BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa yang perlu dilindungi harga
diri dan martabatnya. Setiap keluarga pasti menginginkan kelahiran dari seorang
anak untuk melengkapi kebahagiannya. Setiap orang harus menjamin hak hidup
seorang anak, hak untuk tumbuh berkembang sesuai dengan fitrah dan kodratnya.
Tiap-tiap individu ini harus menghormati hak asasi dari setiap manusia lainnya
termasuk anak.
Anak merupakan harapan bangsa dan apabila sudah sampai saatnya akan
menggantikan generasi tua dan melanjutkan roda kehidupan negara, dengan
demikian, anak perlu dibina dengan baik agar semua tidak salah dalam hidupnya
kelak. Anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa
saja (individu atau kelompok, organisasi swasta ataupun pemerintah) baik secara
lansung maupun tidak langsung. Setiap komponen bangsa, baik pemerintah
maupun non pemerintah memiliki kewajiban untuk secara serius memberi
perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Komponen-komponen
yang harus melakukan pembinaan terhadap anak adalah orangtua, keluarga,
masyarakat, dan pemerintah 1.
Dalam Pasal 34 UUD 1945 mengamanatkan bahwa kewajiban negara
untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Dalam perubahan kedua tahun
2000 (amandemen) UUD 1945 Pasal 28B ayat 2 menyatakan bahwa “setiap anak
1
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskrminasi”. Dan perlindungan
terhadap anak diwujudkan dalam UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak yang diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014
Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak menentukan bahwa Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartipsipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang
ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi dan memberdayakan anak yang
mengalami tindak perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran, agar dapat
menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang secara wajar. Baik fisik,
mental maupun sosialnya. Perlindungan anak adalah usaha melindungi anak agar
dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.
Dari pengertian korban yang disebutkan diatas, tidak hanya sebatas
pengertian saja, tetapi ada juga ciri yang melekat pada pengertian korban. Ciri
yang dimaksud adalah bahwa korban mengalami penderitaan (suffering) dan
ketidak adilan (injustice). Luas sempitnya pengertian korban kejahatan berkaitan
erat dengan sifat kejahatan itu sendiri.
Seiring perkembangan zaman dan perkembangan teknologi, telah terjadi
eksploitasi terhadap anak yang mengarah ke tindak pidana perdangan orang
terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Para pelaku tindak pidana
perdagangan anak menggunakan berbagai macam modus operandi untuk
melancarkan aksinya untuk memperdayai korbannya yang masih anak-anak. Anak
yang seharusnya menjadi penerus bangsa dan memiliki masa depan yang cerah
telah menjadi korban tindak pidana perdagangan orang.
Di zaman globalisasi sekarang ini, telah banyak terjadi berbagai macam
kejahatan yang mengancam kehidupan manusia, tidak terkecuali dengan kejahatan
mengenai perdagangan orang. Perdagangan orang telah menyebar ke semua
negara yang ada di dunia ini, termasuk juga di Indonesia.
Perdagangan perempuan dan anak telah lama terjadi dimuka bumi ini dan
merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Ini
merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia 2. Masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana memang bukan
merupakan pekerjaan yang sederhana untuk direalisasikan. Banyak peristiwa
dalam kehidupan masyarakat menunjukkan bahwa kedua hal tersebut kurang
memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah, padahal sangat jelas dalam
Pancasila, sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, masalah perikemanusiaan dan
perikeadilan mendapat tempat sangat penting sebagai perwujudan dari Sila
Kemanusiaan yang adil dan beradab serta Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Menurut laporan Global tentang tentang perdangan manusia tahun 2014
yang diluncurkan oleh Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) di
2
Wina, anak perempuan merupakan 2 dari 3 korban perdagangan orang. Dan
bersama-sama dengan perempuan, mereka merupakan 70 persen dari korban
perdagangan orang di dunia yang secara khusus menjadi target dan dipaksa
menjadi budak modern.3 Situasi ini sangat buruk bagi anak perempuan dan perempuan pada umumnya.
Permasalahan perdagangan anak dan perempuan memang merupakan
masalah yang sangat kompleks yang tidak lepas dari faktor-faktor ekonomi,
sosial, budaya, dan politik yang berkaitan erat. Berdasarkan bukti empiris,
perempuan dan anak adalah kelompok yang paling rentan menjadi korban tindak
pidana perdagangan orang. Apalagi, hingga saat ini posisi perempuan masih
termarjinalisasi, tersubordinasi yang secara langsung dan tidak langsung akan
mempengaruhi kondisi perempuan.4
Kekerasan sering terjadi terhadap anak dan perempuan rawan. Disebut
rawan adalah karena kedudukan anak dan perempuan yang kurang
menguntungkan. Anak dan perempuan rawan (children and women at risk)
merupakan anak dan perempuan anak dan perempuan yang mempunyai resiko
besar mengalami gangguan gangguan atau masalah dalam perkembangannya, baik
secara psikologis (mental), sosial maupun fisik. Anak dan perempuan rawan
dipengaruhi oleh kondisi internal maupun kondisi eksternalnya, diantaranya ialah
anak dan perempuan yang “economically disadvantaged” (anak dan perempuan
3
Laporan mengenai perdagangan manusia yang dikeluarkan oleh kantor Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC), 24 Agustus 2014,
http:/www.unic-jakarta.org/2014/11/25/perdagangan anak meningkat menurut laporan pbb terbaru.html diakses terakhir pada tanggal 29 Juli 2015
4
dari keluarga miskin); culturally disadvantaged (anak dan perempuan dari daerah
terpencil); cacat, yang berasal dari broken home (keluarga retak)5.
Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk
eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain,
misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa
perbudakan itu. Pada kasus perdagangan manusia, posisi perempuan dan
anak-anak benar-benar tidak berdaya dan lemah, baik secara fisik maupun mental,
bahkan terkesan pasrah pada saat diperlakukaan tidak semestinya.
