• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak dan Kewajiban Orang Tua Yang Hak Hadhanah Tidak

BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN ORANG TUA YANG HAK

B. Hak dan Kewajiban Orang Tua Yang Hak Hadhanah Tidak

Dalam perjalanan perkawinan tidak selamanya perkawinan tersebut seperti yang diharapkan menjadi keluarga yang harmonis dan bahagia tak jarang beberapa rumah tanggga mengalami konflik sehingga terjadi ketidakcocokan, terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus dan sebab-sebab lain sehingga perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi sedangkan upaya-upaya damai yang dilakukan pihak keluarga tidak berhasil.Dalam keadaan demikian, pada akhirnya yang ditempuh adalah perceraian.Dari ikatan perkawinan sebelumnya tersebut menyebabkan timbul berbagai akibat hukum, salah satunya yaitu timbulnya kewajiban orang tua terhadap anak. Selain itu perceraiantentunya akan membawa

171Hasyyiyah Ibnu Abidin, Vol.2 hlm 934.

akibat, dimana anak-anak tersebut harus hidup dalam suatu keluarga dengan orang tua tunggal baik dengan seorang ibu atau dengan seorang ayah saja. Bahkan terkadang anak harus tinggal dengan keluarga ayah tiri atau ibu tiri.Menurut Bahder Johan Nasution dan Sriwarjiyati “Bila terjadi pemutusan perkawinan karena perceraian, baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata mata demi kepentingan anak-anak mereka, pengadilan akan memutuskan siapa yang akan menguasai anak tersebut.173

Sebuah perkawinan menyebabkan timbul berbagai hubungan hukum, salah satunya yaitu timbulnya kewajiban orang tua terhadap anak. Berdasar Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang bunyinya sebagai berikut:

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

1. Baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak- anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak-anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.

Berdasarkan Pasal 41 Undang- Undang Perkawinan di atas, maka jelas bahwa meskipun suatu perkawinan sudah putus karena perceraian, tidaklah mengakibatkan

173 Bahder Johan dan Sri Warjiyati,

Hukum Perdata Islam, Komplikasi Peradilan Agama tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shadaqah, (Bandung :Madar Maju, 1997), hlm.35.

hubungan antara orang tua (suami dan isteri yang telah bercerai) dan anak - anak yang lahir dari perkawinan tersebut menjadi putus.

Undang - Undang Perkawinan mengatur hak dan kewajiban antara orang tua dan anak yang menyangkut beberapa hal, diantaranya mengatur tentang kewajiban pemeliharaan dan pendidikan, bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaik- baiknya, termasuk dalam hal biaya yang timbul dari pemeliharaan dan pendidikan dari anak tersebut.

Kemudian berdasarkan Undang-Undang Perkawinan tahun1974, kewajiban orang tua terhadap anak dimuat di dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 49;174

Pasal 45, berbunyi:

1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya.

2) Kewajiban orang tua yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Pasal 46, berbunyi;

(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. (2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang

tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bnila mereka itu memerlukan bantuannya

Pasal 47, berbunyi:

(1) Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

Pasal 48, berbunyi:

Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Pasal 49, berbunyi;

1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :

a. ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. ia berkelakuan buruk sekali.

2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.

Apabila orang tua dicabut hak pengasuhannya (hakhadhanah)dan ditunjuk wali untuknya, karena orang tua terbukti melalaikan tanggung jawabnya, tidak menghapuskan kewajibanorang tua yang bersangkutan untuk membiayai, sesuai dengan kemampuannya, penghidupan, pemeliharaan, dan pendidikan anaknya.175 1. Hak-Hak Orang Tua Yang HakHadhanahTidak Jatuh Kepadanya

Adapun hak–hak orang tua yang hak hadhanah tidak jatuh kepadanya atau dengan kata lain jatuh kepada salah orang tua lainnya, maka berdasarkan putusan yang diputus oleh hakim Mahkamah Syar’iyah Sinabang, adalah sebagai berikut;

