• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Negara sebagaimana diberikan oleh Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana tercantum dalam angka II tentang Pokok-pokok pikiran dalam ”pembukaan”, dinyatakan sebagai berikut :

1) ” Negara” begitu bunyinya melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam ”pembukaan” itu diterima aliran pengertian Negara Persatuan. Negara yang melindungi segenap bangsa seluruhnya. Jadi Negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Negara menurut pengertian ”pembukaan” itu menghendaki persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Inilah suatu dasar Negara yang tidak boleh dilupakan.

2) Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

3) Pokok yang ketiga yang terkandung dalam ”pembukaan” ialah Negara yang berkedaulatan Rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan

perwakilan. Oleh karena itu sistem Negara yang terbentuk dalam Undang-Undang Dasar harus berdasar kedaulatan rakyat dan berdasar atas pemusyawaratan perwakilan. Dan aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia.

4) Pokok pikiran yang keempat, yang terkandung dalam ”pembukaan adalah Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara Negara, untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang cita-cita moral rakyat yang luhur”.

Berdasarkan pokok-pokok pikiran tentang negara Republik Indonesia tersebut, secara teoretik Negara Republik Indonesia menganut paham : pertama, Negara Kesatuan (Union State); kedua, Negara Kesejahteraan (welfare State); ketiga, Negara Demokrasi (Democration State).

Beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian Negara, antara lain: 36

a. Menurut Roger H. Soltau, Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat. (The state is an agency or authoriting managing or controlling these

(common) affairs on behalf of and in the name of the community)

b. Menurut Harold J. Laski, Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan Negara bila cara hidup yang ditaati oleh individu maupun asosiasi- asosiasi ditentukan oleh wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat. (The

state is society which is integrated by processing a coercive authority legally supreme over any individual or group which is a part of the society. A society is a

group of human beings living together and working together for the satisfaction of their mutual wants. Such a society is a state when the way of life to wich both individuals and associations must conform is defined by a coercive authority binding upon them all).

c. Menurut Robert M. Mac Iver, Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa.

(The state is an association which, acting through law as promulgated by a

government endowed to this end with coercive power. Maintains within a community territorially demarcated the external condition of orde)

Dengan demikian konsep tentang Negara, bahwa Negara adalah suatu teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil membuat warga negaranya mentaati peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (control) monopolistis dari kekuasaan yang sah.37

Negara menetapkan cara-cara dan batasan-batasan sampai dimana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu, masyarakat maupun oleh Negara sendiri. Dengan kewenangannya itu Negara dapat mengintegrasikan dan membimbing aktivitas dari penduduknya untuk mencapai tujuan negara. Dalam hal ini, Negara mempunyai tugas: (1) Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang antagonis; dan (2) Mengorganisir dan mengintegrasikan aktivitas penduduk dan warga negaranya untuk mencapai tujuan negara.

Negara menentukan bagaimana aktivitas masyarakat disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan Negara. Pengendalian ini berdasarkan sistem hukum dengan perantaraan pemerintah dan alat-alat perlengkapannya. Kekuasaan negara

mempunyai organisasi yang paling kuat dan teratur, oleh karena itu semua golongan atau masyarakat yang memperjuangkan kekuasaan harus dapat menempatkan diri dalam rangka ini.

Hans Kelsen memberi pengertian tentang Negara dengan memandanganya dari berbagai bentuk. Negara dipandang sebagai : (a) Personifikasi dari Tatanan Hukum Nasional; (b) Tatanan Hukum dan Komunitas yang dibentuk oleh tatanan hukum tersebut; (c) Negara sebagai kesatuan sosiologis; (d) Negara sebagai organisasi Masyarakat politik (Negara sebagai kekuasaan).38

Negara sebagai Personifikasi dari Tata Hukum Nasional, oleh Kelsen didasarkan pada teori ilmu hukum murni yaitu negara hanya dipandang sebagai fenomena hukum, sebagai badan hukum, sebagai korporasi. Dengan begitu maka hakekat negara ditentukan oleh defenisi tentang korporasi. Negara sebagai badan hukum adalah suatu personifikasi dari tatanan hukum nasional yang membentuk komunitas. Oleh karena itu menurutnya juga dari sudut pandang hukum, persoalan Negara tampak sebagai persoalan tatanan hukum nasional. Negara sebagai tatanan hukum dan komunitas yang dibentuk oleh tatanan hukum tersebut, bahwa negara sebagai satu komunitas hukum tidak terpisah dengan tatanan hukumnya. Negara adalah tatanan hukum.39

