• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan - BAB II Wilda Hamisa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan - BAB II Wilda Hamisa"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan

1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara indonesia yang cerdas, trampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 (Depdiknas, 2006 : 2). Dari definisi tersebut PKn mempunyai peran penting untuk membentuk karakter yang cerdas dan berkepribadian baik didalam menjadi warga negara.

Menurut Kerr (Winataputra dan Budimansyah, 2007 : 4), mengemukakan bahwa Citizenship education or civics education dapat didefinisikan sebagai berikut :

Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and in particular, the role of education (trough schooling, teaching, and learning) in that preparatory process

Dari definisi diatas dapat dijelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dirumuskan secara luas untuk mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sabagai warga negara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk didalamnya persekolahan, pengajaran dan belajar, dalam proses penyiapan warga negara tersebut.

(2)

mempersiapkan warga masyarakat yang berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktifitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat. Demokrasi adalah suatu learning process yang tidak begitu saja meniru dan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi. Selain itu Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu peroses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dimana seseorang mempelajari orientasi, sikap dan perilaku politik sehingga yang bersangkutan memiliki poltical knowledge, awareness, attitude, political efficacy dan political participation, serta kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional dan menguntungkan bagi dirinya juga bagi masyarakat dan bangsa.

Sejalan dengan pendapat di atas, Somantri (2001 : 154) mengemukakan bahwa PKn merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.

(3)

PKn merupakan mata pelajaran yang dinamis, selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman dengan demikian, substansi dari PKn itu sendiri dipengaruhi dari berbagai unsur. Berikut ini adalah beberapa unsur yang terkait dengan pengembangan PKn menurut Somantri (2001 : 158) antara lain:

a. Hubungan pengetahuan intraseptif (intraceptive knowledge) dengan pengetahuan ekstraseptif (extraceptiveknowledge) atau antar agama dan ilmu.

b. Kebudayaan Indonesia dan tujuan pendidikan nasional. c. Disiplin ilmu pendidikan, terutama psikologi pendidikan.

d. Disiplin ilmu-ilmu sosial, khususnya “ide fundemental” Ilmu Kewarganegaraan.

e. Dokumen negara, khususnya Pancasila, UUD 1945 dan perundangan negara serta sejarah perjuangan bangsa.

f. Kegiatan dasar manusia. g. Pengertian pendidikan IPS

Ketujuh unsur inilah yang akan mempengaruhi pengembangan PKn. Karena perkembangan PKn akan mempengaruhi pengertian PKn sebagai salah satu tujuan pendidikan IPS. Sehubungan dengan itu, Pendidikan Kewarganegaraan sebagai salah satu tujuan pendidikan IPS yang menekankan pada nilai-nilai untuk menumbuhkan warga negara yang baik dan patriotik, maka batasan pengertian PKn dapat dirumuskan sebagai berikut (Somantri, 2001 : 159):

“Pendidikan Kewarganegaraan adalah seleksi dan adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu kewarganegaraan, humaniora dan kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk ikut mencapai salah satu tujuan pendidikan IPS”

Secara lebih terperinci, berikut ini beberapa faktor yang lebih menjelaskan mengenai Pendidikan Kewarganegaraan menurut Somantri (2001 : 161) antara lain:

(4)

disiplin ilmu sosial, humaniora, dokumen negara, terutama pancasila, UUD 1945, GBHN, dan perundangan negara, dengan tekanan bahan pendidikan pada hubungan warga negara dan bahan pendidikan yang berkenaan dengan bela negara.

b. PKn adalah seleksi dan adaptasi dari berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora, Pancasila, UUD 1945 dan dokumen negara lainnya yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan.

c. PKn dikembangkan secara ilmiah dan psikologis baik untuk tingkat jurusan PMPKN FPIPS maupun dikembangkan untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah serta perguruan tinggi.

d. Dalam mengembangkan dan melaksanakan PKn, kita harus berpikir secara integratif, yaitu kesatuan yang utuh dari hubungan antara hubungan pengetahuan intraseptif (agama, nilai-nilai) dengan pengetahuan ekstraseptif (ilmu), kebudayaan indonesia, tujuan pendidikan nasional, Pancasila, UUD 1945, GBHN, filsafat pendidikan, psikolgi pendidikan, pengembangan kurikulum disiplin ilmu-ilmu sosial humaniora, kemudian dibuat program pendidikannya yang terdiri atas unsur: (i) tujuan pendidikan, (ii) metode pendidikan, (iv) evaluasi.

e. PKn menitikberatkan pada kemampuan dan ketrampilan berpikir aktif warga negara, terutama generasi muda dalam menginternalisasikan nilai-nilai warga negara yang baik (good citizen) dalam suasana demokratis dalam berbagai masalah kemasyarakatan (civic affairs)

Pendapat di atas menjelaskan bahwa betapa pentingnya PKn untuk siswa sebagai generasi penerus, karena PKn menggiring untuk menjadikan siswa sadar akan politik, sikap demokratis dan sebagai mata pelajaran yang wajib dibelajarkan disekolah. PKn sebagai pendidikan nilai dapat membantu para siswa dalam memilih seistem nilai yang dipilihnya dan mengembangkan aspek afektif yang akan ditampilkan dalam perilakunya. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelajaran PKn dalam rangka “nation and character building

menurut Sholeh (2011) yaitu:

(5)

landasan untuk melakukan kajian-kajian terhadap proses pengembangan konsep, nilai dan perilaku demokrasi warganegara.

b. PKn mengembangkan daya nalar (state of mind) bagi para peserta didik. Pengembangan karakter bangsa merupakn proses pengembangan warganegara yang cerdas dan berdaya nalar tinggi. PKn memusatkan perhatiannya pada pengembangan kecerdasan warga negara (civic intelegence) sebagai landasan pengembangan nilai dan perilaku demokrasi. c. PKn sebagai suatu proses pencerdasan, maka pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah yang lebih inspiratif dan partisipatif dengan menekankan pelatihan penggunaan logika dan penalaran. Untuk memfasilitasi pembelajaran PKn yang efektif dikembangkan bahan pelajaran yang interaktif yang dikemas dalam barbagi paket seperti bahan belajar tercetak, terekam, tersiar, elektronik, dan bahan belajar yang digali dari lingkungan masyarakat sebagai pengalaman langsung (hand of experience)

d. Kelas PKn sebagai laboratorium demokrasi. Melalui PKn, pemahaman sikap dalam perilaku demokratis dikembangkan bukan semata-mata melalui “mengajar demokrasi” (teaching democracy), tetapi melalui model pembelajaran yang secara langsung menerapkan cara hidup secara demokrasi (doing democracy). Penilaian bukan semata-mata dimaksudkan sebagai alat kendali mutu tetapi juga sebagai alat untuk memberikan bantuan belajar siswa sehingga lebih dapat berhasil dimasa depan. Evaluasi dilakukan secara menyeluruh termasuk portofolio siswa dan evaluasi diri yang lebih berbasis kelas.

2. Konteks Kelahiran dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia

Istilah Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia mengalami perkembangan dan perubahan dari tahun ke tahun. Pertumbuhan Pendidikan Kewarganegaraan yang lebih dikenal dengan nama Civic Education di USA menunjukkan adanya perluasan dari waktu ke waktu. Secara historis pertumbuhan Civic Education dapat digambarkan sebagai berikut (Somantri, 1975 : 31):

a. Civics (1790)

b. Community Civics (1970, A. W. Dunn) c. Civic Education (1901, Harold Wilson)

(6)

Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan atau singkat dengan PKn atau dengan istilah yang lainnya (Civics) mulai deperkenalkan di negara Amerika Serikat pada tahun 1790 dalam rangka “mengamerikakan bangsa Amerika” atau yang terkenal dengan “Theory of Americanization”. Penerbitan majalah “The Citizen” dan “Civics”, pada tahun 1886, Henry Randall Waite merumuskan Civics dengan “the

science of citizenship – the relation of man, the individual, to man in organied collections – the individual in his relation to the state, Creshore, Eduction” (Somantri, 1975 : 31). Penjelasan mengenai Civics mempunyai kesamaan yang sama yaitu “geoverment”, hak dan kewajiban sebagai warga negara. Akan tetapi, arti Civics

dalam perkembangan selanjutnya bukan hanya meliputi “geoverment” saja, kemudian dikenal dengan istilah Community Civics, Econimic Civics dan Vocational Civics.

