• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Restitusi Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang Di Tinjau Dari Aspek Perlindungan Terhadap Korban

Menurut penulis dilihat dari sisi ketentuan hukum pidananya maka putusan Hakim sudah tepat dengan adanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Majelis Hakim menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Andreas Ginting alias Ucok berupa pidana penjara selama 3 tahun dan denda sebesar Rp. 120.000.000,-. Selain menjatuhkan pidana tersebut Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan juga menghukum terdakwa untuk memberikan restitusi kepada saksi korban (Lisna Widiyanti) sebagai bentuk perlindungan akibat dari tindak pidana yang dialaminya.

Jika dilihat dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif dan represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah (melalui aparat penegak hukumnya), seperti pemberian perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan hak asasi manusia serta instrument penyeimbang. Dari sinilah dasar filosifis di balik pentingnya korban kejahatan (keluarganya) memperoleh perlindungan.87

Pengkajian terhadap perlunya perlindungan terhadap korban kejahatan dikemukakan oleh Muladi dengan alasan-alasan sebagai berikut :88

1. Proses pemidanaan dalam hal ini mengandung pengertian umum dan konkret. Dalam arti umum, proses pemidanaan sebagai wewenang sesuai asas legalitas, yaitu poena dan crimen harus ditetapkan lebih dahulu apabila hendak menjatuhkan pidana atas diri pelaku pidana. Dalam arti kontret, proses pemidanaan berkaitan dengan penetapan pidana melalui infrastruktur penitensier (hakim, petugas lembaga pemasyarakatan, dan sebagainya). Di sini terkandung tuntutan moral, dalam wujud keterkaitan filosofis pada satu pihak, dan keterkaitan sosiologis dalam kerangka hubungan antar manusia dalam masyarakat. Secara sosiologis masyarakat sebagai “system of institutional trust” / sistem kepercayaan yang melembaga, dan terpadu melalui norma yang diekspresikan dalam sturuktur kelembagaan seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga koreksi. Terjadinya kejahatan atas diri korban bermaksa penghancuran sistem kepercayaan tersebut,

87 Dikdik M. Arief Mansyur dan Elisatris Gultom. Op.Cit. halaman 161. 88

pengaturan hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut masalah korban berfungsi sebagai sarana pengembalian sistem kepercayaan tersebut.

2. Adanya argument kontrak sosial, yaitu negara memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan yang bersifat pribadi, dan argument solidaritas sosial bahwa negara harus menjaga warga negaranya dalam memenuhi kebutuhannya/apabila warga negaranya mengalami kesulitan, melalui kerja sama dalam masyarakat berdasarkan atau menggunakan sarana yang disediakan oleh negara. Hal ini bisa dilakukan baik melalui peningkatan pelayanan maupun melalui pengaturan hak.

3. Perlindungan korban dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat

Berdasarkan alasan yang telah dikemukakan oleh Muladi, penulis sependapat dengan alasan-alasan tersebut. Jika dikaitkan dengan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang yang dialami oleh Lisna Widiyanti dengan nomor perkara 1554/Pid.B/2012/PN.MDN salah satu perlindungan yang diberikan oleh pemerintah yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu dengan

memberikan restitusi kepada saksi korban (Lisna Widiyanti) sebagai bentuk ganti rugi. Jika dilihat dari aspek perlindungan terhadap korban tindak pidana perdagangan

orang, dengan diberikannya restitusi kepada korban merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah agar dapat mengembalikan kepercayaan yang telah hilang dari pihak korban maupun keluarga korban akibat dari suatu tindak pidana yang telah dialaminya. Karena dengan memberikan restitusi kepada saksi korban (Lisna Widiyanti), saksi korban merasa bahwa haknya telah dilindungi oleh pemerintah. Dengan memberikan restitusi sebagai bentuk perlindungan terhadap korban tindak pidana perdagangan orang, secara tidak langsung korban mendapat penghargaan atas hak asasi manusia yang telah diwujudkan dalam bentuk ganti rugi dari pihak pelaku.

