BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Hakikat Keterbukaan Diri dalam Komunikasi
1. Pengertian Keterbukaan Diri dalam Komunikasi
Devito (2011), menyatakan bahwa keterbukaan diri
(self-disclosure) adalah jenis komunikasi dimana kita mengungkapkan
informasi tentang diri kita sendiri yang biasanya kita sembunyikan. Jadi, suatu pengakuan yang dilakukan secara terbuka ataupun pernyataan yang tidak disengaja yang di dalamnya berisi informasi tentang diri sendiri, semuanya dapat digolongkan ke dalam self-disclosure. Keterbukaan diri dalam komunikasi merupakan salah satu keterampilan sosial yang penting dimiliki oleh individu. Self-disclosure dapat diartikan sebagai penyingkapan diri, atau keterbukaan diri.
Keterbukaan diri dalam komunikasi adalah mengungkapkan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang kita hadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan atau berguna untuk memahami tanggapan kita di masa kini. Tanggapan terhadap orang lain atau terhadap kejadian tertentu lebih melibatkan perasaan. Membuka diri berarti membagikan kepada orang lain perasaan kita terhadap sesuatu
yang telah dikatakan atau dilakukan, atau perasaan kita terhadap kejadian-kejadian yang baru saja kita saksikan (Johnson, 1981).
Gordon (1999) menjelaskan bahwa orang dapat mengungkapkan diri dengan menggunakan I-Message yaitu pernyataan yang mengungkapkan diri (pikiran, perasaan dan kebutuhan) kepada mitra komunikasi secara deskriptif, otentik, jujur, dan apa adanya. Orang yang terampil mengungkapkan diri adalah orang yang mampu untuk mengungkapkan pikiran, perasaan dan kebutuhan secara tepat, jujur dan terbuka dan apa adanya sehingga mitra komunikasi dapat mengerti dan memahaminya.
Berdasarkan uraian di atas maka membuka diri tidak sama dengan mengungkapkan detail-detail dengan intim di masa lalu. Orang lain mengenal diri individu tidak dengan menyelidiki masa lalunya, melainkan dengan mengetahui cara individu tersebut bereaksi. Masa lalu hanya berguna sejauh mampu menjelaskan perilaku di masa kini.
2. Karakteristik Keterbukaan diri dalam Komunikasi yang Efektif Johnson (Ndoen, 2009) mengatakan keterbukaan diri dalam komunikasi yang efektif memiliki sejumlah karakteristik, antara lain: a. Reaksi yang diberikan kepada individu atau peristiwa lebih merujuk
pada perasaan dari pada fakta-fakta. Mampu mengungkapkan diri artinya dapat berbagi dengan orang lain bagaimana perasaan kita mengenai suatu peristiwa yang baru saja terjadi.
b. Keterbukaan diri dalam komunikasi memiliki dua dimensi yaitu keluasan dan kedalaman. Seseorang dapat mengenal orang lain secara lebih baik, kita perlu menampilkan lebih banyak topik untuk dijelaskan (keluasan) dan membuat penjelasan itu diungkapkan secara lebih pribadi (kedalaman).
c. Keterbukaan diri dalam komunikasi fokus pada saat ini, bukan masa lalu. Keterbukaan diri dalam komunikasi bukan berarti kita mengungkapkan secara mendalam mengenai masa lalu kita. Seseorang mengetahui dan mengenal kita bukan melalui sejarah masa lalu kita tapi melalui pemahaman mereka tentang bagaimana kita bersikap.
d. Pada tahap awal suatu hubungan, keterbukaan diri dalam komunikasi perlu saling berbalasan. Jumlah keterbukaan diri dalam komunikasi yang kita lakukan akan mempengaruhi jumlah keterbukaan diri dalam komunikasi yang dilakukan oleh orang lain.
