• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HUBUNGAN HUKUM KONSUMEN DENGAN CV PANDU

B. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Jual Beli

2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

a) Berhak untuk meminta kembali kepada debitur berupa pembayaran atas fasilitas pembiayaan kendaraan bermotor roda dua sesuai dengan jumlah angsuran dari hutang pokok berikut bunga.

b) Berhak untuk mengambil dimanapun dan ditempat siapapun kendaraan tersebut berada apabila debitur tidak melunasi sebagian atau seluruh jumlah terhutang atau tidak memenuhi kewajibannya menurut ketentuan perjanjian pembiayaan konsumen.

c) Berhak untuk menyimpan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) berikut faktur kendaraan selama hutang pihak debitur belum dilunasi.

2.2 Kewajiban Pelaku usaha

a) Berkewajiban untuk menyerahkan fasilitas pembiayaan kepada debitur.

b) Berkewajiban untuk menyerahkan Surat Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) kepada debitur jika seluruh hutang pokok dan bunganya telah dibayar lunas.

Kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan yang telah ditentukan pada umumnya berlaku untuk semua pihak debitur yang terikat dalam perjanjian ini.

Adapun kewajiban dan larangan pihak pembeli telah di tetapkan dalam suatu perjanjian dan bersifat memaksa

C. Tanggung Jawab Pelaku Usaha dalam Perjanjian Jual Beli Kendaraan Bermotor pada CV Pandu Mitra Motor Cabang Pangururan Kabupaten Samosir

Perlindungan konsumen merupakan istalah yang digunakan untuk menggambarkan aspek perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen

dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan hak-hak konsumen yang sering kalinya diabaikan oleh pelaku usaha. Pelanggaran hak-hak konsumen oleh pelaku usaha dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diataranya faktor yang mempengaruhi yaitu pelaku usaha memandang konsumen sebagai pihak lemah yang dapat dipengaruhi dan ditipu daya untuk mendapatkan keuntungannya sendiri daripada memikirkan kebutuhan konsumen itu sendiri terhadap barang atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha.44 Secara umum dikenal 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu : hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety), hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed), hak untuk memilih (the right to choose), dan hak untuk di dengar (the right be heard).

Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Maka daripada itu diperlukan aspek hukum untuk membantu mendorong terwujudnya lingkungan bisnis yang sehat dan perlindungan terhadap hak-hak konsumen dapat berjalan maksimal, serta bagi pelaku usaha untuk lebih bertanggung jawab dalam menjalankan usahanya. Tanggung jawab merupakan kewajiban bagi pelaku usaha untuk menanggung segala sesuatu akibat yang telah merugikan konsumennya atas perbuatan yang telah dilakukannya baik secara sengaja maupun tidak sengaja.45 Dalam hal tanggung jawab pelaku usaha sebenarnya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan

44Soejorno Soekanto, Ringkasan Metodelogi Penelitian Hukum Empiris, Jakarta: Indo Hill-Co,1990,hal 110-114

45Prema Satya Arjuna, “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Laundry Terkait dengan Klausa Eksonerasi Perjanjian Laundry di Kecamatan Kediri.” Jurnal Kertha Semaya 1 Nomor 12, 2017, hal 7.

perundang-undangan yang secara signifikan mengatur tentang tanggung jawab pelaku usaha ialah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen selanjutnya yang disebut dengan istilah UUPK.

Pada dasarnya tanggung jawab harus memiliki suatu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seseorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum orang lain untuk memberi pertanggung jawaban.46

Dalam UUPK tanggung jawab pelaku usaha secara spesifik dituangkan dalam Bab VI, yaitu Pasal 19 sampai dengan Pasal 28, diantarnya :47

1. Tujuh pasal, yaitu Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 yang mengatur tentang pertanggung jawaban pelaku usaha;

2. Pasal 22 dan Pasal 28 yang mengatur tentang pembuktian;

3. Pasal 23 yang mengatur penyelesaian sengketa dalam hal pelaku usaha tidak memenuhi kewajibannya untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen.

