• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak Restitusi Sebagai Bentuk Perlindungang Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Kasus Nomor 1554 Pid.B 2012 PN.MDN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hak Restitusi Sebagai Bentuk Perlindungang Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Kasus Nomor 1554 Pid.B 2012 PN.MDN)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Dewasa ini, Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan salah satu perbuatan yang sangat meresahkan masyarakat. Dikatakan meresahkan masyarakat karena akibat dari pada perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan masyarakat itu sendiri. Tindak pidana perdagangan orang juga dapat mengakibatkan terampasnya hak asasi yang dimiliki oleh setiap manusia. Hak Asasi itu sendiri merupakan pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus di lindungi oleh negara hal ini didasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Perdagangan orang bertentangan dengan hak asasi manusia karena perdagangan orang melalui cara ancaman, pemaksaan, penculikan, penipuan, kecurangan, kebohongan dan penyalahgunaan kekuasaan serta bertujuan prostitusi, pornografi, kekerasan atau eksploitasi, kerja paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa. Jika salah satu cara tersebut diatas terpenuhi, maka terjadi perdagangan orang yang termasuk sebagai kejahatan yang melanggar hak asasi manusia.1

Maraknya issue perdagangan orang ini diawali dengan semakin meningkatnya pencari kerja baik laki-laki maupun perempuan bahkan anak-anak untuk bermigrasi ke luar daerah sampai ke luar negeri guna mencari pekerjaan. Kurangnya pendidikan dan

keterbatasan informasi yang dimiliki menyebabkan mereka rentan terjebak dalam perdagangan orang. Berbagai penyebab yang mendorong terjadinya hal tersebut diatas, diantaranya yang dominan adalah faktor kemiskinan, ketidaktersediaan lapangan kerja, perubahan orientasi pembangunan dari pertanian ke industri serta krisis ekonomi yang tidak berkesudahan.2

Pertumbuhan dan perkembangan kejahatan tidak dapat terlepas dari korban. Korban tidak saja dipahami sebagai objek dari suatu kejahatan, akan tetapi dipahami sebagai subjek yang perlu mendapat perlindungan baik secara sosial maupun hukum. Pada dasarnya korban adalah orang, baik sebagai individu, kelompok ataupun masyarakat yang telah menderita kerugian yang secara langsung telah terganggu akibat pengalamannya sebagai sasaran dari kejahatan.3

1 Farhana. Aspek Hukum Perdagangan Orang Indonesia . Jakarta : Sinar Grafika, 2010.

halaman 11.

2 Ibid. halaman 4-5. 3

(2)

Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, justru tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak dipedulikan sama sekali. Padahal masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga korban kejahatan.4

Setiap penanganan perkara pidana aparat penegakan hukum (polisi, jaksa) seringkali dihadapkan pada kewajiban untuk melindungi dua kepentingan yang terkesan saling

berlawanan, yaitu kepentingan korban yang harus dilindungi untuk memulihkan penderitaannya karena telah menjadi korban kejahatan (secara mental, fisik maupun

material), dan kepentingan tertuduh/tersangka sekalipun dia bersalah, tetapi dia tetap sebagai manusia yang memiliki hak asasi yang tidak boleh dilanggar. Tetapi apabila atas

perbuatannya itu belum ada putusan hakim yang menyatakan bahwa pelaku bersalah. Oleh karena itu, pelaku harus dianggap sebagai orang yang tidak bersalah (asas praduga tak bersalah).5

Menyadari kenyataan bahwa dalam penyelesaian perkara pidana, seringkali hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Andi Hamzah: “Dalam membahas hukum acara pidana, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk

mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak para korban.6

Kedudukan hubungan antara pelaku kejahatan dengan saksi atau korban dalam suatu perstiwa pidana, dalam sejarah kriminalitas di dunia menunjukkan salah satu subjek hukum yang terabaikan oleh para pakar atau ilmuan, maupun masyarakat dalam menanggapi terjadinya suatu peristiwa pidana. Setiap terjadinya pengungkapan kasus pidana, seolah-olah keberhasilan pengungkapan peristiwa pidana ini, merupakan jasa dari para penegak hukum. disadari atau tidak bahwa keberhasilan dalam pengungkapan suatu peristiwa pidana ini, merupakan peran peran serta dan tanggung jawab hukum dari para saksi dan atau korban yang terlibat langsung dalam suatu peristiwa pidana yang terjadi.7

