• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ASPEK HUKUM DALAM PAILIT TERHADAP HARTA

C. Pertanggungjawaban Ahli Waris Debitor Terhadap Putusan

Menurut Wirjono Prodjodikoro, SH menyatakan: “Bahwa soal Pertanggung jawaban atas perbuatan orang lain adalah hal yang agak penting dalam hukum perdata, jika masing-masing pihak melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan yang telah di atur dalam kesepakatan yang mereka perbuatan yang segala sesuatunya akan berjalan sesuai dengan yang mereka inginkan.”111

Namun bila timbul dimana salah satu pihak tidak melakukan sesuatu yang telah menjadi kewajibannya sehingga timbul kerumitan yang semuanya mengarah sampai kepada pihak yang tidak melaksanakan prestasi itu dapat diminta pertanggung jawabannya. Adalah suatu hal yang wajar bila seseorang yang telah melakukan prestasi kepada orang lain dengan tujuan agar orang lain mendapatkan prestasi tersebut melakukan kontra prestasi dilindungi dari hal-hal yang tidak

110Ibid, hal 280.

dapat dipertanggung jawabkan, dimana mengakibatkan tidak terciptanya kontra prestasi yang diinginkan. Hal ini sejalan dengan “Prinsip kedudukan seimbang” yang dianut oleh hukum itu sendiri.

Secara mendasar pengertian pertanggung jawaban diartikan dengan suatu kondisi dimana ada suatu pihak yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya (baik perbuatan maupun tidak berbuat), pertanggungjawaban mana disebabkan adanya kerugian yang dialami seseorang baik dari segi materil maupun sprituil. Pertanggung jawaban atas perbuatan orang lain biasanya praktis baru ada apabila orang lain itu melakukan perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige daad). Memang sudah selayaknya bilamana orang yang karena perbuatan hukum yang dilakukannya memikul sendiri kerugian yang dideritanya.

Persoalan pertanggung jawaban tidak terlepas atu tidak terlepas dari masalah ganti rugi. Masalah ganti rugi ini dalam Buku III KUH Perdata bervariasi, jika ganti rugi disandarkan kepada adanya wanpretasi maka bentuk ganti ruginya ditekankan pada nilai uang, sementara bila perbuatan melawan hukum yang menjadi sandaran maka ganti ruginya bisa bermacam-macam, antara lain:

a. Ganti rugi dalam bentuk uang

b. Ganti kerugiaan dalam bentuk natural dan pengembalian kepada bentuk semula

c. Pertanyaan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah bersifat melawan hukum

d. Meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hukum

Di dalam penyelesaian harta peninggalan yang dinyatakan pailit sebetulnya tidak ada perbedaan dengan suatu penerimaan warisan dengan hak pendaftaran. Bedanya di dalam penerimaan dengan hak pendataran, seoarang waris sendiri yang pekerjaan dilakukan oleh seorang pengampu (curator).112

pailit tidak bertentangan dengan UUK-PKPU maka fungsi Check List sebaiknya digunakan untuk memudahkan, mengenali adanya kekurangan yang terjadi.

Adapun sebab mengapa masih diadakan kemungkinan untuk menyatakan pailit sesuatu warisan, sedangkan sudah ada cara penyelesaian segala urusan dengan suatu penerimaan oleh waris dengan hak pendaftaran ialah : para crediteur dari pewaris diberi kemungkinan untuk menuntut pailit terhadap suatu warisan, jika timbul keragu-raguan tentang kejujuran waris yang menerima warisan dengan hak pendaftaran barang peninggalan.

Bila merujuk pada pasal 209 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang UUK-PKPU yang bunyinya sebagai berikut “Putusan pernyataan pailit berakibat demi hukum dipisahkannya harta kekayaan orang yang meninggal dari harta kekayaan ahli warisnya.” Sehingga pertanggung jawaban ahli waris debitor terhadap putusan pailit demi hukum sudah dipisahkan dari harta kekayaan orang yang meninggal oleh UU No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Untuk memastikan pertanggung jawaban ahli waris debitor terhadap putusan

112Ibid, hal 284.