Devito (2011) mengemukakan bahwa self disclosure mempunyai beberapa karakteristik umum antara lain:
a. Keterbukaan diri adalah suatu tipe komunikasi tentang informasi diri yang pada umumnya tersimpan, yang dikomunikasikan kepada orang lain.
b. Keterbukaan diri adalah informasi diri yang seseorang berikan merupakan pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui oleh penerima. Informasi merupakan pengetahuan baru. Agar
keterbukaan diri terjadi, suatu pengetahuan baru harus dikomunikasikan.
c. Keterbukaan diri adalah informasi tentang diri sendiri yaitu tentang pikiran, perasaan dan perilaku seseorang.
d. Keterbukaan diri menyangkut informasi yang biasanya dan secara aktif disembunyikan.
e. Keterbukaan diri melibatkan sedikitnya satu orang lain. Agar keterbukaan diri terjadi, tindak komunikasi harus melibatkan sedikitnya dua orang. Informasi yang disampaikan dalam keterbukaan diri harus diterima dan dimengerti oleh orang lain.
Karakteristik komunikasi antar pribadi diungkapkan oleh Weaver (dalam Budyatna, 2011) sebagai berikut:
a. Melibatkan paling sedikit dua orang.
Komunikasi antarpribadi melibatkan paling sedikit dua orang. Menurut Weaver, komunikasi antarpribadi melibatkan tidak lebih dari dua individu yang dinamakan a dyad. Jumlah tiga atau the triad dapat dianggap sebagai kelompok yang terkecil. Apabila kita mendefinisikan komunikasi antarpribadi dalam arti jumlah orang yang terlibat, haruslah diingat bahwa komunikasi antarpribadi sebetulnya terjadi antara dua orang yang merupakan bagian dari kelompok yang lebih besar. Apabila dua orang dalam kelompok yang lebih besar sepakat mengenai hal tertentu atau sesuatu, maka kedua orang itu terlibat dalam komunikasi antarpribadi.
b. Adanya umpan balik atau feedback.
Komunikasi antarpribadi melibatkan umpan balik. Umpan balik merupakan pesan yang dikirim kembali oleh penerima kepada pembicara. Komunikasi antarpribadi hampir selalu melibatkan umpan balik langsung. Sering kali bersifat segera, nyata, dan berkesinambungan.
c. Tidak harus tatap muka.
Komunikasi antar pribadi tidak harus tatap muka. Kehadiran fisik tidaklah terlalu penting, yang terpenting adalah adanya saling pengertian antara individu yang melakukan komunikasi. Misalnya interaksi antara dua orang sahabat dekat bisa dilakukan melalui telfon, SMS atau bisa dengan bahasa isyarat ketika berada di ruang terbuka tetapi masing-masing tidak berdekatan. Tetapi menurut Weaver (dalam Budyatna, 2011) bahwa komunikasi tanpa interaksi tatap muka tidaklah ideal walaupun bukan dalam komunikasi antarpribadi. Kehilangan kontak langsung berarti kehilangan faktor utama dalam umpan balik, sarana penting untuk menyampaikan emosi menjadi hilang. Sering kali tanggapan nonverbal, misalnya tatapan mata, anggukan kepala dan senyuman merupakan faktor utama dalam komunikasi. Bentuk idealnya memang adanya kehadiran fisik dalam berinteraksi secara pribadi, walaupun tanpa kehadiran fisik masih dimungkinkan terjadinya komunikasi antar pribadi.
d. Tidak harus bertujuan.
Komunikasi antarpribadi tidak harus dilakukan secara sengaja atau dengan kesadaran maupun diungkapkan secara verbal. Gerakan badan yang tidak sengaja dilakukan juga merupakan komunikasi. Misalnya seseorang yang gelisah akan menggerak-gerakkan kakinya, ketika berbicara terdebgar penuh keraguan, dan bereaksi secara gugup.
e. Menghasilkan beberapa pengaruh atau effect.