Pada Pasal 19 ayat (1) UUPK yang sering dijadikan dasar hukum oleh konsumen untuk dapat menuntut ganti rugi kepada pelaku usaha,48 yang dimana pada pasal tersebut memaparkan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

Prinsip tanggung jawab merupakan hal yang penting dalam hukum perlindunga konsumen secara umum terdapat lima prinsip tanggung jawab, yaitu

46Sukmawati Dewi Made, “Tanggung Jawab Hukum Pelaku Online Shop Terhadap Konsumen Akibat Peredaran Produk Kosmetik Palsu.” Jurnal Kertha Semaya 7 Nomor 3 , 2019, hal 6-7.

47Widjaja Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal 62-65.

48Darmayanti Kadek, “Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen di Indonesia”

Jurnal Kertha Semaya 2 Nomor 2, 2014, hal 1-4.

prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault principle), prinsip praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability principle), prinsip praduga tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliabilit principle), prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability principle), dan prinsip pembatasan tanggung jawab (limitation of liability principle).49

a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault principle)

Dalam prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggung jawaban secara hukum apabila adanya unsur kesalahan yang dilakukan. Pada Pasal 1365 KUHPerdata yang lazim dikenal tentang perbuatan melawan hukum mengharuskan terpenuhinya 4 (empat) unsur pokok, yaitu : adanya perbuatan, adanya unsur kesalahan, adanya kerugian yang di derita, dan adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian.

b. Prinsip praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability principle) Pada prinsip ini menyatakan tergugat dianggap selalu bertanggung jawab, sampai ia dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, jadi beban pembuktian ada pada tergugat. Hal ini sering dikenal dengan teori pembalikan beban pembuktian yang menyatakan bahwa seseorang dianggap bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya, walaupun terlihat seperti bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah yang telah lazim dikenal dalam kalangan hukum.

49Putri Dianata Putu, “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Terkait Produk Kosmetik Tanpa Komposisi Bahan” Jurnal Kertha Semaya 6 Nomor 10, 2018, hal 9-10.

c. Prinsip praduga tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliabilit principle)

Prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, karena dalam prinsip praduga tidak selalu bertanggung jawab ini hanya di kenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas.

Contohnya dapat dilihat dalam hukum pengangkutan, kehilangan atau kerusakan pada bagai atau kabin tangan yang biasa dibawa penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab penumpang, artinya pelaku usaha tidak dapat dimintai pertanggung jawaban.

d. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability principle)

Pada prinsip ini merupakan prinsip tanggung jawab yang menerapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan, terdapat pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab misalnya keadaan force majeur. Pada prinsip ini hubungan kausalitas antara pihak yang bertanggung jawab dengan kesalahannya harus ada.

e. Prinsip pembatasan tanggung jawab (limitation of liability principle)

Prinsip ini merupakan salah satu prinsip yang di gemari oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung jawab ini dapat dikatakan sering merugikan pihak konsumen, bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha dan dalam UUPK seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya.

Pelaku usaha menjelaskan bahwa bentuk tanggung jawab terhadap kerugian yang di derita oleh konsumennya berdasarkan atas perjanjian yang