Industri seks sebagai salah satu pengguna perdagangan manusia, selain
menimbulkan human social and economic cost yang tinggi, juga menyebarkan
penyakit kelamin dan HIV/AIDS. Bagi anak yang dilacurkan, terampaslah
peluang mereka untuk memperoleh pendidikan dan untuk mencapai potensi
pengembangan sepenuhnya, yang berarti merusak sumber daya manusia yang
vital untuk pembangunan bangsa. Namun demikian, tidak dapat disangkal pula
bahwa praktik legal trafficking dalam berbagai bentuk menandai telah terjadinya
pergeseran-pergeseran relatif dalam bidang hukum kontemporer.6
Indonesia merupakan negara sumber utama perdagangan seks dan pekerja
paksa bagi perempuan, anak-anak, dan laki-laki dan dalam tingkatan yang jauh
lebih rendah menjadi negara tujuan perdagangan manusia, dengan daerah-daerah
yang signifikan adalah jawa, Kalimantan Barat, Lampung, Sumatera Utara, dan
5
Maidin Gultom, Op. Cit, Halaman 15
6
Sumatera Selatan.7 Perdagangan manusia didalam negeri merupakan masalah yang signifikan di Indonesia, anak Perempuan dan Perempuan dieksploitasi
sebagai pekerja rumah tangga dan eksploitasi seksual komersial. Banyak korban
pada awalnya direkrut dengan ditawari pekerjaan di restoran, pabrik atau sebagai
pekerja rumah tangga sebelum dipakasa masuk ke dalam dunia prostitusi.
Dewasa ini, seks telah menjelma dalam berbagai bentuk, baik yang
dilakukan secara langsung dengan persetubuhan (normal) dan yang dilakukan
melalui berbagai media elektronik, walaupun hingga saat ini jasa pelayanan seks
yang diatur dalam peraturan pemerintah dan ditawarkan di lokalisasi atau
kompleks-kompleks pelacuran masih dapat diperoleh, pelayanan seks komersil
diluar lokalisasi tetap marak biasanya secara sembunyi-sembunyi seperti
perumahan, hotel, SPA, bar, restoran, diskotik, salon kecantikan, tempat khusus,
dan sebagainya yang menyediakan teman pendamping atau teman kencan.8 Banyak faktor yang mendorong anak perempuan terlibat dalam trafficking
yang salah satunya adalah faktor materialisme yang konsumtif yang menjerat
hidup anak baru gede (ABG) sehingga mendorong mereka memasuki dunia
pelacuran secara dini. ABG ini sangat rentan terhadap bujukan dan rayuan para
calo untuk masuk dalam perdagangan orang.9
Sebagai negara hukum, konstitusi kita menjamin warganya sama
kedudukannya dimuka hukum. Sebagaimana Pasal 27 ayat 1 UUD 1945
7
Laporan Perdagangan Manusia yang dikeluarkan oleh Kantor Pengawasan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia Departemen Luar Negeri AS, Tahun 2014,
http://indonesia.jakarta.usembassy.gov/laporanpolitik/perdagangan-manusia.html, diakses pada tangal 31 Juli 2015
8
Maidin Gultom, Op. Cit, Halaman: 30
9
memberikan jaminan tersebut bahwa “ setiap warga negara sama kedudukannya
dalam hukum dan pemerintah serta wajib menjunjung hukum dan pemerintah
tersebut tanpa terkecuali”. Makna dari bunyi Pasal tersebut adalah bahwa setiap
warga negara mempunyai hak dibela (acces to legal counsel), sama diperlakukan
dimuka hukum (equality before the law) dan keadilan untuk semua (justice for
all).
Bekerjanya peradilan pidana baik dalam lembaga dan pranata hukumnya
lebih diorientasikan pada pelaku kejahatan (offender oriented). Eksistensi korban
tersubordinasi dan tereliminasi sebagai risk secondary victimizations dalam
bekerjanya peradilan pidana.10 Dapat dipahami bahwa sistem peradilan pidana memiliki publiknya sendiri yang selalu terikat dengan konteks sosial masyarakat
dimana sistem peradilan pidana itu dijalankan. Kerentanan sistem peradilan
pidana dalam menerjemahkan fungsinya yang berafiliasi dengan kepentingan
dapat dipahami dari karakter sistem peradilan pidana itu.
Sehubungan dengan upaya perlindungan korban melalui peradilan pidana
selama ini banyak ditelantarkan. Masalah kejahatan senantiasa difokuskan pada
apa yang dapat dilakukan terhadap penjahat dan kurang dipertanyakan apa yang
dapat dilakukan terhadap korban. Setiap orang menganggap bahwa jalan terbaik
untuk menolong korban adalah dengan menangkap si penjahat, seakan-akan
penjahat merupakan satu-satunya sumber kesulitan korban.11
Peran korban dalam persidangan lebih sebagai bagian dari pencarian
kebenaran materiil, yaitu sebagai saksi. Dalam tahap pemeriksaan, seperti halnya
10
C.maya Indah S, Perlindungan Korban dalam Perspektif Viktimologi dan Kriminologi, ( Jakarta : Kharisma Putra Utama, 2014), Halaman 97
11
korban perdagangan anak tidak sedikit yang mengabaikan hak-hak dari korban,
misalnya korban diperiksa tanpa didampingi penasehat hukum sehingga banyak
dari mereka yang tidak dipenuhi hak-haknya sebagai korban. Hal itu dikarenakan
anak-anak korban perdagangan orang tidak mengerti akan proses hukum yang
berjalan. Sementara itu, pada tahap penjatuhan putusan hakim, korban
dikecewakan dengan keputusan pidana karena putusan yang dijatuhkan pada
pelaku relatif ringan, tidak sebanding dengan penderitaan yang harus ditanggung
oleh korban.12
Dalam penanganan perkara pidana khususnya tindak pidana perdagangan
orang, kepentingan korban sudah saatnya untuk diberikan perhatian khusus, selain
sebagai saksi yang mengetahui terjadinya tindak pidana juga karena kedudukan
korban sebagai subjek hukum yang memiliki kedudukan sederajat di depan
hukum (equality before the law) yang menjamin keadilan bagi semua orang
(justtice before all). Perhatiaan kepada korban dalam penanganan perkara pidana
hendaknya dilakukan atas dasar belas kasihan dan hormat atas martabat korban
(compassion and respect for their dignity)13.
Dalam kerangka perlindungan hak asasi manusia, pada hakikatnya,
perlindungan terhadap perempuan dan anak merupakan salah satu perwujudan hak
untuk hidup, hak untuk bebas dari perhambaan atau perbudakan. Hak asasi ini
bersifat langgeng dan universal, artinya berlaku untuk setiap orang tanpa
membeda-bedakan asal-usul, jenis kelamin, agama, serta usia sehingga, setiap
negara berkewajiban untuk menegakkannya tanpa terkecuali.
12
Dikdik Arief Mansur dan ElisatrisGultom, urgensi perlindungan korban kejahatan. (Jakarta. PT.Raja Grafindo Persada, 2007) , Halaman 30
13
Bertitik tolak dari pemikiran diatas, maka perlindungan hukum terhadap
anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang harus dijadikan sebagai
bagian dalam upaya penegakan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan
sosial yang merupakan usaha bersama untuk meningkatkan kesejahteraan yang
mengakomodasi hak-hak korban tindak pidana perdagangan orang. Sudah
sewajarnya bahwa kepentingan korban diperhatikan. Oleh karena itu, masalah
utama atau objek hukum pidana, pertanggungjawaban, dan pidana, juga harus
meliputi permasalahan korban.
