• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nasionalisme merupakan salah satu nilai luhur yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan pancasila yang perlu diwariskan kepada generasi penerus termasuk para siswa di sekolah. Sebagaimana pengertian nasionalisme menurut Hans Kohn (1984 : 11) yaitu:

“Suatu paham yang berpendapat behwa kesetiaan tertingi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan atau nation-state. Perasaan yang sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi-tradisi setempat, dan penguasa-penguasa resmi daerahnya selalu ada disepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda”.

Sedangkan Beik dan Lafore (Alfian, 1998 : 29) mengmukakan bahwa nasionalisme adalah loyalitas yang tinggi terhadap kesadaran akan adanya karakterisik atau kesamaan-kesamaan nasional. Cipto (2002 : 116) juga mengemukaakan bahwa nasionalisme berarti menyatakan suatu afinitas kelompok

yang didasarkan atas bangsa, budaya, keturunan bersama, dan terkandung kepada agama dan wilayah bersama pula; terhadap semua pengakuan lain atas loyalitas seseorang sebagai doktrin politik, nasionalisme memberi basis dan pembenaran ideologis bagi bangsa dunia untuk mengorganisasikan dirinya sendiri kedalam entitas-entitas yang bebas atau otonom. Etnis-etnis ini sebagian besar mengambil bentuk negara nasional merdeka, walaupun terdapat contoh dimana beberapa bentuk otonom kedaerahan atau kultural juga dilembagakan.

Sikap nasionalisme ini tidak terbentuk begitu saja, tetapi ada faktor-faktor yang mampengaruhi. Faktor-faktor tersebut antara lain faktor intern dan ekstern. Sarwono (1999 : 235) mengungkapkan ada dua faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap seseorang, yaitu karena adanya:

1. Faktor intern yaitu faktor yang berasal dari dalam individu itu sendiri seperti minat, perhatian dan sebagainya. Dari faktor-faktor inilah sikap seseorang terbentuk, baik yang melahirkan sikap positif ataupun negatif. 2. Faktor eksten yaitu faktor yang berasal dari luar individu, yakni sebagai

stimulus yang datangnya dari luar baik yang berhubungan secara langsung ataupun tidak langsung.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa sikap tidak terbentuk dengan sendirinya tetapi pembentukan sikap ini terbentuk karena individu itu sendiri dan pengaruh lingkungan sekitar yang dapat mempengaruhi tumbuh kembangnya sikap tersebut.

Menurut Sarwono (1999 : 252) mengemukakan bahwa “pembentukan sikap tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui proses tertentu yaitu melalui kontak sosial terus menerus antara individu dengan individu-individu lain disekitarnya”. Selain

terbentuk oleh pengalaman-pengalaman atau peristiwa-peristiwa yang dialami individu, sikap juga dapat dibentuk melalui prasangka, yakni semacam pendapat negatif perihal sesuatu tanpa memperhatikan kenyataan. Sarwono (1999 :267) mengungkapkan bahwa:

“Prasangka adalah penilaian terhadap sesuatu hal berdasarkan fakta dan informasi yang tidak lengkap, jadi sebelum orang mengetahui benar tentang sesuatu hal, ia sudah menetapkan pendapatnya mengenai hal tersebut dan atas dasar itu ia membentuk sikapnya”.

Hobsbawn (2001 : 106) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang membentuk nasionalisme adalah faktor obyektif dan faktor subyektif. Yang termasuk faktor obyektif adalah bahasa, warna kulit, kebudayaan, adat, agama, wilayah, kewarganegaraan dan ras. Sedangkan faktor subyektif dari nasionalisme adalah cita-cita, semangat, dan kinginan. Dalam arti timbulnya rasa kesadaran nasional pada bangsa itu sesuai dengan tujuan utamanya adalah terwujudnya negara nasional.

