• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

B. Hakikat Penyesuaian Diri

A. Hakikat Kecemasan 1. Pengertian Kecemasan

Nietzel (dalam Gufron, 2012) menyebutkan bahwa kecemasan berasal dari bahasa Latin (anxius) dan Jerman (ansf) yaitu suatu kata yang digunakan untuk menggambarkan efek negatif dan rangsangan sosiologi. Freud (dalam Suryabrata, 2000) menyatakan bahwa kecemasan adalah reaksi ancaman dari rasa sakit maupun dunia luar yang tidak siap ditanggulangi dan berfungsi memperingatkan individu akan adanya bahaya. Kecemasan yang tidak dapat ditanggulangi disebut sebagai traumatik. Saat ego tidak mampu mengatasi kecemasan secara rasional, maka ego akan memunculkan mekanisme pertahanan ego (ego defense mechanism).

Ahli lain, Priest(dalam Sobur, 2003) berpendapat bahwa kecemasan atau perasaan cemas adalah suatu keadaan yang dialami ketika berpikir tentang suatu yang tidak menyenangkan terjadi. Calhoun dan Acocella (dalam Safaria, 2009) menambahkan, kecemasan adalah perasaan ketakutan (baik realistis maupun tidak realistis) yang disertai dengan keadaan peningkatan reaksi kejiwaan. Sementara itu, Atkinson, dkk (1996) menjelaskan bahwa kecemasan merupakan emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan gejala seperti kekhawatiran dan

perasaan takut. Segala bentuk situasi yang mengancam kesejahteraan organism dapat menimbulkan kecemasan. Konflik merupakan salah satu sumber rasa cemas. Adanya ancaman fisik, ancaman terhadap harga diri, serta perasaan tertekan untuk melakukan sesuatu di luar kemampuan juga menumbuhkan kecemasan. Muchlas (dalam Gufron, 2012) mendefinisikan istilah kecemasan sebagai sesuatu pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental ketegangan mental kesukaran dan tekanan yang menyertai konflik atau ancaman.

Dari pemaparan para ahli tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan merupakan suatu keadaan yang dialami individu ketika berpikir tentang sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi, dan membuat individu merasa terancam dan tidak nyaman. 2. Sumber-sumber Kecemasan

Deffenbacher dan Hazaleus (dalam Gufron, 2012) mengemukakan bahwa sumber penyebab kecemasan, meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. Kekhawatiran (worry), merupakan pikiran negatif tentang diri sendiri, seperti perasaan negatif bahwa ia lebih jelek dibandingkan dengan teman-temannya.

b. Emosionalitas (imosionality), sebagai reaksi diri terhadap rangsangan saraf otonomi, seperti jantung berdebar-debar, keringan dingin, dan tegang.

c. Gangguan dan hambatan dalam menyelesaikan tugas (task generated interference), merupakan kecenderungan yang dialami seseorang yang selalu tertekan karena pemikiran yang rasional terhadap tugas. 3. Faktor yang Memengaruhi Kecemasan

Menurut Adler dan Rodman (dalam Ghufron, 2012) terdapat dua fakor yang menyebabkan adanya kecemasan, yaitu pengalaman yang negatif pada masa lalu dan pikiran yang tidak rasioanl,

a. Pengalaman negatif pada masa lalu

Pengalaman ini merupakan hal yang tidak menyenangkan pada masa lalu mengenai peristiwa yang dapat terulang lagi pada masa mendatang, apabila individu tersebut menghadapi situasi atau kejadian yang sama dan juga tidak menyenangkan, misalnya pernah gagal dalam tes. Hal tersebut merupakan pengalaman umum yang menimbulkan kecemasan siswa dalam menghadapi tes.

b. Pikiran yang tidak Rasional

Para psikolog memperdebatkan bahwa kecemasan terjadi bukan karena suatu kejadian, melainkan kepercayaan atau keyakinan tentang kejadian itulah yang menjadi penyebab kecemasan.