Perlindungan korban dalam peradilan pidana terkait dengan perlindungan
terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang, sebagai bagian
dari kebijakan perlindungan masyarakat dan kebijakan kesejahteraan sebagai
bagian dari kebijakan sosial. Keterpadauan antara kebijakan kriminal dan
kebijakan sosial berkonsekuensi pada perlunya perhatian terhadap korban.
Pengakomodasian hak-hak asasi korban melalui perlindungan hukum terhadapnya
merupakan bagian integral pula dari keseluruhan kebijakan kriminal
Menyadari betapa pentingnya Perlindungan hukum terhadap anak sebagai
korban tindak pidana perdagangan orang demi terwujudnya keadilan dan
pemenuhan hak asasi korban tindak pidana perdangan orang, maka penulis
B. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam skripsi ini adalah :
1. Bagaimana Pengaturan Hukum Positip dalam hal Perlindungan Hukum
terhadap anak korban tindak pidana perdagangn orang ?
2. Bagaimana faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan
orang di Indonesia ?
3. Bagaimana Kebijakan Hukum Pidana dalam memberikan Perlindungan
Hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisaan
1. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan ini, ada beberapa hal menjadi tujuan dalam rangka
pencapaian atas pengkajian permasalahan yang ada dalam skripsi ini, adapun
tujuannya adalah sebagai berikut :
a. Untuk menganalisis bagaimana pengaturan hukum positip yang mengatur
Perlindungan Hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana
perdagangan orang di Indonesia
b. Untuk menganalisis faktor-faktor apa yang menjadi pemicu ataupun
pendorong terjadinya perdagangan anak yang semakin hari semakin
meningkat jumlah kasusnya serta untuk mengetahui bentuk upaya-upaya
yang kiranya dapat dilakukan oleh berbagai pihak untuk mencegah
c. Untuk menganalisis kebijakan hukum pidana dalam memberikan
Perlindungan hukum terhadap Anak sebagai Korban dalam Tindak Pidana
Perdagangan Orang
2. Manfaat Penulisan
Penulisan skripsi ini juga memberikan manfaat secara teoritis dan praktis,
yaitu sebagai berikut :
a. Secara Teoritis
Penulisaan ini diharapkan memberi manfaat untuk ilmu pengetahuan dan
menambah literatur dan referensi mengenai Perlindungan Hukum terhadap
anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang, juga diharapkan
memberikan sumbangsih terhadap kalangan civitas akademika, serta para
ilmuwan lainnya.
b. Secara Praktis
Penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk aparat penegak hukum dan
pemerintah sehingga dapat memperhatikan hak-hak Anak yang menjadi
korban tindak pidana perdagangan orang dalam proses peradilan pidana dan
juga masalah bantuan hukum kepada korban yang tidak mampu dan buta
hukum. Selain itu juga bermanfaat untuk masyarakat agar dapat memahami
tentang kejahatan perdagangan anak sehingga nantinya dapat melakukan
tindakan pencegahan timbulnya tindak pidana perdagangan anak yang
melibatkan orang-orang disekitarnya. Dengan demikian turwujud
D. Keaslian Penulisan
Tulisan yang berjudul : ”ANALISIS YURIDIS TERHADAP
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (STUDI DI PENGADILAN
NEGERI MEDAN)”, yang diangkat menjadi judul skripsi ini adalah karya asli
penulis tanpa adanya suatu proses penjiplakan atas karya tulis manapun. Tulisan
dengan judul : ” ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG (STUDI DI PENGADILAN NEGERI MEDAN)”
belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Hal tersebut
dibuktikan dengan adanya bukti uji bersih dari pihak fakultas hukum USU.
Jikalau pun ada judul penulisan yang hampir sama dengan judul penulisan skripsi
ini, namun isi dan pembahasan dalam penulisan skripsi ini pasti berbeda dan juga
merupakan penulisan yang ditulis melalui proses dan upaya pemikiran sendiri.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengaturan Hukum Positip dalam hal pemberian advokasi terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang.
Negara kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap
warga negaranya termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak
sasi manusia, dan anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang
dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, ini adalah
bagian dari pembukaan UU Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan anak
Pembentukan undang-undang ini didasarkan atas pertimbangan bahwa anak
adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa,
memiliki peran strategis, dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin
kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.
Dalam perkembangan kebijaksanaan yang telah diambilnya, pemerintah
telah menyadari arah kebijakan yang mengutamakan kepentingan anak. Sepanjang
periode tahun 1997 ini, sejumlah langkah konkret yang berarti bagi perlindung
anak telah dilahirkan secara maju dan mendasar. Pada permulaan tahun 1997,
telah di undangkan Undang-undang Pengadilan Anak yaitu Undang-undang
Nomor 3 tahun 1997.
Sebagai tindak pidana, perdagangan orang telah diatur dalam KUHP yang
memuat ketentuan mengenai larangan memperniagakan perempuan dan anak
laki-laki belum dewasa sebagaimana diatur dalam Pasal 297 KUHP, serta larangan
memperniagakan budak belian sebagaimana diatur dalam Pasal 324 KUHP dan
mengkualifikasikan tindakan-tindakan tersebut sebagaimana kejahatan. Pasal 297
dan Pasal 324 KUHP tidak berlaku lagi sejak disahkannya Undagng-undang
Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang
Sebelum undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang disahkan, digunakan KUHP Pasal 297 yang
dengan pidana penjara paling lama 6 tahun”.14
Hanya Pasal ini yang khusus
menyebutkan perdagangan orang walaupun hal itu masih sangat tidak lengkap dan
belum mengakomodasi perlindungan hukum terhadap perdagangan orang.
Kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang
mengakselerasi terjadinya globalisasi juga dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan
untuk menyabelubungi perbudakan dan penghambatan itu kedalam bentuknya
yang baru yaitu perdagangan orang yang beroperasi secara tertutup dan bergerak
diluar hukum. Perbudakan dan penghambaan modern dalam bentuk perdagangan
orang semakin banyak dalam wujud yang terselubung dan ilegal; membujuk,
merayu, menipu, ,mengancam, menculik, menggunakan kekerasan verbal dan
fisik atau memanfaatkan proses kerentanan kepada kelompok rentan atau beresiko
untuk direkrut dan dibawa baik antar daerah didalam negeri atau keluar negeri,
untuk dipindah tangankan dan diperjualbelikan guna dipekerjakan di luar
kemauannya. Seperti pekerja seks atau eksploitasi seksual termasuk phaedophilia,
buruh migran legal maupun ilegal, adopsi anak, penjual organ tubuh, pengantin
pesanan serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.