tertera dan menggunakan sistem kesepakatan antara pelaku usaha dengan konsumen untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, yang dimana artinya apabila ada pengaduan konsumen yang merasa bahwa dirinya dirugikan maka pelaku usaha akan bertanggung jawab dengan melihat dan menimbang kerugian apa yang di derita oleh konsumennya apabila memang terbukti pelayanannya telah merugikan konsumen maka ia akan melakukan perundingan kepada konsumennya untuk mendapatkan cara menyelesaikan permasalahan kepada customernya, akan tetapi apabila kerugian itu tidak dapat dibuktikan, seperti contohnya konsumen melakukan pengaduan bahwa ia telah kehilangan barangnya atau merusak barang dengan sengaja tetapi ia tidak bisa membuktikan dan menunjukan kerugiannya, tidak akan memberikan kompensasi dengan perjanjian yang ada.50 Tanggung terhadap konsumen sesuai dengan Pasal 12 ayat (1) Surat Perjanjian Pembiayaan yaitu tanggung jawab pada kondisi/kerusakan fisik barang sebelum hingga saat pengiriman serta pengurusan seluruh dokumen kendaraan. Maka daripada itu, berdasarkan hasil penelitian dengan melakukan wawancara tersebut pelaku usaha menggunakan tanggung jawab terhadap kerugian yang dialami konsumen berdasarkan perjanjian yang atau pelaku usaha memberikan kelonggaran untuk menyesuaikan kesepakatan yang dapat dicapai dengan konsumen. Tanggung jawab tersebut termasuk dalam prinsip liabilty based on fault dan limitation of liability, yang dimana pelaku usaha jasa ini akan dapat di mintai pertanggung jawaban apabila memang terbukti melakukan kesalahan atas kelalaian yang merugikan konsumen dan menyesuaikan dengan perjanjian yang tertera.

50 Wawancara dengan Etta Malau, Sales Manager CV Pandu Mitra Motor Cabang Pangururan Kabupaten Samosir, Tanggal 18 Januari 2021, Pukul 10.00 WIB.

BAB III

PELAKSANAAN PERJANJIAN JUAL BELI KENDARAAN BERMOTOR PADA CV PANDU MITRA MOTOR CABANG PANGURURAN

KABUPATEN SAMOSIR

A. Perjanjian Jual Beli pada CV Pandu Mitra Motor Cabang Pangururan Kabupaten Samosir

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari bermacam-macam kebutuhannya tersebut. Di zaman yang modern ini, alat transportasi juga merupakan salah satu kebutuhan manusia, salah satunya adalah sepeda motor.

Sepeda Motor merupakan salah satu alat transportasi yang sangat vital, karena dengan memiliki dan menggunakan sepeda motor dapat mendukung kebutuhan aktifitas manusia. Selain itu sepeda motor lebih mudah dan praktis dibanding dengan alat transportasi lainnya untuk mendukung segala aktifitas manusia. Oleh karena itu kebutuhan akan sepeda motor sebagai alat transportasi sangatlah tinggi.

Selain praktis, ekonomis dan mudah dalam pengoperasian berkendaraan, sepeda motor juga tepat untuk segala kondisi jalan menjadikan sepeda motor sebagai sarana transportasi yang penting bagi konsumennya. Hal ini memacu para produsen kendaraan untuk menciptakan inovasi baik dari segi mutu, model dan teknologi produknya untuk mendapat simpati dari konsumen. Sedangkan dari segi pemasaran, produsen berusaha melakukan kegiatan pemasaran yang efektif antara lain dengan melakukan promosi untuk menawarkan dan mempromosikan produk baru yang dikeluarkan yaitu dengan berbagai macam periklanan baik melalui media cetak maupun elektronik. Dengan harapan volume penjualan dapat meningkat, kepuasaan konsumen akan terpenuhi, dan laba perusahaan akan meningkat. Upaya untuk meningkatkan volume penjualan tersebut dilakukan melalui studi atau penelitian dengan maksud mencari sejumlah informasi tentang

faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam membeli dan meningkatkan permintaan terhadap sebuah produk. Sistem jual beli beraneka ragam, hingga jual beli di bidang transportasi yang semakin pesat, memberikan dampak terhadap perdagangan otomotif, dibuktikan dengan munculnya berbagai jenis sepeda motor baru dari berbagai merek. Model dan tipe sepeda motor baru dengan banyak fasilitas dan kemudahan, sehingga banyak diminati oleh pembeli, tidak jarang untuk membeli model dan tipe baru dari suatu merek.

Istilah perjanjian jual beli berasal dari terjemahan contract of sale.

Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan 1540 KUH Perdata.