4. Dampak Kecemasan

Semiun (2001), membagi beberapa dampak dari kecemasan kedalam beberapa simtom, antara lain :

Individu yang mengalami kecemasan memiliki perasaan akan adanya hukuman dan bencana yang mengancam dari suatu sumber tertentu yang tidak diketahui. Orang yang mengalami kecemasan tidak bisa tidur, dan dengan demikian dapat menyebabkan sifat mudah marah.

b. Simtom kognitif

Kecemasan dapat menyebabkan kekhawatiran dan keprihatinan pada individu mengenai hal-hal yang tidak menyenangkan yang mungkin terjadi. Individu tersebut tidak memperhatikan masalah-masalah nyata yang ada, sehingga individu sering tidak bekerja atau belajar secara efektif, dan akhirnya dia akan menjadi lebih merasa cemas.

c. Simtom motor

Individu yang mengalami kecemasan sering merasa tidak tenang, gugup, kegiatan motorik menjadi tanpa arti dan tujuan, misalnya jari-jari kaki mengetuk-ngetuk, dan sangat kaget terhadap suara yang terjadi secara tiba-tiba. Simtom motorik merupakan gambaran rangsangan kognitif yang tinggi pada individu dan merupakan usaha untuk melindungi dirinya dari apa saja yang dirasanya mengancam.

5. Aspek-aspek Kecemasan

Menurut Colhun dan Acocella (dalam Sobur, 2003) terdapat tiga reaksi yang merupakan aspek-aspek kecemasan, yaitu:

a. Reaksi emosional, yaitu komponen kecemasan yang berkaitan dengan persepsi individu terhadap pengaruh psikologis dari kecemasan, seperti perasaan keprihatinan, ketegangan, sedih mencela diri sendiri atau orang lain.

b. Reaksi kognitif, yaitu ketakutan atau kekhawatiran yang berpengaruh terhadap kemampuan berpikir jernih sehingga mengganggu dalam memecahkan masalah dan mengatasi tuntutan lingkungan sekitarnya. c. Reaksi fisiologis, yaitu reaksi yang ditampilkan oleh tubuh terhadap sumber ketakutan dan kekhawatiran. Reaksi ini berkaitan dengan system syaraf yang mengendalikan berbagai otot dan kelenjar tubuh sehingga menimbulkan reaksi dalam bentuk jantung berdetak lebih keras, nafas yang lebih cepat, tekanan darah menjadi meningkat.

Kecemasan terdiri dari begitu banyak ciri yang bersumber dari berbagai aspek: fisik, kognisi, dan perilaku (Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Ciri-ciri tersebut terdiri atas:

a. Fisik, meliputi: kegelisahan, kegugupan; tangan atau anggota tubuh yang bergetar; sensasi dari pita ketat yang mengikat di sekitar dahi; kekencangan pada pori-pori kulit perut atau dada; banyak berkeringat; telapak tangan yang berkeringat; pening atau pingsan; mulut atau kerongkongan terasa kering; sulit berbicara; sulit bernafas; bernafas pendek; jantung yang berdebar keras atau berdetak kencang; suara yang bergetar; jari-jari atau anggota tubuh yang menjadi dingin; pusing; merasa lemas atau mati rasa; sulit

menelan; kerongkongan terasa sekat; leher atau punggung terasa kaku; sensasi seperti tercekik atau tertahan; tangan yang dingin dan lembab; terdapat gangguan sakit perut atau mual; panas dingin; sering buang air kecil; wajah terasa memerah; diare; dan merasa sensitif atau “mudah marah”.

b. Behavioral (perilaku), meliputi: 1) Perilaku Menghindar

Individu yang mengalami kecemasan cenderung memiliki perilaku menghindar, menghindar yang dimaksud meliputi menarik diri dalam berinteraksi, melarikan diri dari masalah dan menghindari situasi yang menurutnya tidak menyenangkan bagi dirinya.

2) Perilaku Melekat dan Dependen

Individu yang mengalami kecemasan biasanya memiliki perilaku ketergantungan pada seseorang yang dirasa bisa membantu mengatasi masalahnya.