Untuk dapat dianggap sebagai komunikasi antar pribadi yang benar, maka sebuah pesan harus menghasilkan atau memiliki efek atau pengaruh. Efek atau pengaruh tidak harus segera dan nyata, tetapi harus terjadi. Contoh komunikasi antar pribadi yang tidak menghasilkan efek misalnya, Seseorang mengajak berbicara temannya yang sedang mendengarkan musik melalui headset. Contoh tersebut bukanlah komunikasi antar pribadi karena pesan yang disampaikan tidak diterima dan tidak menghasilkan efek.
f. Tidak harus melibatkan atau menggunakan kata-kata.
Komunikasi antar pribadi tidak harus di tunjukkan dengan berkata-kata (verbal). Misalnya seorang teman sudah membuat kesepaberkata-katan kepada teman lain pada saat berkunjung di tempat teman yang sakit, yaitu jika dia telah mengedipkan mata maka kepada temannya merupakan isyarat bahwa waktunya untuk pulang. Pesan-pesan nonverbal seperti menatap dan menyentuh atau membelai kepada
seorang anak atau teman memiliki makna yang lebih besar daripada kata-kata.
g. Dipengaruhi oleh konteks.
Verderber (dalam Budyatna, 2011) menyatakan bahwa konteks merupakan tempat dimana pertemuan komunikasi terjadi termasuk apa yang mendahului dan mengikuti apa yang dikatakan. Konteks mempengaruhi harapan-harapan para partisipan, makna yang diperoleh para partisipan dan perilaku mereka selanjutnya. Konteks meliputi:
1) Jasmaniah. Konteks jasmaniah atau fisik meliputi lokasi, kondisi
lingkungan seperti suhu udara, pencahayaan, dan tingkat kebisingan, jarak antara para komunikator, pengaturan tempat, dan waktu mengenai hari. Masing-masing faktor ini dapat mempengaruhi komunikasi. Misalnya makna dalam pembicaraan dapat dipengaruhi oleh apakah pembicaraan tersebut bertempat di ruang kelas ketika pelajaran berlangsung, atau di kantin ketika jam istirahat yang penuh sesak dan ribut, ataukah di lorong sekolah ketika istirahat sehingga suasana tenang.
2) Sosial. Konteks sosial merupakan bentuk hubungan yang
mungkin sudah ada diantara partisipan. Komunikasi yang terjadi diantara anggota keluarga, teman, kenalan, mitra kerja, atau orang asing dapat mempengaruhi apa dan bagaimana pesan-pesan itu
dibentuk, diberikan, dan dimengerti. Misalnya, interaksi ketika berbicara dengan guru berbeda dengan interaksi dengan teman. 3) Historis. Konteks historis merupakan latar belakang yang di
peroleh melalui peristiwa komunikasi sebelumnya antara para partisipan. Hal ini mempengaruhi saling pengertian pada pertemuan yang sekarang. Misalnya, Tono di suatu pagi memberitahu Dina bahwa mereka akan mengerjakan tugas kelompok bersama di rumah Dina. Ketika siang hari di sekolah
Tono bertemu Dina ia berkata, “Jadi?” Orang lain yang
mendengar pembicaraan tersebut tidak tahu atau tidak mengerti
kata, “Iya, jadi.” Tono mungkin menjawab pertanyaan Dina dengan mengatakan, “Ok, pulang sekolah langsung ya.” Hanya
Dina dan Tono yang mengerti isi percakapan mereka karena ada percakapan sebelumnya.
4) Psikologis. Konteks psikologis meliputi suasana hati dan perasaan
dimana dimana seseorang membawakannya kepada pertemuan antar pribadi. Misalnya seseorang yang sedang tegang karena ujian yang akan dihadapinya besok. Ketika ia sedang belajar untuk menghadapi ujiannya, temannya datang dan meminta ia berhenti belajar untuk menemaninya membeli baju. Orang tersebut yang biasanya ramah, amarahnya meledak sambil memarahi temannya. Hal ini terjadi karena tingkat ketegangan jiwanya berkaitan dengan konteks psikologis dalam suasana hati
dan perasaan tegang sehingga mendengar pesan temannya ini mempengaruhi cara bagaimana ia merespon.