Pembahasan tentang pemberian perlindungan saksi dan korban, maka harus dipahami terhadap kedudukan saksi dan korban dalam suatu tindak pidana, yang dapat ditelusuri

4 Dikdik M.Arief Mansur Dan Elistaris Gultom. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan

Antara Norma dan Realita. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006. halaman 24.

5

Ibid. halaman 24-25.

6 Andi Hamzah. Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana. Bandung : Binacipta, 1986. halaman 33.

7 Siswanto Sunarso. Viktimologi dalam Sistem Peradilan P idana. Jakarta : Sinar Grafika,

(3)

melalui peranan serta hak dan kewajiban para saksi dan korban dalam suatu peristiwa pidana. Peranan saksi dan korban mempunyai peranan dan tanggung jawab fungsional yang

melibatkan dirinya sebagai korban. Keterlibatan ini penting untuk bahan mengukur suatu keterlibatan dan peran serta tanggung jawab dalam hal terjadinya peristiwa pidana.

Terhadap tindak pidana perdagangan orang, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mengatur tentang berbagai ketentuan yang dapat mengantisipasi dan menjaring semua jenis tindak pidana perdagangan orang, mulai dari proses dan cara, sampai kepada tujuan, dalam semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam

perdagangan orang, baik yang dilakukan antar wilayah yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri dan baik yang dilakukan oleh perorangan, kelompok maupun yang dilakukan oleh suatu korporasi. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga mengatur tentang perlindungan saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum untuk memberikan perlindungan kepada korban dan/atau saksi.

Perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perdagangan orang dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian hak restitusi yang harus diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai bentuk ganti kerugian yang telah dialami oleh korban, dan memberikan hak korban atas rehabilitasi medis, psikologis dan sosial, pemulangan serta integrasi yang wajib dilakukan oleh negara, khususnya bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat dari tindak pidana perdagangan orang.

Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi dari pelaku. Restitusi ini merupakan ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis dan/atau kerugian lain yang diderita oleh korban sebagai akibat dari perdagangan orang.

Tujuan diberikannya restitusi kepada korban tindak pidana perdagangan orang adalah untuk meringankan penderitaan yang dialami oleh korban baik penderitaan fisik maupun psikis. Akan tetapi, harus ditentukan pula kerugian apa saja yang layak diberikan ganti kerugian. Ganti kerugian yang akan diberikan kepada pelaku harus tetap dipandang sebagai bentuk pidana dan harus disesuaikan dengan ekonomi pelaku.

(4)

B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan pedoman untuk penelitian dan penulisan suatu masalah yang akan diteliti, memudahkan penulis dalam membahas permasalahan, serta memandu penulis agar mencapai sasaran sesuai dengan harapan, tidak terlalu luas, dan yang lebih utamanya adalah terarah. Untuk itu berdasarkan latar belakang yang di kemukakan diatas, maka permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Pengaturan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Di Indonesia ?

2. Bagaimana Hak Restitusi Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan ?

3. Bagaimana Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penerapan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Kasus Nomor 1554/Pid.B/2012/PN.MDN) ?