Gerakan “Community Civics” pada tahun 1970 di pelopori oleh W. A. Dunn

adalah untuk menghadapkan pelajar pada lingkungan atau kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan ruang lingkup lokal, nasional maupun internasional. Gerakan “Community Civics” disebabkan pula karena pelajaran civics pada waktu itu

hanya mempelajari konstitusi dan pemerintah saja, akan tetapi kurang memperhatikan lingkungan sosial. Selain gerakan “Community Civics” timbul gerakan civics education atau banyak disebut sebagai Citizenship Education. Ruang lingkup Civics Education (Somantri, 1975 : 33), antara lain:

a. Civics Education meliputi seluruh program dari sekolah.

(7)

c. Dalam Civics Education termasuk pula hal-hal yang menyangkut pengalaman, kepentingan, masyarakat, pribadi dan syarat-syarat obyektif hidup bernegara.

NCSS (Somantri, 1975 : 33) merumuskan mengenai Citizenship Education sebagai berikut:

“Citizenship Education is a process comprising all the positive influences which are intented to shape a citizens view to his role in sociaty. It comes partly from formal schoolng, partly from parental influences and partly from learning outside the classroom and the home. Trough Citizenship Education, our youth are helped to gain and understanding of your national ideas, the common good and the process of self government”.

Berdasarkan definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa cakupan PKn lebih luas, karena bahannya selain mencakup program sekolah juga meliputi pengaruh belajar diluar kelas dan pendidikan di rumah. Selanjutnya, PKn digunakan untuk membantu generasi muda memperoleh pemahaman cita-cita nasional atau tujuan negara dan dapat mengambil keputusan-keputusan yang bertanggung jawab dalam menyelesaikan masalah pribadi masyarakat dan negara. Kuhn (Winataputra dan Budimansyah, 2007 : 71) mengumumkan bahwa perkembangan istilah Civics dan Civics Education di Indonesia terjadi pada tahun:

a. Kewarganegaraan (1957), membahas cara memperoleh dan kehilangan kewargaan negara.

b. Civics (1962), terampil dalam bentuk indoktrinasi politik.

c. Pendidikan kewargaan Negara (1968) sebagai unsur dari pendidikan Kewargaan Negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial. d. Pendidikan Kewargaan Negara (1969) tampil dalam bentuk pengajaran

konstitusi dan ketetapan MPRS.

e. Pendidikan Kewargaan Negara (1973) yang di identikkan dengan pengajaran IPS.

(8)

g. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (1994) sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari Pancasila dan P4.

Menurut Malian (2003 : 10) juga mengemukakan perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan. Di Indonesia pelajaran Civics telah dikenal sejak jaman Hindia Belanda dengan nama “Burgerkunde”. Pada zaman ini ada dua buku yang digunakan

sebagai sumber pelajaran, yaitu: Indische Burgerschapokunde dan Recht en Plicht (Indische Burgerschapokunde voor ledereen). Pada tahun dalam suasana Indonesia telah merdeka kedua buku ini menjadi pegangan guru Civics di Sekolah Menengah Atas. Perjalanan mata pelajaran Civics setelah Indonesia merdeka mengalami beberapa kali perubahan istilah yang digunakan. Perubahan-perubahan tersebut sangat berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah pada waktu itu dan kurikulum sekolah yang digunakan. Pada kurikulum 1957 istilah yang digunakan yaitu Pendidikan Kewarganegaraan. Kemudian pada kurikulum 1961 berubah menjadi Civics lagi, kemudian pada kurikulum 1968 menjadi Pendidikan Kewargaan Negara (PKN). Selanjutnya kurikulum 1975 menjadi PMP. Pada kurikulum 1994 berubah lagi menjadi PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan).

3. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan

(9)

nasional. Sedangkan tujuan pembelajaran PKn dalam Depdiknas (2006 : 49), adalah untuk memberikan kompetensi sebagai berikut:

a. Berfikir secara kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu Kewarganegaraan.

b. Berpartisipasi secara cerdas dan bertanggungjawab, serta bertindak secara sadar dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat di Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain.

d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia sacara langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan pembelajaran PKn secara umum adalah untuk mempersiapkan generasi bangsa yang unggul dan berkepribadian, baik dalam tingkat lingkungan sosial, regional maupun global. Agar tujuan PKn tersebut tidak hanya bertahan sebagai slogan saja, maka tujuan PKn tersebut harus dirinci menjadi tujuan kurikuler (Somantri, 1975 : 30) yang meliputi:

a. Ilmu pengetahuan, meliputi hierarki: fakta, konsep dan generalisasi teori. b. Ketrampilan intelektual:

1) Dari ketrampilan yang sedrhana sampai ketrampilan yang kompleks seperti mengingat, menafsirkan, mengaplikasikan, menganalisis, mengsintesiskan, dan menilai;

2) Dari penyelidikan sampai kesimpulan yang sahih: (a) ketrampilan bertanya dan mengetahui masalah, (b) ketrampilan merumuskan hipotesis, (c) ketrampilan mengumpulkan data, (d) ketrampilan menafsirkan dan menganalisis data, (e) ketrampilan menguji hipotesis, (f) ketrampilan merumuskan generalisasi, (g) ketrampilan mengkomunikasikan kesimpulan.

c. Sikap: nilai, kepekaan dan perasaan. Tujuan PKn banyak mengandung soal-soal afektif, karena itu tujuan PKn yang seperti slogan harus dapat dijabarkan.

(10)

terperinci dimaksudkan agar kita memperoleh bimbingan dalam merumuskan: (a) konsep dasar, generalisasi, konsep atau topik PKn. (b) tujuan intruksional, (c) konstruksi tes beserta penilaiannya.

Tujuan pembelajaran PKn secara umum mempersiapkan generasi bangsa yang unggul dan berkepribadian, baik dalam lingkungan local, regional maupun global. Sedangkan tujuan PKn menurut Djahiri (1994/1995: 10) adalah sebagai berikut:

a. Secara umum. Tujuan PKn harus ajeg dan mendukung keberhasilan pencapaian Pendidikan Nasional, yaitu: “Mencerdaskan kehidupan bangsa yang mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki kemampuan pengetahuan dan katerampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.

b. Secara khusus. Tujuan PKn yaitu membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perseorangan dan golongan sehingga perbedaan penikiran pendapat ataupun kepentingan diatasi melalui musyawarah mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan tujuan PKn di atas bahwa pada hakekatnya dalam setiap tujuan dibekali kemampuan peserta didik dalam hal tanggung jawabnya sebagai warga Negara, yaitu warga Negara yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berpikir kritis, rasional dan kreatif, berpartisipasi dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa lain.

(11)

a. Membina dan membentuk kepribadian atau jati diri manusia Indonesia yang berjiwa Pancasila dan berkepribadian Indonesia.

b. Membina bangsa Indonesia melek politik, melek hukum dan melek pembangunan serta melek permasalahan diri, masyarakat, bangsa dan negara.

c. Membina pembekalan siswa (substansial dan potensi dirinya untuk belajar lebih lanjut).

