• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

G. Kerangka Pemikiran

Perceraian di era modern dapat terjadi pada usia perkawinan berapapun baik usia perkawinan muda, menengah maupun perkawinan yang sudah berjalan lama. Salah satu jenis perceraian yang diakui oleh hukum di Indonesia adalah cerai talak yaitu perceraian yang diajukan oleh seorang suami terhadap istrinya. Setelah proses persidangan, putusan dapat dijatuhkan dengan dan atau tanpa kehadiran istri (verstek). Putusan verstek terhadap perkara cerai talak yang diberikan oleh majelis hakim ada yang memberikan pembebanan terhadap suami yang dapat berupa nafkah iddah, nafkah mut’ah dan nafkah anak (hadhanah), dan ada juga yang tidak memberikan pembebanan apa-apa terhadap suami.

Hasil dari proses penelitian yang dilakukan diperoleh data bahwa mayoritas putusan hakim dalam perkara cerai talak verstek di Pengadilan Agama Krui banyak yang tidak memberikan pembebanan apapun kepada suami. Hanya sebagian kecil majelis hakim saja yang memberikan pembebanan dengan menggunakan hak exofficio yang dimilikinya untuk melindungi hak-hak mantan istri dan anak dari kesewenang-wenangan suami.

Konsep teori yang akan penulis gunakan dalam penulisan ini adalah teori hukum Islam yang bersumber pada al-Quran dan menekankan bahwa kemaslahatan kepada kedua pihak yang dituangkan dalam putusan hakim Pengadilan Agama Krui untuk menghukum suami memenuhi dan membayarkan apa-apa yang menjadi hak mantan istri dan anaknya ketika ia akan menceraikan istrinya.

Hukum Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia bahkan seluruh alam, tidaklah terwujud kecuali jika benar-benar demi kemaslahatan dan kebaikan bagi manusia, dengan demikian tujuan syar’i dalam menurunkan syariat tidak lain adalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri.Prinsip dasar teori maslahat

adalah lebih mengutamakan menghindari mafsadat yang lebih besar yang nantinya akan ditimbulkan dari sebuah keputusan atau tindakan daripada meraih kebaikan.Seorang hakim berkewajiban menghindari akan terjadinya suatu kemudharatan atau dengan kata lain bahwahakimharus berusaha menghindari agar jangan terjadi suatu kemudharatan dimasa yang akan datang dengan segala upaya yang mungkin diusahakan.

Putusan hakim yang mengabulkan perceraian dan membebani suami untuk membayarkan nafkah iddah, dan mut’ah merupakan salah satu bentuk maslahat yang diterapkan oleh hakimPengadilan Agama Krui. Dengan adanya beban kewajiban berupa mut’ahakan menjadi penghibur hati bagi istri yang dicerai oleh suaminyaserta nafkah iddahdapat menjadi jaminan untuk biaya hidup istri selama ia menjalani masa iddahsebagai akibat dan konsekuensi pasca dikabulkannya perceraian.

Putusan hakim yang mengabulkan cerai talak dan membebani suami untuk memenuhi biaya hidup anak-anaknya (hadhanah) setiap bulan juga merupakan bentuk maslahat, karena biaya hidup seorang anak merupakan kewajiban seorang ayah yang harus ia penuhi sampai dengan anak tersebut mandiri, kewajiban ini tidak serta merta putus begitu saja walaupun terjadi perceraian. Biaya hidup tersebut akan menjamin pemenuhan kebutuhan hidup seorang anak dan menghindarkannya dari hidup yang kekurangan dan terlantar. Mengabulkan perceraian saja tanpa memberikan pembebanan kewajiban kepada suami sangat bertentangan dengan konsep teori maslahat. Hal ini sangat memberikan dampak yang negatif pada anak dan mantan istri. Istri yang diceraikan akan terluka hatinya, ia dapat saja mengalami strees dan depresiakibat dari efek sosial yang akan ia hadapi pasca berceraibelum lagi ia harus mulai memikirkan bagaimana cara untuk memenuhibiaya hidupnya sendiri serta menanggung biaya hidup anak-anak yang ada dalam asuhannya.

