• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak Restitusi Sebagai Bentuk Perlindungang Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Kasus Nomor 1554/Pid.B/2012/PN.MDN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hak Restitusi Sebagai Bentuk Perlindungang Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Kasus Nomor 1554/Pid.B/2012/PN.MDN)"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

HAK RESTITUSI SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP

KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

(Studi Kasus Nomor 1554/Pid.B/2012/PN.MDN)

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk

Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

JUNITA

110200465

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

HAK RESTITUSI SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGANG TERHADAP

KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

(Studi Kasus Nomor 1554/Pid.B/2012/PN.MDN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk

Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

JUNITA

110200465

Disetujui :

Ketua Departemen Hukum Pidana

(Dr. M.Hamdan, SH., M.H)

NIP: 195703261986011001

Dosen Pembimbing I

Dosen Pembimbing II

(Prof.Dr.Ediwarman,SH.M.Hum)

(Rafiqoh Lubis,SH.M.Hum)

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa,

karena atas berkat dan kasih karunia-Nya telah memberikan kesempatan, kesehatan

dan kekuatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi

ini. Skripsi ini diberi judul “ Hak Restitusi Sebagai Bentuk Perlindungan

Terhadap

Korban

Tindak

Pidana

Perdagangan

Orang

(Studi

Kasus

:

1554/Pid.B/2012/PN.MDN)” yang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi

dalam meraih gelar Sarjana Hukum.

Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar - besarnya

kepada semua pihak yang telah memberi dukungan serta doanya sehingga skripsi ini

dapat diselesaikan, khususnya penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1.

Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, .M.Hum, selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara ;

2.

Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ;

3.

Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.H, DFM. selaku Wakil Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ;

4.

Bapak Muhammad Husni, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara ;

5.

Bapak Dr. M. Hamdan, SH., M.H, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana

(4)

6.

Ibu Liza Erwina, SH., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana

Universitas Sumatera Utara ;

7.

Bapak Prof. Dr. Ediwarman, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang

telah meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan dan memberi

masukan yang sangat berguna kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini ;

8.

Ibu Rafiqoh Lubis, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang dengan

sabar telah meluangkan waktunya untuk membimbing , mengarahkan dan

memberikan masukan yang sangat berharga kepada penulis sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini ;

9.

Bapak Syaiful Azam, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik

10.

Seluruh Dosen dan staf pengajar yang telah mengajar dan membimbing

penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara ;

11.

Seluruh Staff Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpustakaan serta para

pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ;

12.

Kepada Orang Tua penulis yaitu Setia Budi Ginting (Ayah) dan Marheni

Sentosa Br.Purba (Ibu), terimakasih pah, mah untuk dukungan doanya, untuk

kasih sayang dan perhatian kalian yang luar biasa tulus, terima kasih untuk

semangat yang kalian berikan. Terima kasih untuk

kalimat “Selamat berjuang ya

nak ku, toga dan kebaya sudah menunggu” yang selalu di ucapkan oleh kedua

(5)

13.

Kepada kakak tercinta Jefi Rina Ginting, SE. dan adik tercinta Theresiana

Ginting, terima kasih untuk dukungan kalian, untuk semangat dan kasih sayang

kalian.

14.

Kepada sahabat

sahabat seperjuangan Rani Trisna T dan Ferdinan Patar

Wisuda Manurung, terima kasih untuk perjuangan nya, terima kasih untuk

dukungan kalian dan semangat kalian.

15.

Kepada Sahabat

sahabat Autis ku Marisa Lavona, Eva Sandra Indah, Maria

Oktaviani, David Setiawan dan Adi Pratama Sucipto. Terimakasih untuk

semangatnya dan selalu sabar menunggu ku pulang ke Jakarta untuk berkumpul

kembali..

16.

Serta ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan

bantuan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini yang penulis tidak dapat

sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna dan masih

banyak kekurangan oleh karena itu penulis membutuhkan kritik dan saran dari

pembaca demi kebaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaar

kepada semua pihak

Medan, April 2015

Penulis,

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………...….…… i

DAFTAR ISI

………. iv

ABSTRAK ………... viii

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar

Belakang ………..… 1

B.

Perum

usan Masalah ……….. 6

C.

Tujua

n dan Manfaat Penulisan ……….………... 6

D.

Keasli

an Penulisan ………. 7

E.

Tinjau

an Kepustakaan

1.

Pengat

uran Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak……….... 8

Pidana Perdagangan Orang Di Indonesia

2.

Hak

Restitusi Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap……….15

(7)

3.

Kebija

kan Hukum Pidana Dalam Penerapan Hak Restitusi

…….... 18

Terhadap Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan

Orang (Studi Kasus No. 1554/Pid.B/2012/PN.MDN

F.

Metod

e Penelitian

a.

Spesifi

kasi Penelitian ………... 21

b.

Metode

Pendekatan ………. 22

c.

Lokasi

Penelitian, Populasi dan Sampel

……….. 22

d.

Alat

Pengumpulan Data ………... 22

e.

Prosed

ur Pengambilan dan Pengumpulan Data ………23

f.

Analisi

s Data ………... 23

(8)

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

B.

Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 ………… 29

Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

C.

Peratutan Pemerintah Repubilk Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 …….. 31

Tentang Kompensasi, Restitusi Dan Rehabilitasi Terhadap

Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat

D.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 …… 33

Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, Dan Bantuan

Kepada Saksi Dan Korban

BAB III HAK

RESTITUSI

SEBAGAI

BENTUK

PERLINDUNGAN

TERHADAP KORBAN KEJAHATAN

A.

Ganti Rugi ………... 38

B.

Bentuk Pemulihan Nama Baik

……….45

BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENERAPAN HAK

RESTITUSI TERHADAP PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK

PIDANA

PERDAGANGAN

ORANG

(Studi

Kasus

Nomor

:1554/Pid.B/2012/PN.MDN)

A.

Kebijakan Penal ……… 51

B.

Kebijakan Non Penal

……….... 73

(9)

Pengadilan Negeri Medan (Nomor 1555/Pid.B/2012/PN.MDN)

1.

Kasus Posisi

……….…78

2.

Pertimbangan Hukum

……… 86

3.

Penerapan Hukum

……… 95

4.

Analisis Hukum

………

97

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A.

Kesimpulan

………. 106

B.

Saran

………. 107

DAFTAR PUSTAKA

……….. 109

DAFTAR TABEL

Tabel 1

: Sanksi Tindak Pidana Perdagangan Orang

………... 58

Tabel 2

: Sanksi Tind

ak Pidana Perdagangan Orang ……….62

Yang Berhubungan Dengan Tindak Pidana

(10)

ABSTRAK

- Junita *

- Ediwarman **

- Rafiqoh Lubis ***

Perdagangan orang dianggap sama dengan perbudakan yang artinya sebagai

suatu kondisi seseorang yang berada dibawah kepemilikan orang lain. Tindak pidana

perdagangan orang merupakan pelangggaran hak asasi manusia yang memperlakukan

korban semata-mata sebagai komoditi yang dibeli, dijual, dikirim dan dijual kembali.

Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis akan membahas mengenai,

Pengaturan hak restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang di

Indonesia, Hak restitusi sebagai bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dan

Kebijakan hukum pidana dalam penerapan hak restitusi terhadap korban tindak

pidana perdagangan orang (studi kasus nomor 1554/Pid.B/2012/PN.MDN).

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah

dengan menggunakan metode penelitian normatif yakni dengan pengumpulan data

secara Studi Kepustakaan yaitu dengan meneliti bahan - bahan pustaka atau data -

data sekunder. Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

data sekunder dan data primer pihak yang berwenang berupa peraturan perundang -

undangan, keputusan presiden, peraturan menteri, peraturan pemerintah, peraturan

daerah. Bahan hukum sekunder berupa buku

buku, kamuskamus hukum, jurnal

-jurnal hukum, dan putusan pengadilan

Pengaturan restitusi diatur didalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor

31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002

Tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak

Asasi Manusia Yang Berat dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 Tentang

Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Hukum Kepada Saksi dan Korban.

Salah satu bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan adalah dengan

memberikan hak restitusi terhadap korban kejahatan. Restitusi dapat dilakukan

melalui ganti rugi atau pemulihan nama baik. Hal ini dapat dilihat dari status sosial

pelaku.

Penerapan hak restitusi dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang terhadap kasus

Perdagangan

Orang

pada

Putusan

Pengadilan

Negeri

Medan

Nomor

1554/Pid.B/2012/PN.MDN merupakan bahan penegakan hukum terhadap kasus

tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh terdakwa Andreas Ginting

alias Ucok

* Mahasiswa

(11)

A. Latar Belakang

Dewasa ini, Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan salah satu perbuatan yang sangat meresahkan masyarakat. Dikatakan meresahkan masyarakat karena akibat dari pada perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan masyarakat itu sendiri. Tindak pidana perdagangan orang juga dapat mengakibatkan terampasnya hak asasi yang dimiliki oleh setiap manusia. Hak Asasi itu sendiri merupakan pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus di lindungi oleh negara hal ini didasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Perdagangan orang bertentangan dengan hak asasi manusia karena perdagangan orang melalui cara ancaman, pemaksaan, penculikan, penipuan, kecurangan, kebohongan dan penyalahgunaan kekuasaan serta bertujuan prostitusi, pornografi, kekerasan atau eksploitasi, kerja paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa. Jika salah satu cara tersebut diatas terpenuhi, maka terjadi perdagangan orang yang termasuk sebagai kejahatan yang melanggar hak asasi manusia.1

Maraknya issue perdagangan orang ini diawali dengan semakin meningkatnya pencari kerja baik laki-laki maupun perempuan bahkan anak-anak untuk bermigrasi ke luar daerah sampai ke luar negeri guna mencari pekerjaan. Kurangnya pendidikan dan

keterbatasan informasi yang dimiliki menyebabkan mereka rentan terjebak dalam perdagangan orang. Berbagai penyebab yang mendorong terjadinya hal tersebut diatas, diantaranya yang dominan adalah faktor kemiskinan, ketidaktersediaan lapangan kerja, perubahan orientasi pembangunan dari pertanian ke industri serta krisis ekonomi yang tidak berkesudahan.2

Pertumbuhan dan perkembangan kejahatan tidak dapat terlepas dari korban. Korban tidak saja dipahami sebagai objek dari suatu kejahatan, akan tetapi dipahami sebagai subjek yang perlu mendapat perlindungan baik secara sosial maupun hukum. Pada dasarnya korban adalah orang, baik sebagai individu, kelompok ataupun masyarakat yang telah menderita kerugian yang secara langsung telah terganggu akibat pengalamannya sebagai sasaran dari kejahatan.3

1 Farhana. Aspek Hukum Perdagangan Orang Indonesia . Jakarta : Sinar Grafika, 2010.

halaman 11.

2 Ibid. halaman 4-5. 3

(12)

Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, justru tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak dipedulikan sama sekali. Padahal masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga korban kejahatan.4

Setiap penanganan perkara pidana aparat penegakan hukum (polisi, jaksa) seringkali dihadapkan pada kewajiban untuk melindungi dua kepentingan yang terkesan saling

berlawanan, yaitu kepentingan korban yang harus dilindungi untuk memulihkan penderitaannya karena telah menjadi korban kejahatan (secara mental, fisik maupun

material), dan kepentingan tertuduh/tersangka sekalipun dia bersalah, tetapi dia tetap sebagai manusia yang memiliki hak asasi yang tidak boleh dilanggar. Tetapi apabila atas

perbuatannya itu belum ada putusan hakim yang menyatakan bahwa pelaku bersalah. Oleh karena itu, pelaku harus dianggap sebagai orang yang tidak bersalah (asas praduga tak bersalah).5

Menyadari kenyataan bahwa dalam penyelesaian perkara pidana, seringkali hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Andi Hamzah: “Dalam membahas hukum acara pidana, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk

mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak para korban.6

Kedudukan hubungan antara pelaku kejahatan dengan saksi atau korban dalam suatu perstiwa pidana, dalam sejarah kriminalitas di dunia menunjukkan salah satu subjek hukum yang terabaikan oleh para pakar atau ilmuan, maupun masyarakat dalam menanggapi terjadinya suatu peristiwa pidana. Setiap terjadinya pengungkapan kasus pidana, seolah-olah keberhasilan pengungkapan peristiwa pidana ini, merupakan jasa dari para penegak hukum. disadari atau tidak bahwa keberhasilan dalam pengungkapan suatu peristiwa pidana ini, merupakan peran peran serta dan tanggung jawab hukum dari para saksi dan atau korban yang terlibat langsung dalam suatu peristiwa pidana yang terjadi.7

Pembahasan tentang pemberian perlindungan saksi dan korban, maka harus dipahami terhadap kedudukan saksi dan korban dalam suatu tindak pidana, yang dapat ditelusuri

4 Dikdik M.Arief Mansur Dan Elistaris Gultom. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan

Antara Norma dan Realita. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006. halaman 24.

5

Ibid. halaman 24-25.

6 Andi Hamzah. Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana. Bandung : Binacipta, 1986. halaman 33.

7 Siswanto Sunarso. Viktimologi dalam Sistem Peradilan P idana. Jakarta : Sinar Grafika,

(13)

melalui peranan serta hak dan kewajiban para saksi dan korban dalam suatu peristiwa pidana. Peranan saksi dan korban mempunyai peranan dan tanggung jawab fungsional yang

melibatkan dirinya sebagai korban. Keterlibatan ini penting untuk bahan mengukur suatu keterlibatan dan peran serta tanggung jawab dalam hal terjadinya peristiwa pidana.

Terhadap tindak pidana perdagangan orang, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mengatur tentang berbagai ketentuan yang dapat mengantisipasi dan menjaring semua jenis tindak pidana perdagangan orang, mulai dari proses dan cara, sampai kepada tujuan, dalam semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam

perdagangan orang, baik yang dilakukan antar wilayah yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri dan baik yang dilakukan oleh perorangan, kelompok maupun yang dilakukan oleh suatu korporasi. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga mengatur tentang perlindungan saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum untuk memberikan perlindungan kepada korban dan/atau saksi.

Perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perdagangan orang dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian hak restitusi yang harus diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai bentuk ganti kerugian yang telah dialami oleh korban, dan memberikan hak korban atas rehabilitasi medis, psikologis dan sosial, pemulangan serta integrasi yang wajib dilakukan oleh negara, khususnya bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat dari tindak pidana perdagangan orang.

Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi dari pelaku. Restitusi ini merupakan ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis dan/atau kerugian lain yang diderita oleh korban sebagai akibat dari perdagangan orang.

Tujuan diberikannya restitusi kepada korban tindak pidana perdagangan orang adalah untuk meringankan penderitaan yang dialami oleh korban baik penderitaan fisik maupun psikis. Akan tetapi, harus ditentukan pula kerugian apa saja yang layak diberikan ganti kerugian. Ganti kerugian yang akan diberikan kepada pelaku harus tetap dipandang sebagai bentuk pidana dan harus disesuaikan dengan ekonomi pelaku.

(14)

B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan pedoman untuk penelitian dan penulisan suatu masalah yang akan diteliti, memudahkan penulis dalam membahas permasalahan, serta memandu penulis agar mencapai sasaran sesuai dengan harapan, tidak terlalu luas, dan yang lebih utamanya adalah terarah. Untuk itu berdasarkan latar belakang yang di kemukakan diatas, maka permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Pengaturan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Di Indonesia ?

2. Bagaimana Hak Restitusi Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan ?

3. Bagaimana Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penerapan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Kasus Nomor 1554/Pid.B/2012/PN.MDN) ?

C. Tujuan Penulisan Dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan Perumusan Masalah diatas, adapun yang menjadi tujuan dari penulisan Skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan hak restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang di Indonesia

2. Untuk mengetahui hak restitusi sebagai bentuk perlindungan terhadap korban tindak kejahatan

(15)

Manfaat Penelitian

Manfaat dalam skripsi ini antara lain adalah : 1. Manfaat Secara Teoritis

Pembahasan terhadap masalah-masalah dalam skripsi ini tentu akan menambah pemahaman dan pandangan baru kepada semua pihak baik masyarakat pada umumnya maupun pihak yang berhubungan dengan dunia hukum pada khususnya. Skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan perundang-undangan dan kebajikan terhadap pemberian hak restitusi sebagai bentuk perlindungan terhadap korban tindak pidana

2. Manfaat Secara Praktis

Penelitian skripsi ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum, dan juga aparat penegak hukum/pemerintah tentang pemberian hak restitusi sebagai bentuk perlindungan terhadap korban tindak pidana khususnya dalam kasus perdagangan orang.

D. Keaslian Penulisan

Penulis mencoba menyajikan sesuai dengan fakta - fakta yang akurat dan dari sumber yang terpercaya dalam hal penulisan skripsi ini, sehingga skripsi ini tidak jauh dari kebenarannya. Dalam menyusun skripsi ini pada prinsipnya penulis

membuatnya dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik dari literatur yang diperoleh penulis dari perpustakaan dan media massa baik cetak maupun media elektronik yang akhirnya penulis tuangkan dalam skripsi ini. Kemudian setelah penulis memeriksa judul-judul skripsi yang ada di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), maka judul mengenai “Hak Restitusi Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Kasus Nomor

:1554/Pid.B/2012/PN.MDN”) ” belum ada yang mengangkatnya, atas dasar itu penulis dapat mempertanggungjawabkan keaslian skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

(16)

Masalah korban kejahatan menimbulkan berbagai permasalahan dalam masyarakat pada umumnya dan pada korban/pihak korban kejahatan pada khususnya. Belum adanya perhatian dan pelayanan terhadap para korban kejahatan suatu masyarakat merupakan tanda belum atau kurang adanya keadilan dan pengembangan kesejahteraan dalam masyarakat tersebut. Ini berarti juga bahwa citra mengenai sesama manusia dalam masyarakat tersebut masih juga belum memuaskan dan perlu disempurnakan demi pembangunan manusia seutuhnya.8

Jika dilihat dalam pengaturan hukum Indonesia, korban selalu menjadi pihak yang paling dirugikan. Selain korban telah menderita kerugian akibat kejahatan yang menimpa dirinya, baik secara materiil, fisik maupun psikologis, korban juga harus menanggung derita berganda karena tanpa disadari sering diperlakukan hanya sebagai sarana demi terwujudnya sebuah kepastian hukum.

Perlindungan hukum terhadap korban selama ini didasarkan pada KUHP sebagai sumber hukum materiil, dengan menggunakan KUHAP sebagai hukum acaranya. Didalam KUHP lebih banyak diatur mengenai tersangka daripada mengenai korban. Kedudukan korban dalam KUHP tampaknya belum optimal dibandingkan dengan kedudukan pelaku. Hal ini dapat dijelaskan dalam penjelasan sebagai berikut :9

Pertama, KUHP belum secara tegas merumuskan ketentuan yang secara konkrit atau langsung memberikan perlindungan hukum terhadap korban misalnya dalam hal penjatuhan pidana wajib dipertimbangkan pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban. KUHP juga tidak merumuskan jenis pidana restitusi (ganti rugi) yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi korban dan/atau keluarga korban.

Rumusan pasal-pasal dalam KUHP cenderung berkutat pada rumusan tindak pidana, pertanggungjawaban dan ancaman pidana. Hal ini tidak terlepas pula dari doktrin hukum pidana yang melatarbelakanginya sebagaimana dikatakan oleh Herbert Packer dan Muladi bahwa masalah hukum pidana meliputi perbuatan yang dilarang atau kejahatan (offense), orang yang melakukan perbuatan terlarang dan mempunyai aspek kesalahan (guilt), serta ancaman pidana (punishment).

Kedua, KUHP menganut aliran neoklasik yang antara lain menerima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan bagi pelaku tindak pidana yang menyangkut fisik, lingkungan serta mental. Demikian pula dimungkinkannya aspek-aspek yang meringankan pidana bagi pelaku tindak pidana dengan pertanggungjawaban sebagian, di dalam hal-hal yang khusus, misalnya jiwanya cacat (gila), dibawah umur dan sebagainya.

Pengaturan KUHP berorientasi terhadap pelaku, bahkan korban cenderung dilupakan. Padahal korban merupakan salah satu aspek yang benar-benar mengalami penderitaan akibat perbuatan pelaku. Perlindungan hukum bagi korban seharusnya diatur

8 Arief Gosita. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti, 2009. halaman 17.

(17)

secara eksplisit dalam KUHP. Misalnya dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku dipertimbangkan juga kerugian yang diderita oleh korban atau keluarga korban. Sehingga pelaku bisa saja diberikan pidana ganti rugi yang mungkin akan lebih bermanfaat bagi korban.10

Pengaturan mengenai hak-hak korban didalam KUHP sangat terbatas, oleh karena itu, dibentuklah beberapa peraturan yang mengatur tentang perlindungan terhadap korban khususnya mengenai pemberian restitusi yang diberikan oleh pelaku tindak pidana kepada korban dan/atau keluarga korban. Undang – Undang dan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang restitusi antara lain sebagai berikut :

A. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Kebijakan hukum pidana dapat diawali dari sistem, peranan dan fungsi hukum atau bekerjanya hukum dalam masyarakat. Dengan kata lain dapat dimulai dari usaha dalam membuat atau merumuskan suatu perundang – undangan pidana yang baik, yang tidak dapat terlepas dari tujuan penanggulangan kejahatan.