Hal tersebut sejalan dengan fungsi pendidikan Kewarganegaraan menurut Badan Standar Nasional Pendidikan 2006 adalah:

a. Mengembangkan dan melestarikan nilai moral Pancasila secara dinamis dan terbuka.

b. Mengembangkan dan membina manusia Indonesia seutuhnya sadar politik dan konstitusi NKRI dan UUD 1945.

c.

d. Djahiri (1995:10) mengemukakan bahwa melalui PKn siswa diharapkan: e. Memahami dan menguasai secara nalar konsep dan norma Pancasila

sebagai falsafah, dasar ideologi dan pandangan hidup Negara RI.

f. Melek konstitusi (UUD 1945) dan hukum yang berlaku dalam Negara RI. g. Menghayati dan meyakini tatanan dalam moral yang termuat dalam butir di

atas.

h. Mengamalkan dan membakukan hal-hal di atas sebagai sikap perilaku diri dan kehidupannya dengan penuh keyakinan dan nalar.

4. Karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan

Materi Pendidikan Kewarganegaraan sebagai suatu bidang studi yang diajarkan di sekolah, harus mencakup tiga komponen. Menurut Branson (1994: 4), yaitu Civic Knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), Civic Skills (keterampilan kewarganegaraan), dan Civic Disposition (watak kewarganegaraan).

Komponen pertama, civic knowledge “berkaitan dengan kandungan atau nilai apa yang seharusnya diketahui oleh warga Negara” (Branson, 1999: 8). Aspek ini

(12)

Kewarganegaraan merupakan bidang kajian multidisipliner. Secara lebih rinci, materi pengetahuan kewarganegaraan meliputi pengetahuan tentang hak dan tanggung jawab warga Negara, hak asasi manusia, prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan non pemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasar hukum (Rule of Law) dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, serta nilai-nilai dan norma-noma dalam masyarakat.

Kedua, aspek kompetensi ketrampilan kewarganegaraan atau Civic Skills yang meliputi keterampilan intelektual (intellectual skills) Contoh keterampilan intelektual yaitu keterampilan dalam merespon berbagai persoalan politik, misalnya berdialog dengan para pejabat Negara dan keterampilan berpartisipasi (participatory skills) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh keterampilan berpartisipasi adalah keterampilan menggunakan hak dan kewajibannya di bidang hukum.

Ketiga, aspek kompetensi watak atau karakter kewarganegaraan atau Civic Disposition (watak-watak kewarganegaraan), komponen ini sesungguhnya merupakan dimensi yang paling substantive dan esensial dalam mata pelajaran PKn. Dimensi watak kewarganegaraan dapat dipandang sebagai “muara” dari

pengembangan kedua dimensi sebelumnya. Dengan memperhatikan visi, misi, dan tujuan mata pelajaran PKn, karakteristik mata pelajaran ini ditandai dengan penekanan pada dimensi watak, karakter, sikap dan potensi lain yang bersifat afektif.

(13)

mata pelajaran. PKn termasuk dalam kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan dan Kepribadian. Kelompok mata pelajaran ini di maksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia.

Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan di maksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. didalam penjelasan pasal 37 ayat (1) UUD Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional.

5. Kurikulum dan Bahan Ajar Pendidikan Kewarganegaraan Persekolahan

Kurikulum sebagai salah satu substansi pendidikan perlu didesentralisasikan terutama dalam pengembangan silabus dan pelaksanaannya yang disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan siswa, keadaan sekolah, dan kondisi sekolah atau daerah. Dengan demikian, sekolah atau daerah mempunyai cukup kewenangan untuk merancang dan menentukan materi ajar, pengalaman belajar, dan penilaian hasil pembelajaran.

(14)

oleh masing-masing satuan pendidikan. Dalam Peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dijelaskan:

a. Kurukulum dan silabus SD/MI/SLB/Paket A, atau bentuk lain yang sederajat menekankan pentingnya kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis, kecakapan berhitung serta kemampuan berkomunikasi (Pasal 6 ayat 6).

b. Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan di bawah supervise Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota yang bertanggungjawab terhadap pendidikan untuk TK, SMP, SMA, dan SMK, serta Departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK (Pasal 17 Ayat 2).

c. Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran,materi ajar, metode pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar (Pasal 20).

Oleh karenanya, diharapkan dari masing-masing satuan pendidikan harus menyusun KTSP atau silabusnya terlebih dahulu dengan melakukan penjabaran yang sesuai dengan bahan ajar memiliki peran yang penting dalam pembelajaran termasuk dalam pembelajaran PKn. Dengan memperhatikan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Naasional Pendidikan. Ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan meliputi aspek-aspek sebagai berikut (Winataputra, 2007: 103):

a. Persatuan dan kesatuan bangsa, meliputi: hidup rukun dalam perbedaan, cinta lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partsisipasi dalam pembelaan Negara, sikap positif terhadap Negara Kesatuan Negara Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan.

(15)

bernegara, sistem hukum dan peradilan nasional, hukum dan peradilan internasional.

c. Hak asasi manusia, meliputi: Hak dan kewajiban anak, hak dan kewajiban anggota masyarakat, instrument nasional dan internasional HAM, pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.

d. Kebutuhan warga Negara, melipiti: Hidup gotong royong, harga diri sebagai warga masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan mengeluarkan pendapat, menghargai keputusan bersama, prestasi diri, persamaan kedudukan warga Negara.

e. Konstitusi Negara, meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, hubungan dasar Negara dengan konstitusi.

f. Kekuasaan dan politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, pemerintahan daerah dan otonomi, pemerintah pusat, demokrasi dan sistem politik, budaya politik, budaya demokrasi menuju masyarakat madani, sistem pemerintahan, prs dalam masyarakat demokrasi.

g. Pancasila, meliputi: Kedudukan Pancasila sebagai dasar Negara dan ideology Negara, proses perumusan Pancasila sebagai dasar Negara, pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka.

h. Globalisasi, meliputi: Globalisasi di lingkungannya, politik luar negari Indonesia di era globalisasi, dampak globalisasi, hubungan internasional dan organisasi internasional, dan mengevaluasi globalisasi.

B. Hakikat Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

1. Prinsip Dasar Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Pembelajaran merupakan sebuah sistem yang memiliki komponen komponen

yang mempengaruhi keberhasilan belajar. Menurut Sanjaya,(2010:58), komponen-komponen tersebut adalah tujuan, materi pelajaran,metode atau strategi pembelajaran,

media dan evaluasi. Komponen-komponen tersebut diatas jika dilaksanakan dengan baik

dan sitematis, maka proses pembelajaran menjadi terarah dan fokus pada target yang

(16)

Prinsip dasar pembelajaran PKn mengacu pada sejumlah prinsip dasar pembelajaran. Menurut Budimansyah (2002: 8) prinsip-prinsip pembelajaran tersebut adalah prinsip belajar siswa aktif (student active learning), kelompok belajar kooperatif (cooperative learning), pembelajaran partisipatorik, dan mengajar yang reaktif (reactive learning). Keempat prinsip tersebut dijelaskan sebagai berikut (Budimansyah, 2002: 8-13).

a) Prinsip Belajar Siswa Aktif

Model ini menganut prinsip belajar siswa aktif. Aktifitas siswa hamper di seluruh proses pembelajaran, dari mulai fase perencanaan di kelas, kegiatan lapangan, dan pelaporan. Dalam fase perencanaan aktifitas siswa terlihat pada saat mengidentifikasi masalah dengan menggunakan teknik bursa ide (brain storming). Setiap siswa boleh menyampaikan masalah yang menarik baginya, tentu saja yang berkaitan dengan materi pelajaran. Setelah masalah terkumpul, siswa melakukan voting untuk memilih satu masalah untuk kajian kelas.