C. Tujuan Penulisan Dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan Perumusan Masalah diatas, adapun yang menjadi tujuan dari penulisan Skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan hak restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang di Indonesia

2. Untuk mengetahui hak restitusi sebagai bentuk perlindungan terhadap korban tindak kejahatan

(5)

Manfaat Penelitian

Manfaat dalam skripsi ini antara lain adalah : 1. Manfaat Secara Teoritis

Pembahasan terhadap masalah-masalah dalam skripsi ini tentu akan menambah pemahaman dan pandangan baru kepada semua pihak baik masyarakat pada umumnya maupun pihak yang berhubungan dengan dunia hukum pada khususnya. Skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan perundang-undangan dan kebajikan terhadap pemberian hak restitusi sebagai bentuk perlindungan terhadap korban tindak pidana

2. Manfaat Secara Praktis

Penelitian skripsi ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum, dan juga aparat penegak hukum/pemerintah tentang pemberian hak restitusi sebagai bentuk perlindungan terhadap korban tindak pidana khususnya dalam kasus perdagangan orang.

D. Keaslian Penulisan

Penulis mencoba menyajikan sesuai dengan fakta - fakta yang akurat dan dari sumber yang terpercaya dalam hal penulisan skripsi ini, sehingga skripsi ini tidak jauh dari kebenarannya. Dalam menyusun skripsi ini pada prinsipnya penulis

membuatnya dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik dari literatur yang diperoleh penulis dari perpustakaan dan media massa baik cetak maupun media elektronik yang akhirnya penulis tuangkan dalam skripsi ini. Kemudian setelah penulis memeriksa judul-judul skripsi yang ada di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), maka judul mengenai “Hak Restitusi Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Kasus Nomor

:1554/Pid.B/2012/PN.MDN”) ” belum ada yang mengangkatnya, atas dasar itu penulis dapat

mempertanggungjawabkan keaslian skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengaturan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan

(6)

Masalah korban kejahatan menimbulkan berbagai permasalahan dalam masyarakat pada umumnya dan pada korban/pihak korban kejahatan pada khususnya. Belum adanya perhatian dan pelayanan terhadap para korban kejahatan suatu masyarakat merupakan tanda belum atau kurang adanya keadilan dan pengembangan kesejahteraan dalam masyarakat tersebut. Ini berarti juga bahwa citra mengenai sesama manusia dalam masyarakat tersebut masih juga belum memuaskan dan perlu disempurnakan demi pembangunan manusia seutuhnya.8

Jika dilihat dalam pengaturan hukum Indonesia, korban selalu menjadi pihak yang paling dirugikan. Selain korban telah menderita kerugian akibat kejahatan yang menimpa dirinya, baik secara materiil, fisik maupun psikologis, korban juga harus menanggung derita berganda karena tanpa disadari sering diperlakukan hanya sebagai sarana demi terwujudnya sebuah kepastian hukum.

Perlindungan hukum terhadap korban selama ini didasarkan pada KUHP sebagai sumber hukum materiil, dengan menggunakan KUHAP sebagai hukum acaranya. Didalam KUHP lebih banyak diatur mengenai tersangka daripada mengenai korban. Kedudukan korban dalam KUHP tampaknya belum optimal dibandingkan dengan kedudukan pelaku. Hal ini dapat dijelaskan dalam penjelasan sebagai berikut :9

Pertama, KUHP belum secara tegas merumuskan ketentuan yang secara konkrit atau langsung memberikan perlindungan hukum terhadap korban misalnya dalam hal penjatuhan pidana wajib dipertimbangkan pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban. KUHP juga tidak merumuskan jenis pidana restitusi (ganti rugi) yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi korban dan/atau keluarga korban.

Rumusan pasal-pasal dalam KUHP cenderung berkutat pada rumusan tindak pidana, pertanggungjawaban dan ancaman pidana. Hal ini tidak terlepas pula dari doktrin hukum pidana yang melatarbelakanginya sebagaimana dikatakan oleh Herbert Packer dan Muladi bahwa masalah hukum pidana meliputi perbuatan yang dilarang atau kejahatan (offense), orang yang melakukan perbuatan terlarang dan mempunyai aspek kesalahan (guilt), serta ancaman pidana (punishment).