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat dikemukan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 207 UUK-PKPU, harta kekayaan orang yang meninggal harus dinyatakan dalam keadaan pailit, apabila dua atau beberapa kreditor mengajukan permohonan untuk itu dan secara singkat dapat membuktikan bahwa : Utang orang yang meninggal, semasa hidupnya tidak dibayar lunas; atau pada saat meninggalnya orang tersebut, harta peninggalannya tidak cukup untuk membayar utangnya.

2. Menurut Pasal 40 ayat (1) UUK-PKPU, warisan yang selamakepailitanjatuh kepada debitor pailit, oleh kurator tidak boleh diterima, kecuali apabila menguntungkan harta pailit. Logika ketentuan-ketentuan pasal 40 ayat (1) dapat dimengerti karena tidak mustahil debitor pailit bukan menerima warisan berupa piutang tetapi menerima warisan utang. Apabila debitor pailit menerima warisan berupa piutang (tagihan) maka warisan tersebut akan menguntungkan harta pailit. Akan tetapi, apabila debitor pailit menerima warisan berupa utang, maka warisan tersebut akan membebani harta pailit. Sudah tentu hal tersebut bukan saja merugikan debitor pailit, tetapi juga para kreditornya.

3. Bila merujuk pada pasal 209 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang UUK-PKPU yang bunyinya sebagai berikut “Putusan pernyataan pailit

berakibat demi hukum dipisahkannya harta kekayaan orang yang meninggal dari harta kekayaan ahli warisnya.” Sehingga pertanggungjawaban ahli waris debitor terhadap putusan pailit demi hukum sudah dipisahkan dari harta kekayaan orang yang meninggal oleh UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

B. Saran

Sebelum diakhiri penulisan skripsi ini akan dicoba saran yang dianggap perlu, sebagai berikut :

1. Untuk menghindari terjadinya benturan keadilan sebaiknya para kreditor pailit tidak mengajukan kepailitan terhadap ahli waris debitor pailit ke pengadilan niaga dan sebaiknya mengajukan gugatan secara perdata. 2. Apabila gugatan pailit para kreditor diterima oleh pengadilan negeri niaga

sebaiknya para debitor waris mengajukan PKPU atau penundaan kewajiban pembayaran utang.

3. Untuk memastikan pertanggungjawaban ahli waris debitor terhadap putusan pailit tidak bertentangan dengan UUK-PKPU maka fungsi Check List sebaiknya digunakan untuk memudahkan, mengenali adanya

Ali, Mohamad Chidir, Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran, Bandung, Penerbit Mundur Maju, 1995.

Artmanda W, Frista, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Lintas Media, 2004. Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran di

Indonesia, Jakarta, Penerbit Rajawali Pers, 1991.

Darmabrata, Wahyono, Asas-Asas Hukum Waris, Jakarta, Cetakan Pertama, 1994. Djohansyah, J, Pengadilan Niaga, Bandung, Alumni, 2001.

Fuady, Munir, Hukum Pailit Dalam Teori Dan Praktek, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999.

Gautama, Sudargo, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1998.

Hakim, Lukman, Pembahasan Atas Kerja Tentang Kaitan Undang-Undang Perkawinan Dengan Penyusunan Hukum Waris, Jakarta, Simposium Hukum Waris Nasional, 2000.

Hartini, Rahayu, Hukum Kepailitan, Malang, UMM Press, 2008.

Hartono, Sri Rejeki, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern, Jakarta, Majalah Hukum Nasional, 1981.

Hartono, Sri Sumantri, Pengantar Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran, Yogyakarta, Liberty, 1981.

Kailiamang, Denny, Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit Atau PKPU, Bandung, Penerbit Alumni, 2001.

Khairandy, Perlindungan Dalam UU Kepailitan, Jakarta, Jurnal Hukum Bisnis, 2002.

Lontoh, A. Rudhy, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit, Penerbit Alumni, 2001.

Perangin-angin, Efendi, Hukum Waris, Jakarta, Universitas Indonesia, 1995. Poerwardaminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka,

2006.

Prodjodikoro, Wiryono, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung, Sumur Bandung, 1983.

Satrio, J, Hukum Waris, Bandung, Alumni, 1992.

Shubhan, Hadi. M, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, Dan Praktik di Peradilan, Jakarta, Kencana Prenada, 2007.

Situmorang, M. Victor, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 1994.

Sjadeni, Sutan Remi, Hukum Kepailitan, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 2002. Subekti, Kamus Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, 1980.

Dokumen terkait