• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi di Pengadilan Negeri Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi di Pengadilan Negeri Medan)"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

Pengaturan Hukum Mengenai Perlindungan Anak sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

A. UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Pengaturan hukum mengenai larangan terhadap perdagangan orang telah

seumur dengan pembentukan KUHP itu sendiri. Pasal 297 KUHP yang

dikhususkan mengatur perdagangan perempuan dan anak laki-laki dibawah umur

yang menunjukkan bahwa pada masa penjajahan pun perdagangan perempuan dan

anak sudah diklasifikasikan sebagai suatu kejahatan atau dianggap sebagai tidakan

tidak manusiawi dan layak mendapatkan sanksi pidana.36

Sebelum undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Perdagangan Orang disahkan, digunakan KUHP Pasal 297 yang

berbunyi : “Perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam

dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun. Hanya Pasal ini yang secara

khusus menyebut perdagangan orang walaupun hal itu masih sangat tidak lengkap

dan belum mengakomodasi perlindungan hukum terhadap korban perdagangan

orang.37

Perdagangan orang dalam KUHP sudah merupakan perbuatan pidana dan

diatur secara eksplisit dalam Pasal 297, tetapi tidak ada defenisi secara resmi dan

jelas tentang perdagangan orang. Pasal 297 yang berbunyi perdagangan wanita

dan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling

lama 6 tahun. Hanya Pasal ini yang secara khusus menyebutkan perdagangan

36

Alfitra, Modus Operandi pidana khusus di luar KUHP,(Jakarta : penebar swadaya grup, 2014) , Halaman 108

37

(2)

orang walaupun masih sangat tidak lengkap dan belum mengakomodasi

perlindungan hukum terhadap perdagangan orang. Pemberian sanksi dalam Pasal

297 KUHP tersebut tergolong sangat ringan dan tidak memberikan sanksi yang

tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban kejahatan perdagangan

manusia.38

Namun, seiring dengan kemajuan teknologi, informasi, dan transportasi

mengakselerasi globalisasi tindak pidana perdagangan manusia khususnya

perempuan dan anak telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan, baik

terorganisasi maupun tidak terorganisasi. Tindak pidana perdagangan orang

bahkan tidak hanya melibatkan perorangan, tetapi juga korporasi dan

penyelenggara negara yang menyalagunakan wewenang kekuasaannya. Jaringan

pelaku tindak pidana perdagangan orang memiliki jangkauan operasi tidak hanya

antar wilayah dalam negeri, tetapi juga antarnegara.

Pasal 297 KUHP tidak cukup untuk mencakup berbagai macam bentuk

kejahatan yang terdapat dalam modus perdagangn orang. Seperti perdagangan

orang melalui jeratan utang. Selain itu, Pasal ini tidak mencantumkan

masalah-masalah penyekapan atau standarisasi kondisi pekerjaan. Jika ukuran hukum tidak

jelas, aparat penegak hukum akan sulit membedakan antara penampungan dan

penyekapan.39

Jika dibandingkan rumusan perdagangan orang dalam KUHP tentang

tindak pidana perdagangan orang, maka dalam undang-undang Nomor 21 Tahun

2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pengertian

38

Alfitra, Op.cit Halaman 109

39

(3)

Tindak Pidana Perdagangan Orang sudah lebih rinci atau mencakup ruang lingkup

tindak pidana perdagangan orang dari rumusan KUHP. Dalam Pasal 1 angka 1

menyatakan bahwa Perdagangan orang adalah sebagai berikut.

“Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam negara maupun antar negara, untuk tujuan mengeksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”

Dalam undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana

Perdagangan Orang, eksploitasi dijelaskan dalam Pasal 1 angka 7 yang

menyebutkan bahwa :

Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi, tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.”

Unsur tujuan untuk mengeksploitasi atau mengakibatkan orang

tereksploitasi ini tidak relevan lagi atau tidak berarti apabila cara-cara pemaksaan

atau penipuan sebagaimana diuraikan dalam defenisi di atas digunakan. Dalam

undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang ditegaskan dalam Pasal 1 angka 7, dengan menyebutkan

bahwa “Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban ...”

Ditegaskannya persetujuan korban adalah sebagai hal yang tidak relevan atau

tidak berarti lagi, jika disebutkan dalam peraturan tentang perdagangan orang

(4)

Sering terjadi dalam kasus bahwa argumentasi pelaku selalu

menggunakan alasan bahwa korban telah setuju atau adanya persetujuan dari

korban atau korban mau dan sepakat untuk ikut. Oleh karena itu, dipertegas lagi

dalam Pasal 26 undang – undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang bahwa persetujuan korban perdagangan orang tidak

menghilangkan penuntutan tindak pidana perdagangan orang. Unsur tujuan ini

juga menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan tindak

pidana formil, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan

dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana yang sudah dirumuskan dan tidak harus

menimbulkan akibat.40

Penyalahgunaan kekuasaan dimaksud adalah menjalankan kekuasaan

yang ada padanya secara tidak sesuai tujuan pemberian kekuasaan tersebut atau

menjalankan secara tidak sesuai dengan ketentuan peraturan.41 Pengertian pemanfatan posisi kerentanan tidak dijelaskan dalam undang-undang Nomor 21

Tahun 2007 tentang Pemberantasan tindak Pidana Perdagangan Orang. Adapun

pengertian penjertaan utang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 15 bahwa :

“Penjeratan utang adalah perbuatan menempatkan orang dalam status atau keadaan menjaminkan atau terpaksa menjaminkan dirinya atau keluarganya atau orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, atau jasa pribadinya sebagai bentuk pelunasan utang.”