Kasus pertama, gugatan yang diselesaikan Mahkamah Syar'iyah Sinabang mengenai gugatan hak asuh Putusan Mahkamah Syar’iyah Sinabang Nomor: 02/Pdt.G/2012/MS-Snb, Perkara ini terjadi antara Penggugat (R) melawan istrinya (RD). Sebelumnya telah terjadi perkawinan Penggugat dan Tergugat yang dilangsungkan pada tanggal 5 Juni 1994 yang dilaksanakan di Sibigo Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue. Selanjutnya setelah perkawinan berlangsung telah lahir pula 3 (tiga) orang anak, yaitu: RH (laki-laki), umur 13 (tiga belas) tahun, TH (laki-laki), Umur 9 tahun, dan AT (perempuan), umur 5 tahun.

Pada awalnya rumah tangga penggugat bersama Tergugat sebenarnya juga pernah mengalami keretakkan dan tidak harmonis.Bahkan Penggugat juga pernah mengajukan gugatan cerai dengan nomor registerasi perkara 36/Pdt.G/2009/MS- SNB, namun berhasil didamaikan karena pertimbangan dan memperhatikan kepentingan anak-anak mereka maka Penggugat mencabut kembali gugatannya.

Adapun yang menjadi permasalahannya dalam kasus ini Penggugat memohon agar majelis hakim menetapkan talak satu’ raj’i dari Penggugat kepada Tergugat. Sedangkan Tergugat menuntut agar hak hadhanah atas anak yang masih di bawah umur yang bernama TH dan AT berada pada Tergugat selaku ibu kandung. Selain itu juga apabila diceraikan oleh Penggugat maka Tergugat menuntut nafkah selama masa iddah sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah), Uang Mut’ah Rp. 2.500.000,-(dua juta lima ratus ribu rupiah), uang maskan dan kiswah Rp. 2.500.000,-(dua juta lima ratus ribu rupiah), dan juga menuntut agar Penggugat memberikan 1/3 (sepertiga) dari gajinya sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) sebagai nafkah anak.

Selanjutnya Penggugat menyatakan menyerahkan hakhadhanahatas anak yang masih di bawah umur kepada Tergugat dan mohon agar majelis hakim dapat mempertimbangan untuk memberikan hak hadhanah atas anak bernama RH (mumayyiz) kepada Pengggugat.

Oleh karena itu berdasarkan pertimbangan dan pembuktian dalam persidangan maka majelis hakim memutuskan: Mengabulkan gugatan Penggugat rekonvensi untuk sebagian; Menetapkan anak Penggugat rekonvensi yang bernama RH, umur 13 tahun berada di bawah Penggugat hal ini didasari oleh pilih dan keinginan dari RH sendiri yang dinyatakan dalam persidangan; sedangkan yang bernama TH, umur 9 tahun, dan AT, umur 5 tahun berada di bawah hadhanah Tergugat; Memerintahkan kepada Tergugat untuk memberikan kesempatan kepada masing-masing pihak untuk bertemu dengan anak-anaknya tersebut dan ikut bersamanya pada hari-hari libur atau hari-hari yang disepakati; Menghukum Penggugat membayar nafkah untuk 2 (dua) anak yang bernama TH, umur 9 tahun dan AT, umur 5 tahun kepada Tergugat sebesar Rp. 900.000 (Sembilan ratus ribu rupiah) setiap bulan hingga kedua anak tersebut dewasa atau hidup mandiri; Menghukum Penggugat untuk membayar kepada Tergugat yaitu: Uang Iddah Rp. 5. 000.000,- (Lima juta rupiah); Uang Mut’ah Rp. 2.500.000,- ( Dua juta lima ratus ribu rupiah); Uang maskan dan kiswah Rp. 2.500.000,- (Dua juta lima ratus ribu rupiah);Tidak Menerima untuk selain dan selebihnya;