Tidak jauh berbeda dengan yang di ungkapkan oleh Kartaprawira (2002) yang menyebutkan bahwa substansi nasionalisme Indonesia mempunyai dua unsur. Pertama, kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak suku, etnik, dan agama. Kedua, kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam menghapuskan segala bentuk penjajahan dan penindasan dari bumi Insonesia. Semangat dari dua substitansi tersebutlah yang kemudian tercermin dalam Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam pembacaan teks Proklamasi Kemedekaan dengan jelas dinyatakan “atas nama bangsa Indonesia” sedangkan Pembukaan UUD 1945 secara tegas dikatakan,

“segala bentuk penjajahan dan penindasan di dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Proklamasi Kebangsaan Indonesia tersebut dalam sejarah perkembangannya telah memberi makna yang sangat signifikan bagi nation building dan pemantapan kesadaran nasionalisme Indonesia. Proses pengembangan kesadaran nasionalisme Indonesia dipelopori oleh Bung Karno (terutama) sejak masa mudanya, yang berkeyakinan bahwa hanya dengan ide dan jiwa nasionalismelah sekat-sekat etnik, suku, agama, budaya dan tanah kelahiran bisa ditembus untuk menggalang persatuan perjuangan melawan kolonialisme. Dalam artikel-artikelnya, banyak pidato dan diskusinya masalah nasionalisme dengan gencar diperjuangkan oleh Bung Karno. Bahkan sekat-sekat ideologipun oleh Bung Karno ditebas tanpa ampun demi perjuangan trsebut. Berdirnya Republik Indonesia tersebut telah memberi bukti bahwa nation Indonesia beserta kesadaran nasionalismenya tidak hanya eksis, tetapi hidup-aktif dalam pengembangan dirinya dan dalam kehidupan masyarakat antar bangsa. Eksistensi nasion dan nasionalisme Indonesia adalah fakta obyektif yang tidak dapat dinegasikan oleh teori-teori atau analisis-analisis apapun (Kartaprawira, 2002).

Sartono (1999 : 58) mengungkapkan, tidak dapat disangkal bahwaa di negeri-negeri Asia pada zaman modern, nasionalisme meripaka hasil yang paling penting dari pengaruh kekuasaan Barat. Tentu saja nasionalisme di negeri-negeri Asia dan khususnya di Indonesia tidak dapat disamakan dengan di Barat, karena ia merupakan suatu gejala historis yang telah berkembang sebagai jawaban terhadap kondisi politik,

ekonomi, dan sosial khususnya yang ditimbulkan oleh situasi kolonial. Hal yang esensial bahwa nasionalisme dan kolonialisme itu tidak terlepas satu sama lain, dan terasa juga adanya pengaruh timbal balik antara nasionalisme yang sedang berkembang dan politik kolonial dengan ideologinya, yang menganggap bahwa peradaban barat itu lebih tinggi dan berbeda sama sekali dengan kebudayaan Timur.

Sartono (1999 : 81 – 82) menyebutkan bahwa sebagai dampak perkembangan pengajaran di Indonesia tumbuhlah golongan sosial baru yang mempunyai fungsi dan status baru sesuai dengan diferesiansi serta spesialisasi dalam bidang sosial-ekonomi dan pemerintah. Sekaligus juga tercipta golongan profesional yang sebagai golongan sosial baru tidak mempunyai tempat pada strata menurut stratifikasi sosial masyarakat tradisional. Golongan profesional (kaum intelektual) inilah yang posisi sosialnya memungkinkan mereka berfungsi sebagai protagonis modernisasi pada umumnya dan sebagai perintis nasionalisme khususnya. Sebagai generasi pertama yang menuntut pelajaran sistem barat, mereka tidak hanya menyerap pengetahuan dari texbook berbagai bidang pengetahuan, tetapi juga mengalami pendidikan formal yang memolakan sikap baru yang mencakup sisiplin sosial, pemikiran rasional, gaya hidup menurut jadwal waktu, dan nilai-nilai lainnya. Pendidikan Barat telah mengakibatkan suatu kesadaran yang masuk kedalam, terutama kaum pemuda atau intelektual.

Pendidikan barat sangat menunjol sewaktu, misalnya tahun 1925 Perhimpunan Indonesia menjelaskan sendiri bahwa studi dari sejarah oleh pemuda Indonesia memperkenalan perjuangan nasional dari beberapa wilayah dalam sejarah

dan membuat kaum intelektual Indonesia berpikir mengenai masa depan Indonesia yang dijajah belanda (Dhont, 2005 : 90 – 91). Golongan menengah inilah yang menurut Wertheim (1999 : 261) nasionalismenya lebih konsisten, baik dikalangan kelompok-kelompok kecil pedagang maupun dikalangan kelas intelektual yang bekerja dalam bidang pemerintahan dan berbagai kelas usaha Barat. Mereka adalah kelompok perkotaan yang bersaing dalam bidang sosial dan ekonomi dengan kelas atas dengan berbagai kelompok yang sudah mengkonsolidasikan diri mereka dalam berbagai fungsi. Perjuangan kompetitif mereka dengan mudah memperlihatkan bentuk nasionalisme karena kelompok yang mereka serang, orang Cina dan Eropa, sebagaian besar berasal dari luar dan menekankan karakteristik tersendiri dalam tingkah laku sosial mereka