3) Perilaku Terguncang

Perilaku terguncang dimaksud meliputi rasa waspada yang berlebihan dan memandang sesuatu menjadi ancaman bagi dirinya.

c. Kognitif, meliputi: khawatir tentang sesuatu; perasaan terganggu atau ketakutan atau aprehensi terhadap sesuatu yang terjadi di masa depan; keyakinan bahwa sesuatu yang mengerikan akan segera

terjadi, tanpa penjelasan yang jelas; terpaku pada sensasi ketubuhan; sangat waspada terhadap sensasi ketubuhan; merasa terancam oleh orang atau peristiwa yang normalnya hanya sedikit atau tidak mendapat perhatian; ketakutan atau kehilangan kontrol; ketakutan akan ketidakmampuan untuk mengatasi masalah; berpikir bahwa dunia mengalami keruntuhan; berpikir bahwa semuanya tidak lagi bisa dikendalikan; berpikir bahwa semuanya terasa sangat membingungkan tanpa bisa diatasi; khawatir terhadap hal-hal yang sepele; berpikir tentang hal mengganggu yang sama secara berulang-ulang; berpikir bahwa harus bisa kabur dari keramaian, kalau tidak pasti akan pingsan; pikiran terasa bercampur aduk atau kebingungan; tidak mampu menghilangkan pikiran-pikiran terganggu; berpikir akan mati, meskipun dokter tidak menemukan sesuatu yang salah secara medis; khawatir akan ditinggal sendirian; sulit berkonsentrasi atau memfokuskan pikiran.

6. Karakteristik Individu yang Mengalami Kecemasan

Menurut Turangan (2016), terdapat 5 karakteristik individu yang mengalami kecemasan yaitu:

a. Khawatir berlebihan

Individu yang mengalami kecemasan, merasa cemas terus-menerus setiap hari setidaknya selama enam bulan. Kecemasan juga menjadi begitu parah, sehingga mengganggu kehidupan sehari-hari dan disertai dengan gejala yang nyata seperti kelelahan.

b. Ketakutan yang irasional

Gangguan kecemasan yang sifatnya tidak umum, melekat pada situasi tertentu seperti takut terbang, hewan, atau banyak hal lainnya.Jika rasa takut itu menjadi luar biasa dan keluar dari proporsi risiko yang sebenarnya, itu dinamakan fobia. Fobia seringkali tersembunyi sampai penderitanya bertemu dengan sesuatu yang ditakutinya. "Seseorang yang fobia ular bisa terlihat biasa-biasa saja tanpa masalah selama bertahun-tahun. Tapi ketika diajak berkemah di alam terbuka, mereka baru sadar bahwa mereka sangat takut pada ular, sehingga dihantui oleh ketakutan itu hingga sedemikian rupa”.

c. Masalah tidur

Sulit tidur atau sering tertidur telah lama dikaitkan dengan berbagai kondisi kesehatan, baik fisik maupun psikologis. Hampir semua individu pernah mengalami sulit tidur terutama ketika individu sedang mengalami masalah yang menyita pikiran.Tetapi, jika individu menemukan dirinya sering atau konsisten tidak bisa tidur, karena terus mengkhawatirkan masalah yang itu-itu saja atau malah tidak ada sebab khusus dari kecemasan yang individu rasakan, mungkin yang bersangkutan menderita GAD dan perlu untuk mendapat pertolongan dari psikolog atau psikiater.

d. Tegang otot

Tegang otot konstan, seperti mengepalkan rahang, tinju, atau meregangkan otot-otot seluruh tubuh, sering menyertai gangguan kecemasan. Gejala ini bisa berlangsung beberapa lama tanpa orang menyadarinya. Ketegangan dapat timbul kembali, jika individu mengalami kecemasan.

e. Gangguan pencernaan kronis

Kecemasan dapat dimulai dari dalam pikiran tetapi sering memanifestasikan dirinya melalui gejala fisik, seperti masalah pencernaan kronis. Individu yang mengalami kecemasan merasakan gejala seperti sakit perut, kram, kembung, gas, sembelit, atau diare, pada dasarnya adalah kecemasan dalam saluran pencernaan.