Penegakan hukum (law enforcement) merupakan gejala sosial (kemasyarakatan), yang merupakan bagian dari kebijakan hukum yang dapat dilakukan secara formulasi, aplikasi/yudikasi, dan eksekusi. Pada tataran formulasi dilaksanakan oleh badan pembuat undang – undang ; tataran aplikasi dilaksanakan oleh aparat penegak hukum; serta tataran eksekusi yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana yang dilaksanakan oleh aparat-aparat pelaksana pidana.11

Indonesia telah berhasil membuat peraturan yang khusus mengatur tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007. Tindak pidana perdagangan orang memuat aspek-aspek yang bertentangan dengan perlindungan dan juga berlawanan dengan kesejahteraan umum. Lebih-lebih praktik daripada tindak pidana perdagangan orang selalu disertai dengan berbagai tindak ancaman dan

kekerasan sehingga menimbulkan ketersiksaan bagi korban pada masa depannya, apalagi korban tindak pidana perdagangan orang pada umumnya adalah pihak dalam kondisi tidak berdaya baik secara fisik maupun ekonomi.

Undang – Undang ini mengatur perlindungan saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum, yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dasar kepada korban dan saksi. Selain itu, undang – undang ini juga memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang dalam

10 Ibid.

11 Henny Nuraeny. Tindak Pidana Perdagangan Orang Kebijakan Hukum Pidana dan

(18)

bentuk hak restitusi yang harus diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai ganti kerugian bagi korban.12

B. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

Jaminan perlindungan terhadap saksi dan korban memiliki peranan penting dalam proses peradilan pidana sehingga dengan keterangan saksi dan korban yang diberikan secara bebas dari rasa takut dan ancaman dapat mengungkapkan suatu tindak pidana.

Keberadaan saksi dan korban merupakan hal yang sangat menentukan dalam pengungkapan tindak pidana pada proses peradilan pidana. Oleh karena itu, terhadap saksi dan korban diberikan perlindungan pada semua tahap proses peradilan pidana. Ketentuan mengenai subjek hukum yang dilindungi dalam Undang – Undang ini diperluas selaras dengan perkembangan hukum dimasyarakat.

Pada saat proses peradilan pidana, saksi dan korban memegang peranan kunci dalam upaya mengungkap suatu kebenaran materiil. Pasal 184 Ayat (1) KUHAP

menyebutkan bahwa keterangan saksi ditempatkan pada urutan pertama diatas alat bukti lain berupa keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Pada saat saksi (korban) akan memberikan keterangan tentunya harus disertai jaminan bahwa yang bersangkutan terbebas dari rasa takut sebelum, pada saat, dan setelah memberikan kesaksian. Jaminan ini penting untuk diberikan guna memastikan bahwa keterangan yang akan diberikan benar-benar murni bukan hasil rekayasa apalagi hasil dari tekanan pihak-pihak tertentu.

Kedudukan korban tidak hanya sekedar dapat ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan atau dapat memperoleh informasi mengenai putusan pengadilan ataupun korban dapat mengetahui dalam hal terpidana

dibebaskan. Namun, sebagai pihak yang dirugikan korban pun berhak untuk memperoleh ganti rugi dari apa-apa yang diderita. Korban tindak pidana berhak mendapat perlindungan seperti mendapat restitusi dari pelaku tindak pidana. Pengaturan mengenai restitusi terdapat dalam Pasal 7 A Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.

12 Lihat penjelasan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak

(19)

C. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi, Dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan

keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan Anugerah – Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan harus dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok orang baik sipil, militer, maupun polisi, maka pihak korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya berhak memperoleh perlindungan salah satunya berupa pemberian restitusi secara cepat, tepat dan layak dalam arti bahwa pihak korban dan/atau ahli warisnya berhak memperoleh ganti kerugian atau pengembalian hak-hak dasarnya yang dilakukan sesuai dengan sasaran yakni korban dan kelurga korban/ahli

warisnya, pelaksanaannya segera diwujudkan, dan pengembalian haknya harus patut sesuai dengan rasa keadilan.

Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 mengatur tentang pemberian restitusi harus yang diberikan oleh pelaku pelanggaran HAM berat kepada korban dan/atau ahli warisnya. Peraturan Pemerintah ini juga mengatur mengenai tata cara pelaksanaan restitusi kepada pihak korban mulai dari proses diterimanya salinan putusan kepada Instansi Pemerintahan Terkait dan korban atau keluarga korban sampai dengan pelaksanaan pengumuman pengadilan dan pelaksanaan laporan.

D. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, Dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban

Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang pemberian restitusi oleh pelaku tindak pidana kepada korban dan/atau keluarga korban sebagai bentuk perlindungan atas

penderitaan yang telah dialaminya. Pemberian restitusi dilakukan dengan cara mengajukan permohonan oleh korban, keluarga korban atau kuasanya kepada pengadilan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

(20)

permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada Pengadilan Negeri untuk mendapat penetapan.

Permohonan restitusi diajukan sebelum tuntutan dibacakan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada penuntut umum. Kemudian penuntut umum dalam tuntutannya mencantumkan permohonan restitusi beserta keputusan dan pertimbangannya untuk mendapat putusan pengadilan.

2. Hak Restitusi Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan Masalah korban bukanlah masalah yang baru, hanya karena hal-hal tertentu kurang diperhatikan, bahkan diabaikan. Apabila mengamati masalah kejahatan menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional, mau tidak mau harus memperhitungkan pernanan korban dalam timbulnya suatu kejahatan. Peran yang dimaksud adalah sebagai sikap dan keadaan diri seseorang yang akan menjadi calon korban ataupun sikap dan keadaan yang dapat memicu seseorang untuk berbuat kejahatan. Permasalahan kemudian, muncul pertanyaan mengapa korban yang telah nyata-nyata menderita kerugian baik secara fisik, mental maupun sosial, justru harus pula dianggap sebagai pihak yang mempunyai peran dan dapat memicu terjadinya kejahatan, bahkan korban pun dituntut untuk memikul

tanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan.13

Korban mempunyai peran yang fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan. Pada kenyataannya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin timbul suatu kejahatan jika tidak ada korban kejahatan, yang merupakan peserta utama dari penjahat dalam hal terjadinya suatu kejahatan dan hal pemenuhan kepentingan si penjahat yang berakibat penderitaan korban.14

Apabila ditinjau dari perspektif tanggungjawab korban itu sendiri maka Stephen Schafer mengemukakan tipologi korban itu menjadi tujuh bentuk, yaitu :15

1. Unrealated victims, adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggungjawab sepenuhnya berada dipihak korban.