Kedua, KUHP menganut aliran neoklasik yang antara lain menerima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan bagi pelaku tindak pidana yang menyangkut fisik, lingkungan serta mental. Demikian pula dimungkinkannya aspek-aspek yang meringankan pidana bagi pelaku tindak pidana dengan pertanggungjawaban sebagian, di dalam hal-hal yang khusus, misalnya jiwanya cacat (gila), dibawah umur dan sebagainya.

Pengaturan KUHP berorientasi terhadap pelaku, bahkan korban cenderung dilupakan. Padahal korban merupakan salah satu aspek yang benar-benar mengalami penderitaan akibat perbuatan pelaku. Perlindungan hukum bagi korban seharusnya diatur

8 Arief Gosita. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti, 2009. halaman 17.

(7)

secara eksplisit dalam KUHP. Misalnya dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku dipertimbangkan juga kerugian yang diderita oleh korban atau keluarga korban. Sehingga pelaku bisa saja diberikan pidana ganti rugi yang mungkin akan lebih bermanfaat bagi korban.10

Pengaturan mengenai hak-hak korban didalam KUHP sangat terbatas, oleh karena itu, dibentuklah beberapa peraturan yang mengatur tentang perlindungan terhadap korban khususnya mengenai pemberian restitusi yang diberikan oleh pelaku tindak pidana kepada korban dan/atau keluarga korban. Undang – Undang dan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang restitusi antara lain sebagai berikut :

A. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Kebijakan hukum pidana dapat diawali dari sistem, peranan dan fungsi hukum atau bekerjanya hukum dalam masyarakat. Dengan kata lain dapat dimulai dari usaha dalam membuat atau merumuskan suatu perundang – undangan pidana yang baik, yang tidak dapat terlepas dari tujuan penanggulangan kejahatan.

Penegakan hukum (law enforcement) merupakan gejala sosial (kemasyarakatan), yang merupakan bagian dari kebijakan hukum yang dapat dilakukan secara formulasi, aplikasi/yudikasi, dan eksekusi. Pada tataran formulasi dilaksanakan oleh badan pembuat undang – undang ; tataran aplikasi dilaksanakan oleh aparat penegak hukum; serta tataran eksekusi yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana yang dilaksanakan oleh aparat-aparat pelaksana pidana.11

Indonesia telah berhasil membuat peraturan yang khusus mengatur tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007. Tindak pidana perdagangan orang memuat aspek-aspek yang bertentangan dengan perlindungan dan juga berlawanan dengan kesejahteraan umum. Lebih-lebih praktik daripada tindak pidana perdagangan orang selalu disertai dengan berbagai tindak ancaman dan

kekerasan sehingga menimbulkan ketersiksaan bagi korban pada masa depannya, apalagi korban tindak pidana perdagangan orang pada umumnya adalah pihak dalam kondisi tidak berdaya baik secara fisik maupun ekonomi.

Undang – Undang ini mengatur perlindungan saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum, yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dasar kepada korban dan saksi. Selain itu, undang – undang ini juga memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang dalam

10 Ibid.

11 Henny Nuraeny. Tindak Pidana Perdagangan Orang Kebijakan Hukum Pidana dan

(8)

bentuk hak restitusi yang harus diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai ganti kerugian bagi korban.12

B. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan

atas Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan

Korban

Jaminan perlindungan terhadap saksi dan korban memiliki peranan penting dalam proses peradilan pidana sehingga dengan keterangan saksi dan korban yang diberikan secara bebas dari rasa takut dan ancaman dapat mengungkapkan suatu tindak pidana.

Keberadaan saksi dan korban merupakan hal yang sangat menentukan dalam pengungkapan tindak pidana pada proses peradilan pidana. Oleh karena itu, terhadap saksi dan korban diberikan perlindungan pada semua tahap proses peradilan pidana. Ketentuan mengenai subjek hukum yang dilindungi dalam Undang – Undang ini diperluas selaras dengan perkembangan hukum dimasyarakat.