Terangkatnya isu perdagangan orang pada awalnya hanya difokuskan pada
perdagangan perempuan walaupun pada kenyataanya yang menjadi korban
perdagangan orang bukan hanya perempuan tetapi juga laki-laki dan anak. Pelaku
perdagangan orang dengan cepat berkembang menjadi sindikat lintas batas negara
dengan sangat halus menjerat korban, tetapi dengan sangat kejam
14
mengeksploitasinya dengan berbagai cara, sehingga korban menjadi tidak berdaya
untk membebaskan diri.15
KUHP dan Peraturan perundang-undangan lainnya tersebut tidak
merumuskan pengertian perdagangan orang yang tegas dan lengkap secara
hukum. Disamping itu, juga memberikan hukuman yang ringan dan tidak sepadan
dengan dampak yang dialami korban akibat perdagangn orang tersebut. Oleh
karena itu, lahirlah Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ntuk mencegah dan
menanggulangu tindak pidana perdagangan orang dan melindungi korban
perdagangan orang. Undang-undang ini mengatur berbagai ketentuan yang dapat
mengantisipasi dan menjaring semua jenis tindak pidana perdagangn orang, mulai
dari proses dan cara, sampai kepada tujuan, dalam semua bentuk eksploitasi yang
mungkin terjadi dalam perdagangan orang, baik yang dilakukan antar wilayah
yang dalam negeri maupun antar negara dan baik dilakukan perorangan,
kelompok maupun korporasi. Undang-undang ini juga mengatur perlindungan
saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum untuk
memberikan perlindungan terhadap korban dan / atau saksi. 16
Selain itu, undang-undang ini memberikan perhatian terhadap penderitaan
korban akibat tindak pidana perdagangan orang dalam bentuk hak restitusi yang
harus diberikan pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai ganti kerugian
bagi korban dan mengatur hak korban atas rehabilitasi medis, psikologis dan
sosial, pemulangan serta intergrasi yang wajib dilakukan oleh negara, khususnya
15
Farhan, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia (Jakarta. Sinar Grafika, 2010) Halaman 86
16
bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak
pidana perdagangan orang. Undan-undang ini juga mengatur ketentuan tentang
pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang sebagai
tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, masyrakat dan keluarga. Juga
mengatur pembentukan gugus tugas untuk mewujudkan langkah-langkah yang
terpadu dalam pelaksanaan pencegahan dan penanganan perdagangan orang
Dalam era kemerdekaan terlebih di era reformasi yang sangat menghargai
Hak Asasi Manusia, masalah perbudakan atau penghambaan tidak ditolerir lebih
jauh keberadaannya. Secara hukum Bangsa Indonesia menyatakan bahwa
perbudakaan atau penghambaan merupakan kejahatan terhadap kemerdakaan
orang atau kebebasan pribadi. Hal ini terdapat dalam Pasal 20 ayat (1)
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia sedangkan ayat (2)
menyebutkan bahwa perbudakan dan perhambaan, perdagangan budak,
perdagangan wanita dan segala bentuk perbuatan berupa apapun yang tujuannya
serupa, dilarang.
Menurut undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
bahwa perdagangan orang merupakan salah satu pelanggaran HAM termasuk
kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan kemanusiaan adalah satu perbudakan
yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan langsung terhadap penduduk
sipil.17
17
Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal diatas adalah serangan yang
meluas atau sistematis, yang diketahuinya, ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil. Kejahatan perdagangan orang memenuhi ketiga unsur tersebut.
Perdagangan manusia dilakukan oleh organisasi kejahatan yang diorganisir secara
sistematis dan profesional dan dilakukan dengan sengaja serta merupakan
rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai lanjutan
kebijakan yang berhubungan dengan organisasi yang melakukan kejahatan
perdagangan orang.
Berdasarkan Pasal 9 tersebut diatas disebutkan bahwa salah satu jenis
kejahatan manusia berupa perbudakan. Dalam penjelasan undang-undang tersebut
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan perbudakan dalam ketentuan ini
termasuk perdagangan manusia khususnya perdagangan wanita dan anak.
Ketentuan hukum dalam Undang-undangNomor 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan HAM adalah menunjukkan kemajuan ketentuan pidana dengan
mengikuti perkembangan kejahatan dan pelanggaran HAM dalam masyarakat.
Adapun Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak Pasal 83 menyebutkan :
”Setiap anak yang diperdagangkan, menjual atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak 300 juta dan
paling sedikit 60 juta rupiah”
Pasal ini melarang memperdagangkan, menjual, dan menculik anak untuk
diri sendiri atau untuk dijual. Undang-undang ini cukup dapat mengakomodasi
sama dengan KUHP, Undang-undang ini tidak cukup memerinci apa yang
dimaksud dengan perdagangan anak dan untuk kepentingan apa anak itu
diperjualbelikan. Undang-undangn ini menerapkan sanksi yang lebih berat
dibandingkan dengan KUHP. Jika dalam KUHP ancaman hukumannya 0-6 Tahun
penjara, sedangkan undang-undang perlindungan anak mengancam pelaku
kejahatan perdagangan anak dengan 3-15 tahun penjara dan denda antara 60 – 300
juta rupiah.
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penanggulangan
perdagangan orang selain yang ditentukan dalam KUHP diantaranya juga
sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia juga Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang
Perlindangan Anak yang mengatur perlindungan untuk perdagangan anak.
Dalam undang-undang perdagangan orang terdapat kemajuan karena
ancaman pidana bagi pelaku perdagangan orang menganut minimal pidana hingga
maksimal pidana, serta korban juag berhak mendapat kompensasi (dari negara)
dan restitusi serta ganti rugi dari pelaku. Undang-undang ini juga memberikan
peluang adanya usaha pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi korban,
sakasi maupun pelapor. Disamping itu, dikenal juga pemberatan hukuman pada
kasus perdagangan orang sebagaimana dikenal dalam hukum pidana Indonesia.
Hal lain adalah peran serta masyrakat untuk membantu mencegah terjadinya
korban tindak pidana perdagangan orang dan diwujudkan dengan tindakan
memberikan informasi dan/atau melaporkan adanya tindak pidana perdagangan
Untuk kerja sama internasional diatur juga dalam Undang-undangn Nomor
21 Tahun 2007 Tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
dalam bentuk perjanjian bantuan hukum timbal balik dalam pidana dan/atau kerja
sama teknis lainnya. Hal ini karena sifat dari tindak pidana perdagangan orang
merupakan tindak pidana yang tidak saja terjadi dalam satu wilayah negara, tetapi
juga antar negara. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan orang merupakan perwujudan dari komitmen bangsa
Indonesia untuk melaksanakan Protokol PBB Tahun 2000 yang telah ditanda
tangani pemerintah Indonesia tentang mencegah, menumpas tindak pidana
perdagangan orang khususnya perempuan dan anak (Protokol Palermo) dan
menghukum pelakunya.
2. Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan orang dalam perspektif Kriminologi
Sudah sejak lama orang mengkaji dan mengadakan penyelidikan untuk
mengetahui latar belakang yang menyebabkan terjadinya suatu kejahatan. Dan
untuk untuk itu pula sudah banyak para ahli-ahli masyarakat mengemukakan
teori-teori tentang sebab-sebab kejahatan ini dan sekaligus mencoba menguraikan
pendapat untuk mengurai kejahatan. Makin komplek suatu masyarakat makin
sukar bagi kita dan makin banyak kegagalan yang akan kita temukan. Bertambah
banyak undang-undang dan sanksi adalah undang-undang dan
sanksi-sanksi adalah makin banyak pula kejahatan
Berbicara mengenai kejahatan, maka harus dibedakan terlebih dahulu
dan kejahatan dalam arti sosiologis (perbuatan yang patut dipidana). Perbuatan
yang termasuk tidnak pidana adalah perbuatan dalam arti melanggar
undang-undang dan perbuatan yang patut dipidana adalah perbuatan yang melanggar
norma atau kesusilaan yang ada dimasyarakat tetapi tidak diatur dalam
perundang-undangan.18
Dalam mempelajari sebab-sebab terjadinya kejahatan, dikenal adanya
beberapa teori yang dapat dipergunakan untuk menganalisis
permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan kejahatan. Teori-teori tersebut digolongkan
kedalam penggolongan teori-teori kriminologi yang positip dan penggolongan
teori-teori yang berkiblat pada mazhab kritis. Penggolongan teori tersebut terdiri
dari :
a. Mazhab Antropologi 19
Usaha untuk mencari sebab-sebab kejahatan dari ciri-ciri biologis
dipelopori oleh ahli-ahli frenologi, seperti GALL (1758-1828) Spurzheim
(1776-1832), yang mencoba mencari hubungan antara bentuk tengkorak kepala dengan
tingkah laku. Mereka mendasarkan pada pendapat Aristoteles yang menyatakan
bahwa otak merupakan organ dari akal.
Cesare Lombroso (1835-1909) seorang dokter ahli kedokteran kehakiman
merupakan tokoh yang penting dalam mencari sebab-sebab kejahatan dari
ciri-ciri fisik (biologis) penjahat dalam bukunya L’uomo Delinquente (1876).
Pokok-pokok ajaran Lombroso adalah:
18
Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010 ) Halaman 86
19
1. Menurut Lombroso, penjahat adalah orang yang mempunyai bakat jahat
2. Bakat jahat tersebut diperoleh karena kelahiran, yaitu diwariskan dari nenek
moyang (borne criminal).
3. Bakat jahat tersebut dapat dilihat dari ciri-ciri biologis tertentu, seperti muka
yang tidak simetris, bibir tebal, hidung pesek, dan lain-lain
4. Bakat jahat tersebut tidak diubah, artinya bakat jahat tersebut tidak dapat
dipengaruhi
Lamboroso juga menggolongkan para penjahat dalam beberapa golongan
seperti :20
1. Antroplogi Penjahat : Penjahat umumnya dipandang dari segi antroplogi
merupakan suatu jenis manusia tersendiri (genus home delinguenes), seperti
halnya dengan negro. Mereka dilahiran demikian (ildelinguente nato) mereka
tidak mempunyai predis posisi untuk kejahatan, tetapi suatau prodistinasi, dan
tidak ada pengaruh lingkungan yang dapat merubahnya. Sifat batin sejak lahir
dapat dikenal dari adanya stigma-stigma lahir, suatu tipe penjahat yang dapat
dikenal.
2. Hypothese atavisme : Persoalannya ialah bagaimana caranya menerangkan
terjadinya mahkluk yang abnormal itu (penjahat sejak lahir). Lambroso dalam
memecahkan soal tersebut, memajukan hypothase yang sangat cerdik,
diterima bahwa orang masih sederhana peradapannya sifatnya adalah amoral,
kemudian dengan berjalannya waktu dapat memperoleh sifat asusila (moral),
maka orang penjahat merupakan suatu gejala atavistis, artinya ia dengan
20
sekonyong-konyong dapat kembali menerima sifat-sifat yang sudah tidak
dimiliki nenek moyangnya yang lebih jauh (yang dinamakan pewarisan sifat
secara jauh kembali).
3. Hypothese Pathology : Berpendapat bahwa penjahat adalah seseorang
penderita epilepsi
4. Type penjahat : ciri-ciri yang dikemukakan oleh Lambroso terlihat pada
penjaha, sedemikian sifatnya, sehingga dapat dikatakan tipe penjahat. Para
penjahat dipandang dari segi antroplogi mempunyai tanda-tanda tertentu,
umpamanya sis tengkoraknya (pencuri) kurang lebih dibandingkan dengan
orang lain, dan terdapat kelainan-kelainan pada tengkoraknya. Dalam
tengkoraknya terdapat keganjilan yang seakan-akan mengingatkan kepada
otak-otak hewan, biar pun tidak dapat ditunjukkan adanya kelainan-kelainan
penjahat khusus. Roman mukanya juga laindari pada orang biasa, tulang
rahang lebar, muka menceng, tulang dahi melengkung ke belakang.
b. Mazhab Perancis atau Mazhab Lingkungan
Mazhab ini timbul terutama sebagai penentang mazhab (ajaran) Lambroso.
Pemuka-pemukanya adalah para dokter yang mengemukakan arti penting dari
pada milieu sebagai penerbit dari macam-macam penyakit infeksi dan etiologi
dari pada penyakit-penyakit infeksi. Para dokter ini terutama telah lebih
menonjolkan teori milleu dengan menyangkal kebenaran ajaran tentang
kriminalitas sejak lahir. Walaupun mereka adalah dokter dan bukan ahli-ahali
sebab-sebab sosial dari pada kriminalitas. Pemuka-pemukanya adalah Lacassagne
(dokter), Manouvrier (anthropolog) dan G. Tarde (yuridis dan sosiolog). Menurut
Tarde, kriminalitas bukan gejala antroplogis, melainkan karena gejala sosial,
seperti juga lain-lain gejala sosial yang dipengaruhi oleh imitasi.21
Menurut mazhab lingkungan ekonomi yang mulai berpengaruh pada abad
ke-18 dan permulaan abad ke-19 mengangap bahwa keadaan ekonomi yang
menyebabkan timbulnya perbuatan jahat. Menurut F. Turati, ia menyatakan tidak
hanya kekurangan dan kesengsaraan saja yang dapat menimbulkan kejahatan,
tetapi juga didorong oleh nafsu ingin memiliki yang berhubungan erat dengan
sistem ekonomi pada waktu sekarang yang mendorong kejahatan ekonomi.