Yang dimaksud dengan jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan , dan pihak lain untuk membayar harga yang dijanjikan (Pasal 1547 KUH Perdata). Esensi dari defenisi ini penyerahan benda dan membayar harga. Jual beli menurut Pasal 1457 KUH Perdata, suatu persetujuan, dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan sesuatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Perjanjian jual beli merupakan suatu ikatan bertimbal balik dimana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas jumlah sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.51

Ada tiga hal yang tercantum dalam defenisi ini, yaitu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan barang kepada pembeli dan menjaminnya, serta membayar harga.52

51R.Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti,1995, hal 12.

52Salim HS, Op.Cit, hal 48.

Objek perjanjian jual beli cukup barang-barang tertentu, setidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak miliknya kepada si pembeli, sehingga menjadi sah dalam perjanjian jual beli. Unsur-unsur pokok perjanjian jual beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas

“konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian hukum perdata, perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya kata “sepakat” mengenai barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah.53

Hukum perjanjian dari hukum perdata menganut asas konsensualisme.

Artinya, untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu (dengan demikian “perikatan” yang ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus sebagaimana dimaksudkan di atas. Pada detik tersebut perjanjian sudah jadi dan mengikat, bukannya pada detik-detik lain yang terkemudian atau sebelumnya.

Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu :54

(1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

(2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;

(3) Suatu hal tertentu;

(4) Kausa/sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama merupakan syarat yang menyangkut subjeknya (syarat subjektif) sedangkan dua syarat terakhir adalah mengenal objeknya (syarat objektif). Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada subjeknya tidak selalu menjadikan perjanjian tersebut menjadi batal dengan sendirinya, tetapi seringkali

53R.Subekti, Hukum Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002, hal 29.

54R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta:

Pradnya Paramita, 1996, hal 339.

hanya memberikan kemungkinan untuk dibatalkan, sedangkan perjanjian yang cacat dalam segi objeknya adalah batal demi hukum.

Dalam jual beli ada dua subjek, yaitu penjual dan pembeli, yang masing-masing mempunyai berbagai kewajiban dan berbagai hak. Subjek yang berupa manusia, harus memenuhi syarat umum untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat pikirannya dan secara hukum tidak dilarang atau diperbatasi dalam hal melakukan perbuatan hukum yang sah.

Untuk orang yang belum dewasa, harus didampingi orangtua atau walinya, untuk orang-orang yang tidak sehat pikirannya, harus bertindak seorang pengawas atau kuratornya.

Apabila subjek dari jual beli adalah si penjual dan pembeli, yaitu unsur-unsur yang bertindak, maka objek dari jual beli adalah barang yang oleh mereka dijual atau dibeli. Untuk menentukan apa yang menjadi objek jual beli adalah barang atau hak yang dimiliki. Ini berarti, bahwa yang dapat dijual atau dibeli itu tidak hanya barang yang dimiliki, melainkan suatu hak atas barang yang bukan hak milik. Syarat dari objek jual beli adalah layak, apabila pada waktu jual beli terjadi. Apabila barang sudah musnah sama sekali, maka perjanjian batal, sedangkan apabila barangnya hanya sebagian saja musnah, maka si pembeli dapat memilih anatara pembatalan jual beli atau penerimaan bagian barang yang masih ada dengan pembayaran sebagian dari harga yang sudah diperjanjikan.55

Apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan barang namun ada hal lain yang disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual beli tetap tidak terjadi karena tidak terjadi kesepakatan. Akan tetapi, jika para pihak

55R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT.Intermasa, 1985, hal 163.

telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut, dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, klausul-klausul yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan-ketentuan tentang jual beli yang ada dalam perundang-undangan (BW) atau biasa disebut unsur naturalia.56