2. Provocative victims, merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggungjawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama.

13 Rena Yulia. Op.Cit..halaman 75 14 Ibid.

15

(21)

3. Participating victims, hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di bank dalam jumlah besar tanpa pengawalan, kemudian dibungkus dengan tas plastic sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku. 4. Biologically weak victim, adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban

seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) merupakan potensian korban kejahatan. Ditinjau dari aspek pertanggungjawaban terletak pada masayarakat atau pemerintahan setempat karena tidak dapat member perlindungan kepada kroban yang tidak berdaya.

5. Socially weak victims, adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawaban secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat.

6. Self victimizing victim, adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu pertanggungjawaban sepenuhnya terletak pada korban karena sekaligus sebagai pelaku kejahatan.

7. Political victims, adalah korban karena lawan politiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik.

Keterlibatan korban dalam hal terjadinya kejahatan, menurut Benjamin Mendelsohn dapat dibedakan menjadi 6 (enam) kategori berdasarkan derajat kesalahannya, yaitu :16 1. Korban sama sekali tidak bersalah ;

2. Seseorang menjadi korban karena kelalaiannya sendiri ; 3. Korban sama salahnya dengan pelaku ;

4. Korban lebih bersalah dari pada pelaku ;

16 Adhi Wibowo. Perlindungan Hukum Korban Amuk Massa : Sebuah Tinjauan Viktimologi.

(22)

5. Korban adalah satu-satunya yang bersalah ; 6. Korban pura-pura dan korban imajinasi.

Melalui kategori diatas, akan dapat diketahui atau berpengaruh pada tingkat pertanggungjawaban pelaku tindak pidana, sehingga disamping menentukan derajat pelaku juga. Sekaligus dapat dipakai untuk menentukan bentuk perlindungan kepada korban, yaitu dalam pengertian besarnya jumlah restitusi ataupun kompensasi yang akan diberikan kepada korban. Dengan demikian, hukum pidana tidak lagi hanya berorientasi semata-mata pada pelaku tindak pidana, melainkan juga memperhatikan kepentingan korban.17

3. KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENERAPAN HAK RESTITUSI TERHADAP PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

Secara gradual dan fundamental, terminologi kebijakan berasal dari istilah policy (inggris) atau politiek (Belanda). Terminologi ini dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan mengalokasikan hukum/peraturan dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau

kemakmuran masyarakat (warga negara)18

Menurut Sudarto, politik kriminal dapat diberikan arti sempit, lebih luas dan paling luas yaitu : 19

a. Dalam arti sempit, politik kriminal digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana. b. Dalam arti yang lebih luas, ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak

hukum, termasuk didalamnya cara kerja pengadilan dan polisi

17 Ibid. halaman. 40

18 Lilik Mulyadi. Bunga Rampai Hukum Pidana Prespektif, Teoretis Dan Praktik. Bandung :

PT.Alumni, 2008.halaman 389.

19

(23)

c. Dalam arti yang paling luas, ia merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral masyarakat.

Penegakan norma-norma sentral itu dapat diartikan sebagai penanggulangan kejahatan. Melaksanakan politik kriminal berarti mengadakan pemilihan dari sekian banyak alternatif, mana yang paling efektif dalam usaha penanggulangan kejahatan.

Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam yaitu :20

1. Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) ; dan

2. Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana diluar hukum pidana (non-penal policy)

Pada dasarnya penal policy lebih menitik beratkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non-penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana.

Marc Ancel menyatakan bahwa “modern criminal science” terdiri dari tiga

komponen “Criminology”, “Criminal Law” dan “Penal Policy”. Marc Ancel mengemukakan bahwa “Penal Policy”adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang, dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan21.

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu sering dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari

penegakan hukum (Law enforcement policy). Usaha penanggulangan kejahatan lewat

20 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. Politik Hukum Pidana : Kajian Kebijakan

Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005. halaman.17.

21 Barda Nawawi Arief. Kebijakan Hukum Pidana : Perkembangan Penyusunan Konsep

(24)

undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). 22

Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi, di dalam pengertian “social policy” sekaligus tercakup di dalamnya “social welfare policy” dan”social derence policy”. Dilihat dalam arti luas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana material, di bidang hukum formal dan di bidang hukum pelaksanaan pidana.23

F. Metode Penelitian a. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan adalah metode penelitian hukum yang Yuridis Normatif dinamakan juga dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tirtier. Pelaksanaan penelitian normatif secara garis besar ditujukan kepada :24

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum. b. Penelitian terhadap sistematika hukum. c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum. d. Penelitian terhadap sejarah hukum. e. Penelitian terhadap perbandingan hukum.

Dalam hal penelitian hukum normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini.

b. Metode Pendekatan

22

Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana . Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996. halaman. 29-30.

23 Ibid. halaman. 30.

24 Ediwarman. Monograf Metodologi Penelitian Hukum : Panduan Penulisan Skripsi, Tesis

(25)

Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif.

c. Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel

Lokasi penelitian penulis dalam menyusun skripsi ini adalah Pengadilan Negeri Medan.

d. Alat Pengumpulan Data

Berdasarkan pendekatan dan data dalam penelitian ini, maka metode pengumpulan data yang dipakai adalah studi kepustakaan, yaitu menelaah bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan hak restitusi sebagai bentuk perlindungan terhadap korban tindak pidana perdagangan orang.

e. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Prosedur pengumpul dan pengambilan data yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah studi kepustakaan (library research), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai literatur yang relevan dengan permasalahan skripsi ini seperti, buku-buku, makalah, artikel dan berita yang diperoleh penulis dari internet yang bertujuan untuk mencari atau memperoleh konsepsi-konsepsi, teori-teori atau bahan-bahan yang berkenaan dengan hak restitusi sebagai bentuk perlindungan terhadap korban tindak pidana perdagangan orang.

f. Analisis Data

(26)

BAB II

PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Tindak pidana perdagangan orang telah dikriminalisasi dalam hukum Indonesia. Perdagangan disebut secara eksplisit dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai berikut :

Pasal 297 KUHP menyatakan bahwa :

“ Perdagangan wanita (umur tidak disebutkan) dan perdagangan anak -anak laki- laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun “

Pasal 324 KUHP menyatakan bahwa :

“ Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain menjalankan perniagaan budak atau melakukan perbuatan perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam salah satu perbuatan diatas, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”

Pasal 297 KUHP menjelaskan bahwa perbuatan yang dilarang adalah melakukan perdagangan perempuan dan laki – laki di bawah umur, sementara pada perkembangan saat ini yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang tidak hanya terbatas pada perempuan dan anak laki – laki di bawah umur saja, melainkan sudah meluas, yang tidak terbatas pada usia dan jenis kelamin. Sehingga Pasal 297 KUHP sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kehidupan masyarakat, begitu juga dengan pengenaan sanksi yang diatur dalam Pasal 297 KUHP. Sanksi yang diberikan kepada pelaku tindak pidana perdagangan orang hanya diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun. Hal ini dianggap sudah tidak relevan lagi dengan kondisi kehidupan masyarakat. Karena sanksi yang diberikan terlalu ringan dan tidak sebanding dengan kerugian yang sudah di alami oleh korban baik kerugian fisik maupun kerugian psikis.