Negara sebagai kesatuan sosiologis, bahwa Negara bukan semata-mata sebagai realitas hukum melainkan realitas sosiologis yaitu realitas sosial yang terlepas tatanan hukumnya apabila dapat dibuktikan bahwa para individu yang membentuk satu kesatuan negara tersebut membentuk satu kesatuan dan bahwa kesatuan ini tidak

38

Hans Kelsen, General Theory of Law and State Lihat juga dalam Raise Muttaqien, Teori

Umum tentang Hukum dan Negara, (Bandung : Nusa Media & Nuansa, 2006), hlm. 261-

275

diciptakan oleh tatanan hukum tetapi oleh unsur yang tidak berkaitan dengan hukum.40

Negara sebagai organisasi politik (kekuasaan) bahwa Negara adalah organsisasi politik. Negara adalah suatu masyarakat yang diorganisasikan secara politik karena negara merupakan sebuah komunitas yang dibentuk oleh suatu tatanan yang bersifat memaksa, dan tatanan yang bersifat memaksa ini adalah hukum.

Konsep tentang negara dapat diartikan sebagai organisasi kekuasaan yang dibentuk oleh tatanan hukum. Di Indonesia pemahaman ini dapat diartikan sebagai kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisial sebagai organisasi kekuasaan dan organisasi kekuasaan itu dibentuk oleh peraturan perundang-undangan. Negara sebagai organisasi kekuasaan yang dibentuk oleh tatanan hukum sebagaimana dinyatakan Kelsen, maka saat berdirinya negara adalah bersamaan dengan saat berdirinya tata hukumnya. Dalam kaitan dengan saat berdirinya Negara Indonesia maka proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah merupakan norma pertama dari tata hukum Indonesia.41

Dalam kaitannya dengan negara kesatuan Republik Indonesia maka defenisi Negara sebagaimana diatas mendekati pengertian negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat atau bangsa sesuai dengan rumusan Penjelasan Umum UUPA II angka 2. Dinyatakan bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak sebagai badan penguasa.

Sebelum kita mengkaji tentang Hak Menguasai dari Negara ada baiknya disimak kembali tentang konsepsi hukum tanah nasional yang menganut sifat

40 Ibid

41 Juniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia (Jakarta : Bumi Aksara, 2001), hlm.

komunalistik religius yang ditunjukkan oleh Pasal 1 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa : Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasioanal.

Pembangunan hukum tanah nasional dilandasi hukum adat. Bila dalam hukum adat tanah ulayat merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, maka dalam Hukum Tanah Nasional semua tanah dalam wilayah negara kita adalah tanah bersama seluruh rakyat Indonesia, yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1)). Pernyataan ini menunjukkan sifat komunalistik konsepsi Hukum Tanah Nasional kita. Pernyataan bahwa Hak Bangsa adalah semacam Hak Ulayat berarti bahwa dalam konsepsi Hukum Tanah Nasional hak tersebut merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi. Ini berarti bahwa hak-hak penguasaan atas tanah yang lain, termasuk hak ulayat dan hak-hak individual atas tanah yang lain langsung ataupun tidak semuanya bersumber pada hak bangsa.

Unsur religius ditunjukkan oleh pernyataan, bahwa bumi, air dan ruang angkasa Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia. Dengan adanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa maka dalam Hukum Tanah Nasional, tanah yang merupakan tanah bersama Bangsa Indonesia, secara tegas dinyatakan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam UUPA ditetapkan tata jenjang atau hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah Nasional yaitu :

1. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik;

2. Hak Menguasai Negara yang disebut dalam Pasal 2, semata-mata beraspek publik;

3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal 3, beraspek perdata dan publik;

4. Hak-hak perorangan/individual, semuanya beraspek perdata, terdiri atas:

a. Hak-hak atas tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, yang disebut dalam Pasal 16 dan 53;

b. Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan dalam Pasal 49

c. Hak Jaminan atas Tanah yang disebut ”Hak Tanggungan” dalam Pasal 25, 33, 39 dan 51

Dasar Yuridis dari Konsep Hak Menguasai Negara secara eksplisit telah disebutkan dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang antara lain dalam ayat (1) menyatakan, bahwa : ”Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 Undang Undang Dasar dan hal-hal yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.