5) Keadaan Kultural yang mengelilingi peristiwa komunikasi.
Konteks kultural meliputi keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, sikap-sikap, makna, hierarki sosial, agama, pemikiran mengenai waktu, dan peran dari para pertisipan (Samovar & Porter, 2000). Budaya atau kultur melakukan penetrasi ke dalam setiap aspek kehidupan manusia, memengaruhi bagaimana kita berpikir, berbicara, dan berperilaku. Setiap orang merupakan bagian dari satu atau lebih budaya-budaya etnik. Perbedaan kultur maupun etnik yang dimiliki oleh individu dapat menyebabkan kesalahpahaman. h. Dipengaruhi oleh kegaduhan atau noise.
Kegaduhan atau noise ialah setiap rangsangan atau stimulus yang mengganggu dalam proses pembuatan pesan. Kegaduhan/kebisingan atau noise dapat bersifat eksternal, internal, atau semantik.
1) Kegaduhan/kebisingan eksternal, berupa penglihatan-penglihatan,
suara-suara, dan rangsangan-rangsangan lainnya di dalam lingkungan yang menarik perhatian orang jauh dari apa yang dikatakan atau diperbuat.
2) Kegaduhan internal, berupa pikiran-pikiran dan
perasaan-perasaan yang ada di dalam diri sehingga mengganggu proses komunikasi. Jika individu telah mengabaikan atau memalingkan pesan dari seseorang dengan siapa individu tersebut sedang
berkomunikasi dan asik melamun atau sedang teringat pembicaraan masa lalu, maka dia sedang mengalami kegaduhan internal atau internal noise.
3) Kegaduhan semantik, adalah gangguan yang ditimbulkan oleh
lambang-lambang tertentu yang menjauhkan perhatian kita dari pesan yang utama. Misalnya penggunaan istilah yang tidak dapat diterima oleh lawan bicara.
3. Tahap-tahap dalam Keterbukaan Diri dalam Komunikasi
Keterbukaaan diri dalam komunikasi dapat berlangsung pada taraf kedalaman yang berbeda-beda. Taraf kedalaman diri Keterbukaan diri dalam komunikasi dapat diukur dari apa dan siapa yang saling dibicarakan yaitu pikiran atau perasaan, obyek tertentu, orang lain atau dirinya sendiri. Semakin orang mau saling membicarakan tentang perasaan yang ada dalam dirinya semakin dalamlah taraf keterbukaan diri dalam komunikasi yang terjadi. Atas dasar kedalamannya, Powell (1985) membedakan komunikasi dalam lima taraf. Urutan taraf kedalaman komunikasi dimulai dari yang dangkal menuju yang dalam dalam di uraikan sebagai berikut: 1. Taraf kelima
Komunikasi taraf kelima adalah taraf basa-basi. Merupakan taraf komunikasi yang paling dangkal. Biasanya terjadi antara dua orang yang bertemu secara kebetulan. Misalnya, kita sedang
duduk di teras rumah, lalu seorang tetangga lewat di jalan depan rumah kita. Sebagai sopan-santun, kita menegur tetangga kita itu.
2. Taraf keempat
Komunikasi taraf keempat yakni membicarakan orang lain. Di sini orang sudah mulai saling menanggapi, namun tetap masih dalam taraf dangkal, khususnya belum mau berbicara tentang diri masing-masing.
3. Taraf ketiga
Komunikasi taraf ketiga adalah menyatakan gagasan dan pendapat. Kita sudah mau saling membuka diri, saling mengungkapkan diri. Namun, keterbukaan tersebut masih terbatas pada taraf pikiran.
4. Taraf kedua
Komunikasi taraf kedua adalah taraf hati atau perasaan. Emosi atau perasaan adalah unsur yang membedakan orang satu dengan yang lain, dengan mengungkapkan perasaan dan isi hati, berarti kita sepakat untuk saling percaya.