Walaupun perdagangan telah diatur dalam didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tetapi dalam praktiknya tidak memberikan perlindungan bagi korban.

(27)

Dengan demikian, pada Tahun 2007 Pemerintah melahirkan Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang – undang ini mengatur lebih khusus mengenai tindak pidana perdagangan orang. Pengaturan larangan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang di atur dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 yang berbunyi :

“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan,

pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penyulikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,

penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang

memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00 (Seratus Dua Puluh Juta Rupiah) dan paling banyak

Rp.600.000.000,00 (Enam Ratus Juta Rupiah).”

Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana

perdagangan orang. Korban tindak pidana perdagangan orang dapat berupa korban langsung ataupun korban tidak langsung. Korban langsung yaitu orang yang mengalami sendiri tindak pidana tersebut sedangkan korban tidak langsung yaitu anggota ahli waris atau keluarga korban yang mengalami tindak pidana perdagangan orang.

Salah satu bentuk perlindungan terhadap korban adalah pemberian restitusi. Tindak lanjut pemberian restitusi diatur dalam pasal 48 sampai dengan pasal 50 Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. a. Pasal 48

1. Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi.

2. Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas: a. kehilangan kekayaan atau penghasilan ;

b. penderitaan ;

c. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis dan/atau d. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat dari perdagangan

orang

(28)

4. Pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama

5. Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus

6. Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

7. Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan.

Dalam Pasal 48 ayat (1), dijelaskan bahwa mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban melaporkan kasus yang dialaminya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan penanganan tindak pidana yang dilakukan. Penuntut umum memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi, selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban akibat tindak pidana perdagangan orang bersamaan dengan tuntutan. Mekanisme ini tidak menghilangkan hak korban untuk mengajukan sendiri gugatan atas kerugiannya.

Dalam ketentuan Pasal 48 ayat (5), penitipan restitusi dalam bentuk uang di pengadilan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang – undangan. Ketentuan ini disamakan dengan proses penanganan perkara perdata dalam konsinyasi. Restitusi yang disebutkan dalam Pasal 48 ayat (6) merupakan pembayaran riil (faktual) dari jumlah restitusi yang diputus yang sebelumnya dititipkan pada pengadilan tingkat pertama.

b. Pasal 49

1. Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan kepada ketua pengadilan yang memutuskan perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi tersebut

2. Setelah ketua pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketua pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut di papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.

(29)

c. Pasal 50

1. Dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi sampai melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 ayat (6), korban atau ahli warisnya memberitahukan hal tersebut kepada pengadilan

2. Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan surat peringatan secara tertulis kepada pemberi restitusi, untuk segera memenuhi kewajiban memberikan restitusi kepada korban atau ahli warisnya.

3. Dalam hal surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilaksanakan dalam waktu 14 (empat belas) hari, pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelang harta tersebut untuk pembayaran restitusi.

4. Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun.

Pengaturan Pasal 50 Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 menunjukkan adanya kemajuan terutama menyangkut tanggungjawab dari pelaku tindak pidana pedagangan orang kepada korban. Namun, kelemahan daripada pasal 50 ini terdapat pada ayat (4) yaitu adanya pengenaan aturan hukuman kurungan sebagai pengganti daripada pelaku. Masalah yang akan muncul adalah apabila pelaku tindak pidana perdagangan orang berupa korporasi, yang tidak mungkin dapat menjalankan hukuman pengganti berupa kurungan. Hukuman kurungan sifatnya hukuman badaniah, yang dapat dikenakan kepada manusia.

Pengaturan Restitusi dalam Undang – undang Nomor 21 Tahun 2007 bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara pelaku dan korban. Kedudukan pelaku dan korban

mendapat perhatian dan pengaturan yang sama. Pelaku mendapat sanksi yang berupa pidana dan tindakan. Penerapan sanksi tersebut merupakan wujud bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum apabila mereka melanggar hukum. Sedangkan korban mendapat perlindungan. Penerapan persamaan kedudukan dalam hukum merupakan

konsekuensi dari penghormatan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.

B. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

(30)

manusia. Perkembangan sistem peradilan pidana saat ini, tidak saja berorientasi kepada pelaku, tetapi juga berorientasi kepada kepentingan saksi dan korban. Oleh karena itu, kelembagaan LPSK harus dikembangkan dan diperkuat agar dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya dapat sinergis dengan tugas, fungsi, dan kewenangan lembaga penegak hukum yang berada dalam sistem peradilan pidana.25

Dasar pertimbangan perlunya Undang – Undang yang mengatur perlindungan korban kejahatan untuk segera disusun dengan jelas dapat dilihat pada bagian menimbang dari Undang – Undang ini, yang antara lain menyebutkan penegak hukum sering mengalami kesukaran dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku karena tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu. Padahal peran saksi dan/atau korban dalam suatu proses peradilan pidana menempati posisi kunci dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mempunyai fungsi dan tugas sebagai berikut :

1. Memberikan layanan perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban dalam setiap proses peradilan pidana

2. Memfasilitasi langkah – langkah pemulihan bagi korban tindak pidana khususnya dalam pengajuan kompensasi atau restitusi

3. Melakukan kerja sama dengan instansi terkait dan berwenang dalam pelaksanaan perlindungan saksi dan korban

Pemulihan korban tindak pidana khususnya dalam pengajuan restitusi diatur dalam pasal 7 A Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2014.

a. Pasal 7 A

1. Korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi berupa : a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan

b. ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau

c. penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis

25 Lihat penjelasan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang

(31)

2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan LPSK.

3. Pengajuan permohonan Restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui LPSK.

4. Dalam hak permohonan Restitusi diajukan sebelum putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya.

5. Dalam hal permohonan Restitusi diajukan setelah putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada pengadilan untuk mendapat penetapan.

6. Dalam hal korban tindak pidana meninggal dunia, Restitusi diberikan kepada Keluarga Korban yang merupakan ahli waris Korban.

C. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi Dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat

Restitusi diatur dalam pasal 2 sampai dengan pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat.

a. Pasal 2

1. Kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi diberikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.

2. Pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilaksanakan secara tepat, cepat dan layak.

(32)

b. Pasal 4

Pemberian restitusi dilaksanakan oleh pelaku atau pihak ketiga berdasarkan perintah yang tercantum dalam amar putusan Pengadilan HAM.

c. Pasal 6

1. Pengadilan HAM mengirimkan salinan putusan pengadilan HAM, Pengadilan Tinggi, atau Mahkamah Agung, yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada Jaksa Agung.