f. Panik

Individu yang mengalami kecemasan, cenderung merasakan takut yang luar biasa dan membuat individu merasa tidak berdaya dan panik. Panik dapat berlangsung selama beberapa menit, disertai dengan gejala fisik seperti masalah pernapasan, jantung berdebar kencang, kesemutan atau tangan mati rasa, berkeringat, lemas atau pusing, nyeri dada, sakit perut dan merasa panas atau dingin. Tidak semua individu yang memiliki serangan panik memiliki gangguan kecemasan, tetapi individu yang mengalaminya berulang kali dapat didiagnosis dengan gangguan panik. Individu

dengan gangguan panik, hidup dalam ketakutan tentang kapan, di mana, dan mengapa serangan mereka berikutnya mungkin terjadi. Mereka cenderung menghindari tempat-tempat di mana serangan pernah terjadi di masa lalu.

g. Trauma

Menghidupkan kembali atau kilas balik peristiwa yang membuat emosi terganggu atau trauma, seperti kematian mendadak orang yang dicintai, adalah ciri dari gangguan stres pasca-trauma atau Posttraumatic stress disorder (PTSD). Beberapa penelitian, salah satunya studi yang dimuat dalam Journal of Anxiety Disorder 2006, menunjukkan bahwa beberapa orang dengan kecemasan sosial memiliki kilas balik PTSD. Banyak dari mereka merasa trauma, karena pernah diejek di depan publik. Biasanya, orang-orang ini akan menghindari faktor-faktor yang bisa memicu ingatan buruk itu datang lagi. Misalnya, orang yang trauma karena pernah diejek di depan publik akan menjadi tidak suka tampil di keramaian atau tidak suka memiliki banyak teman karena itu akan membuatnya cemas.

h. Kesadaran diri

Gangguan kecemasan sosial tidak selalu berkaitan dengan bicara di depan orang banyak atau menjadi pusat perhatian. Dalam kebanyakan kasus, kecemasan tersebut dipicu oleh situasi sehari-hari seperti percakapan antar individu di sebuah pesta, atau makan

dan minum di depan sejumlah kecil orang. Individu dengan gangguan kecemasan sosial cenderung merasa seperti semua mata tertuju padanya. Akibatnya, individu menjadi grogi, wajah memerah, gemetar, mual, berkeringat, atau kesulitan berbicara. Gejala ini bisa begitu mengganggu dan membuat individu sulit untuk bertemu orang baru, menjaga hubungan baik dengan orang lain, baik di tempat kerja maupun di sekolah.

B. Hakikat Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian Diri

Semiun (2001), mengatakan penyesuaian diri adalah suatu proses yang melibatkan respons-respons mental dan tingkah laku yang menyebabkan individu berusaha menanggulangi kebutuhan-kebutuhan, tegangan-tegangan, frustrasi-frustrasi, dan konflik-konflik batin serta menyelaraskan tuntutan-tuntutan batin ini dengan tuntutan-tuntutan yang dikenakan kepadanya oleh dunia di mana ia hidup.

Menurut Siswanto (2007), penyesuaian diri adalah dimana lingkungan diubah supaya lebih sesuai dengan kondisi individu. Calhoun dan Acocella (dalam Sobur 2003), mendefinisikan penyesuaian sebagai interaksi anda yang kontinu dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dunianya.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses dimana individu berusaha

menyamakan diri dengan lingkungan sosial yang baru dan menghadapi perubahan yang terjadi.

2. Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri

Menurut Gunarsa (dalam Astuti, 2014) bentuk-bentuk penyesuaian diri dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu (a) adaptive dan (b) adjustive.

a. Adaptive

Bentuk penyesuaian diri adaptive sering dikenal dengan istilah adaptasi. Bentuk penyesuaian yang lebih bersifat badani, artinya perubahan-perubahan dalam proses badani untuk menyesuaikan diri terhadap keadaan lingkungan.

“Adaptabilitas” atau kemampuan untuk beradaptasi, merupakan kunci kemampuan bertahan dari semua spesies tumbuh-tumbuhan dan binatang, termasuk manusia. Darwin (dalam ilmu biologi) mengamati bahwa spesies yang mampu bertahan adalah yang mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam dilingkungan mereka. Sudah diperdebatkan bahwa manusia mampu mengatasi dan mampu mendominasi planet. Karena manusia adalah yang paling mampu beradaptasi dengan mengkhususkan pada organ yang tidak khusus – otak.