Menurut N. Collajani, menunjukkan bahwa timbulnya kejahatan ekonomi dengan
gejala patologis sosial yang berasal dari kejahatan politik mempunyai hubugan
dengan keadaan kritis. Ia menekankan bahwa antara sistem ekonomi dan
faktor-faktor umum dalam kejahatan hak milik mendorong untuk mementingkan diri
sendiri yang mendekatkan pada kejahatan.22
c. Mazhab Bio-Sosiologi
Ferri memberikan suatu rumus tentang timbulnya tiap-tiap kejahatan
adalah resultan dari keadaan individu, fisik dan sosial. Pada suatu waktu unsur
individu yang paling penting, keadaan sosial memberi bentuk kejahatan, tetapi ini
bakatnya berasal dari bakatya yang anti sosial (organis dan psikis). Diantara
21
Purnianti, Moh. Kemal Darmawan, Mazhab dan Penggolongan Teori Dalam Kriminologi, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 1994), Halaman 40-41
22
semua penganut dari Lambroso, Ferri yang paling berjasa dalam menyebarkan
ajarannya. Sebagai seorang ahli ilmu pengetahuan, ia sudah mengetahui bahwa
ajaran Lambroso dalam bentuk aslinya tidak dapat dipertahankan. Dengan tidak
mengubah intinya, Ferri mengubah bentuknya, sehingga tidak lagi begitu berat
sebelah, dengan mengakui pengaruh lingkungan.
Dari uraian diatas aliran bio-sosiologi ini bersintetis kepada aliran
antroplogi yaitu keadaan lingkungan yang menjadi sebab kejahatan, dan ini
berasal dari Ferri. Rumusnya berbunyi ; “tiap kejahatan adalah hasil dari unsur
-unsur yang terdapat dalam individu yaitu seperti -unsur--unsur yang diterangan oleh
Lambroso”.23
d. Mazhab Spritualis
Mazhab ini mencari sebab-musabab kejahatan dalam ketidak adanya
kepercayaan agama. Pendapat ini dibuatnya atas dasar penemuan, bahwa makin
banyak orang yang tidak pergi ke gereja, makin bertambah kejahatan. Jadi
terdapat hubungan kausal antara kedua hal tersebut.24
Diantara aliran-aliran kriminologi yang mempunyai kedudukan sendiri,
adalah aliran yang dulu mencari sebab terpenting dari kejahatan dalam tidak
beragamanya seseorang. Menurut Kampe aliran ini mengalami bermacam-macam
perubahan dan kehalusan, oleh karena itu mungkin pada waktu sekarang lebih
tepat jika dinamakan aliran neo spiritualis, mempunyai kecenderungan
23
H.M. Ridwan dan Ediwarman, Op. Cit, Halaman 67
24
mementingkan unsur kerohanian dalam mencegah terjadinya
kejahatan-kejahatan.25
e. Mazhab Mr. Paul Moedikno Moeliono
Menurut mazhab ini membagi kepada 5 (lima) golongan antara lain ialah :
1. Golongan salahmu sendiri (SS)
Aliran ini berpendapat bahwa kejahatan timbul disebabkan kemauan bebas
individu (free of the will). Kejahatan disebabkan oleh kemauan maka perlu
hukuman untuk jangan lagi berbuat jahat.
2. Golongan Tiada yang salah (TOS)
Aliran ini mengemukakan sebab-sebab kejahatan itu disebabkan Hereditas
Biologis, kultur lingkungan, bakat ditambah lingkungan, perasaan
keagamaan. Jadi kejahatan itu ekspresi dari pressi faktor biologis kulturil,
Bio-sosiologis, spritualis.
3. Golongan salah Lingkungan
Aliran ini menyatakan timbulnya kejahatan disebabkan oleh faktor
lingkungan.
4. Golongan Kombinasi
Aliran kombinasi ini menyatakan bahwa struktur personal individu terdapat 3
bagian :
a. Das Es = Id
25
Das Es berisi nafsu hewani yang jika meminta harus direalisir, dan
sepenuhnya berada dalam alam tak sadar. Dalam lapisan ini nafsu bersifat
konstruktif dan ada bersifat destruktif.
b. Das Ich = Ego
Das Ich terletak dalam kesadaran dan merupakan inti, berfungsi
menyelaraskan tuntutan Das Es sesuai dengan norma kehidupan. Lapisan
ini menyeleksi keinginan Das Es.
c. Uber Ich = Super Ego
Uber Ich merupakan instansi yang tertinggi dalam mengatur tindakan
manusia serta bernilai moral. Norma yang mempengaruhi ego membekas
dalam super ego. Super ego mengontrol ego dan memberi celaan dan
pujian terhadap tindakan Ego. Orang beriman bila super ego membatasi
nafsu dan mengarahkan ke hal yang normatif tinggi, sehinga terbentuknya
“iman” ini terlebih dahulu ada pertentangan antara Das ich dan Das Es
5. Golongan Dialog
Golongan ini menyatakan manusia adalah dialog maka dia adalah pusat
hubungan. Karena manusia berdialog dengan lingkungan, maka dia
dipengaruhi lingkungan. Mempengaruh lingkungan maksudnya memberi
struktur pada lingkungan sedangkan dipengaruhi lingkungan maksudnya
manusia yang dipengaruhi oleh keadaan lingkungan.26
26
3. Kebijakan Hukum Pidana dalam memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan secara memadai tidak saja
merupakan isu nasional, tetapi juga internasional, karena itu hal ini perlu
memperoleh perhatian yang serius. Oleh karena itu, masalah ini perlu memperoleh
perhatian yang serius. Pentingnya perlindungan korban kejahatan memperoleh
perhatian yang serius, dapat dilihat dalam Delcaration of Basic Principles of
Justice for Victims of Crime and Abuse of Power oleh Perserikatan Bangsa-bangsa
sebagai hasil dari The Seventh United Nation Conggres on the Prevention of
Crime and the Treatment of Offenders yang berlangsung di Milan Italia pada
September 1985. 27
Dalam satu rekomendasinya disebutkan :
Offenders or third parties resposible for their behaviour should, where appropriated, make fair restitution to victims, their families or dependants. Such restitution should include the return of property or payment for the harm or loss suffered, reimbursement of expenses incurred as a result of the victimization, the provision of services and retoration of rights.