Cara melakukan tindak pidana perdagangan orang dalam undang-undang

Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan

unsur dari tindak pidana perdagangan orang, yaitu dengan kekerasan atau

40

Ibid, Halaman 26

(5)

ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan

kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan atau penjeratan utang. Jadi, rumusan

dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana

Perdagangan Orang yang digunakan sebagai jalan atau cara melakukan tindak

pidana perdagangan orang, yaitu ancaman kekerasan dan kekerasan yang sudah

dijelaskan dalam Bab 1, sedangkan cara penculikan, penyekapan, penipuan, tidak

dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Perdagangan orang, tetapi ditemukan dalam Pasal-Pasal dalam

KUHP dan Pasal-Pasal yang dikualifikasikan mengatur tindak pidana

perdagangan orang.

Sehubungan dengan pandangan Utrech bahwa peristiwa pidana

mempunyai unsur-unsur adalah suatu kelakukan yang bertentangan dengan

(melawan) hukum, suatu kelakuan yang diadakan karena pelanggar bersalah dan

suatu kelakuan yang dapat di hukum,42 maka dalam tindak pidana perdagangan orang terdapat perbuatan yang bertentangan melawan hukum adalah melakukan

perbuatan merekrut, mengirim, dan penyerahterimaan dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan

kekuasaan, pemanfaatan posisi rentan atau penjeratan utang. Unsur kesalahan

dalam rumusan tindak pidana perdagangan orang adanya kesalahan digambarkan

secara eksplisit dalam rumusan untuk tujuan eksploitasi orang tersebut yang

berarti ada maksud untuk mengeksploitasi atau berakibat tereksploitasi orang

tersebut.

42

(6)

Pelaku tindak pidana perdagangan orang dapat digolongan menjadi 4

(empat) golongan, sebagai berikut43 1. Orang Perseorangan, yaitu :

a. Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan,

pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman

kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,

penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang

atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan

dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan

mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia

(Pasal 2).

b. Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik

Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik

Indonesia atau eksploitasi di negara lain (Pasal 3)

c. Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah

negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar

wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 4)

d. Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan

sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi

(Pasal 5), dan setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam

negeri atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak

tersebut tereksploitasi (Pasal 6)

43

(7)

e. Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan

tindak pidana perdagangan orang dan tindak pidana itu tidak terjadi

(Pasal 9), dan setiap orang yang melakukan tindak pidana perdagangan

orang (Pasal 10)

f. Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat

untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang

g. Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak

pidana perdagangan orang dengan melakukan persetubuhan atau

perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang,

mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk

meneruskan praktik eksploitasi atau mengambil keuntungan dari hasil

tindak pidana perdagangan orang.

2. Kelompok

Yaitu kumpulan dua orang atau lebih yang bekerja sama melakukan

perbuatan pidana perdagangan orang. Dalam hal tindak pidana perdagangan

orang dilakukan oleh kelompok terorganisir, maka setiap pelaku tindak

pidana perdagangan orang dalam kelompok yang terorganisir tersebut

dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 ditambah sepertiga (Pasal 16).

Dalam rumusan unsur Pasal 16 Undang-undang Tindak Pidana

Perdagangan orang menunjukkan bahwa peran atau kapasitas masing-masing

(8)

sama dengan pelaku. Dengan demikian, pidana yang diancam kepada

pembantu sanksinya disamakan dengan pelaku, sehingga ketentuan ini

berbeda dengan ketentuan dalam KUHP. Berdasarkan Pasal 55 dan Pasal 56

membedakan peran atau kapasitas masing-masing pembantu pelaku dalam

keikutsertaannya. Pelaku dalam perdagangan orang sering digambarkan

sebagai bagian dari organisasi kejahatan lintas yang terorganisir. Walaupun

gambaran ini mungkin saja benar dalam sebagian kasus, banyak pula pelaku

perdagangan orang yang jelas-jelas diketahui bukan bagian dari kelompok

kejahatan terorganisir, sebagian beroperasi secara indepeden, sementara

sebagian lagi merupakan tokoh terhormat dalam komunitasnya.44

3. Korporasi

yaitu perkumpulan/organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai

subjek hukum yang bergerak di bidang usaha yang dalam pelaksanaannya

melakukan penyalahgunaan izin yang diberikan

Di Indonesia perkembangan Korporasi sebagai subjek tindak pidana

terjadi diluar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu dalam

perundang-undangan khusus, sedangkan KUHP sendiri masih menganut

subjek Tindak Pidana berupa “orang” (Pasal 59 KUHP).45

Tindak pidana perdagangan orang diangap dilakukan oleh korporasi

apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak

untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik

44

Ibid, Halaman 123

45

(9)

berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam

lingkungan tersebut baik sendiri maupun bersama-sama, sebagaimana yang

terdapat dalam Pasal 13 ayat (1).

Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu

korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyidikan,

penuntutan, dan pemidanaan dlakukan terhadap korporasi dan/atau

pengurusnya, Pasal 13 ayat (2).

4. Penyelenggara Negara

Yaitu pegawai negeri atau pejabat pemerintah yang diberi wewenang

tertentu namun melakukan penyalahgunaan dari yang seharusnya

dilakukan.46. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6, dan Pasal 8 Undang-undang Pemberantasan tindak pidana perdagangan

orang.

Dalam hal pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana

perdagangan orang unsur yang paling fundamental adalah unsur kesalahan. Sebab,

orang atau korporasi tidak dapat diminta pertanggungjawabannya kalau tanpa

kesalahan. Dalam hal ini berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang

tentunya kesalahan yang dimaksud berkaitan dengan pelanggaran terhadap

ketentuan dalam Undang-undang nomor 21 tahun 2007. Dalam undang-undang

tersebut terdapat klasifikasi tindak pidana perdagangan orang, yaitu tindak pidana

materiil dan tindak pidana formil yang keduanya terdapat dalam Bab 2. Untuk

mengetahui pertanggung jawaban pelaku perdagangan orang dalam

46

(10)

undang nomor 21 tahun 2007, perlu mengklasifikasikannya dalam beberapa

bagian :47

a. Bagian pertama, yaitu mereka yang disebut dengan pelaku (trafficker) antara

lain:

1. Perusahaan perekrut tenaga kerja dengan jaringan agen atau

calon-calonnya di daerah adalah trafficker, mana kala mereka memfasilitasi

pemalsuan KTP dan paspor serta secara ilegal menyekap calon pekerja

migran di penampungan, dan menempatkan mereka dalam pekerjaan yang

berbeda atau secara paksa memasukkannya ke industri seks.

2. Agen atau calo-calo bisa orang luar, bisa juga seorang tetangga. Dalam

perekrutan mereka menggunakan kebohongan, penipuan, atau pemalsuan

dokumen

3. Aparat pemerintah adalah Trafficker, mereka yang terlibat dalam

pemalsuan dokumen, membiarkan terjadinya pelanggaran dan

memfasilitasi penyeberangan melintasi perbatasan secara ilegal

4. Majikan adalah trafficker, manakala menempatkan pekerjaannya dalam

kondisi eksploitatif, seperti tidak membayar gaji, menyekap pekerja,

melakukan kekerasan fisik dan seksual, memaksa untuk terus bekerja, atau

menjerat pekerja dalam lilitan utang.

5. Pemilik atau pengelola rumah bordil berdasarkan Pasal 289, 296, dan 506

KUHP, dapat dianggap melanggar hukum terlebih jika mereka memaksa

perempuan bekerja diluar kemauannya, mejeratnya dalam lilitan utang,

47

(11)

menyekap dan membatasi kebebasannya bergerak, tidak membayar

gajinya, atau merekrut dan mempekerjakan anak (dibawah 18 tahun).

6. Calo pernikahan adalah trafficker, manakala pernikahan yang diaturnya

telah mengakibatkan pihak istri terjerumus dalam kondisi serupa

perbudakan dan eksploitatif walaupun mungkin calo yang bersangkutan

tidak menyadari sifat eksploitatif pernikahan yang akan dilangsungkan.

7. Orang tua dan sanak saudara adalah trafficker, manakala mereka sadar

menjual anak atau saudaranya, baik langsung maupun melalui calo kepada

majikan di sektor industri seks atau lainnya. Atau, jika mereke menerima

pembayaran di muka untuk penghasilan yang akan diterima oleh anak

mereka nantinya. Demikian pula jika orang tua menawarkan layanan dari

anak mereka guna melunasi utangnya atau menjerat anaknya dalam libatan

utang

8. Suami adalah trafficker, manakala ia menikahi perempuan, tetapi

kemudian mengirim istrinya ke tempat lain untuk mengeksploitasinya

demi keuntungan ekonomi, menempatkannya dalam status budak, atau

memaksanya melakukan prostitusi.

Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada Pelaku (trafficker) diatas,

adalah antara lain :48

a) Untuk pelaku setiap orang (orang perorangan dan korporasi) yang

melakukan tindak pidana perdagangan orang. Ancaman pidana yang

dapat dijatuhkan kepada mereka adalah :

48

(12)

1) Pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun

dan denda paling sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak 600

juta rupiah (berdasarkan Pasal 2 – Pasal 6 Undang-undang Nomor 21 tahun 2007)

2) Ancaman pidana dapat ditambah sepertiga dari ancaman pidana

dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 jika

tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3,

Pasal4, Pasal 5, Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka

berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang

membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau

hilangnya fungsi reproduksinya (berdasarkan Psal 7 ayat (1)

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007).

3) Pidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling

lama penjara seumur hidup dan denda paling sedikit 200 juta

rupiah dan paling banyak 5 miliar rupiah. Jika tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4,

Pasal 5, Pasal 6 mengakibatkan matinya korban (berdasarkan

Pasal 7 ayat (2) Undang-undang nomor 21 tahun 2007)

4) Ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga). Jika tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4

dilakukan terhadap anak (berdasarkan Pasal 17 Undan-undang

(13)

5) Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu

korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya,

juga dapat dijatuhkan pidana terhadap korporasi berupa pidana

denda dengan pemberatan tiga kali dari pidana denda

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5,

dan Pasal 6 (berdasarkan Pasal 15 ayat (1) undang-undang nomor

21 tahun 2007)

6) Korporasi dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa : pencabutan

izin usaha, perampasan hasil kekayaan hasil tindak pidana,

pancabutan satus badan hukum, pemecatan pengurus atau

korporasi dalam bidang usaha yang sama (berdasarkan Pasal 15

ayat (2) undang-undang nomor 21 tahun 2007)

b) Untuk pelaku aparat (penyelenggara negara).

Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan :

1) Pidananya ditambah sepertiga dari ancaman pidana dalam Pasal 2,

Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 (berdasarkan Pasal 8 ayat (1)

undang-undang nomor 21 tahun 2007)

2) Pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari

jabatannya (berdasarkan Pasal 8 ayat (2) undang-undang nomor

21 tahun 2007)

(14)

Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana yang sama

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiga)

(berdasarkan Pasal 16 undang-undang nomor 21 tahun 2007).

b. Bagian kedua, yaitu mereka yang disebut dengan pengguna (user)

perdagangan orang, baik yang secara langsung mengambil keuntungan dari

korban maupun yang tidak secara langsung melakukan eksploitasi. Mereka

yang disebut dengan Pengguna (user), antara lain :49

1. Germo dan pengelola rumah bordil yang membutuhkan perempuan dan

anak-anak untuk dipekerjakan sebagai pelacur

2. Laki-laki hidung belang, pengidap pedofilia dan kelainan seks lainnya

serta para pekerja asing (ekspatriat) dan pebisnis internasional yang

tinggal sementara di suatu negara

3. Para pengusaha yang membutuhkan pekerja anak yang murah, penurut,

mudah diatur, dan mudah ditakut-takuti

4. Pengusaha bisnis hiburan yang memerlukan perempuan muda untuk

dipekerjakan di panti pijat, karaoke, dan tempat hiburan lainnya

5. Para pebisnis bidang pariwisata yang juga menawarkan jasa layanan

wisata seks

6. Agen penyalur tenaga kerja yang tidak bertanggung jawab

7. Sindikat narkoba yang memerlukan pengedar baru untuk memperluas

jaringannya

49

(15)

8. Keluarga menengah ke atas yang membutuhkan perempuan dan anak

untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga

9. Keluarga yang ingin mengadopsi anak secara ilegal

10. Laki-laki dari luar negeri yang menginginkan perempuan “tradisional” sebagai pengantinnya

Ancaaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada pengguna (user)

perdagangan orang adalah pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6,, yaitu pidana penjara paling

singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit 120 juta

rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah (berdasarkan Pasal 12

undang-undang nomor 21 tahun 2007)

c. Bagian ketiga, yaitu mereka yang disebut penganjur (Uitlokker) dan atau

yang menyuruh melakukan (Doenplegger), atau biasa disebut dengan orang

yang menggerakkan supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang

sebagaimana halnya yang dimaksud dalam Pasal 55 KUHP.

Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada penganjur (Uitlokker) dan

menyuruh melakukan (Doenpleger) dalam tindak pidana perdagangan orang

adalah pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 6 tahun dan

denda paling sedikit 40 juta rupiah dan paling banyak 240 juta rupiah, dalam

hal tindak pidana tidak terjadi dipidana dengan pidana yang sama sebagai

pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan

Pasal 6.50

50

(16)

d. Bagian keempat, yaitu mereka yang disebut orang yang turut serat melakukan

(Medepleger) sebagaimana halnya yang dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)

KUHP. Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada orang yang turut serta

melakukan (Medepleger) adalah dipidana dengan pidana yang sama sebagai

pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan

Pasal 6, yaitu pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15

(lima belas tahun) dan denda paling sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak

600 juta rupiah (berdasarkan Pasal 11 undang-undang nomor 21 tahun 2007)

e. Bagian kelima, yaitu mereka yang disebut membantu melakukan

(medeplichtigheid).