Selanjutnya kasus kedua, gugatan yang diselesaikan Mahkamah Syar'iyah Sinabang mengenai gugatan hak asuh pada Putusan Mahkamah Syar’iyah Sinabang

Nomor: 41/Pdt.G/2011/MS-Snb, Kasus Kedua, perkara antara Penggugat (NY) melawan suaminya (NS). Dalam hal ini Penggugat mengajukan gugat perceraian terhadap Tergugat berserta nuntutan unntuk memperoleh hak hadhanah atas anak- anak yang masih di bawah umur yang telah lahir akibat perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat. Adapun dianataranya: AH (perempuan), umur 9 tahun, A (perempuan) umur 7 tahun, AHD (laki-laki) umur 4 tahun berada di bawahhadhanah

Penggugat selaku ibu kandung mereka. Adapun alasan Penggugat mengakhir rumah tangga bersama Tergugat yaitu seringnya terjadi percekokan yang terus-menerus yang disebabkan karena Tergugat tidak dapat menafkahi Penggugat dan anak-anaknya, sehingga selama 1 tahun terakhir ini Penggugat dan Tergugat tidak lagi hidup bersama atau pisah ranjang.

Selanjutnya setelah dilakukan pemanggilan secara sah dan patut oleh Mahkamah Syar’iyah Sinabang kepada Tergugat, tetapi Tergugat tidak juga hadir dan kenyataannya ketidakhadirannya itu tidak disebabkan suatu hal tertentu. Maka berdasarkan pertimbangan dan pembuktian maka Majelis memutuskan: Menyatakan Tergugat telah dipanggil secara sah dan patut tetap tidak hadir; Mengabulkan gugatan Penggugat secara verstek; Menjatuhkan talak satu ba’in shughra Tergugat terhadap Penggugat; Menetapkan anak Penggugat dan Tergugat masing-masing bernama: AH (perempuan), umur 9 tahun, A (perempuan) umur 7 tahun, AHD (laki- laki) umur 4 tahun berada di bawahhadhanahPenggugat berada di bawahhadhanah

Penggugat; Memerintahkan Panitera Mahkamah Syar’iyah Sinabang untuk mengirimkan sehelai salinan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

kepada PPN/KUA Kecamatan Teupah Selatan Kabupaten Simeulue untuk dicatat dalam daftar yang disediakann untuk itu; Memerintahkan kepada Penggugat untuk memberikan kesempatan kepada Tergugat selaku ayah kandung untuk bertemu dengan anaknya tersebut dan ikut bersamanya pada hari-hari libur sekolah atau hari- hari yang disepakati; Biaya yang timbul dalam perkara ini sejumlah Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) dibebankan kepada negara.

Selanjutnya gugatan yang diselesaikan Mahkamah Syar'iyah Sinabang mengenai gugatan hak asuh pada Putusan Mahkamah Syar’iyah Sinabang Nomor: 01/Pdt.G/2012/MS-Snb,Kasus ini berawal dari keinginan untuk bercerai Penggugat (PO) dengan suaminya (DS). Selama perkawinan berlangsung diantara mereka telah lahir pula seorang anak perempuan yang bernama CMD yang berumur 9 tahun. Perceraian ini di latar belakangi berbagai alasan menurut Penggugat diantaranya: selama satu tahun terakhir ini rumah tangga Penggugat dan Tergugat tidak lagi harmonis hingga sering terjadi percekokan terus-menerus diantara mereka. Bahkan Penggugat pernah diusir oleh penggugat dari kediaman bersama mereka, selain itu Penggugat juga sering mendapat perlakukan kasar seperti dipukuli sambil melontarkan kata-kata kasar dari Tergugat. Oleh karena itu Penggugat memohon agar perkawinan diantara Penggugat dan Tergugat putus karena perceraian dan anak yang masih di bawh umur (CMD) berada dalam pengasuhan Penggugat selaku ibu kandungnya. Selanjutnya Tergugat dalam dupliknya mengemukan bahwa, Penggugat tidak pantas memperoleh hak asuh dari anak mereka tersebut karena Penggugat memiliki akhlak yang tercela, hal ini didasari oleh perbuatan perselingkuhan dan