Penjelasan umum II angka 2 UUPA menyatakan, bahwa Negara Indonesia sebagai organisasi kekuasaan dan seluruh rakyat atau bangsa adalah bertindak sebagai Badan Penguasa. Pengertian dikuasai dalam pasal 1 UUPA tersebut yang memberi wewenang kepada Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia itu, untuk pada tingkatan tertinggi berwenang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) UUPA.

Maria S.W. Sumardjono menyatakan bahwa ketentuan Hak Menguasai oleh Negara tersebut jika dilihat dari memori Penjelasan UUPA II.2 memberi kesimpulan, bahwa dasar pikiran yang dipergunakan mengenai hubungan langsung antara negara dengan bumi, air dan ruang angkasa adalah hubungan yang menganggap negara sebagai personifikasi seluruh rakyat sebagaimana dikemukakan oleh Notonagoro.42 Notonagaro43 merumuskan salah satu bentuk hubungan tersebut sebagai berikut : ”Hubungan antara Negara langsung dengan bumi dan sebagainya tidak sebagai subyek perorangan dan tidak dalam kedudukannya sebagai negara yang menjadi personifikasi rakyat seluruhnya, sehingga dalam konsepsi ini negara tidak terlepas daripada rakyat, negara hanya menjadi pendiri, menjadi pendukung daripada kesatuan-kesatuan rakyat”

Sedangkan Muhammad Yamin menafsirkan kata-kata ’dikuasai oleh negara’ dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang Undang dasar 1945 adalah dalam

42 Moh.Mahfud, MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta : Pustaka LP3ES, 1998), hlm. 184 43 Acmad, Sodiki, Masalah Konflik Peraturan Perundang-Undangan dan Konflik di

Lapangan Agraria dan Usulan Penanganannya (Mencari format Penanganan Konflik Agraria Dalam Rangka Implementasi TAP MPR NO.IX/MPR/2001) Makalah disampaikan

penanggap utama dalam rangka Seminar Nasional Strategi Pelaksanaan Pembaruan Agraria, 26 September 2002, di Hotel Mulia Jakarta

arti kekuasaan tertinggi dalam tangan negara adalah kedaulatan rakyat. Kekuasaan tertinggi demikian hanya dapat hidup dalam tangan rakyat atau negara yang berdaulat. Oleh sebab itu maka asas domein dalam urusan tanah dan kekayaan alam yang terkandung didalam bumi adalah berlawanan dengan timbulnya atau hidupnya kembali kedaulatan rakyat sejak 1945.

Selanjutnya mengenai isi dari Hak Menguasai Negara tersebut sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah berupa wewenang Negara untuk : ”(a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; (b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; (c) menentukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara orang-orang dengan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa”.

Rincian kewenangan mengatur, menyelenggarakan, dan menentukan berbagai kegiatan dalam pasal 2 tersebut oleh UUPA diberikan suatu interpretasi otentik mengenai Hak Menguasai dari Negara yang dimaksud oleh Undang Undang Dasar 1945, sebagai hubungan hukum yang bersifat publik semata-mata. Dengan demikian tidak akan ada lagi tafsiran lain mengenai pengertian dikuasai dalam pasal UUD tersebut.44

44 Boedi Harsono., Hukum Agraria Indonesia-Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

Lebih lanjut dinyatakan : ”Seperti halnya dengan hak ulayat, pelimpahan tugas kewenangan Hak Bangsa yang beraspek hukum publik tersebut, tidak meliputi dan tidak mempengaruhi hubungan hukumnya yang beraspek keperdataan. Maka merupakan suatu contradictio in terminis, jika ada yang berbicara mengenai Hak Ulayat Negara. Hubungan hukum antara Negara Republik Indonesia dengan tanah- bersama Bangsa Indonesia adalah semata-mata beraspek hukum publik. Sedangkan Hak Ulayat, sebagaimana halnya Hak Bangsa, mengandung dua unsur, yaitu hak kepunyaan yang beraspek keperdataan dan tugas kewenangan mengelola yang beraspek hukum publik”.