Pada saat proses peradilan pidana, saksi dan korban memegang peranan kunci dalam upaya mengungkap suatu kebenaran materiil. Pasal 184 Ayat (1) KUHAP

menyebutkan bahwa keterangan saksi ditempatkan pada urutan pertama diatas alat bukti lain berupa keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Pada saat saksi (korban) akan memberikan keterangan tentunya harus disertai jaminan bahwa yang bersangkutan terbebas dari rasa takut sebelum, pada saat, dan setelah memberikan kesaksian. Jaminan ini penting untuk diberikan guna memastikan bahwa keterangan yang akan diberikan benar-benar murni bukan hasil rekayasa apalagi hasil dari tekanan pihak-pihak tertentu.

Kedudukan korban tidak hanya sekedar dapat ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan atau dapat memperoleh informasi mengenai putusan pengadilan ataupun korban dapat mengetahui dalam hal terpidana

dibebaskan. Namun, sebagai pihak yang dirugikan korban pun berhak untuk memperoleh ganti rugi dari apa-apa yang diderita. Korban tindak pidana berhak mendapat perlindungan seperti mendapat restitusi dari pelaku tindak pidana. Pengaturan mengenai restitusi terdapat dalam Pasal 7 A Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.

12 Lihat penjelasan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak

(9)

C. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 Tentang

Kompensasi, Restitusi, Dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi

Manusia Yang Berat

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan

keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan Anugerah – Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan harus dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok orang baik sipil, militer, maupun polisi, maka pihak korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya berhak memperoleh perlindungan salah satunya berupa pemberian restitusi secara cepat, tepat dan layak dalam arti bahwa pihak korban dan/atau ahli warisnya berhak memperoleh ganti kerugian atau pengembalian hak-hak dasarnya yang dilakukan sesuai dengan sasaran yakni korban dan kelurga korban/ahli

warisnya, pelaksanaannya segera diwujudkan, dan pengembalian haknya harus patut sesuai dengan rasa keadilan.

Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 mengatur tentang pemberian restitusi harus yang diberikan oleh pelaku pelanggaran HAM berat kepada korban dan/atau ahli warisnya. Peraturan Pemerintah ini juga mengatur mengenai tata cara pelaksanaan restitusi kepada pihak korban mulai dari proses diterimanya salinan putusan kepada Instansi Pemerintahan Terkait dan korban atau keluarga korban sampai dengan pelaksanaan pengumuman pengadilan dan pelaksanaan laporan.

D. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian

Kompensasi, Restitusi, Dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban

Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang pemberian restitusi oleh pelaku tindak pidana kepada korban dan/atau keluarga korban sebagai bentuk perlindungan atas

penderitaan yang telah dialaminya. Pemberian restitusi dilakukan dengan cara mengajukan permohonan oleh korban, keluarga korban atau kuasanya kepada pengadilan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

(10)

permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada Pengadilan Negeri untuk mendapat penetapan.

Permohonan restitusi diajukan sebelum tuntutan dibacakan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada penuntut umum. Kemudian penuntut umum dalam tuntutannya mencantumkan permohonan restitusi beserta keputusan dan pertimbangannya untuk mendapat putusan pengadilan.

2. Hak Restitusi Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan

Masalah korban bukanlah masalah yang baru, hanya karena hal-hal tertentu kurang diperhatikan, bahkan diabaikan. Apabila mengamati masalah kejahatan menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional, mau tidak mau harus memperhitungkan pernanan korban dalam timbulnya suatu kejahatan. Peran yang dimaksud adalah sebagai sikap dan keadaan diri seseorang yang akan menjadi calon korban ataupun sikap dan keadaan yang dapat memicu seseorang untuk berbuat kejahatan. Permasalahan kemudian, muncul pertanyaan mengapa korban yang telah nyata-nyata menderita kerugian baik secara fisik, mental maupun sosial, justru harus pula dianggap sebagai pihak yang mempunyai peran dan dapat memicu terjadinya kejahatan, bahkan korban pun dituntut untuk memikul

tanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan.13

Korban mempunyai peran yang fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan. Pada kenyataannya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin timbul suatu kejahatan jika tidak ada korban kejahatan, yang merupakan peserta utama dari penjahat dalam hal terjadinya suatu kejahatan dan hal pemenuhan kepentingan si penjahat yang berakibat penderitaan korban.14