Membantu melakukan tindak pidana perdagangan orang tidak hanya pada

saat dan sebelum kejahatan dilakukan. Ancaman pidana yang dapat

dijatuhkan kepada orang yang membantu pelaku tindak pidana perdagangan

orang pada saat dan sebelum kejahatan dilakukan adalah dipidana dengan

pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal

3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6, yaitu pidana penjara paling singkat 3 (tiga)

tahun dan paling lama 15 (lima belas tahun) dan denda paling sedikit 120 juta

rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah (berdasarkan Pasal 11

undang-undang nomor 21 tahun 2007). Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan

kepada orang yang membantu pelaku tindak pidana perdagangan orang

setelah kejahatan dilakukan (membantu pelarian) pelaku tindak pidana

perdagangan orang dari proses peradilan pidana dengan cara memberikan

(17)

lainnya kepada pelaku, menyembunyikan pelaku, atau menyembunyikan

informasi keberadaan pelaku adalah dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 1 (satu) tahum dan paling banyak 5 (lima) tahun dan dipidana denda

paling sedikit 40 juta rupiah dan paling banyak 200 juta (berdasarkan Pasal

23 undang-undang nomor 21 tahun 2007). Ketentuan tentang pembantuan

pada Pasal 10 dan Pasal 23 tersebut merupakan ketentuan khusus yang

menyimpang dari ketentuan KUHP. Dalam KUHP disebutkan dalam Pasal 57

ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam hal pembantuan maksimum pidana

poko terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga.51

Ketentuan Pasal 50 ayat (4) Undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang

tindak pidana perdagangan orang menyebutkan apabila pelaku tidak mampu

membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama

1 (satu) tahun. Dengan adanya pidana pengganti dapat diterima, tetapi dengan

maksimal satu tahun pidana kurungan dianggap terlalu ringan kerena tidak

sepadan dengan kerugian yang diderita korban. Oleh karena itu, perlu disesuaikan

dengan jumlah kerugian yang diderita korban baik materiil maupun nonmateriil.

Disamping itu, juga untuk menghindari kecenderungan pelaku untuk

menjalani pidana kurangan daripada harus membayar uang restitusi karena pidana

kurungan tidak terlalu lama. Dapat terjadai nilai restitusinya sangat besar untuk

menghindari itu, maka pelaku memilih menjalankan pidana kurungan selama

setahun dan kewajiban membayar restitusi otomatis menjadi gugur. Korban tidak

mendapat ganti rugi secara materiil atas penderitaannya. Oleh karena itu, restitusi

51

(18)

menjadi kewajiban pelaku yang harus dibayar kepada korban atau keluarganya.

Apabila pelaku belum dapat membayar, maka dapat diadakan penyitaan. Jika

pelakunya meninggal dunia, maka ganti rugi menjadi tanggung jawab ahli

warisnya.52

B. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

merupakan perubahan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak. Dasar pembentukan undang-undang ini adalah dalam rangka

memberikan perlindungan hukum terhadap anak. Bahwa anak merupakan sebagai

tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki

peran strategis, ciri dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk

perlakuaan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi

manusia.

Banyaknya kasus kekerasan anak yang terjadi di Indonesia diangap

sebagai salah satu indikator buruknya kualitas perlindungan anak. Keberadaan

Anak yang belum mampu untuk hidup mandiri tentunya sangat membutuhkan

orang-orang sebagai tempat berlindung. Fenomea tindak kekerasan yang terjadi

pada anak-anak di Indonesia mulai menuai sorotan keras dari berbagai kalangan

pada saat banyak stasiun televisi menayangkannya secara vulgar pada program

kriminal, seperti : kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh keluarga korban atau

52

(19)

orang-orang dekat korban, kasus sodomi, perdagangan anak untuk dieksploitasi

menjadi pekerja seks komersil hingga pembunuhan.53

Rendahnya kualitas perlindungan anak di Indonesia banyak menuai kritik

dari berbagai elemen masyarakat. Pertanyaan yang sering terlontar adalah sejauh

mana pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan hukum kepada anak

sehingga anak dapat memperoleh jaminan atas kelangsungan hidup dan

penghidupannya sebagai bagian dari hak asasi manusia. Pada hal yang

berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan

anak adalah negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga dan

orang tua/wali.54

Perlindungan anak adalah segala bentuk kegiatan untuk menjamin dan

melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.55

Anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang memiliki hak-hak

khusus termasuk hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kedudukan

hukum sebagai korban tindak pidana. Ketentuan tersebut terdapat pada Pasal 59

ayat (1) undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak :

Perlindungan khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada :

53

Dikdik M.Arief Mansyur & Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, (Jakarta, Raja Grafindo, 2007) Hal aman 122

54

Pasal 20 undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

55

(20)

a. Anak dalam situasi darurat;

b. Anak yang berhadapan dengan hukum; c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;

d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, da zat adiktif lainnya;

f. Anak yang menajadi korban pornografi; g. Anak dengan HIV/AIDS;

h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan; i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis;

j. Anak korban kejahatan seksual; k. Anak korban jaringan terorisme l. Anak penyandang Disabilitas;

m.Anak korban perlakuan salah dan penelantaran; n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan

o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi orangtuanya

Sementara itu, perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak

pidana dilaksanakan melalui :

a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun luar lembaga;

b. Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan

untuk menghindari labelisasi;

c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik,

menal maupun sosial; dan

d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai

perkembangan perkara.

Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana

perdagangan orang adalah tertulis dalam ketentuan Pasal 68 Undang-undang

Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun

(21)

“Perlindungan khusus bagi Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf (f) dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi.”