5. Taraf pertama
Komunikasi taraf pertama adalah hubungan puncak. Komunikasi pada taraf ini ditandai dengan kejujuran, keterbukaan, dan saling percaya yang mutlak di antara kedua belah pihak. Tidak ada lagi ganjalan-ganjalan berupa rasa takut,
rasa khawatir jangan-jangan kepercayaan kita disia-siakan. Selain merasa bebas untuk saling mengungkapkan perasaan biasanya kedua belah pihak juga memiliki perasaan yang sama tentang banyak hal. Maka pada tahap ini komunikasi itu telah berkembang begitu mendalam sehingga kedua belah pihak merasakan kesatuan perasaan yang timbal-balik yang hampir sempurna.
4. Faktor-faktor Penghambat Keterbukan Diri dalam Komunikasi Papu (2002), mengungkapkan bahwa kesulitan individu dalam melakukan keterbukaan diri dalam komunikasi didasari oleh tiga faktor berikut:
a. Faktor resiko yang akan diterima di kemudian hari. Resiko yang dimaksud adalah bocornya informasi yang diberikan kepada orang ketiga, padahal informasi tersebut bersifat pribadi atau informasi yang dapat menyinggung perasaan orang lain sehingga dapat mengganggu hubungan interpersonal yang telah dibangun sebelumnya.
b. Belum adanya rasa aman dan percaya pada diri sendiri. Rasa aman dan percaya pada diri sendiri yaitu adanya keyakinan pada diri sendiri untuk mengungkapkan diri secara jujur. Hal ini berkaitan dengan penerimaan dan rasa percaya diri dengan segala hal yang ada dalam diri.
c. Faktor pola asuh yaitu tidak adanya dukungan keluarga atau lingkungan untuk memiliki semangat keterbukaan dan kebiasaan untuk berbagi informasi sehingga mampu terbuka secara tepat.
5. Manfaat Keterbukaan Diri dalam Komunikasi
Menurut Johnson (1981), beberapa manfaat keterbukaan dalam komunikasi diri adalah sebagai berikut:
a. Pembukaan diri dalam komunikasi merupakan dasar bagi hubungan yang sehat antara dua orang.
b. Semakin bersikap terbuka terhadap orang lain, maka semakin orang lain tersebut akan menyukai diri kita, sehingga ia akan semakin membuka diri kepada kita.
c. Orang yang rela membuka diri kepada orang lain terbukti cenderung memiliki sifat-sifat sebagai berikut: kompeten, terbuka, ekstrover, fleksibel, adaptif, dan inteligen, yakni sebagian dari ciri-ciri orang yang masak dan bahagia.
d. Membuka diri kepada orang lain merupakan dasar relasi yang memungkinkan komunikasi intim, baik dengan diri kita sendiri maupun dengan orang lain.
e. Membuka diri berarti bersikap realistik. Maka, pembukaan diri dalam komunikasi yang kita lakukan haruslah jujur, tulus dan autentik.
DeVito (2011), mengungkapkan bahwa manfaat dari keterbukaan diri dalam komunikasi adalah sebagai berikut:
a. Menambah pengetahuan diri.
Membuka diri dalam komunikasi membuat seseorang mampu memiliki perpektif baru tentang diri sendiri dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai perilaku diri sendiri. Misalnya ketika kita mau berbicara dengan orang lain, mungkin saja mampu menambah kesadaran mengenai aspek perilaku atau hubungan yang selama ini tidak diketahui.
b. Lebih mampu mengatasi kesulitan.