Merujuk pada pendapat Boedi Harsono tersebut, dapat disarikan hal-hal sebagai berikut :

a. bahwa Hak Menguasai dari Negara tersebut bersifat hubungan hukum publik semata-mata, dan tidak ada tafsiran lain yaitu adanya hubungan hukum yang bersifat keperdataan;

b. bahwa sebagai konsekuensi dari hubungan yang bersifat publik semata-mata tersebut, maka pada tataran Daerah dan Masyarakat Hukum Adat sebagai pelaksana Hak Menguasai dari Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA juga bersifat Publik semata-mata, dan tidak ada tafsiran lain berupa adanya hubungan hukum privat atau keperdataan antara Daerah dengan tanah.

Dengan demikian, Hak Menguasai dari Negara yang menempatkan negara sebagai subyek haknya dalam sudut pandang makro, dan Hak Pengelolaan yang

menempatkan daerah dalam sudut pandang mikro, adalah dalam hubungan hukum publik semata-mata antara negara dan atau daerah dengan tanah.

Hubungan hukum publik tersebut dilakukan oleh kekuasaan legislatif yang dalam pasal 2 UUPA tercakup dalam pengertian mengatur dan menentukan, dilaksanakan oleh Badan-Badan Legislatif Pusat, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam bentuk penetapan MPR, Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam bentuk undang-undang. Pemerintah dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang-Undang.

Kekuasaan Eksekutif yang tercakup dalam pengertian menyelenggarakan dan menentukan, dilakukakan oleh Presiden, dibantu oleh Menteri atau Pejabat Lembaga Non Departemen dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi sebagaimana Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara.

Kekuasaan Yudikatif, menyelesaikan perkara-perkara tanah diantara rakyat sendiri maupun antara rakyat dengan pemerintah, baik melalui Peradilan Umum, maupun Peradilan Tata Usaha Negara. Berikutnya pasal 2 ayat (3) UUPA menyatakan, bahwa wewenang yang bersumber dari Hak Menguasai Negara tersebut digunakan untuk mencapai tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur. Konsep pasal 2 ayat (3) UUPA tersebut menggambarkan anutan konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang lahir pada abad ke-20 sebagai reaksi atas ekses yang timbul dari konsep Negara hukum.45

Kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum merupakan konsekuensi dari diterimanya konsep negara kesejahteraan (welfare state) atau konsep tentang negara hukum yang dinamis sejak awal XX. Konsep Negara kesejahteraan ini lahir sebagai reaksi terhadao konsep negara hukum yang statis (legal state) yang hidup dan berkembang sejak abad XVIII. Didalam konsep negara kesejahteraan pemerintah diharuskan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan guna menjamin kesejahteraan umum. Pemerintah bukan lagi sebagai penjaga malam atau pelaksana kehendak masyarakat yang diputuskan secara liberal, tetapi pemerintah harus aktif mengambil inisiatif untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum. Oleh karena itu pemerintah diberi kewenangan untuk turut campur dalam kegiatan- kegiatan masyarakat guna menjamin kepentingan umum itu. Kewenangan yang dimiliki pemerintah untuk turut campur dalam kegiatan masyarakat ini disebut freies

ermerssen dan dicreationary power.

Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA, Hak Menguasai dari Negara tersebut pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah Swatantra (Kabupaten/Kota) dan Masyarakat Hukum Adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Sedangkan penjelasan Umum II angka 2 UUPA dalam kaitan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA tersebut menyatakan : ”Kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh”.