Tinjauan sejarah sosial-kultural dapat juga memperlihatkan bahwa kekuatan daya dorong nasionalisme, yang dilahirkan dalam suasana kebudayaan bazar dari “komunitas orang-orang asing” akhirnya menciptakan sebuah komunitas bangsa. Inilah “komunitas yang dibayangkan” oleh “para perantau” yang pernah secara konseptual menjadi penghuni “komunitas orang-orang asing”. Jadi dapat dilihat bahwa proses pembentukan bangsa dan negara Indonesia adalah sebagai pergumulan munculnya nasionalisme yang lain membentuk sebuah bangsa dalam wadah negara yang berdaulat (Abdullah, 2001, 66 – 67).

Menurut Kahin (1995 : 175), nasionalisme Indonesia melahirkan Pancasila sebagai ideologi negara. Perjuangan yang lama untuk mencapai kemerdekaan kini telah terwujud. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah sebagai puncak

perjuangan, dan sekaligus pertanda bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara yang berdaulat, merdeka, dan mandiri. Untuk memperkuat itu semua, disahkanlah Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus, yang menjadi simbol kekuasaan besar yang revolusioner yang mengandung persamaan dan persaudaraan, suatu tanda hari cerah setelah digulingkannya kesatuan asing. Demikian pula dengan disahkannya UUD 1945, semangat dan jiwa Proklamasi yaitu Pancasila, memperoleh bentuk dan dasar hukumnya yang resmi sebagai dasar falsafah Negara Republik Indonesia, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sementara itu, dalam perkembangan sebuah bangsa, nasionalisme menjadi dasar dan kekuatan suatu bangsa dalam membangun negara dan bangsanya. Istilah ini sering disebut sebagai nation building. Nation building pada dasarnya merupakan sebuah proses terus menerus menuju terciptanya sebuah negara dalam melaksanakan tugas-tugasnya atas dasar ideologinya. Setelah kemerdekaan Indonesia, nasionalisme tetap berfungsi dalam nation building. Dalam proses itu, kebudayaan nasional, kepribadian dan identitas nasional, kesadaran nasional semuanya perlu dibudayakan. Untuk keperluan itu diperlukan upaya-upaya untuk menimbulkan kesadaran nasional serta memantapkan simbol identitasnya. Demikian halnya setelah pengakuan Kedaulatan Indonesia, proses nation building bergulir untuk terus menerus menciptakan Indonesia yang utuh. Penolakan terhadap federasi, pertentangan ideologi pancasila versus Komunisme dan kemudian masalah posisi militer dalam kehidupan

negara merupakan bagian dari proses nation building tersebut (Simatupang, 1980 : 18 – 23).

Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan negara) yang populer berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi. Katagori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebagian atau semua elemen tersebut. Dalam zaman modern ini, nasionalisme merujuk kepada amalan politik dan ketentaraan yang berlandaskan nasionalisme secara etnik serta keagamaan seperti yang diungkapkan Muhamads Yani (2011) yang mengemukakan beberapa bentuk-bentuk nasionalisme yaitu sebagai berikut:

1. Nasionalisme Kewarganegaraan ( atau nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, “kehendak rakyat”, “perwakilan politik”.

2. Nasionalisme Etnis adalah sejenis nasionalisme di mana negara memperolah kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyrakat.

3. Nasionalisme Romantik (juga disebut nasionalisme organik, nasionalisme identitas) adalah lanjutan dari nasionalisme etnis dimana negara memperoleh kebanaran politik secara semulajadi (“organik”) hasil dari bangsa atau ras; menurut semangat romantisme nasionalisme romantik adalah bergantung kepada perwujudan budaya etnis yang menapati idealisme romantik; kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik.

4. Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya “sifat keturunan” seperti warna kulit, ras dan sebagainya.

5. Nasionalisme Kenegaraan iallah variasi nasionalisme kewarganegaraan yang selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi. Penyelenggaraan sebuah „national state‟ adalah suatu argumen yang

ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri.

6. Nasionalisme Agama ialah jenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama. Walaupun begitu, lazimnya nasionalisme etnis adalah dicampuradukkan dengan nasionalisme keagamaan.

