebagai indikasi medis adalah:

37

http//:www.lbh-apik.or.id/fact-32.htm, Aborsi Dan Hak Atas Pelayanan Kesehatan, diakses Tanggal 28 November 2014.

38

(48)

a) Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya (yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan) sesuai dengan tanggung jawab profesi.

b) Harus meminta pertimbangan tim ahli (ahli medis lain, agama, hukum, psikologi)

c) Harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau suaminya atau keluarga terdekat.

d) Dilakukan di sarana kesehatan yang memiliki tenaga/peralatan yang memadai, yang ditunjuk oleh pemerintah.

e) Prosedur tidak dirahasiakan. f) Dokumen medik harus lengkap.39

Pada praktek di dunia kedokteran, abortus provocatus medicinalis juga dapat dilakukan jika anak yang akan lahir diperkirakan mengalami cacat berat dan harapan hidupnya tipis, misalnya janin menderita kelainan ectopia kordis (janin akan dilahirkan tanpa dinding dada, sehingga terlihat jantungnya), rakiskisis (janin akan dilahirkan dengan tulang punggung terbuka tanpa ditutupi kulit kulit maupun anensefalus (janin akan dilahirkan tanpa otak besar).40

2) Abortus provocatus criminalis

Adalah aborsi yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis, sebagai contoh aborsi yang dilakukan dalam rangka melenyapkan janin sebagai akibat hubungan seksual di luar

39

http://situs.kerespro.info, Aspek Hukum dan Medikolegal Abortus Povocatus Criminalis, diakses tanggal 29 November 2014.

40

(49)

perkawinan. Secara umum pengertian abortus provokatus kriminalis adalah suatu kelahiran dini sebelum bayi itu pada waktunya dapat hidup sendiri di luar kandungan. Pada umumnya janin yang keluar itu sudah tidak bernyawa lagi.41 Sedangkan secara yuridis abortus provokatus kriminalis adalah setiap penghentian kehamilan sebelum hasil konsepsi dilahirkan, tanpa memperhitungkan umur bayi dalam kandungan dan janin dilahirkan dalam keadaan mati atau hidup.

Bertolak pada pengertian di atas, dapatlah diketahui bahwa pada abortus provocatus ini ada unsur kesengajaan. Artinya, suatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan agar kandungan lahir sebelum tiba waktunya. Menurut kebiasaan maka bayi dalam kandungan seorang wanita akan lahir setelah jangka waktu 9 bulan 10 hari. Hanya dalam hal tertentu saja seorang bayi dalam kandungan dapat lahir pada saat usia kandungan baru mencapai 7 bulan atupun 8 bulan. Dalam hal ini perbuatan aborsi ini biasanya dilakukan sebelum kandungan berusia 7 bulan.

Menurut pengertian kedokteran yang dikemukakan oleh Lilien Eka Chandra, aborsi (baik keguguran maupun pengguguran kandungan) berarti terhentinya kehamilan yang terjadi di antara saat tertanamnya sel telur yang sudah (blastosit) dirahim sampai kehamilan 28 minggu. Batas 28 minggu dihitung sejak haid terakhir itu diambil karena sebelum 28 minggu, janin belum dapat hidup (viable di luar rahim). Frekuensi terjadinya aborsi di Indonesia sangat sulit dihitung secara akurat karena banyaknya kasus aborsi buatan/sengaja yang tidak dilaporkan. Berdasarkan perkiraan dari BKBN, ada sekitar 2 juta kasus aborsi yang terjadi

41

(50)

setiap tahunnya. Pada penelitian di Amerika Serikat terdapat 1,2-1,6 juta aborsi yang disengaja dalam 10 tahun terakhir dan merupakan pilihan wanita Amerika untuk kehamilan yang tidak diinginkan. Secara keseluruhan, di seluruh dunia, aborsi adalah penyebab kematian yang paling utama dibandingkan kanker maupun penyakit jantung.42

3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Aborsi

Meski demikian, secara kritis bisa ditarik generalisasai bahwa aborsi dilakukan tidak hanya dikarenakan kehamilan di luar perkawinan (kehamilan pranikah, dilakukan gadis), tetapi juga terjadi di dalam perkawinan, oleh perempuan yang berstatus istri. Baik abortus dikarenakan kehamilan di luar perkawinan ataupun dalam perkawinan keduanya memiliki beberapa alasan yang berbeda, dan keduanya merupakan fenomena terselubung yang cenderung ditutupi oleh pelakunya.43

Abortus provocatus berkembang sangat pesat dalam masyarakat Indonesia, hal ini disebabkan banyaknya factor yang memaksa pelaku dalam masyarakat untuk melakukan hal tersebut. Pelaku merasa tidak mempunyai pilihan lain yang lebih baik selain melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan hukum dan moral yaitu melakukan aborsi. Berikut ini disebutkan beberapa faktor yang mendorong pelaku dalam melakukan tindakan abortus provocatus, yaitu:44

a. Kehamilan sebagai akibat hubungan kelamin di luar perkawinan.