2. Jaksa Agung melaksanakan putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan membuat berita acara pelaksanaan putusan pengadilan kepada Instansi Pemerintah terkait untuk melaksanakan pemberian kompensasi dan atau rehabilitasi, dan kepada pelaku atau pihak ketiga untuk melaksanakan pemberian restitusi.

d. Pasal 7

Instansi Pemerintah Terkait melaksanakan pemberian kompensasi dan atau rehabilitasi serta pelaku atau pihak ketiga melaksanakan pemberian restitusi, paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak berita acara sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) diterima.

e. Pasal 8

1. Pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi, dilaporkan oleh Instansi Pemerintahan yang terkait, pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan HAM yang memutus perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi dan atau rehabilitasi tersebut.

2. Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.

(33)

f. Pasal 9

1. Dalam hal pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi kepada pihak korban melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya dapat melaporkan hal tersebut kepada Jaksa Agung.

2. Jaksa Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) segera memerintahkan Instansi Pemerintah Terkait, pelaku, atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima. g. Pasal 10

Dalam hal pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi dapat dilakukan secara bertahap, maka setiap tahapan pelaksanaan atau kelambatan pelaksanaan harus dilaporkan kepada Jaksa Agung.

D. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, Dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban

Berdasarkan asas kesamaan hukum (equality before the law) yang menjadi salah satu cirri negara hukum, Kedudukan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Pemberian restitusi terhadap korban diatur dalam pasal 20 sampai dengan pasal 33 PP Nomor 44 Tahun 2008 yaitu sebagai berikut :

a. Pasal 20

1. Korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi

2. Permohonan untuk memperoleh restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh korban, keluarga atau kuasanya dengan surat kuasa khusus

3. Permohonan untuk memperoleh restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia diatas kertas bermaterai cukup kepada pengadilan melalui LPSK

b. Pasal 21

Pengajuan permohonan restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah pelaku

(34)

c. Pasal 22

1. Permohonan restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 memuat sekurang-kurangnya :

a. identitas pemohon;

b. uraian tentang tindak pidana; c. identitas pelaku tindak pidana;

d. uraian kerugian yang nyata-nyata diderita; dan e. bentuk restitusi yang diminta

2. Permohonan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri : a. fotokopi identitas korban yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;

b. bukti kerugian yang nyata-nyata diderita oleh korban atau keluarga yang dibuat atau disahkan oleh pejabat yang berwenang;

c. bukti biaya yang dikeluarkan selama perawatan dan/atau pengobatan yang disahkan oleh instansi atau pihak yang melakukan perawatan atau pengobatan; d. fotokopi surat kematian dalam hal korban meninggal dunia;

e. surat keterangan dari Kepolisian Negara Republik Indoenesia yang menunjukkan permohonan sebagai korban tindak pidana;

f. surat keterangan hubungan keluarga, apabila permohonan diajukan oleh keluarga; dan

g. surat kuasa khusus, apabila permohonan restitusi diajukan oleh kuasa korban atau kuasa keluarga

3. Apabila permohonan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perkaranya telah diputus pengadilan dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, permohonan restitusi harus dilampiri kutipan putusan pengadilan tersebut.

d. Pasal 23

1. LPSK memeriksa kelengkapan permohonan restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22

2. Dalam hal terdapat kekuranglengkapan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPSK memberitahukan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi permohonan.

3. Pemohon dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal pemohon menerima pemberitahuan dari LPSK, wajib melengkapi berkas permohonan.

4. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilengkapi oleh pemohon, maka pemohon dianggap mencabut permohonannya.

e. Pasal 24

(35)

f. Pasal 25

1. Untuk keperluan pemeriksaan permohonan restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, LPSK dapat memanggil korban, keluarga, atau kuasanya, dan pelaku tindak pidana untuk member keterangan.

2. Dalam hal pembayaran restitusi dilakukan oleh pihak ketiga, pelaku tindak pidana dalam memberikan keterangan kepada LPSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghadirkan pihak ketiga tersebut.

g. Pasal 26

1. Dalam hal korban, keluarga, atau kuasanya tidak hadir untuk memberikan keterangan 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, permohonan yang diajukan dianggap ditarik kembali.

2. LPSK memberitahukan penarik kembali permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pemohon.

h. Pasal 27

1. Hasil pemeriksaan permohonan restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25 ditetapkan dengan keputusan LPSK, disertai dengan pertimbangannya. 2. Dalam pertimbangan LPSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai

rekomendasi untuk mengabulkan permohonan atau menolak permohonan restitusi.

i. Pasal 28

1. Dalam hal permohonan restitusi diajukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan pelaku tindak pidana dinyatakan bersalah, LPSK menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 kepada pengadilan yang berwenang.

2. Dalam hal permohonan restitusi diajukan sebelum tuntutan dibacakan, LPSK menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada penuntut umum,

3. Penuntut umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam tuntutannya mencantumkan permohonan restitusi beserta Keputusan LPSK dan pertimbangannya.

(36)

1. Dalam hal LPSK mengajuka permohonan rsetitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), pengadilan memeriksa dan menetapkan permohonan restitusi dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima.

2. Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada LPSK dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal penetapan.

3. LPSK menyampaikan salinan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada korban, keluarga, atau kuasanya dan kepada pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal menerima penetapan.

k. Pasal 30

1. Dalam hal LPSK mengajukan permohonan restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), putusan pengadilan disampaikan kepada LPSK dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal putusan.

2. LPSK menyampaikan salinan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada korban, keluarga atau kuasanya dan kepada pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal menerima putusan.

l. Pasal 31

1. Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga melaksanakan penetapan atau putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30 dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal salinan penetapan pengadilan diterima.

2. Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga melaporkan pelaksanaan restitusi kepada pengadilan dan LPSK.

3. LPSK membuat berita acara pelaksanaan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

4. Pengadilan mengumumkan pelaksanaan restitusi pada papan pengumuman pengadilan.

m. Pasal 32

(37)

2. Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) segera memerintahkan kepada pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga untuk melaksanakan pemberian restitusi, dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal perintah diterima.

n. Pasal 33

(38)

BAB III

HAK RESTITUSI SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEJAHATAN

A. Ganti Rugi

Perlindungan korban dalam proses peradilan pidana tentu tidak terlepas dari

perlindungan korban menurut hukum positif yang berlaku. Dalam hukum pidana positif yang berlaku saat ini, perlindungan korban lebih banyak merupakan “perlindungan abstrak” atau “perlindungan tidak langsung”. Artinya, dengan adanya berbagai perumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini, berarti pada hakikatnya telah ada

perlindungan “in abstracto” secara tidak langsung terhadap berbagai kepentingan hukum dan hak-hak asasi korban.26

Dalam kaitannya dengan korban kejahatan, perlindungan hukum yang di berikan oleh undang-undang tidak sebanyak yang diberikan kepada pelaku kejahatan walaupun pada dasarnya korban merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana.

