• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TINJAUAN HUKUM WARISAN

B. Hak Mewarisi Menurut Undang-Undang KUH Perdata

Di dalam KUHPerdata, suatu warisan mungkin saja untuk sebagian berdasarkan undang-undang dan untuk sebagian berdasarkan wasiat (testament). Dan meskipun tidak dikatakan dengan tegas akan tetapi dapat disimpulkan dari pasal tersebut, bahwa pengaturan pewarisan berdasarkan undang-undang untuk bagian terbesar bersifat hukum perlengkapan (aanvullend recht) dan bersifat hukum memaksa (dwingen recht).

“Selama ada anak-anak, tidak ada pihak lain manapun yang berhak atas peninggalan itu”.

“ Menurut undang-undang yang menjadi ahli waris ialah : para keluarga sedarah baik sah maupun luar kawin dan si suami atau si istri yang hidup terlama.

Untuk lebih jelasnya, yang menjadi ahli waris sebagaimana disebutkan di atas, adalah:

1) Keluarga sedarah, ialah keluarga atau kerabat yang pertaliannya dengan si peninggal waris melalui darah.

2) Keluarga semenda, yaitu keluarga yang pertalian dengan si mati karena perkawinan.

Pewarisan karena adanya hubungan perkawinan maksudnya, ialah antara suami dan istri yang hidup terlama. Dalam pewarisan karena undang-undang, berlaku ketentuan, bahwa dengan tidak adanya surat wasiat, maka harta warisan jatuh pada ahli waris keluarga sedarah. Keluarga sedarah mewarisi bukan secara keseluruhan, tetapi melalui tingkatan, umpamanya yang pertama ialah : anak, bila

tidak ada anak, maka yang maju cucu, kemudian baru kakek dan saudara- saudara.83

1. Anak- anak dan keturunannya beserta suami istri

Menurut undang-undang, ahli waris karena kematian dibagi menjadi empat bagian, yakni :

2. Orang tua dengan saudara-saudara dan keturunannya

3. Golongan dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu, yaitu kakek dan nenek, baik dari garis ibu maupun dari garis bapak.

4. Keluarga kesamping sampai derajat keenam maupun dari sisi ayah juga dari sisi ibu.84

Menentukan derajat keenam, derajat adalah kelahiran yang memisahkan antara pewaris dengan waris.Setiap kelahiran dianggap satu derajat.

Contoh : Ayah dengan anak dihitung satu derajat; Nenek dengan cucu di hitung dua derajat; Nenek dengan cicitnya dihitung tiga derajat; demikian dengan seterusnya.

Setelah menyatakan apa yang dianggap perlu yang berhubungan dengan seorang pewaris terhadap harta bendanya, maka sekarang akan dibicarakan segala sesuatunya yang berkaitan dengan seorang waris terhadap harta peninggalan seorang pewaris.

Ketentuan-ketentuan umum mengenai hal tersebut terdapat dalam pasal- pasal berikut ini:

Pasal 874 KUHPerdata : “Segala peninggalan adalah kepunyaan ahli waris, sekedar terhadap itu tidak ada ketetapan dalam suatu surat-surat wasiat ”.

83 Efendi Perangin-angin, Hukum Waris,(jakarta: Universitas Indonesia, 1995),hal 43.

Sehubungan dengan hak mewarisi menurut Undang-undang, perlu kita tinjau pasal-pasal berikut ini:

Pasal 852 a KUHPerdata; yang mengatur bahwa dalam hal mengenai seorang suami atau yang suami atau istri yang meninggal terlebih dahulu, si istri atau suami yang hidup terlama, dalam melakukan ketentuan-ketentuan di dalam bab ini, dipersamakan dengan seorang anak yang sah dari si meninggal, dengan pengertian bahwa: Jika perkawinan, suami/istri itu adalah untuk kedua kalinya atau selanjutnya dan dari perkawinan yang dulu ada anak-anak atau keturunan anak-anak itu, si istri atau suami yang baru tak akan mendapat bagian warisan yang lebih besar daripada bagian warisan terkecil yang akan diterima oleh salah seorang anak tadi, atau dalam hal bila mana anak itu telah meninggal terlebih dahulu, oleh sekalian keturunan penggantinya, sedangkan dalam hal bagaimanapun juga, tak bolehlah bagian, si istri atau suami itu lebih dari seperempat harta peninggalan si meninggal.