Sepanjang menyangkut korban kejahatan dalam deklarasi PBB tersebut
telah menganjurkan agar paling sedikit diperhatikan 4 (empat) hal sebagai berikut:
a. Jalan masuk untuk memperoleh keadilan dan diperlakukan secara adil (access
to justice and fair treatment);
b. Pembayaran ganti rugi (restitution) oleh pelaku tindak pidana kepada korban,
keluarganya atau orang lain yang kehidupannya dirumuskan dalam bentuk
sanksi pidana dalam perundang-undangan yang berlaku;
27
c. Apabila terpidana tidak mampu, negara diharapkan membayar santunan
(compensation) finansial kepada korban, keluarganya atau mereka yang
menjadi tanggungan korban;
d. Bantuan materiil, medis, psikologis dan sosial kepada korban, baik melalui
negara, sukarelawan, masyarakat (assistance).28
Dalam deklarasi tersebut, bentuk perlindungan yang diberikan mengalami
perluasan tidak hanya ditujukan pada korban kejahatan (victims of crime), tetapi
juga korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penegakan
hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk
direalisasikan. Banyak peristiwa dalam kehidupan masyarakat menunjukkan
kedua hal tersebut kurang memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah,
padahal sangat jelas dalam Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia,
perikemanusiaan dan perikeadilan mendapat tempat yang sangat penting sebagai
perwujudan dari sila kemanusian yang adil dan beradab serta sila keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Selama ini perlindungan hukum terhadap korban
kejahatan kurang diperhatikan dalam penegakan hukum.
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, ada dua model Perlindungan
Hukum, yaitu sebagai berikut : 29
a. Model hak-hak prosedural (the procedural rights model)
Model ini diperancis disebut partie civile model (civil action sistem).
Model ini menekankan dimungkinkan berperan aktifnya korban dalam
28
Ibid, Halaman 178
29
proses peradilan pidana seperti membantu jaksa, dilibatkan dalam setiap
tingkat pemeriksaan perkara, wajib didengar pendapatnya apabila
terpidana dilepas bersyarat dan lain-lain. Model ini melihat korban sebagai
subjek yang harus diberi hak-hak yuridis yang luas untuk menuntut dan
mengejar kepentingan-kepentingannya.
Keuntungan model ini adalah model ini dianggap dapat memenuhi
perasaan untuk membalas si korban maupun masyarakat. Selain itu,
keterlibatan korban seperti ini memungkinkan korban untuk memperoleh
kembali rasa percaya diri dan harga diri dan meningkatkan arus informasi
yang berkualitas kepada hakim sebab biasanya arus informasi ini
didominasi terdakwa yang melalui kuasa hukumnya yang dapat menekan
korban sebagai saksi korban dalam persidangan.
Model ini juga memiliki kelemahan, bahwa model ini dapat menimbulkan
konflik antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Partisipasi
korban dalam administrasi peradilan pidana dapat menempatkan
kepentingan umum dibawah kepentingan pribadi, padahal sistem peradilan
pidana harus berlandaskan pada kepentingan umum. Kerugian lain adalah
ada kemungkinan hak-hak yang diberikan pada korban dapat
menimbulkan beban mental bagi yang bersangkutan dan membuka
peluang untuk menjadikannya sebagai sasaran tindakan-tindakan yang
bersifat menekan dari pelaku tindak pidana.
Secara psikologis, praktis dan finansial kadang-kadang dianggap juga
tidak memungkinkan baginya berbuat secara wajar, dan berpendidikan
rendah. Jadwal persidangan yang ketat dan berkali-kali akan
mengganggunya baik secara praktis maupun finansial dan dapat juga
dikatakan bahwa suasana peradilan yang bebas yang dilandasi asas
praduga tak bersalah dapat terganggu oleh pendapat korban tentang
pemidanaan yang akan dijatuhkan dan hal ini didasarkan atas pemikiran
yang emosional dalam rangka pembalasan.
b. Model pelayanan (the services model)
Model ini menekankan pada pemberian ganti kerugian dalam bentuk
kompensasi, restitusi, dan upaya pengembalian kondisi korban yang
mengalami trauma, rasa takut, dan tertekan akibat kejahatan, sehingga
diperlukan standar baku bagi pembinaan korban yang dapat digunakan
polisi. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai sasaran khusus
untuk melayani dalm kerangka para penegak hukum.
Keuntungan model ini adalah model ini dapat digunakan sebagai sarana
pengembalian kondisi korban yang dinamakan integrity of the sistem of
institutionalized trust, dalam kerangka perspektif komunal. Korban akan
merasa dijamin kembali kepentingannya dalam suasana tertib sosial yang
adil. Suasana tertib, terkendali dan saling mempercayai dapat diciptakan
kembali. Model ini dapat menghemat biaya sebab dengan bantuan
pedoman yang baku, peradilan pidana dapat mempertimbangkan
kerugian-kerugian yang diderita korban dalam rangka menentukan kompensasi bagi
Kelemahan model ini antara lain, kewajiban-kewajiban yang dibebankan
kepada polisi, jaksa dan pengadilan untuk selalu melakukan
tindakan-tindakan tertentu kepada korban, dianggap akan membebani penegak
hukum karena semua didasarkan atas sarana dan prasarana yang sama.
Efisiensi dianggap juga akan terganggu, sebab pekerjaan yang bersifat
profesional tidak mungkin digabungkan dengan urusan-urusan yang
dianggap dapat mengganggu efisiensi. Dengan adanya
kelemahan-kelemahan tersebut, maka perlindungan hukum di Indonesia yang
berkaitan dengan korban kejahatan perdagangan orang haruslah berimbang
antara kepentingan pelaku masyarakat, negara, dan kepentingan umum.
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi,
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.30 Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi dan
memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah, eksploitasi dan
penelantaran, agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang
secara wajar, baik fisik, mental maupun sosialnya. Perlindungan anak adalah suatu
usaha melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.31 Dasar pelaksanaan Perlindungan Anak adalah :
30
Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak
31
a. Dasar Filosofis, Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, dan dasar
filosofis pelaksana perlindungan anak
b. Dasar Etis, Pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam
pelaksanan kewenangan, dan kekuatan dalam pelaksanaan Perlindungan
Anak
c. Dasar Yuridis, Pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD 1945 dan berbagai peraturan Perundang-undangan lainnya yang
berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif, yaitu
penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari
berbagai bidang hukum yang berkaitan.32 Prinsip-prinsip Perlindungan Anak adalah :
a. Anak tidak dapat berjuang sendiri; Salah satu prinsip yang digunakan dalam perlidungan anak adalah anak itu modal utama kelangsungan hidup
manusia, bangsa dan keluarga, untuk itu hak-haknya harus dilindungi.