Perlunya diberikan perlindungan hukum kepada korban kejahatan secara memadai tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga merupakan isu internasional. Pentingnya perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian yang serius, dapat dilihat dari bentuk Declaration of Basic Principles of Justice For Victims of Crime and Abuse of Power oleh Perserikatan Bangsa-bangsa sebagai hasil dari The Seventh Untited Nation Conggres on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, yang berlangsung di Milan, Italia, September 1985.27 Menurut Deklarasi Milan 1985, bentuk perlindungan yang diberikan mengalami perluasan tidak hanya ditujukan pada korban kejahatan (victims of crime), tetapi juga perlindungan terhadap korban akibat penyalah gunaak kekuasaan (abuse of power)28

Sepanjang menyangkut masalah korban kejahatan dalam deklarasi PBB tersebut telah menganjurkan agar paling sedikit diperhatikan 4 (empat) hal sebagai berikut : 29

1. Jalan masuk untuk memperoleh keadilan dan diperlakukan secara adil (access to justice and fair treatment) ;

26

Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1998. halaman 83

27 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom.Op.Cit. halaman 23. 28 Ibid.halaman 24.

29

(39)

2. Pembayaran ganti rugi (restution) oleh pelaku tindak pidana kepada korban, keluarganya atau orang lain yang kehidupannya dirumuskan dalam bentuk sanksi pidana dalam perundang-undangan yang berlaku ;

3. Apabila terpidana tidak mampu, negara diharapkan membayar santunan (compensation) financial kepada korban, keluarganya atau mereka yang menjadi tanggungan korban ;

4. Bantuan materiil, medis, psikologis, dan sosial kepada korban, baik melalui negara, sukarelawan, masyarakat (assistance).

Rancangan KUHP baru mengemukakan pemberian restitusi kepada korban dalam kaitannya dengan kepentingan pelaku, yaitu dalam Pasal 52 kelima : Pidana diperingan dalam hal seseorang setelah melakukan tindak pidana, dengan sukarela memberi ganti rugi yang layak atau memperbaiki kerusakan akibat perbuatannya.30

Dilihat dari kepentingan korban dalam konsep ganti rugi terkandung dua manfaat, yaitu untuk memenuhi kerugian materiil dan segala biaya yang telah dikeluarkan dan merupakan pemuasan emosional korban. Adapun dilihat dari sisi kepentingan pelaku, kewajiban mengganti kerugian dipandang sebagai suatu bentuk pidana yang dijatuhkan dan dirasakan sebagai suatu yang konkret dan langsung berkaitan dengan kesalahan yang diperbuat pelaku. Menurut Gelaway merumuskan lima tujuan dari kewajiban mengganti kerugian, yaitu : 31

1. Meringankan penderitaan korban

2. Sebagai unsur yang meringankan hukuman yang akan dijatuhkan 3. Sebagai salah satu cara merehabilitasi terpidana

4. Mempermudah proses peradilan

5. Dapat mengurangi ancaman atau reaksi masyarakat dalam bentuk tindakan balas dendam

30 Maya Indah.Perlindungan Korban: Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi. Jakart :

Kencana PrenadaMedia Group, 2014. halaman 140.

31

(40)

Tujuan pertama untuk meringankan penderitaan korban dapat dipahami sebagai upaya meringankan beban korban, baik penderitan fisik maupun nonfisik. Akan tetapi, harus pula ditentukan kerugian apa saja yang kiranya layak diberikan ganti kerugian. Ganti kerugian yang akan dibebankan kepada pelaku harus tetap dipandang sebagai bentuk pidana dan harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi pelaku. Adapun untuk tujuan kedua, ganti kerugian yang hanya dapat diterapkan untuk jenis pidana yang dapat diganti dengan bentuk lain yang memberikan efek meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Untuk tujuan ketiga berkenaan dengan persepsi dan sikap masyarakat dalam menerima kembali kehadiran pelaku kejahatan. Sikap untuk memilih memberikan ganti kerugian kepada korban akan lebih memberikan peluang kepada pelaku untuk masuk kembali sebagai anggota masyarakat dibandingkan jika ia harus menjalani masa pidana. Tujuan keempat akan mempermudah proses peradilan dan tujuan kelima berkaitan dengan tujuan ketiga yang merupakan langkah untuk mereduksi reaksi masyarakat berupa tindakan balas dendam.32

Dari tujuan yang dirumuskan Galeway, bahwa pemberian ganti kerugian harus dilakukan secara terencana dan terpadu. Artinya, tidak semua korban patut diberikan ganti kerugian karena adapula korban, baik langsung maupun tidak langsung turut terlibat dalam suatu kejahatan. Yang perlu dilayani dan diayomi adalah korban dari golongan masyarakat kurang mampu, baik secara financial maupun sosial.

Bentuk-bentuk pembayaran kepada korban pada dasarnya dibagi menjadi 5 (lima) jenis yaitu :33

1. Ganti kerugian yang berkarakter perdata dan diputus dalam proses perdata. Bentuk ganti kerugian semacam ini tidak dikaitkan dengan fakta penderitaan korban atau kerugian korban diakibatkan oleh kejahatan, karena kejahatan semata-mata dipandang sebagai serangan melawan negara bersifat pidana dan kerugian korban dianggap urusan perdata.

2. Ganti kerugian berkarakter perdata dicampur dengan karakter pidana dengan putusan dalam proses pidana sehingga ganti rugi dianggap berkarakter pidana.

32 Ibid. halaman 164-165.

33 Soeharto.Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa , Dan Korban Tindak Pidana Terorisme

(41)

3. Denda yang bersifat restitusi sebagai kewajiban keuangan bagi pembuat atau kerugian korban dalam proses pidana disamping pidana lain yang diputus oleh peradilan pidana.

4. Kompensasi atas korban kejahatan akan tetapi korban bukan sebagai pihak penuntut tetapi hanya sebagai pemohon dan jika permohonannya dikabulkan hanya merupakan bantuan negara kepada pemohon.

5. Kompensasi terhadap korban sebagai konsekwensi tanggung jawab negara terhadap warganya sehingga pembayaran wajib dari negara dalam hal terjadinya kejahatan (The Criminal Compensation Bill), atau pembayaran sebagai tanggung jawab negara karena negara gagal

Gambar

Tabel 1 Sanksi Tindak Pidana Perdagangan Orang
Tabel 2 Sanksi Tindak Pidana Lain yang Berhubungan Dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Referensi

Dokumen terkait

13 Tahun 2006 tidak serta merta dapat memberikan hak mengenai restitusi kepada korban tindak pidana yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana, karena pemberian

Fakta di lapangan memperlihatkan bahwa sejak tahun 2007 hingga saat ini, kasus tindak pidana perdagangan orang yang korbannya mendapatkan restitusi baru ada satu

Kebijakan Hukum Pidana dalam memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang. Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan

Permasalahan: Bagaimanakah pelaksanaan putusan hakim yang mencantumkan restitusi dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang terhadap putusan nomor 1633/PID/B/2008/PN TK dan

Bentuk perlindungan hukum bagi anak yang menjadi korban dengan memberikan restitusi terhadap anak tersebut sebagai tanggung jawab pelaku untuk memenuhi hak anak yang menjadi

Korban tindak pidana yang ditetapkan dalam keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Restitusi yang dimaksud berupa ganti kerugian atas kehilangan

Selain itu, Undang-Undang ini juga memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang dalam bentuk hak

Selain itu undang-undang ini juga rnernberikan perhatian dan perlindungan terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang dalarn bentuk hak restitusi yang