• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : LANDASAN TEORI

B. Hak Anak dan Mantan Istri

2. Hak Mantan Istri

Pada dasarnya sebuah perkawinan dilakukan untuk waktu selamanya sampai matinya salah seorang suami atau istri. Hal inilah yang sebenarnya yang dikehendaki dalam Islam. Namun dalam keadaan tertentu sejalan dengan berjalannya biduk rumah tangga yang disebabkan bermula dari tidak berjalannya aturan yang ditetapkan Allah bagi kehidupan suami istri dalam bentuk hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak demi mewujudkan tujuan dari pernikahan.

Putusnya perkawinan adalah sebuah istilah hukum yang digunakan dalam Undang-undang Perkawinan untuk menjelaskan sebuah perceraian atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang selama ini hidup bersama-sama sebagai suami istri. Putusnya ikatan sebuah perkawinan disebabkan 4 (empat) kemungkinan :

a. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui meninggalnya salah seorang suami istri. Dengan kematian itu dengan sendirinya berakhir pula hubungan perkawinan.

b. Putusnya perkawinan atas kehendak suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Perceraian dalam bentuk ini disebut talaq.

c. Putusnya perkawinan atas kehendak istri sedangkan si suami tidak berkehendak untuk itu. Kehendak untuk putusnya perkawinan

disampaikan istri dengan cara tertentu ini diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutuskan perkawinan itu. Putusnya perkawinan dengan cara ini disebut khulu’.

d. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami dan/atau pada istri yang menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan. Putusnya perkawinan dalam bentuk ini disebut fasakh.69

Seorang suami yang akan menceraikan istrinya mempunyai beberapa kewajiban tidak hanya kepada anaknya namun juga terhadap mantan istrinya. Beberapa kewajiban terhadap mantan istri yang harus dipenuhi oleh seorang suami adalah berupa:

a. Keharusan memberikan mut’ah yaitu pemberian suami kepada istri yang diceraikannya sebagai suatu kompensasi dapat berupa uang ataupun benda, adapun besarnya pemberian mut’ah ini disesuaikan dengan kesanggupan dan kemampuan suami. Jumhur ulama berpendapat bahwa mut’ah itu hanya untuk perceraian yang inisiatifnya berasal dari suami seperti talak.70Dasar wajibnya pemberian mut’ahadalah firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 241 :

ِ ٰ َ َ ُ ۡ ِ َو

ِ ُۢ ٰ َ َ

ِفوُ ۡ َ ۡ

َ َ َ

ٱ

َ ِ ُ ۡ

“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut´ah menurut yang ma´ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa”.

Kompilasi Hukum Islam terdapat 3 (tiga) pasal yang membicarakan tentang mut’ah ini, yaitu dalam pasal 158, 159, dan pasal 160, yang menyebutkan bahwa seorang suami yang hendak menceraikan istrinya wajib memberi mut’ah dengan syarat:

1. Belum ditetapkan maharnya bagi istri yang qobla dukhul. 2. Perceraian itu atas kehendak suami

69 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, Op. Cit….,h. 197

Tetapi pemberian mut’ah ini hanyalah sunnah diberikan oleh bekas suami bila tanpa syarat-syarat tersebut, dan besarnya mut’ah juga disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.71

b. Keharusan memberikan nafkah iddah, tempat tinggal dan pakaian kepada mantan istri selama dalam masa iddah, kecuali mantan istri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Allah SWT berfirman dalam surat at-Talaq (65) ayat 6 :

ُ ُ ِ ۡ َأ

ۚ ِ ۡ َ َ ْا ُ ِّ َ ُِ ُ ور َ ُ َ َو ۡ ُ ِ ۡ ُو ِّ ُ َ َ ُ ۡ َ ۡ ِ

ۡ ُ َ َ ۡ َ َأ ۡنِ َ ۚ ُ َ ۡ َ َ ۡ َ َ ٰ َ ِ ۡ َ َ ْا ُ ِ َ َ ٖ ۡ َ ِ َٰ ْوُأ ُ ن

َ َٔ

َ ْاوُ ِ َ ۡ َو ُ َر ُ ُأ ُ ُ

ُ َ ۡ

ُ ۡ َ ِ

َُ ُ ِ ۡ ُ َ َ ۡ ُ ۡ َ َ َ ن ٖفو

ٓۥ

ٰىَ ۡ ُأ

“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.

Di dalam Buku II Pedoman Teknis Pengadilan Agama ditentukan bahwa apabila gugatan cerai dengan alasan adanya kekejaman atau kekerasan suami, hakim secara ex officio dapat menetapkan nafkah iddah.72

c. Kewajiban melunasi mahar yang terhutang seluruhnya apabila ketika akad nikah mahar belum dibayarkan dan dia telah bergaul dengan istrinya, dan apabila istri belum digauli maka mahar yang harus dibayarkan adalah setengahnya. Mahar adalah suatu kewajiban atas

71 Abu Malik Kamal binAs-Sayid Salim, Sahih Fiqih Sunnah, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2007), h.342

72 Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, (Jakarta: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2011), h. 154

suami yang merupakan utang apabila belum dilunasi (diberikan) kecuali pihak istri telah mengikhlaskan dan merelakannya.

d. Kewajiban memberikan biaya nafkah (hadhanah) untuk anak-anaknya, suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya wajib membayar nafkah untuk anak-anaknya yaitu belanja untuk memelihara dan keperluan pendidikan kesehatan anak-anaknya itu sampai dengan anak tersebut baligh lagi berakal serta mempunyai penghasilan sendiri.

Amir Syarifuddin dalam bukunyamenjelaskan bahwa istri yang telah bercerai dari suaminya masih mendapatkan hak-hak dari mantan suaminya selama berada dalam masa iddah, karena dalam masa itu dia tidak boleh melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain, namun hak itu tidaklah sempurna sebagaimana yang berlaku semasa dalam hubungan perkawinan. Bentuk hak yang diterima tidak tergantung pada lama masa iddah yang dijalaninya, tetapi tergantung pada bentuk perceraian yang dialaminya. Adapun hak-hak mereka itu adalah sebagai berikut:

a. Istri yang dicerai dalam bentuk talak raj’i, hak yang diterimanya adalah penuh sebagaimana yang berlaku sebelum dicerai, baik dalam bentuk perbelanjaan untuk pangan, untuk pakaian dan juga tempat tinggal. b. Istri yang dicerai dalam bentuk talakbain, baik bain sughro atau bain

kubra, dia berhak atas tempat tinggal bila ia tidak dalam keadaan hamil. Apalagi ia dalam keadaan hamil, selain mendapatkan tempat tinggal juga mendapatkan nafkah selama masa hamilnya itu. Inilah pendapat jumhur ulama.

c. Istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Hal yang disepakati ialah bahwa ia berhak mendapatkan tempat tinggal selama dalam masaiddah, karena ia harus menjalani masa iddah di rumah suaminya dan tidak dapat menikah selama masa itu. Adapun nafkah dan pakaian kebanyakan ulama menyamakannya dengan cerai dalam bentuk talakbain.73

Dokumen terkait