42

Lilien Eka Chandra, Loc.Cit

43

Hartono Hadisaputro, Aborsi dan Perlindungan Hak Reproduksi Perempuan, Makalah, Semarang, 30 Januari 2010, hlm. 2

44

(51)

Pergaulan bebas dikalangan anak muda menyisakan satu problem yang cukup besar. Angka kehamilan di luar nikah meningakat tajam. Hal ini disebabkan karena anak muda Indonesia belum begitu mengenal arti pergaulan bebas yang aman, kesadaran yang amat rendah tentang kesehatan. Minimnya pengetahuan tentang reproduksi dan kontrasepsi maupun hilangnya jati diri akibat terlalu berhaluan bebas seperti negara-negara barat tanpa dasar yang kuat (sekedar tiru-tiru saja). Hamil di luar nikah jelas merupakan suatu aib bagi wanita yang bersangkutan, keluarganya maupun masyarakat pada umumnya. Masyarakat tidak menghendaki kehadiran anak haram seperti itu di dunia. Akibat adanya tekanan psikis yang diderita wanita hamil maupun keluarganya, membuat mereka mengambil jalan pintas untuk menghilangkan sumber/penyebab aib tadi, yakni dengan cara menggugurkan kandungan.

b. Alasan-alasan sosio ekonomis.

(52)

c. Alasan anak sudah cukup banyak.

Alasan ini sebenarnya berkaitan juga dengan sosio-ekonomi di atas. Terlalu banyak anak sering kali memusingkan orang tua. Apalagi jika kondisi ekonomi keluarga mereka pas-pasan. Ada kalanya jika terlanjur hamil mereka sepakat untuk menggugurkan kandungannya dengan alasan sudah tidak mampu mengurusi anak yang sedemikian banyaknya. Dari pada si anak yang akan dilahirkan nanti terlantar dan hanya menyusahkan keluarga maupun orang lain, lebih baik digugurkan saja.

d. Alasan belum mampu punya anak.

Banyak pasangan-pasangan muda yang tergesa-gesa menikah tanpa persiapan terlebih dahulu. Akibatnya, hidup mereka pas-pasan, hidip menumpang mertua, dsb. Padahal salah satu konsekuensi dari perkawinan adalah lahirnya anak. Lahirnya anak tentu saja akan memperberat tanggung jawab orang tua yang masih kerepotan mengurusinya hidupnya sendiri. Oleh karena itu, mereka biasanya mengadakan kesepakatan untuk tidak mempunyai anak terlebih dahulu dalam jangka waktu tertentu. Jika terlanjur hamil dan betul-betul tidak ada persiapan untuk menyambut kelahiran sang anak, mereka dapat menempuh jalan pintas dengan cara menggugurkan kandungannya. Harapannya, dengan hilangnya embrio/janin tersebut, dimasa-masa mendatang mereka tak akan terbebani oleh kehadiran anak yang tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk merawatnya sampai besar dan menjadi orang. e. Kehamilan akibat perkosaan.

(53)

terjadinya kehamilan. Kehamilan pada korban ini oleh seorang wanita korban perkosaan yang bersangkutan maupun keluarganya jelas tidak diinginkan. Pada kasus seperti ini, selain trauma pada perkosaan itu sendiri, korban perkosaan juga mengalami trauma terhadap kehamilan yang tidak diinginkan. Hal inilah yang menyebabkan si korban menolak keberadaan janin yang tumbuh di rahimnya. Janin dianggap sebagai objek mati, yang pantas dibuang karena membawa sial saja. Janin tidak diangap sebagai bakal manusia yang mempunyai hak-hak hidup.

Pengguguran kandungan yang terjadi dewasa ini lebih banyak didasarkan pada alasan sosiologis dibandingkan dengan alasan-alasan medis. Alasan-alasan sosiologis ini dilarang dan termasuk perbuatan pidana yaitu abortus provokatus kriminalis yang diancam hukuman pidana.

Apabila dijabarkan, ada beberapa alasan yang digunakan oleh wanita dalam menggugurkan kandungannya baik legal maupun illegal yang disebabkan karena tidak menginginkan untuk meneruskan kehamilan sampai melahirkan. Alasan-alasan tersebut sebagaimana tulisan Dewi Novita sebagai berikut:45

a. Alasan kesehatan, yaitu apabila ada indikasi vital yang terjadi pada masa kehamilan, apabila diteruskan akan mengancam dan membahayakan jiwa si Ibu dan indikasi medis non vital yang terjadi pada masa kehamilan dan berdasar perkiraan dokter, apabila diteruskan akan memperburuk kesehatan fisik dan psikologis ibu. Selain itu juga didasarkan pada alasan kesehatan janin uyaitu untuk menghindari kemungkina melahirkan bayi cacat fisik maupun

45

(54)

mental, walaupun alasan ini belum bisa diterima sebagai dasar pertimbangan medis.