Apabila ditinjau dari perspektif tanggungjawab korban itu sendiri maka Stephen Schafer mengemukakan tipologi korban itu menjadi tujuh bentuk, yaitu :15

1. Unrealated victims, adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggungjawab sepenuhnya berada dipihak korban.

2. Provocative victims, merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggungjawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama.

13 Rena Yulia. Op.Cit..halaman 75 14 Ibid.

15

(11)

3. Participating victims, hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di bank dalam jumlah besar tanpa pengawalan, kemudian dibungkus dengan tas plastic sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku. 4. Biologically weak victim, adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban

seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) merupakan potensian

korban kejahatan. Ditinjau dari aspek pertanggungjawaban terletak pada masayarakat atau pemerintahan setempat karena tidak dapat member perlindungan kepada kroban yang tidak berdaya.

5. Socially weak victims, adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawaban secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat.

6. Self victimizing victim, adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu pertanggungjawaban sepenuhnya terletak pada korban karena sekaligus sebagai pelaku kejahatan.

7. Political victims, adalah korban karena lawan politiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik.

Keterlibatan korban dalam hal terjadinya kejahatan, menurut Benjamin Mendelsohn dapat dibedakan menjadi 6 (enam) kategori berdasarkan derajat kesalahannya, yaitu :16 1. Korban sama sekali tidak bersalah ;

2. Seseorang menjadi korban karena kelalaiannya sendiri ;

3. Korban sama salahnya dengan pelaku ; 4. Korban lebih bersalah dari pada pelaku ;

16 Adhi Wibowo. Perlindungan Hukum Korban Amuk Massa : Sebuah Tinjauan Viktimologi.

(12)

5. Korban adalah satu-satunya yang bersalah ; 6. Korban pura-pura dan korban imajinasi.

Melalui kategori diatas, akan dapat diketahui atau berpengaruh pada tingkat pertanggungjawaban pelaku tindak pidana, sehingga disamping menentukan derajat pelaku juga. Sekaligus dapat dipakai untuk menentukan bentuk perlindungan kepada korban, yaitu dalam pengertian besarnya jumlah restitusi ataupun kompensasi yang akan diberikan kepada korban. Dengan demikian, hukum pidana tidak lagi hanya berorientasi semata-mata pada pelaku tindak pidana, melainkan juga memperhatikan kepentingan korban.17

3. KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENERAPAN HAK RESTITUSI

TERHADAP PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN

ORANG

Secara gradual dan fundamental, terminologi kebijakan berasal dari istilah policy (inggris) atau politiek (Belanda). Terminologi ini dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan mengalokasikan hukum/peraturan dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau

kemakmuran masyarakat (warga negara)18

Menurut Sudarto, politik kriminal dapat diberikan arti sempit, lebih luas dan paling luas yaitu : 19

a. Dalam arti sempit, politik kriminal digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana. b. Dalam arti yang lebih luas, ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak

hukum, termasuk didalamnya cara kerja pengadilan dan polisi

17 Ibid. halaman. 40

18 Lilik Mulyadi. Bunga Rampai Hukum Pidana Prespektif, Teoretis Dan Praktik. Bandung :

PT.Alumni, 2008.halaman 389.

19

(13)

c. Dalam arti yang paling luas, ia merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral masyarakat.

Penegakan norma-norma sentral itu dapat diartikan sebagai penanggulangan kejahatan. Melaksanakan politik kriminal berarti mengadakan pemilihan dari sekian banyak alternatif, mana yang paling efektif dalam usaha penanggulangan kejahatan.

Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam yaitu :20

1. Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) ; dan

2. Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana diluar hukum pidana (non-penal policy)

Pada dasarnya penal policy lebih menitik beratkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non-penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana.

Marc Ancel menyatakan bahwa “modern criminal science” terdiri dari tiga

komponen “Criminology”, “Criminal Law” dan “Penal Policy”. Marc Ancel mengemukakan bahwa “Penal Policy”adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang, dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan21.

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu sering dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari

penegakan hukum (Law enforcement policy). Usaha penanggulangan kejahatan lewat

20 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. Politik Hukum Pidana : Kajian Kebijakan

Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005. halaman.17.

21 Barda Nawawi Arief. Kebijakan Hukum Pidana : Perkembangan Penyusunan Konsep

(14)

undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). 22

Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi, di dalam pengertian “social policy” sekaligus tercakup di dalamnya “social welfare policy” dan”social derence policy”. Dilihat dalam arti luas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana material, di bidang hukum formal dan di bidang hukum pelaksanaan pidana.23

F. Metode Penelitian

a. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan adalah metode penelitian hukum yang Yuridis Normatif dinamakan juga dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tirtier. Pelaksanaan penelitian normatif secara garis besar ditujukan kepada :24

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum. b. Penelitian terhadap sistematika hukum. c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum. d. Penelitian terhadap sejarah hukum. e. Penelitian terhadap perbandingan hukum.

Dalam hal penelitian hukum normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini.

b. Metode Pendekatan

22

Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana . Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996. halaman. 29-30.

23 Ibid. halaman. 30.

24 Ediwarman. Monograf Metodologi Penelitian Hukum : Panduan Penulisan Skripsi, Tesis

(15)

Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif.

c. Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel

Lokasi penelitian penulis dalam menyusun skripsi ini adalah Pengadilan Negeri Medan.

d. Alat Pengumpulan Data

Berdasarkan pendekatan dan data dalam penelitian ini, maka metode pengumpulan data yang dipakai adalah studi kepustakaan, yaitu menelaah bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan hak restitusi sebagai bentuk perlindungan terhadap korban tindak pidana perdagangan orang.

e. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Prosedur pengumpul dan pengambilan data yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah studi kepustakaan (library research), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai literatur yang relevan dengan permasalahan skripsi ini seperti, buku-buku, makalah, artikel dan berita yang diperoleh penulis dari internet yang bertujuan untuk mencari atau memperoleh konsepsi-konsepsi, teori-teori atau bahan-bahan yang berkenaan dengan hak restitusi sebagai bentuk perlindungan terhadap korban tindak pidana perdagangan orang.

f. Analisis Data

Referensi

Dokumen terkait

13 Tahun 2006 tidak serta merta dapat memberikan hak mengenai restitusi kepada korban tindak pidana yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana, karena pemberian

Fakta di lapangan memperlihatkan bahwa sejak tahun 2007 hingga saat ini, kasus tindak pidana perdagangan orang yang korbannya mendapatkan restitusi baru ada satu

Kebijakan Hukum Pidana dalam memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang. Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan

Permasalahan: Bagaimanakah pelaksanaan putusan hakim yang mencantumkan restitusi dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang terhadap putusan nomor 1633/PID/B/2008/PN TK dan

Bentuk perlindungan hukum bagi anak yang menjadi korban dengan memberikan restitusi terhadap anak tersebut sebagai tanggung jawab pelaku untuk memenuhi hak anak yang menjadi

Korban tindak pidana yang ditetapkan dalam keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Restitusi yang dimaksud berupa ganti kerugian atas kehilangan

Selain itu, Undang-Undang ini juga memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang dalam bentuk hak

Selain itu undang-undang ini juga rnernberikan perhatian dan perlindungan terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang dalarn bentuk hak restitusi yang