Anak tidak dapat melindungi sendiri hak-haknya, banyak pihak yang
memperngaruhi kehidupannya. Negara dan masyarakat berkepentingan
untuk mengusahakan perlindungan hak-hak anak.
b. Kepentingan terbaik anak (the best interest of the child); agar perlindungan anak dapat diselenggarakan dengan baik, dianut prinsip yang
menyatakan bahwa kepentingan terbaik anak harus dipandang sebagai of
32
paramount importence (memperoleh prioritas tertinggi) dalam setiap
keputusan yang menyangkut anak. Tanpa prinsip ini perjuangan untuk
melindungi anak akan mengalami banyak batu sandungan. Prinsip the best
interest of the child digunakan karena dalam banyak hal anak “korban”,
disebabkan ketidaktahuan anak, karena usia perkembangannya. Jika
prinsip ini diabaikan, maka masyarakat menciptakan monster-monster
yang lebih buruk di kemudian hari.
c. Ancaman daur kehidupan (life-circle approach); Perlindungan anak mengacu pada pemahaman bahwa perlindungn anak harus dimulai sejak
dini dan terus menerus. Perlindungan hak-hak anak yang mendasar bagi
pradewasa juga diperlukan agar generasi penerus tetap bermutu. Orang tua
yang terdidik mementingkan sekolah anak-anak mereka. Orang tua yang
sehat jasmani dan rohaninya, selalu menjaga tingkah laku kebutuhan, baik
fisik maupun emosional anak-anak mereka.
d. Lintas Sektoral; Nasib anak tergantung dari berbagai faktor lain yang mikro maupun makro, yang langsung maupun tidak langsung.
Kemiskinan, perencanaan kota dan segala penggusuran, sistem pendidikan
yang menekankan hafalan dan bahan-bahan yang tidak relevan, komunitas
yang penuh dengan ketidakadilan, dan sebagainya, tidak dapat ditangani
oleh sektor terlebih keluarga atau anak itu sendiri. Perlindungan terhadap
anak adalah perjuangan yang membutuhkan sumbangan semua orang di
semua tingkatan.33
33
F. Metodologi Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini metode yuridis Normatif
yaitu penelitian yang dilakukan degan cara meneliti bahan pustaka (data
sekunder) atau penelitian hukum perpustakaan. Pada penelitian normatif data
sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tirtier. Pelaksanaan
penelitian normatif secara garis besar ditujukan kepada :34 a. Penelitian Terhadap Asas-asas Hukum
b. Penelitian terhadap sistematika hukum
c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum
d. Penelitian terhadap sejarah hukum
e. Penelitian Terhadap Perbandingan hukum
Dalam hal ini penulis menggunakan penelitian yuridis normatif untuk
meneliti bahan pustaka yang berhubungan dengan permasalahan skripsi ini
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positip), putusan
pengadilan, serta literature yang berkaitan dengan permasalahan dalam
skripsi.
2. Metode Pendekatan
Metode Pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan sosiologis,
yang dimulai dari berlakunya Undang-undang yang mengatur Anak sebagai
Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang dan pengaruh berlakunya
34
peraturan perundang-undangan tersebut terhadap kehidupan masyarakat serta
faktor non hukum terhadap berlakunya ketentuan hukum positif.
3. Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel
Lokasi penelitian penulis dalam menyusun skripsi ini adalah Pengadilan
Negeri Medan.
4. Alat Pengumpul Data
Pada umumnya para peneliti mempergunakan alat pengumpul data
berupa:35
a. Studi kepustakaan/studi dokumen (Documentary Study)
b. Wawancara (Interview)
c. Daftar pertanyaan (Kuesioner angket)
d. Pengamatan (Observasi)
Alat pengumpul data dalam penelitian ini berupa Studi
Kepustakaan/studi dokumen (Documentary Study) yaitu dengan
melakukan penelitian terhadap data sekunder yang meliputi:
Peraturan-peraturan nasional yang berhubungan dengan tulisan ini, Yurisprudensi
yaitu putusan pengadilan Negeri Medan No.1033/Pid.B/2013/PN.Mdn,
serta penelitian terhadap Bahan Hukum Sekunder, yang meliputi karya
penelitian, karya dari kalangan hukum lainnya, dan hasil penelitian. dan
bahan-bahan penunjang yang mencakup bahan-bahan yang memberi
petunjuk-petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, seperti: kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya.
35
5. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
Prosedur pengambilan dan pengumpulan data diperoleh dengan cara
melakukan studi kepustakaan (library research) dengan tujuan mencari
konsep-konsep, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang relevan
dengan pokok permasalahan melalui peraturan perundang-undangan yang
mengatur perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan
orang.
6. Analisis data
Analisi data dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif yaitu
dengan menganalisis melalui data lalu diorganisasikan dalam pendapat atau
tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka kemudian
dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam
skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih jelas dan terarahnya penulisan skripsi ini, maka akan dibahas
dalam bentuk sistematika, yaitu sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Merupakan bab pendahuluan yang mengemukakan tentang latar
belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metodologi
BAB II PENGATURAN HUKUM POSITIP TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Merupakan bab kedua yang membahas pengaturan hukum positip
Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana
perdagangan orang dari UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tinak Pidana Perdagangan Orang, UU Nomor 35
tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 13 tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban serta Peraturan Pemerintah Nomor
9 tahun 2008, Perda Nomor 6 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan
Pengahapusan Tindak Pidana Perdagangan Perempuan dan Anak di
Sumatera Utara
BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Merupakan bab yang membahas mengenai Faktor Penyebab
terjadinya Tindak Pidana Perdagangan orang yaitu faktor Intern
yang meliputi faktor Individual, faktor Ekonomi, faktor Pendidikan
dan faktor menikah muda. Serta faktor ekstern yaitu faktor
lingkungan, faktor lemahnya penegakan hukum dan faktor konflik
sosial perang.
BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MEMBERIKAN
KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PUTUSAN NOMOR : 1033/Pid.B/2013/PN.Mdn
Merupakan bab yang berisi upaya perlindungan hukum terhadap
anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang yang
meliputi upaya penal dan upaya non penal dan analisis kasus
terhadap putusan nomor : 1033/Pid.B/2013/PN.Mdn meliputi
Posisi kasus, pertimbangan hukum, putusan hakim dan analisis
hukum
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN :
Bab terakhir ini berisi kesimpulan mengenai bab-bab yang telah
dibahas sebelumnya dan pemberian saran-saran dari penulis yang