• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Dalam Kepailitan

BAB II HAK KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN

D. Hak Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Dalam Kepailitan

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa dalam UUK dikenal adanya tiga golongan kreditur, salah satunya adalah kreditur separatis, yaitu kreditur pemegang hak benda jaminan, seperti halnya pemegang Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT. Oleh karena itu, putusan pernyataan pailit pada debitur tidak mempunyai pengaruh terhadap pemegang Hak Tanggungan, atau kreditur pemegang Hak Tanggungan dianggap sebagai kreditur istimewa.

Berdasarkan asas yang melekat pada Hak Tanggungan, maka hak keutamaan sebagai kreditur preferen memberikan kedudukan untuk didahulukan pelunasan utangnya dibandingkan dengan kreditur lain. Hak Tanggungan juga memberikan hak separatis kepada pemegang Hak Tanggungan, dalam arti kreditur dapat menjual sendiri dan mengambil sendiri hasil penjualan benda debitur.

Perlindungan atas hak eksekutorial kreditur separatis telah ada sejak periode Stb. 1905 Nomor 217 jo Stb. 1906 No. 348 tentang faillissementsverordening (selanjutnya disebut FV), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dan (3) FV. Pengaturan tersebut masih tetap diikuti dalam Perpu nomor 1 Tahun 1998, UU No. 4

Tahun 1998, maupun UU No.37 Tahun 2004. Dari sini nampak jelas, para pembentuk UUK memberikan penghormatan yang cukup tinggi terhadap eksistensi hukum jaminan, khususnya hak eksekutorial kreditur separatis.

Pada masa Perpu Nomor 1 tahun 1998, diperkenalkan lembaga stay yaitu penangguhan pelaksanaan hak eksekutorial kreditur preferen selama 90 hari sejak putusan pernyataan pailit diucapkan. Meskipun secara prinsip kepailitan tidak menghalangi dilaksanakannya eksekusi atas jaminan preferen, kecuali untuk piutang yang dijaminkan dengan uang tunai, selama kurator dapat memberikan jaminan perlindungan yang wajar bagi kreditur, Pasal 56 ayat (1) memberikan hak kepada kurator untuk menangguhkan eksekusi untuk jangka waktu selama 90 hari terhitung sejak tanggal putusan pailit ditetapkan. Yang dimaksud dengan penangguhan eksekusi jaminan utang dalam hukum pailit adalah dalam masa-masa tertentu, sungguhpun hak untuk mengeksekusi jaminan utang ada ditangan kreditur preferen, tetapi dia tidak dapat mengeksekusinya. Jadi dia berada dalam “masa tunggu” untuk masa tertentu, setelah masa tunggu tersebut lewat, baru dibenarkan untuk mengeksekusi jaminan utangnya.

Dalam prinsippari passu prorata parte berarti bahwa harta kekayaan debitur pailit tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali jika antara para kreditur itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran

tagihannya.71 Prinsip ini menekankan pada pembagian harta debitur untuk melunasi utang-utangnya terhadap kreditur secara lebih berkeadilan dengan cara sesuai dengan proporsinya (pond-pond gewijs) dan bukan dengan cara sama rata.

Jika dalam prinsip paritas creditorium bertujuan untuk memberikan keadilan kepada semua kreditur tanpa pembedaan kondisinya terhadap harta kekayaan debitur kendatipun harta kekayaan debitur tidak berkaitan langsung dengan transaksi yang dilakukannya, maka prinsip pari passu prorata parte memberikan keadilan kepada kreditur dengan konsep keadilan proporsional, dimana kreditur yang memiliki piutang yang lebih besar, maka akan mendapatkan porsi pembayaran piutangnya dari debitur lebih besar dari kreditur yang memiliki piutang yang lebih kecil daripadanya. Seandainya kreditur disamaratakan kedudukannya tanpa melihat besar kecilnya piutang, maka akan menimbulkan suatu ketidakadilan sendiri.

Ketidakadilan pembagian secara paritas creditorium dalam kepailitan akan muncul ketika harta kekayaan debitur pailit lebih kecil dari jumlah utang-utang debitur. Seandainya harta kekayaan debitur pailit lebih besar dari jumlah seluruh utang-utang debitur, maka penerapan prinsip pari passu prorata parte menjadi kurang relevan. Demikian pula penggunaan lembaga hukum kepailitan terhadap debitur yang memiliki aset lebih besar dari jumlah seluruh utang-utangnya adalah tidak tepat dan kurang memiliki relevansinya. Sejatinya kepailitan akan terjadi jika aktiva lebih kecil dari pasiva. Kepailitan adalah sarana untuk menghindari perebutan

71

Kartini Muljadi, Actio Paulina dan Pokok-Pokok Tentang Pengadilan Niaga, (Bandung : Alumni, 2001), hal. 300

harta debitur setelah debitur tidak lagi memiliki kemampuan untuk membayar utang- utangnya. Sejatinya pula kepailitan digunakan untuk melindungi kreditur yang lemah terhadap kreditur yang kuat dalam memperebutkan harta debitur. Sehingga pada hakikinya, prinsippari passu prorata parteadalah inheren dengan lembaga kepailitan itu sendiri.