Untuk anak-anak korban perdagangan manusia, mengingat karakteristik

kejahatannya sangat khas, perlu diberikan perlindungan khusus, antara lain

sebagai berikut.56

a. Perlindungan berkaitan dengan identitas korban, terutama selama proses

persidangan

Tujuannya perlindungan ini adalah agar korban terhindar dari berbagai

ancaman atau intimidasi dari pelaku yang mungkin terjadi selama proses

persidangan berlangsung.

b. Jaminan keselamatan dari aparat berwenang.

Korban harus diperlakukan dengan hati-hati oleh aparat penegak hukum agar

keselamatannya terjamin sehingga dapat memberikan kesaksian.

c. Bantuan medis, psikologis, hukum, dan sosial, terutama untuk

mengembalikan kepercayaan pada dirinya serta mengembalikan kepada

keluarga, dan komunitasnya.

d. Kompensasi dan restitusi.

Korban memperoleh kompensasi dan restitusi karena penderitaan korban juga

merupakan tanggung jawab negara

56

(22)

Ketentuan Pidana Pelaku Perdagangan anak terdapat dalam Pasal 76F dan

Pasal 83 undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pasal 76F Yaitu :

“Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan Anak”.

Pasal 83 undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Yaitu :

“Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76F dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”.

Upaya perlindungan hukum terhadap anak perlu secara terus menerus

diupayakan demi tetap terpeliharanya kesejahteraan anak mengingat anak

merupakan salah satu aset berharga dari kemajuan suatu bangsa di kemudian hari.

Kualitas Perlindungan terhadap anak hendaknya memiliki derajat/tingkat yang

sama dengan perlindungan terhadap orang-orang berusia dewasa mengingat setiap

orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the

la w).57

C. undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Setelah sekian lama banyak piha menunggu lahirnya undang-undang yang

secara khusus mengatur mengenai perlindungan terhadap saksi dan korban,

57

(23)

akhirnya pada tanggal 11 Agustus 2006, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban, disahkan dan diberlakukan.

Sekalipun materi dalam undang-undang ini masih harus dilengkapi dengan

peraturan pelaksananya,58 Dasar pertimbangan perlunya undang-undang yang mengatur perlindungan korban kejahatan (dan saksi) untuk segara disusun dengan

jelas dapat dilihat pada bagian pertimbangan dari undang-undang ini, yang antara

lain bahwa penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang

tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami

kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau Korban disebabkan

adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu.

Salah satu alat bukti yang sah dalam suatu proses peradilan adalah

keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat, atau mengalami

sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan

kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.59

Sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat sebagai upaya

untuk meningkatkan pengungkapan secara menyeluruh suatu tindak pidana,

khususnya tindak pidana transnasional yang terorganisisr, perlu juga diberikan

perlindungan terhadap saksi pelaku, saksi pelapor, dan saksi ahli. Sehingga

Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban direvisi

58

Beberapa ketentuan yang masih harus dilengkapi dengan peraturan pelaksananya, diantaranya: pengaturan tentang Pemberian Kompensasi dan restitusi terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat; susunana panitia seleksi, kedudukan, susunan organisasi, tugas dan tanggung jawab sekretaris LPSK; Tata cara pelaksanaan seleksi, dan pemilihan calon anggota LPSK.

59

(24)

dan lahirlah Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap

tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan

perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau

menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang

telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.

Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan

keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau

terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum dan

keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan

masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang

diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya

terancam oleh pihak tertentu.60

Bukan hal aneh apabila di Indonesia, tindakan teror atau ancaman, baik

fisik maupun psikis banyak menimpa orang-orang yang akan memberikan

kesaksian dalam suatu proses peradilan pidana, terlebih apabila kesaksian yang

akan diberikan dapat memberatkan orang yang dituduh melakukan tindak pidana.

Pada saat saksi (korban) akan memberikan keterangan, tentunya harus

disertai jaminan bahwa yang bersangkutan terbebas dari rasa takut sebelum, pada

saat, dan setelah memberikan kesaksian. Jaminan ini penting untuk diberikan guna

memastikan bahwa keterangan yang akan diberikan benar-benar murni bukan

60

(25)

hasil rekayasa apalagi hasil tekanan (pressure) dari pihak-pihak tertentu. Hal ini

sejalan dengan pengertian saksi itu sendiri yaitu orang yang dapat memberikan

keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu

perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.61

undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menganut

pengertian korban dalam arti luas, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan

fisik atau mental atau ekonomi saja, tetapi bisa juga kombinasi diantara ketiganya.

Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun

2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban yang menyebutkan :

“Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.

Dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan

atas Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban, mengatur beberapa hak yang diberikan kepada saksi dan korban yang

meliputi :

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta

bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang

akan, sedang, atau telah diberikannya;

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan

dukungan keamanan;

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;

61

(26)

d. Mendapat penerjemah;

e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;

g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;

h. Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;

i. Dirahasiakan identitasnya;

j. Mendapat identitas baru;

k. Mendapat tempat kediaman sementara;

l. Mendapat tempat kediaman baru;

m. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

n. Mendapat nasihat hukum;

o. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu

Perlindungan berakhir; dan/atau

p. Mendapat pendampingan.