Pada dasarnya, pengertian luas mengenai proses penyesuaian itu terbentuk sesuai dengan hubungan individu dengan lingkungan sosialnya, yang dituntut dari individu, tidak hanya mengubah

kelakuannya dalam menghadapi kebutuhan-kebutuhan dirinya dari dalam dan keadaan di luar, dalam lingkungan tempat ia hidup, tetapi ia juga dituntut untuk menyesuaikan diri dengan adanya orang lain dan macam-macam kegiatan mereka. Maka, orang yang ingin menjadi anggota dari suatu kelompok, ia berada dalam posisi dituntut menyesuaikan diri dengan kelompok itu.

b. Adjustive

Bentuk penyesuaian yang adjustive, bentuk penyesuaian yang menyangkut kehidupan psikis. Penyesuaian ini berhubungan dengan tingkah laku, sebagaimana kita ketahui tingkah laku manusia sebagian besar dilatarbelakangi oleh hal-hal psikis ini, kecuali tingkah laku tertentu dalam bentuk gerakan-gerakan yang sudah menjadi kebiasaan atau gerakan-gerakan refleks. Maka, penyesuaian ini adalah penyesuaian diri tingkah laku terhadap lingkungan yang dalam lingkungan ini terdapat aturan-aturan atau norma-norma. Singkatnya, penyesuaian terhadap norma-norma.

3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Penyesuaian Diri

Menurut Gunarsa (dalam Astuti, 2014) faktor yang memengaruhi penyesuaian diri yaitu:

a. Keadaan fisik dan faktor-faktor keturunan, konstitusi fisik meliputi sistem persyarafan, kelenjar, otot-otot serta kesehatan dan penyakit. b. Perkembangan dan kematangan khususnya kematangan intelektual,

c. Faktor psikologis, pengalaman belajar, kondisioning, frustasi dan konflik, self determination.

d. Keadaan lingkungan: rumah, keluarga, sekolah. e. Faktor kebudayaan, adat istiadat, agama.

4. Aspek Penyesuaian Diri

Menurut Supratiknya (dalam Astuti, 2014) aspek-aspek penyesuaian diri, yaitu:

a. Sikap terhadap diri sendiri

Menunjukkan penerimaan diri, memiliki jati diri yang memadai (positif), penilaian yang realistik terhadap kelebihan dan kekurangan.

b. Persepsi terhadap realitas

Pandangan yang realistis terhadap diri dan dunia, orang maupun benda di sekelilingnya.

c. Integrasi

Berkepribadian utuh, bebas dari konflik-konflik batin yang melumpuhkan, memiliki toleransi yang baik terhadap stres.

d. Kompetensi

Memiliki kompetensi-kompetensi fisik, intelektual, emosional, dan sosial yang memadai untuk mengatasi problem hidup.

e. Otonomi

Memiliki kemandirian, tanggung jawab dan penentuan diri (self-determination;).

5. Karakteristik Individu yang Mampu Menyesuaikan Diri

Menurut Semiun (2001), terdapat 5 hal dalam karakteristik individu yang mampu menyesuaikan diri, yaitu:

a. Memiliki Persepsi yang Akurat terhadap Realita

Pemahaman atau persepsi individu terhadap realita berbeda-beda, meskipun realita yang dihadapi adalah sama. Perbedaan persepsi tersebut dipengaruhi oleh pengalaman masing-masing individu yang tentunya berbeda satu sama lain. Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik memiliki persepsi yang relatif objektif dalam memahami realita. Persepsi objektif adalah bagaimana individu mengenali konsekuensi-konsekuensi tingkah lakunya dan mampu bertindak sesuai dengan konsekuensi tersebut. Sebaliknya individu yang memiliki penyesuaian diri buruk, dicirikan dengan adanya kesenjangan antara persepsinya dengan realita yang aktual sehingga ini membuatnya kurang bisa melihat tingkah lakunya. Dan individu tersebut seringkali mengalami masalah karena kurang mampu mengenali berbagai akibat dari tingkah laku yang ditimbulkannya.