Penggunaan prinsip paritas creditorium yang dilengkapi dengan prinsip pari passu prorata parte dalam konteks kepailitan juga masih memiliki kelemahan jika antara kreditur tidak sama kedudukannya bukan persoalan besar kecilnya piutang saja tetapi tidak sama kedudukannya karena ada sebagian kreditur yang memegang jaminan kebendaan dan/atau kreditur yang memiliki hak preferensi yang telah diberikan oleh undang-undang.

Apabila kreditur yang memegang jaminan kebendaan disamakan dengan kreditur yang tidak memegang jaminan kebendaan adalah bentuk sebuah ketidakadilan. Bukankah maksud adanya lembaga jaminan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang jaminan tersebut. Jika pada akhirnya disamakan kedudukan hukumnya antara kreditur pemegang Hak Tanggungan dengan kreditur yang tidak memiliki jaminan kebendaan, maka adanya lembaga hukum jaminan menjadi tidak bermakna lagi. Demikian pula dengan kreditur yang oleh undang-undang diberikan keistimewaan yang berupa hak preferensi dalam pelunasan piutangnya jika kedudukannya disamakan dengan kreditur yang tidak diberikan preferensi oleh undang-undang, maka untuk apa undang-undang melakukan pengaturan terhadap kreditur-kreditur tertentu dapat memiliki kedudukan istimewa

dan karenanya memiliki preferensi dalam pembayaran terhadap piutang-piutangnya. Ketidak adilan seperti ini diberikan jalan keluar dengan adanya prinsip structured creditors(ada yang menyebut dengan nama prinsipstructured prorata).72

Adapun prinsip structured creditors adalah prinsip yang mengklasifikasikan dan mengelompokan berbagai macam kreditur sesuai dengan kelasnya masing- masing. Dalam kepailitan sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya kreditur diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu: kreditur separatis, kreditur preferen, dan kreditur konkuren. Penstrukturan kreditor tersebut adalah memiliki makna tentang preferensi masing-masing kreditor tersebut atas harta debitor untuk memenuhi kewajiban utang terhadap para kreditornya tersebut.

Pembagian kreditur menjadi tiga klasifikasi tersebut di atas berbeda dengan pembagian kreditur pada hukum perdata umum. Dalam hukum perdata umum pembedaan kreditur hanya dibedakan dari kreditur preferen dengan kreditur konkuren. Kreditur preferen dalam hukum perdata umum dapat mencakup kreditur yang memiliki hak jaminan kebendaan dan kreditur yang menurut undang-undang harus didahulukan pembayaran piutangnya. Akan tetapi, di dalam kepailitan yang dimaksud dengan kreditur preferen hanya kreditur yang menurut undang-undang harus didahulukan pembayaran piutangnya, seperti pemegang hak privilege, pemegang hak retensi dan lain sebagainya. Sedangkan kreditur yang memiliki jaminan kebendaan seperti halnya pemegang Hak Tanggungan dalam hukum kepailitan diklasifikasikan dengan sebutan kreditur separatis.

Ketiga prinsip tersebut di atas sangat penting baik dari segi hukum perikatan dan hukum jaminan maupun hukum kepailitan. Tidak adanya prinsip ini, maka pranata kepailitan menjadi tidak bermakna karena filosofi kepailitan adalah sebagai pranata untuk melakukan likuidasi terhadap aset debitur yang memiliki banyak debitur di mana tanpa adanya kepailitan maka, para debitur akan saling berebut baik yang secara sah maupun yang secara tidak sah sehingga menimbulkan suatu keadaan ketidakadilan baik terhadap debitur itu sendiri maupun terhadap kreditur khususnya kreditur yang masuk belakangan sehingga tidak mendapatkan bagian harta debitur untuk pembayaran utang-utang debitur.73

Kreditur yang berkepentingan terhadap debitur tidak hanya kreditur konkuren saja melainkan juga kreditur pemegang hak jaminan kebendaan seperti Hak Tanggungan atau yang sering disebut kreditur separatis dan kreditur yang menurut ketentuan hukum harus didahulukan atau yang dalam hukum kepailitam kreditur preferen. Memang kreditur separatis sudah memegang jaminan Hak Tanggungan dan dapat mengeksekusi jaminan Hak Tanggungan yang dipegangnya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, akan tetapi kreditur pemegang Hak Tanggungan (separatis) tersebut masih memiliki kepentingan yang berupa sisa tagihan yang tidak cukup ditutup dengan eksekusi jaminan serta kepentingan mengenai keberlangsungan usaha debitur.74

73Ibid, hal. 33 74Ibid, hal. 34

Dengan demikian kedudukan kreditur pemegang Hak Tanggungan dalam hukum kepailitan adalah sebagai kreditur separatis, yang didalam ketentuan Pasal 55 UUK mempunyai hak atas jaminan Hak Tanggungan itu seolah-olah terjadi kepailitan pada debitur. Selain itu juga sebelum terjadinya kepailitan, maka kreditur pemegang Hak Tanggungan ini juga berkemampuan untuk melakukan pailit terhadap debitur pemberi Hak Tanggungan tersebut.