Dalam Pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa hak sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus

tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

(LPSK). Penejalasan dalam Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa yang dimaksud

dengan “tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu” antara lain, “tindak pidana

pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tindak pidana korupsi, tindak pidana

pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak

(27)

dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan/atau Korban

dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.”

Jelaslah, berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor

31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 13 tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tidak setiap saksi atau korban yang

memberikan keterangan (kesaksian) dalam suatu proses peradilan pidana, secara

otomatis memperoleh perlindungan seperti yang dinyatakan dalam

undang-undang ini.62

Saksi dan Korban tindak pidana perdagangan orang selain berhak seperti

dalam ketentuan Pasal 5 tersebut juga berhak mendapatkan bantuan medis dan

bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. Hal ini tercantum dalam Pasal 6

ayat (1) undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yaitu :

Korban pelanggaran hak asasi manusia berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan :

a. Bantuan medis; dan

b. Bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.

Yang dimaksud dengan “bantuan medis” adalah bantuan yang diberikan

untuk memulihkan kesehatan fisik korban, termasuk melakukan pengurusan

dalam hal korban meninggal dunia misalnya pengurusan jenazah hinga

pemakaman.63Sedangkan yang dimaksud dengan “rehabilitasi psikososial” adalah semua bentuk pelayanan dan bantuan psikologis serta sosial yang ditujukan untuk

62

Dikdik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op.Cit. Halaman 154

63

(28)

membantu meringankan, melindungi, dan memulihkan kondisi fisik, psikologis,

sosial, dan spiritual korban sehinga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali

secara sosial. Dan yang dimaksud dengan “rehabilitasi psikologis” adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah

kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban.64

Setiap korban tindak pidana sebagaimana ditetapkan dengan keputusan

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berhak memperoleh restitusi.

Restitusi tersebut berupa :

a. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;

b. Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung

sebagai akibat tindak pidana; dan/atau

c. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis

Pengajuan permohonan restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah

memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan restitusi kepada

penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya. Dalam hal permohonan restitusi

diajukan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap, LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada pengadilan untuk mendapat

penetapan. Jika korban tindak pidana telah meninggal dunia, Restitusi diberikan

kepada keluarga korban yang merupakan ahli waris korban.65

Perlindungan lain yang juga diberikan kepada saksi atau korban dalam

suatu proses peradilan pidana, meliputi :

64

Penjelasan Pasal 6 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

65

(29)

a. Memberiakan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara

tersebut diperiksa, tentunya setelah ada izin dari hakim (Pasal 9 ayat 1);66 b. Saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana

maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah

diberikannya (Pasal 10 ayat 1)

Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,

diatur pula tentang sebuah lembaga yang bertanggung jawab untuk menangani

pemberian perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban yang dinamakan

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Lembaga ini merupakan

lembaga mandiri yang berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia,

namun mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan

LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan

bantuan hukum kepada saksi dan korban berdasarkan tugas dan kewenangan

sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. LPSK bertanggung jawab kepada

presiden dan LPSK membuat laporan secara berkala tentang pelaksanaan tugas

LPSK kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling sedikit dalma 1 (satu) tahun.

Anggota LPSK terdiri atas 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur

profesional yang mempunyai pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan,

perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia, kepolisian, kejaksaan,

Departemen hukum dan HAM, akademisi, advokat, atau lembaga swadaya

(30)

masyarakat. Masa jabatan LPSK adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali

dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

D. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pada sistem pemerintahan negara yang berdasarkan atas hukum

(rechtstaat), negara mempunyai syarat atau kewajiban-kewajiban yang salah

satunya adalah melindungi hak-hak dan kebiasaan asasi manusia sebagai warga

negaranya dari tindakan sewenang-wenang dari pihak-pihak yang mempunyai

kuasa. Adanya pengakuan persamaan di depan hukum merupakan salah satu

bentuk pengakuan terhadap hak asasi manusia. Pengakuan dan persamaan di

depan hukum merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap hak asasi

manusia.

Perdagangan manusia juga tidak bisa dilepaskan dengan hak asasi manusia

karena masalah perdagangan manusia merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

Konsep perdagangan orang memuat makna bahwa korban dijadikan sebagai objek

perdagangan terutama berkaitan dengan eksploitasi seksual yang meliputi segala

bentuk pemanfaatan organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan.

Pegertian ini, pada umumnya hanya berkaitan dengan eksploitasi seksual

perempuan meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan pada organ dan bukan

organ laki-laki. Dalam kaitan dengan peningkatan kualifikasi tindak pidana

(31)

sebagai perbuatan mengeksploitasi perempuan dan anak merupakan perbuatan

yang merusak atau melanggar hak-hak asasi manusia.67

Setiap orang dalam konsep Hak Asasi Manusia (HAM) tidak dapat

menjadi objek perdagangan (objek hukum). Manusia hanya layak menjadi subjek

hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Oleh karena itu perbuatan Tindak

Pidana Perdagangan Orang merupakan perbuatan yang tergolong pelanggarangan

hak asasi manusia.

E. Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 06 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak

Suatu langkah maju Pemerintah Sumatera Utara telah melahirkan suatu

Peratuan Daerah Trafficking disahkan pada tanggal 6 Juli 2004., oleh gubernur

Sumatera Utara, T. Rizal Nurdin dan diundangkan pada tanggal 26 Juli 2004.

Dalam Perda ini bahwa perdagangan anak dan perempuan merupakan tindakan

yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi

manusia, dan mempunyai jaringan yang luas sehingga merupakan ancaman

terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan

yang dilandasi dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia baik nasional

maupun Internasional.68

Perempuan adalah penerus generasi bangsa yang merupakan makhluk

ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, untuk itu perlu dilindungi harga diri dan

martabatnya, serta dijamin hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai

67http://www.kompasiana.com/memposisikan perdagangan orang sebagai kejahatan luar

biasa. Diakses terakhir pada hari selasa, 4 Agustus 2015

68

(32)

dengan fitrah dan kodratnya, karena itu segala bentuk perlakuan yang menggangu

dan merusak hak-hak dasarnya dalam berbagai bentuk pemanfaatan dan

eksploitasi yang tidak berperikemanusiaan harus segera dihentikan.

Dalam kenyataannya masih ada sekelompok orang yang dengan teganya

telah memperlakukan Perempuan dan Anak untuk kepentingan bisnis, yakni

melalui perdagangan manusia (Trafficking). Trafficking terhadap perempuan dan

anak merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, korban

diperlakukan seperti barang dagangan yang dibeli, dijual, dipindahkan, dan dijual

kembali serta dirampas hak asasinya bahkan beresiko kematian.

Penghapusan perdagangan (Trafficking) perempuan dan anak dilakukan

dengan berasaskan penghormatan dan pengakuan atas hak-hak dan martabat

kemanusiaan yang sama dan perlindungan hak-hak asasi perempuan dan anak

(Pasal 2). Penghapusan perdagangan perempuan dan anak dalam Perda ini,

bertujuan untuk pencegahan, rehabilitasi, da reintegrasi perempuan dan anak

korban perdagangan (Pasal 3);

Masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk

berperan serta membantu upaya pencegahan dan penghapusan perdagangan

perempuan dan anak. Hal ini diwujudkan dalam pemberian :

a. Hak mencari, memperoleh, atau memberikan informasi dan atau melaporkan

adanya perdagangan perempuan dan anak kepada penegak hukum;

b. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan haknya

c. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada

(33)

atau pengiriman tenaga kerja agar tidak terjadi praktik-praktik yang menjurus

kepada perdagangan perempuan dan anak.

Sanksi pidana dalam perda ini terdapat dalam Pasal 28 yaitu : “Setiap orang yang melakukan, mengetahui, melindungi, menutup informasi, dan

membantu secara langsung maupun tidak langsung terjadinya perdagangan

perempuan dan anak dengan tujuan melakukan eksploitasi baik dengan atau tanpa

persetujuan untuk pelacuran, kerja, atau pelayanan, perbudakan atau praktik

serupa dengan perbudakan, pemindahan, atau transplantasi organ tubuh, atau

segala tindakan yang melibatkan pemerasan dan pemanfaatan fisik, seksual,

tenaga, dan atau kemampuan seseorang oleh pihak lain dengan secara

sewenang-wenang untuk mendapatkan keuntungan baik material maupun nonmaterial dapat

Referensi

Dokumen terkait

Dalam melakukan analisis pemeringkatan website PT Lion Air, PT Garuda Indonesia dan PT Sriwijaya Air, penulis menggunakan tools pemeringkatan web yaitu Alexa Rank untuk

Sejak awal dalam mengadakan penelitian lapangan, penulis dalam kapasitas sebagai peneliti senantiasa bekerja dengan seluruh data yang berupa catatan tertulis yang penulis

Pengalaman Belajar : Mengkaji makhluk hidup dan kehi-dupannya melalui pendekatan proses, mengkaji hubung-an antara makhluk hidup dengan ling-kungannya, termasuk peran

Variabel Usia Kawin Pertama (X1) memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap fertilitas. (Y) pada wanita pekerja di kota Palangka Raya dalam hal

Histon adalah protein yang mempunyai sifat basa dan dapat larut

JUDUL : JAMUR PENUNJANG HARAPAN HIDUP PASIEN KANKER HATI. MEDIA : HARIAN JOGJA TANGGAL : 29

Menurut British Standard BS EN ISO 7730, kenyamanan termal merupakan suatu kondisi dari pikiran manusia yang menunjukkan kepuasan dengan lingkungan termal.Definisi yang

Pedagogi kritis, tambahnya, menawarkan pisau untuk melakukan kritik terhadap pandangan-pandangan lama yang sudah ketinggalan jaman, merumuskan pandangan baru tentang