(17)

Proses pembelajaran PKn juga menerapkan prinsip belajar kooperatif, yaitu proses pembelajaran yang berbasis kerjasama. Kerjasama yang dimaksud adalah kerjasama antar siswa dan antar komponen-komponen lain di sekolah, termasuk kerjasama sekolah dengan orang tua siswa dan lembaga terkait. Kerjasama antar siswa jelas terlihat pada saat kelas sudah memilih satu masalah untuk bahan kajian bersama.

Dengan komponen-komponen sekolah lainnya juga seringkali harus dilakukan kerjasama. Misalnya pada saat para siswa hendak mengumpulkan data dan informasi lapangan sepulang dari sekolah, bersamaan waktunya dengan jadwal latihan olah raga yang diundur atau kunjungan lapangan yang diubah. Kasus seperti itu memerlukan kerjasama, walaupun dalam limgkup kecil dan sederhana. hal serupa juga seringkali terjadi dengan pihal keluarga. orang tua perlu juga diberi pemahaman, manakala anaknya pulang agak terlambat dari sekolah karena melakukan kunjungan lapangan terlebih dahulu. Sekali lagi, dari peristiwa ini pun tampak perlunya kerjasama antara sekolah dengan orang tua dalam upaya membangun kesepahaman.

(18)

Kegiatan para siswa tentu saja perlu dibekali surat pengantar dari kepala sekolah selaku penanggungjawab kegiatan sekolah.

c) Pembelajaran Partisipatorik

Selain prinsip pembelajaran di atas, PKn juga menganut prinsip dasar pembelajaran partisipatorik, sebab melalui model ini siswa belajar sambil melakoni (learning by doing). Salah satu bentuk pelakonan itu adalah siswa belajar hidup berdemokrasi. Sebab dalam tiap langkah model ini memiliki makna yang ada hubungannya dengan praktik hidup berdemokrasi.

Sebagai contoh pada saat memilih masalah untuk kajian kelas memilih makna bahwa siswa dapat mengahargai dan menerima pendapat yang didukung suara terbanyak. Pada saat berlangsungnya perdebatan, siswa belajar mengemukakan pendapat, mendengarkan pendapat orang lain, menyampaikan kritik dan sebaliknya belajar menerima kritik, dengan tetap berkepala dingin. Proses ini mendukung Adagium yang menyatakan bahwa democracy is not in heredity but learning (demokrasi itu tidak diwariskan, tetapi dipelajari dan dialami). Oleh karena itu, mengajarkan demokrasi itu harus dalam suasana yang demokratis (teaching democracy in and for democracy). Tujuan ini hanya dapat dicapai dengan belajar sambil melakoni atau dengan kata lain harus menggunakan prinsip belajar partisipatorik.

d) Mengajar yang reaktif

(19)

memahani situasi sehingga materi pembelajaran menarik, tidak membosankan, guru harus mempunyai sensitivitas yang tinggi untuk segera mengetahui apakah kegiatan pembelajaran sudah membosankan siswa, jika hal ini terjadi maka guru harus segera mencari cara untuk menanggulanginya. Inilah tipe guru yang reaktif itu. Ciri guru yang reaktif itu diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Menjadikan siswa sebagai pusat kegiatan belajar.

2. Pembelajaran dimulai dengan hal-hal yang sudah diketahui dan dipahami siswa.

3. Selalu berupaya membangkitkan motivasi belajar siswa dengan membuat materi pelajaran sebagai sesuatu hal yang menarik dan berguna bagi kehidupan siswa.

4. Segera mengenali materi atau metode pembelajaran yang membuat siswa bosan. Bila hal ini ditemui, ia segera menanggulanginya.

Menurut Samana (1994: 30) beliau menjelaskan bahwa guru professional dituntut memiliki 10 hal, yaitu:

1) Menguasai bahan ajar.

2) Mampu mengelola program belajar mengajar. 3) Mampu mengelola kelas.

4) Mampu menggunakan media dan sumber pengajaran. 5) Menguasai landasan-landasan kependidikan.

6) Mampu mengelola interaksi belajar mengajar.

7) Mampu menilai prestasi belajar siswa untuk kepentingan pengajaran. 8) Mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan. 9) Mengenal dan mampu ikut menyelenggarakan administrasi sekolah.

(20)

2. Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Strategi merupakan kupulan sebuah metode atau cara dalam mencapai sesuatu atau dalam mengerjakan sesuatu. Sedangkan metoda merupakan kumpulan sebuah teknik, dan teknik adalah taktik atau cara kerja. Pendekatan (approach) adalah

pola/dasarberpikir atau kerangka berpikir dalam

menghadapi/menyelesaikan/mengerjakan sesuatu. Tentu saja pendekatan seseorang akan menentukan strateginya, dan metoda serta teknik kerja akan ditentukan oleh pilihan strategi orang tersebut (Djahiri, 1985 : 28).

Sedang menurut Sudjana (1989 : 147), atrategi mengajar adalah “tindakan guru

melaksanakan rencana mengajar, artinya usaha guru dalam menggunakan beberapa variabel pengajaran (tujuan, bahan, metode dan alat, serta evaluasi) agar dapat mempengaruhi para siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan”. Dengan demikian, strategi mengajar pada dasarnya adalah tindakan nyata dari guru atau praktek guru melaksanakan pengajaran melalui cara tertentu yang dinilai lebih efektif dan lebih efisien.

Dari pendapat diatas dapat disimpulakan bahwa strategi pembelajaran merupakan cara-cara, ilmu, maupun rencana pembelajaran akan dilakukan oleg pengajar dalam proses belajar mengajarnya untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan baik dan maksimal.

(21)

a. Membina dan menciptakan keteladanan, baik fisik dan material (tata dan aksesoris kelas/sekolah), kondisional (suasana proses KBM) maupun personal (guru, pimpinan sekolah dan tokoh unggulan).

b. Membiasakan/membakukan atau mempraktekkan apa yang diajarkan mulai di kelas, sekolah, rumah dan lingkungan belajar.

c. Memotivasi minat, gairah untuk melibatkan dalam proses belajar, untuk kaji lanjutannya dan mencobakan serta membiasakannya.

Strategi yang seperti itu dilaksanakan melalui berbagai metode seperti ceramah bervariasi, tanya jawab, diskusi, pemecahan masalah (problem solving), bermain peran, simulasi, inkuiri, VCT, portofolio, dan sebagainya.

3. Materi Pembelajaran

Materi pembelajaran merupakan substansi yang akan disampaikan dalam proses pembelajaran (Djamarah dan zain, 2002: 50). Guru mempunyai tugas yang penting dalam menembangkan dan memperkaya meteri pembelajaran, karena hal tersebut merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan pembelajaran. ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan materi pembelajaran, yaitu:

1) Materi pembelajaran hendaknya sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.

2) Materi pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa pada umumnya.

3) Materi pembelajaran hendaknya terorganisasi secara sistematik dan berkesinambungan.

(22)

Berdasarkan hal tersebut, maka materi pembelajaran PKn harus berdasarkan pada kompetensi yang ingin dicapai. Materi yang dibelajarkan harus bermakna bagi siswa dan merupakan hal yang benar-benar penting, baik dilihat dari kompetensi yang ingin dicapai maupum fungsinya untuk menentukan materi pada proses pembelajaran selanjutnya.