Tentang perjanjian jual beli, dianggap sudah berlangsung antara pihak penjual dan pembeli, apabila mereka sudah menyetujui dan bersepakat tentang keadaan benda dan harga barang tersebut, sekalipun barangnya belum diserahkan dan harganya belum dibayarkan. Jual beli tiada lain dari persesuaian kehendak antara penjual dan pembeli mengenai barang dan harga. Harga dan baranglah menjadi essensial perjanjian jual beli. Tanpa ada barang yang hendak di jual, tidak mungkin terjadi jual beli. Sebaliknya jika barang objek jual beli tidak di bayar dengan sesuatu harga, maka jual beli tersebut dianggap tidak ada. Maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian jual beli adalah perjanjian antara dua pihak yaitu penjual dan pembeli dimana sipenjual mengikatkan dirinya atas suatu barang terhadap pembeli, yang dimana suatu barang yang sudah diserahkan menjadi hak milik dari sipembeli yang dimana sebagai jaminannya adalah pihak pembeli harus membayar harga barang tersebut sesuai dengan yang ditentukan oleh kedua pihak serta cara pembayaran yang dipilih oleh si pembeli telah disetujui pihak penjual.57

B. Bentuk Perjanjian Jual Beli pada CV Pandu Mitra Motor Cabang Pangururan Kabupaten Samosir

Secara umum ada beberapa jenis perjanjian jual beli yang dikenal, antara lain yaitu:

56Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: Raja Grafindo Perdasa, 2007, hal 127.

57Wawancara dengan Etta Malau, Sales Manager CV Pandu Mitra Motor Cabang Pangururan Kabupaten Samosir, Tanggal 18 Januari 2021, Pukul 10.00 WIB.

1. Jual Beli Percobaan

Jual beli percobaan diatur dalam Pasal 1463 KUH Perdata, jual beli percobaan merupakan pembeli baru akan memberi kepastian. Jadi tidaknya jual beli setelah pembeli melakukan percobaan atau mencoba barang yang hendak dibeli. Setelah melakukan percobaan barulah pembeli memberi persetujuan tentang sesuai atau tidak barang yang hendak dibeli, seolah- olah mencoba barang yang hendak dibeli tadi merupakan syarat yang menunda (opschotende voorazande). Misalnya, mencoba benda yang akan dibeli, maka percobaan yang dillakukan pembeli atas benda itu menunda pelaksanaan jual beli. Apakah jual beli dengan percobaan harus terjadi secara tegas atau bisa juga terjadi secara diam-diam. Untuk menjawab pertanyaan pertanyaan itu kita akan melihat Pasal 1463 KUH Perdata yang menyebutkan : “Segala barang-barang yang biasanya harus dicoba lebih dahulu, dianggap sebagai jual beli dengan syarat yang harus dipenuhi, agar persetujuan mulai dapat dilaksanakan”. Jadi tergantung pada kebiasaan suatu benda, kalau benda itu kebiasaan telah menentukan harus dicoba lebih dahulu, tanpa disebut secara tegas, dianggap jual beli dengan percobaan.

2. Jual Beli Dengan Contoh

Mengenai jual beli dengan contoh, tidak ada disebut-sebut dalam undang-undang kecuali sepintas lalu disebut dalam Pasal 69 KUH Dagang. Padahal dalam praktek sehari-hari, banyak sekali terjadi jual beli dengan contoh. Jual beli dengan contoh biasanya terjadi atas objek barang-barang generik. Penjual memberi atau memperlihatkan pembeli sejumlah barang sesuai dengan kualitas yang telah disetujui. Kalau penjual hanya menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan kualitas contoh yang telah disetujui, berarti dapat “cacat” pada barang yang

diserahkan oleh penjual. Penjual tidak melaksanakan prestasi menurut sepatutnya.