b. Alasan sosial, tidak seluruhnya kehamilan perempuan merupakan kehamilan yang dikehendaki, artinya ada kehamilan yang tidak dikehendaki dengan alasan anak sudah banyak, hamil diluar nikah sebagai akibat pergaulan bebas, hamil akibat perkosaan atau incest, perselingkuhan dan sebagainya. Perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki berusaha agar kehamilannya gugur baik melalui perantara medis (dokter) maupun abortir gelap meskipun dengan resiko tinggi. Hasil penelitian tentang kehamilan yang tidak dikehendaki didasarkan pada alasan-alasan melakukan aborsi dari alasan yang terkuat sampai terlemah yaitu: ingin terus melanjutkan sekolah atau kuliah, takut pada kemarahan orang tua, belum siap secara mental dan ekonomi untuk menikah dan mempunyai anak , malu pada lingkungan sosial bila ketahuan hamil sebelum menikah, tidak mencintai pacar yang menghamili, hubungan seks terjadi karena iseng, tidak tahu status anak nantinya karena kehamilan terjadi akibat perkosaan apalagi apabila pemerkosa tidak dikenal.

(55)

terutama karena dipicu oleh sarana hioburan, media film yang menawarkan kehidupan seks secara vulgar. Aborsi juga dianggap sebagai pilihan yang tepat karena adanya kontrak kerja untuk tidak hamil selama dua tahun pertama kerja dan apabila tidak aborsi resikonya adalah dipecat dari pekerjaan. Alasan ketidaksiapan ekonomi juga seringkali menjadi pertimbangan bagi perempuan berkeluarga yang tidak menghendaki kehamilannya untuk melakukan aborsi, seperti kegagalan KB, pendapatan rendah yang tidak mencukupi untuk menanggung biaya hidup.

d. Alasan keadaan darurat (memaksa), kehamilan akibat perkosaan. Kehamilan yang terjadi sebagai akibat pemaksaan (perkosaan) hubungan kelamin (persetubuhan) seorang laki-laki terhadap perempuan. Adapun alasan yang terakhir ini, yaitu alasan keadaan darurat (memaksa) berupa kehamilan akibat perkosaan sebagai alasan untuk melakukan aborsi adalah merupakan fokus dan objek dalam penelitian ini, dan akan dianalisa lebih lanjut dalam bab hasil penelitian dan pembahasan.

B. Pengaturan Aborsi dalam Peraturan Perundang-undanganIndonesia

(56)

1. Pengaturan Aborsi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP)

Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) tindakan pengguguran kandungan yang disengaja (abortus provocatus) diatur dalam Buku kedua Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan khususnya Pasal 299, dan Bab XIX Pasal 346 sampai dengan Pasal 349, dan digolongkan ke dalam kejahatan terhadap nyawa. Berikut ini adalah uraian tentang pengaturan abortus provocatus yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut:46

Bab XIV KUHP: Pasal 229:

(1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda palig banyak tiga ribu rupiah.

(2) Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang dokter, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.

(3) Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalankan pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.

46

(57)

Berdasarkan rumusan Pasal 299 KUHP tersebut, dapat diuraikan unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut :

a. Setiap orang yang sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati dengan harapan dari pengobatan tersebut kehamilannya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah

b. Seseorang yang sengaja menjadikan perbuatan mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati dengan harapan dari pengobatan tersebut kehamilannya dapat digugurkan dengan mencari keuntungan dari perbuatan tersebut atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah sepertiga.

c. Jika perbuatan mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati dengan harapan dari pengobatan tersebut kehamilannya dapat digugurkan itu dilakukan oleh seorang dokter, bidan atau juru obat maka hak untuk berpraktek dapat dicabut.

Bab XIV KUHP: Pasal 346 KUHP :

“Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan

kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan

(58)

Pasal 347 KUHP :

(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 348 KUHP:

(1) Barang siapa dengan sengaja menggunakan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 349 KUHP :

“Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan

berdasarkan pasal 346, ataupun membantu melakukan salah satu kejahatan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat dditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan”.

Berdasarkan rumusan pasal-pasal tersebut di atas dapat diuraikan unsur- unsur tindak pidana adalah sebagai berikut :

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pikir

Referensi

Dokumen terkait

Selaras dengan tujuan yang bermaksud untuk mengetahui sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana

Kebijakan Hukum Pidana dalam memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang. Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan

“Analisis Yuridis Tentang Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Perkosaan Terkait dengan Hak-hak Korban Serta Kewajiban Negara Dalam Memenuhi Hak-Hak Korban

Ide dasar perlunya perlindungan hukum terhadap anak menjadi korban tindak pidana dan pelaku tindak pidana sehingga perlu dilindungi yaitu: (a) Anak masih

Tindak pidana pengeroyokan sampai mengakibatkan korban meninggal dunia merupakan pelanggaran hukum atas tindak pidana yang mendapati suatu delik yang dilakukan

SIMPULAN Perlindungan terhadap korban tindak pidana di Indonesia telahdiatur dalam berbagai perundang-undangan yaitu: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

Tindak pidana pengeroyokan sampai mengakibatkan korban meninggal dunia merupakan pelanggaran hukum atas tindak pidana yang mendapati suatu delik yang dilakukan dengan sengaja, misalnya,

"UPAYA PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA", FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum, 2017 Publication abuizzan.blogspot.com Internet Source