4. Metode Pembelajaran

Metode pembelajaran menurut Riyanto (Tukiran Taniredja, dkk. 2011 : 1) adalah “seperangkat komponen yang telah dikombinasikan secara optimal untuk

kualitas pembelajaran”. Sedangkan Djahiri (1985: 28) mengungkapkan bahwa metode “adalah sejumlah teknik adalah taktik atau cara kerja”, Akhmad Sudrajad (2008) juga memberikan pengertian bahwa “metode pembelajaran sebagai cara yang

digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa metode dalam pembelajaran PKn yang dikemukakan Djahiri (1985: 36), antara lain:

a) Ceramah (lecturing)

Pada umumnya metode pembelajaran memerlukan ceramah, sehingga tidaklah benar pernyataan bahwa metode ini jelek dan harus dibuang. Akan tetapi, yang harus dihindari adalah penggunaan metode ceramah selama satu jam pelajaran penuh terus menerus dengan memakai pola ceramah murni yang naratif, monoton dan bersifat normatif imperatif.

(23)

1) Setiap orang memiliki potensi dan kemahiran untuk ceramah (lepas dari benar-salah).

2) Merupakan kiprah umum bahkan “membudaya” di kalangan perguruan/sekolah.

3) Bersifat praktis, mudah, murah dan cepat menyampaikan substansi sehingga target waktu bisa dikejar.

4) Mampu menyelaraskan ketimpangan waktu dengan banyaknya bahan.

5) Tidak membutuhkan persiapan pengembangan media.

6) Mampu mengungkap dan mengklarifikasi isi atau pesan dalam bahasa yang komunikatif dan cepat. Hampir semua hal mampu diungkap secara verbal.

7) Mampu menguasai kelas dalam ukuran bagaimanapun juga. 8) Bila ada kekeliruan bisa segera diperbaiki.

9) Sejumlah hasil pengiring yang dapat dihasilkan dari metode ini adalah:

a) Melatih daya tangkap dan analitis ucapan orang lain. b) Latihan sosial untuk tatap muka dan etika dengan bicara. 10) Mampu mengangkat hal yang tidak ada dalam buku atau belum

diungkap sumber atau pihak lain.

(24)

1) Cepat untuk menyampaikan informasi.

2) Dapat menyampaikan informasi dalam jumlah banyak dengan waktu singkat kepada sejumlah besar pendengar

Kelemahan metode ceramah antara lain:

1) Bisa menimbulkan pembelajaran yang tidak sistematis.

2) Karena adanya keterbatasan daya dengar manusia, maka dapat menyebabkan pembelajaran yang melelahkan, membosankan dan mengantuk.

3) “Melanggar” kemampuan daya belajar manusia, karena tidak semua siswa mampu menyimak dan menangkap „pesan lisan‟

serta menulisnya dengan cepat.

4) Kecepatan dan intonasi suara guru yang tidak teratur menyebabkan hilangnya kesempatan siswa untuk berpikir, bereaksi dan berekspresi.

5) Ceramah murni yang menyamaratakan semua siswa adalah salah satu penyebab lahirnya ketimpangan daya serap siswa.

b) Ekspositorik

Ekspositorik berasal dari kata „ekspose‟ yang berarti menunjukkan,

(25)

c) Metode Pengajaran Konsep (teaching konsep)

Sebelum menggunakan metode pengajaran konsep, seorang pengajar terlebih dahulu harus memahami pengertian data dan fakta. Djahiri (1995/1996) mengungkapkan bahwa:

1) Data adalah realita yang ada, kejadian, atau hal baik fisik-non fisik, materiil-immateriil, dan personal-kondisional.

2) Fakta adalah sejumlah data yang memiliki keterkaitan menunjuk kepada suatu konsep.

3) Konsep adalah label/nama/istilah yang merupakan rangkaian sejumlah fakta menuju suatu pengertian/makna isi pesan dan atau fungsi peran atau harga/nilai. Jadi, konsep merupakan sesuatu yang memiliki cirri esensial tertentu.

d) Metode Tanya Jawab

Metode Tanya jawab ini dianggap memiliki kadar CBSA yang tinggi, karena pertanyaan akan menggugah dan mengundang potensi diri siswa. e) Partisipatori

(26)

f) Diskusi dan Kelompok Belajar

Ciri khas dari diskusi sebagai pola kegiatan belajar mengajar yakni demokratis. Metode diskusi mengundang dan melibatkan banyak orang serta tidak ada dominasi seseorang, memiliki indicator CBSA yang tinggi karena meminta daya analisis dan evaluatif terhadap masalah yang dilontarkan atau tanggapan dan sanggahan terhadap orang lain. Djahiri (1995/1996: 53) mengungkapkan bahwa diskusi adalah kegiatan belajar siswa dialogistik sacara intra potensi diri antar potensi orang lain serta potensi dunia keilmuan dan kehidupan

Ciri esensial dari diskusi antara lain:

1) Adanya proses dialogistik, yakni interaksi antara struktur kognitif dengan afektif dan psikomotor, antara potensi diri kita dengan orang lain atau dengan dunia nyata serta keilmuan.

2) Adanya sharing ideas (pertukaran pikiran/pendapat, berargumentasi yang benar dan memiliki landasan), ada proses bereproduksi dan berekspresi.

3) Adanya arahan inkuiri/mencari/meneliti dan mendapatkansesuatu. 4) Adanya proses sosialisasi diri.

Bentuk-bentuk diskusi menurut Djahiri (1995/1996, 58) antara lain: 1) Diskusi kelas

(27)

6) Diskusi penjaring

Kelompok belajar adalah kelompok sejumlah siswa untuk melakukan kegiatan belajar bersama secara terarah dan teratur. Djahiri (1995/1996: 20) mengemukakan bahwa “kelompok belajar yang sesuai dengan

pembelajaran PKn adalah kelompok belajar kooperatif”.

Kelompok belajar kooperatif merupakan perpaduan antara kelompok belajar dan pola kegiatan kooperatif. Kooperatif di sini ialah kebersamaan kebersamaan dan kesetiakawanan social yang tinggi. Kelompok belajar kooperatif merupakan kegiatan belajar yang dapat menciptakan persaingan yang sehat, artinya tidak mendidik siswa untuk bersifat individualis.

g) MetodeInkuiri dan Pemecahan masalah

Kedua metode ini pada dasarnya sama, tetapi dalam metode pemecahan masalah hanya sampai pada proses penentuan alternatif pemecahan/keputusan, sedangkan dalam inkuiri sampai pada tahapan penetapan yang terbaik.

Keunggulan kedua metode ini menurut Djahiri (1995/1996: 58) antara lain: 1) Meningkatkan keterampilan dan kualitas hasil belajar.

2) Menuntun siswa akrab dengan kehidupan nyata.

3) Membakukan kemahiran analisis dan argumentasi rasional/berlandas. 4) Mensosialisasikan siswa .

5) Mendayagunakan aneka sumber dan lingkungan belajar.

(28)

metode khusus yang langkah dan prosesnya telah baku, sedangkan inkuiri nilai adalah pola inkuiri sederhana yang focus substansinya pada nilai moral.

5. Media Pembelajaran

Kata “media” berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata “medium”, yang secara harifah berarti “perantara atau pengantar”. Dengan

demikian, media merupakan wahana penyalur informasi belajar atau penyalur pesan (Djamarah dan Zain, 2010 : 120).

Sedangkan media pembelajaran menurut Shofyan (2010) merupakan “segala sesuatu yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran agar dapat merangsang pikiran, perasaan, minat dan perhatian siswa sehingga proses interaksi komunikasi eduksi antara guru (atau pembuat media) dan siswa dapat berlangsung secara tepat dan berdayaguna‟‟.

Media pengajaran harus dibedakan dengan sumber pengajaran. Djahiri (1995/1996: 31) mengemukakan bahwa sumber pembelajaran merupakan tempat di mana butir mata pelajaran dan media bisa dilihat, diperoleh dan dikaji seperti buku, perpustakaan, media cetak, kehidupan nyata, dan lain-lain. Sedangkan media pembelajaran lebih diutamakan pada fungsi dan perannya.