Hal ini merupakan tindakan yang dapat membawa penjual kepada keadaan wanprestasi. Bila terjadi perselisihan anatara penjual dan pembeli tentang tidak adanya cacat atas barang yang diserahkan, untuk membuktikannya kedua belah pihak harus “menguji” kebenarannya dengan “contoh semula”.58

3. Jual Beli Dengan Panjar

Jual beli ini diatur dalam Pasal 1464 KUH Perdata yang berbunyi : “Jika pembelian dibuat dengan memberi uang panjar tidak dapatlah salah satu pihak meniadakan pembelian itu dengan memiliki atau mengembalikan uang panjarnya”. Maksud jual beli yang diatur dalam Pasal 1464 KUH Perdata ini, baik pihak pembeli tidak dapat membatalkan perjanjian jual beli dengan mengikhlaskan hilangnya panjar yang telah diberikan oleh pihak pembeli kepada penjual, maupun penjual tidak dapat membatalkannya dengan mengembalikan panjar itu kepada pembeli.59 Berarti antara penjual penerima panjar dan pembeli pemberi panjar, sudah dipersatukan oleh perikatan. Hal ini berbeda dengan Hukum adat di Jawa Tengah dan di Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengatur hal itu dengan cara yaitu pembeli dapat membatalkan perjanjian jaul beli dengan mengikhlaskan panjar kepada penjual, sedangkan penjual juga berhak membatalkannya dengan mengembalikan panjar ditambah dengan denda yang jumlahnya sama besarnya dengan panjar kepada pembeli.

4. Jual Beli Piutang dan Hak-Hak Tidak Berwujud Lain

Apa yang diatur dalam bagian ini tidak lain daripada jual beli mengenai hak-hak (rechten), sebenarnya undang-undang sudah mengatur beberapa hak. Ada

58Salim HS, Op.Cit, hal 86.

59R.M. Suryadiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Bandung: Tarsito, 1992, hal 31.

hak-hak yang melekat pada benda berwujud dan ada pula melekat pada benda-benda tidak berwujud. Namun memang ada benarnya, bahwa setiap apa yang disebut “hak” pada dasarnya adalah suatu yang tidak berwujud, kewajiban hak-hak itu menyangkut hak-hak-hak-hak kebendaan. Akan tetapi bukan itu yang dipersoalkan dalam pembicaraan ini. Yang menjadi tujuan permasalahan bukan hak-hak kebendaan. Yakni hak-hak dalam arti sempit yang meliputi sepanjang yang bersangkutan dengan hak-hak warisan. Itulah sebabnya objek jual beli hak-hak berwujud kebendaan, lebih mendekati hak-hak yang menyangkut hak-hak perseorangan dan piutangpiutang. Pasal 1533 KUH Perdata menyebutkan “Bahwa penjualan suatu piutang meliputi segala sesuatu yang melekat padanya. Seperti penanggungan hak-hak istimewa dan hipotik-hipotik”. Ketetuan pasal 1533 tersebut persis betul dengan ketentuan Pasal 1482 KUH Perdata yang menyebutkan : penyebaran suatu barang termasuk “segala sesuatu yang menjadi

hak-hak yang melekat pada benda berwujud dan ada pula melekat pada benda-benda tidak berwujud. Namun memang ada benarnya, bahwa setiap apa yang disebut “hak” pada dasarnya adalah suatu yang tidak berwujud, kewajiban hak-hak itu menyangkut hak-hak-hak-hak kebendaan. Akan tetapi bukan itu yang dipersoalkan dalam pembicaraan ini. Yang menjadi tujuan permasalahan bukan hak-hak kebendaan. Yakni hak-hak dalam arti sempit yang meliputi sepanjang yang bersangkutan dengan hak-hak warisan. Itulah sebabnya objek jual beli hak-hak berwujud kebendaan, lebih mendekati hak-hak yang menyangkut hak-hak perseorangan dan piutangpiutang. Pasal 1533 KUH Perdata menyebutkan “Bahwa penjualan suatu piutang meliputi segala sesuatu yang melekat padanya. Seperti penanggungan hak-hak istimewa dan hipotik-hipotik”. Ketetuan pasal 1533 tersebut persis betul dengan ketentuan Pasal 1482 KUH Perdata yang menyebutkan : penyebaran suatu barang termasuk “segala sesuatu yang menjadi

Dokumen terkait