Korban tindak pidana perdagangan orang berhak untuk mendapat restitusi karena akibat perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa Andreas Ginting alias Ucok dalam kasus perdagangan orang Nomor 1554/Pid.B/2012/PN.MDN , mengakibatkan saksi korban mengalami kerugian baik fisik maupun psikis. Akibat dari tindak pidana yang dialaminya, saksi korban mengalami trauma terlebih saat tindak pidana terjadi saksi korban masih ditergolong anak dibawah umur. Oleh karena itu, pemberian restitusi oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang yaitu Andreas Ginting alias Ucok sebagai salah satu wujud perlindungan hukum yang diberikan oleh saksi korban dengan harapan bahwa setelah ganti kerugian diberikan oleh terdakwa penderitaan yang dialami oleh saksi korban akan selesai ataupun berkurang

B. Prosedur Permohonan Restitusi Yang Diajukan Oleh Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, kedudukan korban dalam KUHP belum memperhatikan kepentingan korban dibandingkan dengan kepentingan pelaku. Relatif kecil perhatian korban kejahatan termasuk korban tindak pidana perdagangan orang dari pengaturan KUHP yang hanya merumuskan hak korban dalam satu pasal, yaitu Pasal 14c ayat (1) KUHP tentang ganti kerugian kepada korban yang bersifat perdata.89 Pasal 14c ayat 1 menyatakan bahwa :

“Dengan perintah yang tersebut dalam Pasal 14a kecuali jika dijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama dengan perjanjian umum, bahwa siterhukum tidak akan melakukan perbuatan yang dapat dihukum, maka hakim boleh mengadakan perjanjian istimewa, bahwa siterhukum akan mengganti kerugian yang timbul karena perbuatan yang dihukum itu, semuanya atau untuk sebahagian saja, yang akan ditentukan dalam tempo yang akan ditetapkan, yang kurang lamanya daripada tempo percobaan itu.”

Sifat perlindungan korban dalam KUHP bersifat perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung, dikatakan demikian karena adanya syarat khusus berupa pergantian kerugian berupa fakultatif, tergantung penilaian hakim. Dengan adanya asas keseimbangan individu dan masyarakat, seharusnya perlindungan terhadap korban dalam KUHP bersifat imperatif. Ketentuan Pasal 14a, Pasal 14b dan Pasal 14c KUHP, bentuk syarat khusus berupa ganti rugi bukan salah satu jenis pidana sebagaimana ketentuan Pasal 10 KUHP dan aspek ini tetap mengacu kepada pelaku tindak pidana dan bukan kepada korban tindak pidana. 90

Dengan demikian, KUHP belum secara tegas merumuskan ketentuan yang secara konkret atau langsung memberikan perlindungan hukum terhadap korban dan juga tidak merumuskan jenis pidana restitusi (ganti rugi) yang sangat bermanfaat bagi korban dan keluarga korban, tetapi KUHP hanya menjelaskan tentang rumusan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, dan ancaman pidana.91

Karena KUHP belum secara tegas merumuskan mengenai perlindungan terhadap korban maka, pada tahun 2007 pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang-undang ini mengatur perlindungan korban dengan memberi perhatian terhadap penderitaan korban akibat tindak pidana perdagangan orang dalam bentuk hak restitusi yang harus diberikan pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai ganti kerugian bagi korban.

89 Farhana.Op.Cit. halaman 174. 90 Ibid. halaman 175.

91

Hak restitusi diatur didalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Adapun yang dimaksud dengan restitusi adalah Pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya (Pasal 1 angka 13).

Setiap korban tindak pidana perdagangan orang berhak untuk mendapat perlindungan atas perbuatan yang menimpa dirinya. Salah satu bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada korban tindak pidana perdagangan orang adalah pemberian restitusi. Korban tindak pidana perdagangan orang berhak menuntut hak restitusi kepada pelaku tindak pidana sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban dari pelaku kepada korban tindak pidana perdagangan orang.

Adapun prosedur permohonan restitusi yang diajukan oleh korban tindak pidana perdagangan orang adalah sebagai berikut : Mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban melaporkan kasus yang dialaminya kepada Kepolisian Negara Republik

Indonesia setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan penanganan tindak pidana yang dilakukan. Penuntut umum memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi, selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang diderita oleh korban akibat tindak pidana perdagangan orang yang dialaminya bersamaan dengan tuntutan. Mekanisme ini tidak menghilangkan hak korban untuk mengajukan sendiri gugatan atas kerugiannya92