Jangka waktu penangguhan berakhir demi hukum pada saat kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi. Kreditor atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan dapat mengajukan permohonan kepada kurator untuk mengangkat penangguhan atau mengubah syarat penangguhan tersebut, hal ini telah diatur dalam Pasal 57 ayat 2 UUK. Permohonan harus diajukan dengan alasan-alasan yang masuk akal yang dapat dipertimbangkan oleh kurator yaitu misalnya bahwa telah ada calon pembeli yang sangat membutuhkan tanah tersebut dan pembeli itu bayar dengan harga tinggi. Kurator mempunyai hak untuk menyetujui permohonan kreditor tersebut.

Hak kreditur untuk melawan penangguhan eksekusi yang ditetapkan oleh kurator, kreditur diberikan hak yaitu:

1. mengajukan permohonan kepada kurator untuk mengangkat penangguhan atau mengubah syarat-syarat penangguhan tersebut;

2. jika kurator menolak permohonan tersebut, pihak kreditur dapat mengajukan permohonan penangguhan atau atau perubahan terhadap syarat-syarat penangguhan tersebut kepada hakim pengawas;

3. terhadap putusan hakim pengawas, kreditur yang mengajukan permohonan tersebut, atau kurator dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan.75

Putusan pengadilan tersebut merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat bagi kreditur maupun kurator. Terhadap putusan pengadilan tersebut tidak dapat diajukan kasasi atau peninjauan kembali.

Apabila kreditor menolak permohonan, kreditur atau pihak ketiga dapat mengajukan permohonan tersebut kepada hakim pengawas. Hakim pengawas dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari setelah permohonan diterima, wajib memerintahkan kurator untuk segera memanggil dengan surat tercatat atau melalui kurir, kreditor dan pihak ketiga untuk didengar pada sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut. Hakim pengawas wajib memberikan penetapan atas permohonan dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah permohonan diajukan kepada hakim pengawas76. Dalam memutuskan permohonan mengangkat penangguhan atau mengubah syarat penangguhan, hakim pengawas mempertimbangkan:

a. lamanya jangka waktu penangguhan yang sudah berlangsung; b. perlindungan kepentingan kreditor dan pihak ketiga dimaksud; c. kemungkinan terjadinya perdamaian;

d. dampak penangguhan tersebut atas kelangsungan usaha dan manajemen usaha debitor serta pemberesan pailit. (Pasal 57 UUK).

75Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Op. Cit, hal. 59

76

Selanjutnya penjelasan Pasal 57 ayat (6) menguraikan bahwa hal-hal yang perlu dipertimbangkan oleh hakim pengawas sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini tidak menutup kemungkinan bagi hakim pengawas untuk mempertimbangkan hal- hal lain sepanjang memang perlu untuk mengamankan dan mengoptimalkan nilai harta pailit.

Pengaturan tentang pengangkatan penangguhan diatur kembali dalam Pasal 58 UUK yang menentukan bahwa:

1) Penetapan hakim pengawas atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) dapat berupa diangkatnya penangguhan untuk satu atau lebih kreditor, dan/atau menetapkan persyaratan tentang lamanya waktu penangguhan, dan atau tentang satu atau beberapa agunan yang dapat dieksekusi oleh kreditor

2) Apabila hakim pengawas menolak untuk mengangkat atau mengubah persyaratan penangguhan tersebut, hakim pengawas wajib memerintahkan agar kurator memberikan perlindungan yang dianggap wajar untuk melindungi kepentingan pemohon

3) Terhadap penetapan hakim pengawas, kreditor atau pihak ketiga yang mengajukan permohonan atau kurator dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah putusan diucapkan, dan pengadilan wajib memutuskan perlawanan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah perlawanan tersebut diterima. 4) Terhadap putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat

diajukan upaya hukum apapun termasuk peninjauan kembali.

Perlindungan yang dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) adalah perlindungan yang perlu diberikan untuk melindungi kepentingan kreditor atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan. (Penjelasan Pasal 58 ayat (2) UUK).

E. Hak kreditur pemegang Hak Tanggungan pertama atas barang jaminan

Dokumen terkait