Djahiri (1995/1996) mengemukakan bahwa dengan adanya media pembelajaran diharapkan dapat berperan untuk:

1) Menjadi fasilitator proses Kegiatan Belajar Siswa dan peningkatan Hasil Belajar Real.

2) Meningkatkan kadar proses CBSA atau proses Kegiatan Mengajar Guru interaktif-reaktif.

(29)

4) Meringankan beban tugas guru tanpa mengurangi kelancaran dan keberhasilan pengajaran.

5) meningkatkan proses KBM secara efektif, efisien dan optimal. 6) Menyegarkan KBM.

Jenis dan bentuk media yang ditemukan oleh Djamarah dan Zain (2010 : 124 – 126) antara lain:

a. Dilihat dari Jenisnya, Media dibagi kedalam: 1). Media Auditif

Media Auditif adalah media yang hanya mengandalkan kemampuan suara saja, seperti radio, cassette recorder, piringan hitam. Media ini tidak cocok untuk orang tuli atau yang mempunyai kelainan pedengaran.

2). Media Visual

Media Visual adalah media yang hanya mengandalkan indera penglihatan. Media visual ini ada yang menampilkan gambar diam seperti film strip (film rangkai), slides (film bingkai) foto, gambar atau lukisan, dan cetakan. Adapula media visual yang menampilkan gambar atau simbol yang bergerak seperti film bisu, dan film kartun. 3). Media Audiovisual

Media audiovisual adalah media yang mempunyai unsur suara dan unsur gambar. Jenis media ini mempunyai kemampuan yang lebih baik, karena meliputi kedua jenis media yang pertama dan kedua.

Media ini dibagi kedalam:

a) Audiovisual diam, yaitu media yang menampilkan suara dan gambar diam seperti film bingkai suara (sound slides), film rangkai suara, dan cetak suara.

b) Audiovisual gerak, yaitu media yang dapat menampilkan unsur suara dan gambar yang bergerak seperti film suara dan video-cassatte.

Pembagian lain dari media ini adalah:

a) Audiovisual murni, yaitu baik unsur suara maupun unsur gambar berasal dari satu sumber seperti film video-cassatte, dan

(30)

b. Dilihat dari Daya Liputnya, Media dibagi dalam: 1) Media dengan Daya Liput Luas dan Serentak

Penggunaan media ini tidak terbatas oleh tempat dan ruang serta dapat menjangkau jumlah anak didik yang banyak dalam waktu yang sama.Contoh: radio dan televisi.

2) Batas oleh Ruang Media dengan Daya Liput yang Terbatas oleh Ruang dan Tempat.

Media ini dalam penggunaannya membutuhkan ruang dan tempat yang khusus seperti film, sound slide, film rangkai yang harus menggunakan tempat yang tertutup dan gelap.

3) Media untuk Pengajaran Individual

Media ini penggunaannya hanya untuk seorang diri. Yang termasuk media ini adalah modul berprogram dan pengajaran melalui komputer.

c. Dilihat dari bahasa Pembuatannya, media dibagi dalam: 1) Media Sederhana

Media ini bahan dasarnya mudah diperoleh dan harganya murah, cara pembuatnnya mudah dan penggunaannya tidak sulit.

2) Media Kompleks

Media ini adalah media yang bahan dan alat pembuatannya sulit diperoleh dan mahal harganya, sulit membuatnya sulit diperoleh serta mahal harganya, sulit membuatnya, dan penggunaannya memerlukan ketrampilan yang memadahi.

Penggunaan media ini harusnya menjadi pertimbangan guru ketika akan memilih dan menggunakan media yang tepat untuk digunakan dalam pengajaran.

6. Sumber Belajar

Menurut Winataputra dan Ardiwinata (Djamarah dan Zain, 2010 : 48) sumber belajar adalah sebagai “sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat dimana bahan pengajaran terdapat atau asal untuk belajar seseorang”. Dengan demikian,

(31)

Roestiyah (Djamarah dan Zain, 2010: 48-49) mengatakan bahwa sumber-sumber belajar itu adalah:

a. Manusia ( dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat). b. Buku/Perpustakaan.

c. Media Massa (majalah, surat kabar, radio, televisi, dan lain-lain). d. Dalam Lingkungan.

e. Alat pengajaran ( buku pelajaran, peta, gambar, kaset, tape, papan tulis, kapur, spidol dan lain-lain).

f. Museum ( tempat penyimpanan benda-benda kuno).

Sumber belajar akan menjadi bermakna bagi peserta didik maupun guru apabila sumber belajar diorganisir melalui satu rancangan yang memungkinkan seseorang dapat memanfaatkan sumber belajar.

7. Evaluasi Pembelajaran

Menurut Wand and Brown (Djamarah dan Zain, 2010: 50), evaluasi adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Berkaitan dengan evaluasi pembelajaran, evaluasi dilakuakn pada kegiatan akhir dalam bentuk refleksi dan praktek pembelajaran.Dalam mengevaluasi pembelajaran guru sebaiknya mengadakan berbagai macam penilaian.Mulai dari ulangan harian, ulangan tengah semester dan ulangan akhir semester.

Pasaribu dan Simanjuntak (Djamarah dan Zain, 2010 : 50-51), menegaskan bahwa tujuan evaluasi dapat dilihat dari dua segi yaitu:

(32)

1) Mengumpulkan data-data yang membuktikan taraf kemajuan murid dalam mencapai tujuan yang diharapkan.

2) Memungkinkan pendidik/guru menilai aktivitas/pengalaman yang didapat. 3) Menilai metode mengajar yang dipergunakan.

b. Tujuan khusus dari evaluasi adalah: 1) Merangsang kegiatan siswa

2) Menemukan sebab-sebab kemajuan atau kegagalan

3) Memberikan bimbingan yang sesuai dengan kebutuhan, perkembangan dan bakat siswa yang bersangkutan.

C. Hakikat Sikap Nasionalisme

1. Definisi Nasionalisme

Nasionalisme merupakan salah satu nilai luhur yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan pancasila yang perlu diwariskan kepada generasi penerus termasuk para siswa di sekolah. Sebagaimana pengertian nasionalisme menurut Hans Kohn (1984 : 11) yaitu:

“Suatu paham yang berpendapat behwa kesetiaan tertingi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan atau nation-state. Perasaan yang sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi-tradisi setempat, dan penguasa-penguasa resmi daerahnya selalu ada disepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda”.

(33)

yang didasarkan atas bangsa, budaya, keturunan bersama, dan terkandung kepada agama dan wilayah bersama pula; terhadap semua pengakuan lain atas loyalitas seseorang sebagai doktrin politik, nasionalisme memberi basis dan pembenaran ideologis bagi bangsa dunia untuk mengorganisasikan dirinya sendiri kedalam entitas-entitas yang bebas atau otonom. Etnis-etnis ini sebagian besar mengambil bentuk negara nasional merdeka, walaupun terdapat contoh dimana beberapa bentuk otonom kedaerahan atau kultural juga dilembagakan.

Sikap nasionalisme ini tidak terbentuk begitu saja, tetapi ada faktor-faktor yang mampengaruhi. Faktor-faktor tersebut antara lain faktor intern dan ekstern. Sarwono (1999 : 235) mengungkapkan ada dua faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap seseorang, yaitu karena adanya:

1. Faktor intern yaitu faktor yang berasal dari dalam individu itu sendiri seperti minat, perhatian dan sebagainya. Dari faktor-faktor inilah sikap seseorang terbentuk, baik yang melahirkan sikap positif ataupun negatif. 2. Faktor eksten yaitu faktor yang berasal dari luar individu, yakni sebagai

stimulus yang datangnya dari luar baik yang berhubungan secara langsung ataupun tidak langsung.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa sikap tidak terbentuk dengan sendirinya tetapi pembentukan sikap ini terbentuk karena individu itu sendiri dan pengaruh lingkungan sekitar yang dapat mempengaruhi tumbuh kembangnya sikap tersebut.