perzina yang Penggugat lakukan dengan pria lain yag bukan muhrimnya. Hal ini juga dibenarkan oleh Penggugat dalam persidangan walaupun Penggugat mengakui bahwa perselingkuhan tersebut hanya terjadi satu kali dan itu hanya selama 4 bulan saja. Selanjutnya selain itu Tergugat mengangap Penggugat tidak layak memperoleh hak asuh atas anak bernama CMD tersebut karena Pengugat sibuk berkerja di luar rumah sebagai Pegawai Negeri Sipil yang harus berkerja dari pagi hingga sore bahkan terkadang harus lembur hingga malam sementara kerabat terdekat Penggugat (ibu Penggugat) berada di Samarinda menetap disana sehingga tidak berada di kota yang sama dengan Penggugat. Oleh karenanya dikhawatirkan CMD akan terlantar bila berada dalam pengasuhan Penggugat. Dalam hal ini Tergugat juga menjelaskan bahwa selama Penggugat tidak lagi tinggal bersama dengan Tergugat di kediaman bersama mereka, maka CMD berada dalam memeliharaan sementara Tergugat dan orang tua Tergugat.Selama itu juga Penggugat tidak pernah menjenguk dan melihat CMD.

Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam perkara ini adalah masing- masing pihak berkeinginan untuk mengakhiri perkawinan diantara mereka dan para pihak juga menuntut untuk diberikan hak asuh (hadhanah) atas anak yang masih di bawah umur yang bernama CMD tersebut.

Berdasarkan pertimbangan dan pembuktian di depan Persidangan maka Majelis Hakim dalam Diktumnya memutuskan, bahwa: Dalam Rekonvensi: Mengabulkan gugatan Penggugat Konvensi, untuk sebagian; Menjatuhakan talak satuba’in sughra

Syar’iyah Sinabang untuk mengirimkan 1 (satu) helai salinan putusan ini setelah berkekuatan hukum tetap kepada PPN/Kantor Urusan Agama Kecamatan Barus Kabupaten Tapanuli Tengah, agar dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu; Menolak gugatan Penggugat konvensi untuk selain dan selebihnya. Selanjutnya Dalam Rekonvensi: Mengabulkan gugatan Penggugat rekonvensi; Menetapkan anak yang bernama CMD umur 9 tahun berada di bawah hadhanah Penggugat rekonvensi;Memerintahkan kepada Tergugat rekonvensi selaku ibu kandung untuk bertemu dengan anaknya tersebut dan ikut bersamanya pada hari-hari libur sekolah atau hari-hari yang disepakati. Kemudian Dalam Konvensi dan Rekonvensi; Menghukum Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 191.000,- (Seratus Sembilan puluh satu ribu rupiah).

Dari uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hak-hak orang tua yang hakhadhanahtidak jatuh padanya, diantara:

a. Hak Melihat Anak/ Hak Mengujungi Anak

Apabila sang anak berada dalam hak hadhanah(baik ia ibunya atau yang lain) maka ia tidak boleh melarang ayahnya atau yang lain(yang tidak memperoleh

hadhanah atas anak) untuk menjenguk anak tersebut dan diajurkan untuk

mempertemukan mereka di tempat sang ayah bisa menjenguknya atau ditempat yang telah mereka sepakati bersama. Begitu pula sebaliknya, ketika sang anak berada dalam hak hadhanah ayahnya ketika hak ibu untuk melaksanakan hadhanah gugur atau setelah berakhir masa asuhan, maka sang ayah tidak boleh melarang sang ibu untuk melihat anaknya sendiri, baik itu laki-laki maupun perempuan karena dengan

melarang berarti sang ayah memutuskan tali silaturahim antara keduannya. sebagaiman dalam QS. An-nisa ayat 1, yang artinya berbunyi: “ ….dan (peliharalah hubungan kekeluargaan, sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu”.