Teori kedua yang digunakan dalam tesis ini adalah teori hukum progresif oleh Satjipto Raharjo. Sebagaimana yang dinyatakan Satjipto Raharjo bahwa suatu hukum dapat dijadikan sandaran negara untuk dapat mewujudkan kebijaksanaan, dan negara sebagai aktor (legal maker) yang bertugas

merumuskan hukum secara tertib menurut prosedur yang telah ditentukan yaitu tentang apa yang menjadi kehendak masyarakat.20

Hukum progresif merumuskan bahwa pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya yaitu hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia bukan sebaliknya. Oleh karena itu hukum bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia.

Mutu sebuah hukum ditentukan oleh kemampuannya mengabdi pada kesejahteraan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa hukum progresif adalah hukum yang pro-rakyat, para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif dan inovatif terhadap peraturan yang ada dengan menyesuaikan dengan kondisi dan zaman yang berlaku di masyarakat saat ini, bukan hanya menunggu adanya perubahan peraturan dan perundang-undangan.

Jimli Assiddiqie menyatakan bahwa hukum merupakan tata aturan sebagai suatu bentuk aturan-aturan tentang perilaku manusia, sehingga hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal tetapi seperangkat aturan yang memilikisatu kesatuan yang dapat dipahami sebagi suatu sistem. Konsekuensinya adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja.21

Menurut Nonet dan Selznik, hukum tidak selamanya sebagai hukum yang formal dan prosedural. Hukum yang terabstraksi dalam aturan-aturan adalah untuk kepentingan manusia itu. Hukum progresif akan tetap hidup karena hukum selalu berada pada statusnya sebagai law the making dan tidak pernah bersifat final sepanjang manusia itu ada, maka hukum progresif akan terus hidup dalam menata kehidupan masyarakat. Hukum progresif juga selalu melekat pada etika dan moralitas kemanusiaan, yang akan memberikan respon terhadap perkembangan dan kebutuhan manusia serta mengabdi pada keadilan, kesejahteraan, kemakmuran dan kepedulian terhadap manusia pada umumnya

20Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat, Cet III, (Bandung : Angkasa, 1999), h.113

21 Jimly Assiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Cet I (Jakarta : Sekretariat jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Press, 2006), h.13

Disinilah peran seorang hakim sebagai pembuat hukum wajib menegakkan nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakatdengan tidak hanya memahami satu aturan saja. Sampai saat ini masih banyak hakimberpegang teguh pada asasultra petitum partium, bahwa seorang hakim tidak boleh memberikan putusan diluar dari apa yang tertera dalam petitum tuntutan. Pemahaman seperti ini harus dihilangkan karena termasuk pemikiran hakim yang konservatif. Dengan berdasarkan pada prinsip tersebut akan banyak orang-orang yang terdzalimi karena hak-haknya tidak terpenuhi.

Hakim yang bijak akan menggunakan hak ex officionya jika hal tersebut dimaksudkan untuk terwujudnya perceraian yang adil dan ihsan, memberikan kepada para pihak yang memang pantas untuk memperoleh hak-haknya, sehingga rasa keadilan terpenuhi baginya, hal ini tentu saja tidak bertentangan dengan asas ultra petitamelihat manfaat yang diperoleh setelahnya.

Seorang hakim diharapkan berani untuk keluar dari kekakuan undang-undang yang sifatnya formalistik kepada pemikiran yang bebas, lebih maju dan lebih berhati nurani dan lebih manusiawi dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir untuk menciptakan keadilan yang seadil-adilnyadan kesejahteraan bagi semua pihak.

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini jika dituangkan dalam bagan dapat digambarkan sebagai berikut :

Dokumen terkait