b. Kemampuan untuk Beradaptasi dengan Tekanan atau Stres dan Kecemasan

Pada dasarnya setiap individu tidak senang bila mengalami tekanan dan kecemasan. Umumnya individu menghindari hal-hal yang menimbulkan tekanan, kecemasan dan menyenangi pemenuhan kepuasan yang dilakukan segera. Individu yang mampu menyesuaikan diri tidak selalu menghindari munculnya tekanan dan kecemasan. Dengan mentoleransi tekanan dan kecemasan yang dialami dan mau menunda pemenuhan kepuasan selama itu diperlukan demi mencapai tujuan tertentu yang lebih penting sifatnya.

c. Mempunyai Gambaran Diri yang Positif Tentang Dirinya

Pandangan individu terhadap dirinya dapat menjadi indikator dari kualitas penyesuaian diri yang dimilki. Pandangan tersebut lebih mengarah pada apakah individu bisa melihat dirinya secara harmonis atau sebaliknya dia melihat adanya berbagai konflik yang berkaitan dengan dirinya. Individu yang banyak melihat pertentangan-pertentangan dalam dirinya, ini bisa menjadi indikasi adanya kekurangan dalam penyesuaian diri (maladjusted).

Gambaran diri yang positif juga mencakup apakah individu yang bersangkutan bisa melihat dirinya secara realistik, yaitu secara seimbang tahu kelebihan dan kekurangan diri sendiri dan mampu

menerimanya sehingga memungkinkan individu yang bersangkutan untuk dapat merealisasikan potensi yang dimilki secara penuh. d. Kemampuan untuk Mengekspresikan Perasaannya

Individu yang dapat menyesuaiakan diri dengan baik dicirikan memiliki kehidupan emosi yang sehat. Individu tersebut mampu menyadari dan merasakan emosi atau perasaan yang saat itu dialami serta mampu untuk mengekspresikan perasan dan emosi tersebut dalam spectrum yang luas. Sebaliknya penyesuaian diri yang buruk ditandai dengan adanya kecenderungan untuk mengekspresikan emosi secara berlebihan (over) atau sebaliknya, terlalu menekan/mengontrol emosi secara berlebihan. Individu yang memiliki ciri tersebut cenderung diberi label kekanak-kanakan (childish) dan individu tersebut bisa tiba-tiba melakukan kekerasan meskipun situasi yang melatari tidak sesuai dengan reaksi kekerasan yang dimunculkan.

e. Relasi Interpersonal Baik

Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik mampu memcapai tingkat keintiman yang tepat dalam suatu hubungan sosial. Individu mampu bertingkah laku secara berbeda terhadap orang yang berbeda karena kedekatan relasi interpersonal antar mereka yang berbeda jauh. Dia mampu menikmati, disukai dan direspek oleh orang lain di satu sisi, tetapi juga mampu memberikan respek dan menyukai orang lain.

6. Dampak Kegagalan dalam Penyesuain Diri

Menurut Semium (2001), ada beberapa dampak yang dapat diamati pada individu yang mengalami kesulitan dan gagal melakukan penyesuaian diri.dampak tersebut adalah :

a. Tingkah laku yang “aneh dan eksentrik” karena menyimpang dari norma atau standar sosial yang berlaku di lingkungan masyarakat. b. Individu yang bersangkutan tampak mengalami kesulitan, gangguan

atau ketidakmampuan dalam melakukan penyesuaian diri secara efektif dalam kehidupan sehari-hari. Ini tampak pada prestasi yang tidak optimal yang tidak sesuai dengan potensi yang dimiliki.

c. Individu yang bersangkutan mengalami distress subjektif yang sering atau kronis. Masalah-masalah yang umum bagi kebanyakan orang dan mudah diselesaikan menjadi masalah yang luar biasa bagi individu tersebut. Kegagalan dalam melakukan penyesuaian diri menyebabkan individu mengalami gangguan mental individu. Semakin lama gangguan tersebut tidak diatasi, maka derajat gangguannya menjadi semakin berat dan semakin sulit untuk dipulihkan.

C. Hakikat Mahasiswa

Dokumen terkait