Mengungkapkan perasaan kepada orang lain mampu menanggulangi masalah dan kesulitan seseorang, khususnya perasaan bersalah. Salah satu perasaan takut yang besar yang ada pada diri banyak orang adalah bahwa mereka tidak diterima lingkungan karena rahasia tertentu, karena sesuatu yang pernah mereka lakukan, perasaan atau sikap tertentu yang mereka miliki. Ketakutan untuk ditolak membangun rasa bersalah. Dengan mengungkapkan perasaan seperti itu dan menerima dukungan, bukan penolakan, kita menjadi lebih siap untuk mengatasi, mengurangi maupun menghilangkan perasaan bersalah. Keterbukaan diri menumbuhkan penerimaan diri. Jika seseorang merasa ditolak oleh orang lain, maka orang tersebut cenderung menolak diri sendiri. Melalui pengungkapan diri dan
dukungan-dukungan yang datang seseorang akan menempatkan diri secara lebih baik untuk menerima tanggapan positif dari orang lain. c. Komunikasi yang dilakukan lebih efisien.
Keterbukaan diri memperbaiki komunikasi. Seseorang memahami dari orang lain sebagian besar sejauh seseorang memahami orang lain secara individual. Seseorang mampu memahami apa yang dikatakan orang lain jika telah mengenal baik orang tersebut. Keterbukaan diri adalah kondisi yang penting untuk mengenal orang lain. Seseorang dapat saja meneliti perilaku atau bahkan hidup bersama orang lain selama bertahun-tahun, tetapi jika orang tersebut tidak pernah mengungkapkan dirinya maka ia tidak akan memahami orang itu sebagai pribadi yang utuh.
d. Hubungan lebih dalam
Keterbukaan diri dalam komunikasi diperlukan untuk membina hubungan yang lebih bermakna diantara dua orang. Tanpa keterbukaan diri dalam komunikasi hubungan yang bermakna dan mendalam tidak akan terjadi. Mengungkapkan diri dalam komunikasi bisa memberitahu orang lain bahwa kita mempercayai, menghargai, dan cukup peduli kepada orang lain untuk mengungkapkan diri kita kepada mereka. Terbuka kepada orang lain mendorong seseorang terbuka terhadap diri sendiri sehingga membentuk hubungan yang bermakna, yaitu hubungan yang jujur dan terbuka bukan sekesar hubungan yang seadanya.
6. Aspek-aspek Keterbukaan Diri dalam Komunikasi
DeVito (2011) menyebutkan bahwa kualitas keterbukaan diri dalam komunikasi mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi antar pribadi.
a. Komunikator antar pribadi yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajaknya berinteraksi. Ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya. Membuka semua riwayat hidup memang menarik tetapi tidak membantu komunikasi. Sebaliknya, harus ada kesediaan untuk membuka diri, yaitu mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini patut, yaitu sesuai dengan lingkungan (konteks) dan hubungan antar pembicara dan pendengar. Sebelum melakukan keterbukaan diri perlu bertanya kepada diri sendiri apakah waktu dan tempatnya sudah tepat. Biasanya makin bersifat pribadi keterbukaan diri itu makin dekat hubungan yang di perlukan. Ada baiknya untuk tidak mengungkapkan sesuatu secara pribadi kepada orang yang tidak terlalu akrab, kepada kenalan biasa, dan pada tahap awal suatu hubungan.
b. Kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak kritis, dan tidak tanggap pada umumnya merupakan peserta percakapan yang menjemukan. Kita ingin orang bereaksi terhadap apa yang kita ucapkan, dan kita berhak mengharapkan hal itu. Tidak ada yang lebih buruk dari pada
ketidakacuhan, bahkan ketidaksependapatan jauh lebih menyenangkan. Kita memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan terhadap orang lain.
c. Menyangkut “kepemilikan” perasaan dan pikiran (Bochner & Kelly,
1974 dalam DeVito, 2011). Terbuka dalam pengertian ini adalah mengakui perasaan dan pikiran yang di lontarkan yaitu memang benar-benar dirasakan dan bisa di pertanggungjawabkan. Cara terbaik untuk menyatakan tanggung jawab ini adalah dengan pesan yang menggunkan kata saya (kata ganti orang pertama tunggal).
B. Hakikat Teman Sebaya