Akan tetapi, waktu beerkunjung juga tidak boleh terlalu lama, dan jika ia tidak memperbolehkan masuk ke dalam kediamannya maka ia harus membawa anaknya keluar agar ibunya dapat melihatnya. Mengenai batas waktu melihat anak tidak ada

nash pasti yang mengatur hal tersebut. Waktu tersebut bisa dianalogikan dengan waktu sang istri untuk menjenguk orang tuanya. Para fuqaha telah menetapkan, bahwa sang istri boleh keluar dari rumah untuk menjenguk orang tuanya sekali dalam sepekan. Hak ini pun dianalogikan kepada kunjungan kedua orang tua terhadap anaknya, karena urutan pertama adalah kunjungan anak kepada orang tuanya dan kedua adalah kunjungan orang tua kepada sang anak. Bila pengasuh itu bukan ibunya, misalnya bibinya dari ibu, atau bukan ayahnya maka sebagaimana sang ayah maka mereka juga berhak menjenguk. Tapi, tidak setiap pekan sebagaimana sang ayah atau sang ibu, melainkan mereka berhak melihat anak asuhan tersebut sekali dalam sebulan.

Satu hal yang perlu untuk diperingatkan bahwa siapapun yang pada akhirnya dipilih untuk diikuti, keberhasilan pendidikan agar menjadi anak yang saleh menjadi tanggungjawab bersama ayah dan ibunya.Segala sesuatunya di musyawarahkan bersama, perceraian ayah dan ibu jangan sampai berakibat si anak menjadi korban. Kepada anak jangan sampai sekali-kali menanamkan rasa benci kepada orang tua, ibu jangan sampai memburukkanayah di depan anak, begitupun sebaliknya. Anak yang

mengikuti ayah jangan sampai dipisahkan sama sekali dari ibunya dan anak yang ikut ibu jangan sekali-kali sampai terpisah hubungan dari ayahnya. Sehingga siraturrahmi diantara orang tua dan anak tetap terus terjalin meskipun orang tua tidak lagi terikat dalam ikatan perkawinan sampai anak-anak tersebut dewasa.

Walaupun telah bercerai, orang tua dari si anak tetap memiliki hak atas anak selain hak berkunjung yang ditentukan oleh Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama sebagaimana dijelaskan di atas maka orang tua yang tidak memiliki hak hadhanah

juga memiliki hak lainnya diantaranya:

b. Hak Mendapat Penghormatan Dari Anak

Setiap orang tua mempunyai hak untuk dihormati oleh anak-anak, begitu terhadap salah satu orang tua yang tidak memiliki hak hadhanah pasca perceraianberdasarkan putusan Mahakamah Syar’iyah atau Pengadilan Agama, tetap mempunyai hak untuk dihormati oleh anak-anak yang telah lahir dari perkawinannya sekalipun perkawinan tersebut telah berakhir. Jadi seorang mempunyai kewajiban untuk menghormati orang tuanya meskipun orang tuanya tersebut tidak ikut melaksanakan hadhanah.Oleh karenanya hendaklah orang tua menjadi suri teladan bagi anak yang selalu menjalankan perintah Allah SWT dan taat kepada ketentuan hukum positif yang berlaku.

c. Hak Menjadi Wali Nikah Bila Anak (perempuan) Melangsungkan Perkawinan

Menurut Zahri Hamid wali nikah adalah seorang laki-laki yang dalam suatu akad nikah berwenang mengijabkan pernikahan calon mempelai perempuan, adanya

wali nikah itu merupakan rukun yang harus dipenuhi dalam suatu akad perkawinan176.Bila hak hadhanahtidak berada pada orang tua laki-laki (ayah) maka orang tua laki-laki tersebut tetap memiliki hak menjadi wali nikah bagi anak perempuannya atau disebut sebagai wali nasab.177Adapun urutan mereka yang menjadi wali nikah diantaranya178:

1. Ayah kandung

2. Kakek, atau ayah dari ayah 3. Saudara se-ayah dan se-ibu 4. Saudara se-ayah

5. Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah dan se-ibu 6. Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah

7. Saudara laki-laki ayah

8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah

Daftar urutan wali di atas haruslah berurutan selama syarat-syarat sebagai wali terpenuhi.Sehingga bila ayah kandung masih hidup, maka tidak boleh hak kewaliannya itu diambil alih oleh wali pada nomor urut berikutnya.Kecuali bila ayah atau pihak yang bersangkutan memberi izin, haknya itu kepada mereka.

Selanjutnya seorang wali berhak mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain, meski tidak termasuk dalam daftar para wali. Hal itu biasa sering dilakukan di tengah masyarakat dengan meminta kepada tokoh ulama maupun tokoh masyarakat setempat yang dihormati, untuk menjadi wakil dari wali yang sah, oleh karena itu perlu ada akad antara wali dan orang yang mewakilkan.

176Zahri Hamid, Beberapa Masalah tentang Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan

Secara Sosiologi Hukum,( Jakarta:PT. Pradya Paramita, 1987), hlm 29.

177

HasilWawancara dengan Mucsin, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Kab. Simeulue,

Wawancarapada Tanggal21 Mei 2013.

Jadi jelaslah, meskipun hak hadhanah berada pada ibu dan sekalipun ibu telah kawin lagi dengan laki-laki lain (ayah tiri), maka tetap ayah kandung dari anak perempuan tersebut memiliki hak untuk menjadi wali pada akad perkawinan anak kandung perempuannya. Kecuali ayah kandungnya tidak memenuhi syarat-syarat sebagai wali sebagaimana diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 22 Kompilasi Hukum Islam, atau karena ia melimpahkan kewenangannya sebagai wali tersebut kepada orang yang ditunjukknya untuk diwakilkan.

d. Hak Menjadi Ahli Waris Dari Anak-Anaknya

Sebagai ayah dan ibu yang telah melahirkan anak kedunia ini maka orangtua dan anak tentu memiliki hubungan darah atau dalam Islam disebut pewaris nasab.Dalam ketentuan hukum Islam orang tua memiliki bagian dalam harta peninggalan anak-anaknya yang telah meninggal dunia sekalipun anak tersebut telah kawin dan memiliki keturunan.Jadi bila ada anak di bawah umur dan berada pada hak

hadhanah salah satu orang tuanya maka bila anak tersebut meninggal dunia dan

memiliki harta maka orang tua yang tidak memiliki hakhadhanahtetap memiliki hak menjadi ahli waris dari anaknya tersebut179.Hal yang sama dapat kita lihat dalam Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi:

1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari: a. Menurut hubungan darah:

179

HasilWawancara dengan Mardiah, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Kab.Simeulue, Tanggal 21 Mei 2013.

- Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.

- Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.

2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Selanjutnya bila anak yang berada dalam hadhanah tersebut tidak memiliki saudara-saudara sekandung atau hanya diwarisi oleh ibu bapaknya maka ibu mendapat sepertiga dan sisanya menjadi bagian ayah. Sedangkan bila anak tersebut mempunyai beberapa saudara maka ibu mendapat seperenam bagian sebagaimana yang dijelaskan dalam surat an-Nisa ayat 11. Sedangkan ayah dan saudara- saudaranya menjadiashabah.180

2. Kewajiban Orang Tua Yang HakHadhanahTidak Jatuh Kepadanya

Berdasarkan penyelesaikan sengketa hadhanah baik itu secara kekeluargaan (damai) maupun melalui pengadilan maka dapat disimpulkan bahwa, hak dan kewajiban orang tua/ orang yanghadhanahtidak jatuh padanya diantaranya:

a. Kewajiban Menafkahi Anak

Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 maupun Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam dan peraturan perundang-undangan

Dokumen terkait