2. Sikap Nasionalisme Siswa Sekolah Menengah Pertama

Yanto (2012) mengemukakan Dalam upaya menumbuhkan sikap nasionalisme pada siswa, harus juga dibarengi dengan upaya memahami Pancasila yang mengandung nilai – nilai luhur Bangsa Indonesia. Pancasila yang merupakan dasar dan pedoman hidup Bangsa Indonesia mengandung nilai – nilai nasionalisme yang harus terus ditanamkan pada diri siswa sebagai generasi penerus bangsa. Dengan memahami Pancasila baik sejarahnya, maupun maknanya maka akan tumbuh sikap nasionalisme dalam dirinya.

Santoso (2007 : 16) mengungkapkan, berikut ini adalah beberapa karakteristik atau nilai-nilai yang terkandung dalam sikap nasionalisme (Indonesia) yaitu:

1. Menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongan,

2. Sanggup atau rela berkorban untuk bangsa dan negara, 3. Mencintai tanah air dan bangsa,

4. Bangga berbangsa dan bernegara Indonesia,

5. Menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan berdasarkan prinsip Bhineka Tunggal Ika,

6. Memajukan pergaulan untuk meningkatkan persatuan bangsa dan negara.

Menurut Piaget (Respati : 2012) mengemukakan penahapan dalam perkembangan intelektual anak yang dibagi ke dalam empat periode, yaitu :

Pada periode ini tingksh laku anak bersifat motorik dan anak menggunakan system penginderaan untuk mengenal lingkungannya untu mengenal obyek. Misalnya Bayi berkembang dengan cara merespon kejadian dengan gerak refleks atau ‟pola kesiapan‟. Mereka belajar melihat diri mereka sebagai bagian dari objek yang ada di lingkungan. b. Periode Pra operasional (2-7 tahun)

Pada periode ini anak bisa melakukan sesuatu sebagai hasil meniru atau mengamati sesuatu model tingkah laku dan mampu melakukan simbolisasi.

c. Periode konkret (7-11 tahun)

Pada periode ini anak sudah mampu menggunakan operasi. Pemikiran anak tidak lagi didominasi oleh persepsi, sebab anak mampu memecahkan masalah secara logis.

d. Periode operasi formal (11-dewasa)

Periode operasi fomal merupakan tingkat puncak perkembangan struktur kognitif, anak remaja mampu berpikir logis untuk semua jenis masalah hipotesis, masalah verbal, dan ia dapat menggunakan penalaran ilmiah dan dapat menerima pandangan orang lain.

Piaget mengemukakan (Respati : 2012) bahwa ada 4 aspek yang besar yang ada hubungnnya dengan perkembangan kognitif :

a. Pendewasaaan/kematangan, merupakan pengembangan dari susunan syaraf.

b. Pengalaman fisis, anak harus mempunyai pengalaman dengan benda-benda dan stimulus-stimulusdalam lingkungan tempat ia beraksi terhadap benda-benda itu.

c. Interaksi social, adalah pertukaran ide antara individu dengan individu d. Keseimbangan, adalah suatu system pengaturan sendiri yang bekerja

untuk menyelesaikan peranan pendewasaan, penglaman fisis, dan interksi social

Dapat disimpulkan bahwa kriteria anak SMP yang berkisar pada umur 11-dewasa, berada padaperiode operasiformalyang merupakan tingkat puncak perkembangan struktur kognitif, anak remaja mampu berpikir logis untuk semua jenis masalah hipotesis, masalah verbal, dan ia dapat menggunakan penalaran ilmiah dan dapat menerima pandangan orang lain. Maka untuk penanaman sikap nasionalisme

pada siswa SMP dengan menanamkan sikap nasionalisme yang sesuai dengan siswa SMP.

Menurut Yanto (2012) sikap nasionalisme siswa adalah merespon atas hal-hal yang berkaitan dengan kebangsaan dan kebanggan menjadi anak negeri Indonesia sebagai pelajar atau siswa yang melakukan aktifitas belajar di lingkungan sekolah ataupun di rumah. dengan demikian sikap nasionalisme siswa adalah ketaatan atau kepatuhan dari siswa kepada aturan, tata tertib atau norma di sekolah yang berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan secara bersungguh-sungguh atau dengan semangat kebangsaan siswa didorong dalam belajar dan pembelajaran yang dilakukan warga sekolah.

D. Hakikat Globalisasi

Dokumen terkait