Atas dasar konsepsi yuridis tentang Hak Menguasai dari Negara tersebut, sebagai konsekuensi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan hukum, untuk mencapai tujuan kemakmuran dan kesejahteraan umum, maka tatanan ketatanegaraan yang menyangkut penguasaan dan pengelolaan sumber daya agraria atau sumber daya alam, khususnya tanah di dalamnya, adalah berdasarkan prinsip- prinsip sebagaimana tertuang dalam pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Kemudian sebagai kelanjutan dari konsepsi UUD 1945, UUPA, mengkonsepsikan tanah sebagai permukaan bumi yang dapat diartikan juga sebagai simbol kesatuan bagi keutuhan bangsa dan negara, maka tanah tidak boleh dijadikan obyek penguasaan yang menimbulkan disintegrasi atau perpecahan bangsa dan negara, sehingga sejalan dengan maksud ketentuan pasal 4 huruf (a) TAP MPRRI Nomor IX/ MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Selanjutnya ditetapkan bahwa pada tingkat tertinggi semua unsur dasar agraria dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Dengan demikian negara bukanlah pemilik tanah melainkan hanya sebagai penguasa yang berwenang. Kewenangan tersebut meliputi : pertama, mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan dan pemeliharaan tanah; kedua, mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah. Kewenangan tersebut juga dapat dikuasakan kepada daerah swatantra atau

masyarakat hukum adat. Dengan demikian UUPA telah menunjukkan arah kebijakan pertanahan yang menuju pada desentralisasi atau pelimpahan kewenangan pengurusan tanah kepada daerah-daerah otonom.

Hal ini dipertegas dengan penjelasan pasal 2 ayat (4) UUPA yang berbunyi :” Ketentuan dalam ayat (4) bersangkutan dengan asas otonomi dan medebewind dalam penyelenggaraan pemerintahan. Soal agraria menurut sifatnya dan pada asasnya merupakan tugas pemerintah pusat (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945). Dengan demikian maka pelimpahan wewenang untuk melaksankan hak penguasaan dari negara atas tanah itu adalah merupakan medebewind. Segala sesuatunya akan diselenggarakan menurut keperluan dan sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Wewenang dalam bidang agraria dapat merupakan sumber keuangan bagi daerah”.

Rumusan pasal 2 ayat (4) UUPA tersebut juga sejalan dengan ketentuan pasal 4 huruf (1) Tap.MPR MPR/2001 tersebut diatas, sejalan pula dengan pasal 18 ayat (2) UUD 1945 amandemen yang berbunyi :

”Pemerintah Daerah Propinsi, daerah Kabupaten dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas perbantuan”.

Penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas perbantuan tersebut dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 125), sebagaimana ketentuan pasal 1 ayat (2) yang berbunyi : ”Pemerintahan daerah adalah

penyelenggaraaan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas perbantuan...”.

Sedangkan penjelasan pasal 2 ayat (4) UUPA menyatakan: ”Ketentuan dalam ayat (4) adalah bersangkutan dengan asas otonomi daerah dan medebewind dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Soal agraria menurut sifatnya dan pada asasnya merupakan tugas pemerintah pusat (pasal 33 ayat (3) UUD 1945) dengan demikian maka pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari negara atas tanah adalah merupakan medebewind. Segala sesuatunya akan diselenggarakan menurut keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Wewenang dalam bidang agraria dapat merupakan sumber keuangan bagi daerah ”.

Sehingga tampak bahwa rumusan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah sinkron dengan penjelasan pasal 2 ayat (4) UUPA.

Selanjutnya mengenai struktur organisasi pelaksana kewenangan menguasai dari negara sebagai berikut : Pada tingkat nasional pemegang kewenangan dan kekuasaan itu adalah pada Badan Pertanahan Nasional. Dengan demikian hubungan antara negara kesatuan Republik Indonesia dengan sistem ketatanegaraan atas tanah yang pada tingkatan tertinggi berwujud wewenang menguasai oleh negara atas tanah dan sekaligus mewujudkan pelimpahan wewenang menguasai dari negara kepada daerah.

Kemudian, sebagai kelanjutan pengaturan untuk memberi penegasan terhadap hak penguasaan tersebut, telah terbit Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan- ketentuan Tentang Pelaksanaan Selanjutnya. Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria tersebut, bahwa Hak Penguasaan Atas Tanah Negara sebagai dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor Tahun 1953, yang telah diberikan kepada Departemen- departemen, Direktorat-direktorat, dan Daerah-daerah Swatantra, sepanjang tanah- tanah tersebut dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri dikonversi menjadi Hak Pakai sebagai dimaksud UUPA. Namun apabila penguasaan Tanah Negara tersebut selain dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri, dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga,

Dokumen terkait