Pengajuan permohonan restitusi dapat dilakukan oleh korban, keluarga korban atau ahli waris korban. Pada kasus ini, permohonan restitusi dilakukan oleh Saksi Enong Sulyani yang merupakan ibu kandung dari saksi korban yaitu Lisna Widiyanti. Ibu kandung saksi korban (Enong Sulyani) mengajukan permohonan berdasarkan Surat Gugatan Nomor : 02/TIM ADVOKASI/X/2012 kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sumatera Utara yang memeriksa perkara saksi korban untuk menuntut ganti kerugian yang diderita oleh saksi korban akibat tindak pidana perdagangan orang yang telah dilakukan oleh terdakwa Andreas Ginting alias Ucok.93

Kerugian yang dialami oleh korban tindak pidana perdagangan orang dapat dilihat dalam Pasal 48 ayat (2) Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu sebagai berikut :

a. Kehilangan kekayaan atau penghasilan ; b. Penderitaan ;

c. Biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis ; dan/atau

92 Henny Nuraeny. Op.Cit. halaman 160. 93

d. Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang

Dalam penjelasan Pasal 48 ayat (2) yang dimaksud dengan kerugian lain adalah sebagai berikut :

a. Kehilangan harta milik b. Biaya transportasi dasar

c. Biaya pengacara atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum ; atau d. Kehilangan penghasilan yang dijanjikan pelaku

C. Penentuan Jumlah Restitusi Yang Diberikan Kepada Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Jika dilihat dari penentuan jumlah restitusi yang diberikan kepada korban tindak pidana perdagangan orang, pada kasus ini status sosial saksi korban (Lisna Widiyanti) lebih rendah dibandingkan dengan status sosial terdakwa yaitu Andreas Ginting alias Ucok yang merupakan Manager Cafe Pesona tempat dimana saksi korban bekerja. Oleh karena itu dalam tuntutan pidana mengenai hak restitusi pihak korban menuntut agar pelaku tindak pidana perdagangan orang membayar atas kerugian yang telah dialami oleh korban. Kerugian tersebut berupa kerugian materil dan kerugian immateril, kerugian materil yang telah dialami oleh korban sebesar Rp. 49.7000.000,- (Empat puluh sembilan juta tujuh ratus ribu rupiah) sedangkan untuk kerugian immateril yang telah dialami oleh korban yaitu sebesar Rp. 30.000.000,- (Tiga puluh juta rupiah). Sehingga total dari kerugian materil dan kerugian immateril yang telah dialami oleh korban adalah sebesar Rp. 79.7000.000,- (Tujuh puluh sembilan juta tujuh ratus ribu rupiah). Adapun rincian dari kerugian-kerugian tersebut telah diuraikan dalam tuntutan pidana. Dalam putusan pengadilan Nomor

1554/Pid.B/2012/PN/MDN Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan mengabulkan Tuntutan/Gugatan Restitusi yang diajukan oleh Enong Sulyani (Ibu kandung saksi korban Lisna Widiyanti) sebahagian dan menguhukum terdakwa Andreas Ginting Alias Ucok untuk membayar ganti kerugian kepada Enong Sulyani (Ibu kandung saksi korban Lisna Widiyanti) sebesar Rp. 64. 700.000,- (Enam puluh enpat juta tujuh ratus ribu rupiah).

Penentuan jumlah restitusi yang di berikan kepada korban tindak pidana perdagangan orang berdasarkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan yaitu sebesar Rp. 64. 700.000,- (Enam puluh empat juta tujuh ratus ribu rupiah) penulis berpendapat bahwa kerugian yang harus diberikan oleh terdakwa Anderas alias Ucok kepada saksi korban yaitu Lisna Widiyanti lebih sedikit dibandingkan dengan yang dituntut oleh pihak korban. Penulis

kurang sependapat dengan Majelis Hakim karena, penentuan jumlah restitusi yang dijatuhkan kepada pelaku tidak sebanding dengan kerugian-kerugian yang telah di alami oleh saksi korban. Kerugian yang paling berat yang dialami oleh korban ialah korban kehilangan kesuciannya akibat dari perbuatan terdakwa Andreas Ginting. Korban pulang ke rumah dengan keadaan yang tidak sama pada saat korban berangkat untuk bekerja.

Maksud dari pemberian restitusi ini selain berupa ganti kerugian kepada korban tindak pidana perdagangan orang juga memberikan sanksi kepada pelaku, sehingga pelaku disamping akan mendapatkan sanksi hukum yang berupa pidana (penjara) juga akan menerima sanksi lainnya yaitu membayar ganti rugi kepada korban.94

94

Dokumen terkait