Pasal 875 ini dihubungkan dengan pasal 874, yang menyatakan :“Segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut Undang-Undang, sekedar untuk itu dengan surat wasiat tidak telah diambil suatu ketetapan yang sah.”

Yang dimaksud dalam pasal 874 KUHPerdata tersebut bahwa prinsipnya yang berlaku terhadap suatu warisan ialah hukum waris tanpa wasiat.

Adapun yang dimaksud dengan pewaris dari jenis berdasarkan wasiat sebagaimana disebutkan di atas, adalah merupakan penyimpangan dari ketentuan-ketentuan pewaris yang diatur menurut undang-undang.

Alasan untuk mengadakan hukum waris testamentair, berpangkal pada pikiran, kekayaan seseorang itu pada hakekatnya adalah hasil dari jerih payahnya selama hidup, dan dapat diterima sebagai hal yang wajar, jika ia dapat memberikan sebagaian dari peninggalannya kepada orang yang ia sukai. Berkaitan dengan hal wasiat (testamen) ini ada diatur dalam pasal 875 KUHPerdata sebagai berikut : “Adapun yag dinamakan surat wasiat atau (testamen), ialah suatuakta yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang

dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali .”

“ Pada waktu membuat wasiat (baik yang lisan maupun yang tertulis) itu, harus dihadiri tujuh orang saksi.”

Dimana pada wasiat satu testamen tertulis para saksi harus ikut menandatangani surat yang memuat kehendak terakhir dari si pewaris itu. Sedangkan pada wasiat testamen lisan, para saksi cukup mendengarkan saja apa yang diterangkan oleh sipewaris.85

Dari uraian-uraian di atas, dapat dilihat bahwa sipewaris dapat membuat surat-surat wasiat (testamen), dapat juga meminta pembatalan atau pencabutannya, baik yang dilakukan dengan testamen maupun dengan naskah

Syarat-syarat yang diperlukan untuk membuat suatu testamen dikehendaki juga untuk membatalkan atau mencabut testamen melakukan tindakan yang sangat pribadi dan tidak menjadi soal apakah tindakan pembatalan itu dengan testamen atau naskah istimewa.

85Ibid, hal 55.

khusus, hal ini dilakukan dengan sendirinya dan tidak dapat mewakilinya pada orang lain, baik wakil menurut undang-undang maupun berdasarkan persetujuan.

Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, bahwa alasan untuk mengadakan hukum waris testamenter berpangkal pada pikiran bahwa harta kekayaan seseorang itu pada hakekatnya adalah hasil dari jerih payahnya selama hidupnya dan dapat diterima sebagai sesuatu yang wajar, jika leluasa memberikan sebagian, dari peninggalannya kepada orang yang ia sukai. Namun demikian untuk menjaga kelangsungan hidup dari para ahli warisnya, maka sipewaris dibatasi kebebasannya untuk mewasiatkan harta kekayaannya. Jadi, dengan demikian undang-undang bertujuan untuk melindungi ahli waris dari perbuatan sewenang-wenang dari sipeninggal warisan mengenai harta yang diwasiatkannya, yang kadangkala dapat mengakibatkan ahli waris terlantar hidupnya dan tidak mendapatkan apa-apa dari harta orang tuanya.

Berdasarkan uraian diatas, dapatlah diambil kesimpulan, bahwa ahli waris menurut undang-undang ialah ahli waris tanpa wasiat yang disebut ahli waris ab intestaat. Disebut ahli waris ab intestaat, adalah karena kedudukan mereka

sebagai ahli waris berdasarkan penunjukan undang-undang, artinya mereka menjadi ahli waris, karena ditunjuk oleh undang-undang. Sedangkan ahli waris menurut wasiat (testamenter) adalah karena mereka mewaris didasarkan penunjukannya secara surat wasiat dari yang meninggal dunia. Dengan kata lain mereka sedemikian itu karena ditunjuk surat wasiat.

Dokumen terkait