Menurut Sarwono (1999 : 252) mengemukakan bahwa “pembentukan sikap

(34)

terbentuk oleh pengalaman-pengalaman atau peristiwa-peristiwa yang dialami individu, sikap juga dapat dibentuk melalui prasangka, yakni semacam pendapat negatif perihal sesuatu tanpa memperhatikan kenyataan. Sarwono (1999 :267) mengungkapkan bahwa:

“Prasangka adalah penilaian terhadap sesuatu hal berdasarkan fakta dan informasi yang tidak lengkap, jadi sebelum orang mengetahui benar tentang sesuatu hal, ia sudah menetapkan pendapatnya mengenai hal tersebut dan atas dasar itu ia membentuk sikapnya”.

Hobsbawn (2001 : 106) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang membentuk nasionalisme adalah faktor obyektif dan faktor subyektif. Yang termasuk faktor obyektif adalah bahasa, warna kulit, kebudayaan, adat, agama, wilayah, kewarganegaraan dan ras. Sedangkan faktor subyektif dari nasionalisme adalah cita-cita, semangat, dan kinginan. Dalam arti timbulnya rasa kesadaran nasional pada bangsa itu sesuai dengan tujuan utamanya adalah terwujudnya negara nasional.

(35)

“segala bentuk penjajahan dan penindasan di dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Proklamasi Kebangsaan Indonesia tersebut dalam sejarah perkembangannya telah memberi makna yang sangat signifikan bagi nation building dan pemantapan kesadaran nasionalisme Indonesia. Proses pengembangan kesadaran nasionalisme Indonesia dipelopori oleh Bung Karno (terutama) sejak masa mudanya, yang berkeyakinan bahwa hanya dengan ide dan jiwa nasionalismelah sekat-sekat etnik, suku, agama, budaya dan tanah kelahiran bisa ditembus untuk menggalang persatuan perjuangan melawan kolonialisme. Dalam artikel-artikelnya, banyak pidato dan diskusinya masalah nasionalisme dengan gencar diperjuangkan oleh Bung Karno. Bahkan sekat-sekat ideologipun oleh Bung Karno ditebas tanpa ampun demi perjuangan trsebut. Berdirnya Republik Indonesia tersebut telah memberi bukti bahwa nation Indonesia beserta kesadaran nasionalismenya tidak hanya eksis, tetapi hidup-aktif dalam pengembangan dirinya dan dalam kehidupan masyarakat antar bangsa. Eksistensi nasion dan nasionalisme Indonesia adalah fakta obyektif yang tidak dapat dinegasikan oleh teori-teori atau analisis-analisis apapun (Kartaprawira, 2002).

(36)

ekonomi, dan sosial khususnya yang ditimbulkan oleh situasi kolonial. Hal yang esensial bahwa nasionalisme dan kolonialisme itu tidak terlepas satu sama lain, dan terasa juga adanya pengaruh timbal balik antara nasionalisme yang sedang berkembang dan politik kolonial dengan ideologinya, yang menganggap bahwa peradaban barat itu lebih tinggi dan berbeda sama sekali dengan kebudayaan Timur.

Sartono (1999 : 81 – 82) menyebutkan bahwa sebagai dampak perkembangan pengajaran di Indonesia tumbuhlah golongan sosial baru yang mempunyai fungsi dan status baru sesuai dengan diferesiansi serta spesialisasi dalam bidang sosial-ekonomi dan pemerintah. Sekaligus juga tercipta golongan profesional yang sebagai golongan sosial baru tidak mempunyai tempat pada strata menurut stratifikasi sosial masyarakat tradisional. Golongan profesional (kaum intelektual) inilah yang posisi sosialnya memungkinkan mereka berfungsi sebagai protagonis modernisasi pada umumnya dan sebagai perintis nasionalisme khususnya. Sebagai generasi pertama yang menuntut pelajaran sistem barat, mereka tidak hanya menyerap pengetahuan dari texbook berbagai bidang pengetahuan, tetapi juga mengalami pendidikan formal yang memolakan sikap baru yang mencakup sisiplin sosial, pemikiran rasional, gaya hidup menurut jadwal waktu, dan nilai-nilai lainnya. Pendidikan Barat telah mengakibatkan suatu kesadaran yang masuk kedalam, terutama kaum pemuda atau intelektual.

(37)

dan membuat kaum intelektual Indonesia berpikir mengenai masa depan Indonesia yang dijajah belanda (Dhont, 2005 : 90 – 91). Golongan menengah inilah yang menurut Wertheim (1999 : 261) nasionalismenya lebih konsisten, baik dikalangan kelompok-kelompok kecil pedagang maupun dikalangan kelas intelektual yang bekerja dalam bidang pemerintahan dan berbagai kelas usaha Barat. Mereka adalah kelompok perkotaan yang bersaing dalam bidang sosial dan ekonomi dengan kelas atas dengan berbagai kelompok yang sudah mengkonsolidasikan diri mereka dalam berbagai fungsi. Perjuangan kompetitif mereka dengan mudah memperlihatkan bentuk nasionalisme karena kelompok yang mereka serang, orang Cina dan Eropa, sebagaian besar berasal dari luar dan menekankan karakteristik tersendiri dalam tingkah laku sosial mereka

Tinjauan sejarah sosial-kultural dapat juga memperlihatkan bahwa kekuatan daya dorong nasionalisme, yang dilahirkan dalam suasana kebudayaan bazar dari “komunitas orang-orang asing” akhirnya menciptakan sebuah komunitas bangsa. Inilah “komunitas yang dibayangkan” oleh “para perantau” yang pernah secara konseptual menjadi penghuni “komunitas orang-orang asing”. Jadi dapat dilihat

bahwa proses pembentukan bangsa dan negara Indonesia adalah sebagai pergumulan munculnya nasionalisme yang lain membentuk sebuah bangsa dalam wadah negara yang berdaulat (Abdullah, 2001, 66 – 67).

(38)

perjuangan, dan sekaligus pertanda bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara yang berdaulat, merdeka, dan mandiri. Untuk memperkuat itu semua, disahkanlah Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus, yang menjadi simbol kekuasaan besar yang revolusioner yang mengandung persamaan dan persaudaraan, suatu tanda hari cerah setelah digulingkannya kesatuan asing. Demikian pula dengan disahkannya UUD 1945, semangat dan jiwa Proklamasi yaitu Pancasila, memperoleh bentuk dan dasar hukumnya yang resmi sebagai dasar falsafah Negara Republik Indonesia, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

(39)

negara merupakan bagian dari proses nation building tersebut (Simatupang, 1980 : 18 – 23).

Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan negara) yang populer berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi. Katagori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebagian atau semua elemen tersebut. Dalam zaman modern ini, nasionalisme merujuk kepada amalan politik dan ketentaraan yang berlandaskan nasionalisme secara etnik serta keagamaan seperti yang diungkapkan Muhamads Yani (2011) yang mengemukakan beberapa bentuk-bentuk nasionalisme yaitu sebagai berikut:

1. Nasionalisme Kewarganegaraan ( atau nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, “kehendak rakyat”, “perwakilan politik”.

2. Nasionalisme Etnis adalah sejenis nasionalisme di mana negara memperolah kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyrakat.

3. Nasionalisme Romantik (juga disebut nasionalisme organik, nasionalisme identitas) adalah lanjutan dari nasionalisme etnis dimana negara memperoleh kebanaran politik secara semulajadi (“organik”) hasil dari bangsa atau ras; menurut semangat romantisme nasionalisme romantik adalah bergantung kepada perwujudan budaya etnis yang menapati idealisme romantik; kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik.

4. Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya “sifat keturunan” seperti warna kulit, ras dan sebagainya.

(40)

ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri.

6. Nasionalisme Agama ialah jenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama. Walaupun begitu, lazimnya nasionalisme etnis adalah dicampuradukkan dengan nasionalisme keagamaan.

2. Sikap Nasionalisme Siswa Sekolah Menengah Pertama

Yanto (2012) mengemukakan Dalam upaya menumbuhkan sikap nasionalisme pada siswa, harus juga dibarengi dengan upaya memahami Pancasila yang mengandung nilai – nilai luhur Bangsa Indonesia. Pancasila yang merupakan dasar dan pedoman hidup Bangsa Indonesia mengandung nilai – nilai nasionalisme yang harus terus ditanamkan pada diri siswa sebagai generasi penerus bangsa. Dengan memahami Pancasila baik sejarahnya, maupun maknanya maka akan tumbuh sikap nasionalisme dalam dirinya.

Santoso (2007 : 16) mengungkapkan, berikut ini adalah beberapa karakteristik atau nilai-nilai yang terkandung dalam sikap nasionalisme (Indonesia) yaitu:

1. Menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongan,

2. Sanggup atau rela berkorban untuk bangsa dan negara, 3. Mencintai tanah air dan bangsa,

4. Bangga berbangsa dan bernegara Indonesia,

5. Menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan berdasarkan prinsip Bhineka Tunggal Ika,

6. Memajukan pergaulan untuk meningkatkan persatuan bangsa dan negara.

Menurut Piaget (Respati : 2012) mengemukakan penahapan dalam perkembangan intelektual anak yang dibagi ke dalam empat periode, yaitu :

(41)

Pada periode ini tingksh laku anak bersifat motorik dan anak menggunakan system penginderaan untuk mengenal lingkungannya untu mengenal obyek. Misalnya Bayi berkembang dengan cara merespon kejadian dengan gerak refleks atau ‟pola kesiapan‟. Mereka belajar melihat diri mereka sebagai bagian dari objek yang ada di lingkungan. b. Periode Pra operasional (2-7 tahun)

Pada periode ini anak bisa melakukan sesuatu sebagai hasil meniru atau mengamati sesuatu model tingkah laku dan mampu melakukan simbolisasi.

c. Periode konkret (7-11 tahun)

Pada periode ini anak sudah mampu menggunakan operasi. Pemikiran anak tidak lagi didominasi oleh persepsi, sebab anak mampu memecahkan masalah secara logis.

d. Periode operasi formal (11-dewasa)

Periode operasi fomal merupakan tingkat puncak perkembangan struktur kognitif, anak remaja mampu berpikir logis untuk semua jenis masalah hipotesis, masalah verbal, dan ia dapat menggunakan penalaran ilmiah dan dapat menerima pandangan orang lain.

Piaget mengemukakan (Respati : 2012) bahwa ada 4 aspek yang besar yang ada hubungnnya dengan perkembangan kognitif :

a. Pendewasaaan/kematangan, merupakan pengembangan dari susunan syaraf.

b. Pengalaman fisis, anak harus mempunyai pengalaman dengan benda-benda dan stimulus-stimulusdalam lingkungan tempat ia beraksi terhadap benda-benda itu.

c. Interaksi social, adalah pertukaran ide antara individu dengan individu d. Keseimbangan, adalah suatu system pengaturan sendiri yang bekerja

untuk menyelesaikan peranan pendewasaan, penglaman fisis, dan interksi social

(42)

pada siswa SMP dengan menanamkan sikap nasionalisme yang sesuai dengan siswa SMP.

Menurut Yanto (2012) sikap nasionalisme siswa adalah merespon atas hal-hal yang berkaitan dengan kebangsaan dan kebanggan menjadi anak negeri Indonesia sebagai pelajar atau siswa yang melakukan aktifitas belajar di lingkungan sekolah ataupun di rumah. dengan demikian sikap nasionalisme siswa adalah ketaatan atau kepatuhan dari siswa kepada aturan, tata tertib atau norma di sekolah yang berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan secara bersungguh-sungguh atau dengan semangat kebangsaan siswa didorong dalam belajar dan pembelajaran yang dilakukan warga sekolah.

D. Hakikat Globalisasi

1. Definisi Globalisasi

Globalisasi sering dipahami sebagai fenomena ekonomi belaka, padahal sesungguhnya cakupan fenomena ini jauh lebih luas. Hurrel dan Woods (dalam Setiyono, 2012: 125) mengemukakan bahwa globalization is the process of increasing interdependence and global enmeshment which occurs as money, people, images, values, and ideas flow ever swiftly and smoothly across natonal boundaries(globalisasi adalah proses meningkatnya ketergantungan dan keterkaitan global yang terjadi karena intensitas aliran uang, manusia, persepsi, nilai, dan pemikiran terjadi semakin intensif melewati batas-batas nasional semua bangsa).

Sedangkan Muhammad „Abid Al-jabiri (Yusuf, 2001:32)mendefinisikan

(43)

“menjadi sesuatu berskala internasional”, yakni memindahkannya dari sesuatu yang

terbatas dan terdeteksi ke tanpa batas dan tak terdeteksi. Proses ini berkembang karena kemajuan yang pesat dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang melintasi batas-batas geografis secara meluas. Pada mulanya merupakan proses ekonomi sebagai kelanjutan dari transnasionalisasi, kemudian berkembang menjadi proses globalisasi hamper dalam segenap bidang kehidupan yang menyertai lahirnya era baru revolusi, informasi dan komunikasi.

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa globalisasi merupakan sebuah proses menuju sistem kehidupan yang lebih global, terbuka secara luas dalam berbagai aspek dan segi kehidupan manusia. Baik di bidang ekonomi, sosial budaya, teknologi dan sebagainya. Pengaruh globalisasi ini secara khusus juga dirasakan oleh kalangan remaja sebagai kalangan dari usia pancaroba atau peralihan. Usia yang rentan dengan budaya coba-coba dan memiliki rasa keingintahuan yang cukup besar.

2. Dampak Positif dan Negatif Globalisasi

Menurut(Mas‟ud :2012) ada beberapa dampak positif dan negatif di era globalisasi yang terjadi pada remaja saat ini, berikut adalah dampak positif dan negatif :

a. Pengaruh positif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme

(44)

mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.

2) Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.

3) Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.

b. Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme

1) Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang

(45)

produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.

3) Masyarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.

4) Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.

5) Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antar perilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.

(Astuti : 2012) Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.

(46)

Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.

Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone.

Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.

(47)

sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa.

Menurut (Astuti : 2012) harus ada langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain yaitu :

1. Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.

2. Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya. 3. Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.

4. Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.

5. Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa

3. Konsep Globalisasi Dalam Materi Pendidikan Kewarganegaraan

(Vimo : 2011) Dalam hubungannya dengan 3 dimensi kewarganegaraan yaitu dimensi pengetahuan, dimensi keterampilan dan dimensi nilai, maka hubungan globalisasi dengan ketiga dimensi tersebut dapat di jelaskan sebagai berikut.

a. Dimensi Pengetahuan

(48)

Contoh Standar Kompetensi: Memahami dampak globalisasi dalam kehidupan bermasyarkat, berbangsa dan bernegara. Kompetensi dasar: 1. Menjelaskan pengertian dan pentingnya globalisasi bagi Indonesia. 2. Mendeskripsikan politik luar negeri dalam hubungan intenasional di era global. 3. Mendeskripsikan dampak globalisasi terhadap kehidupan bermsyarakat , berbangsa dan bernegara. 4. Menentukan sikap terhadap globalisasi.

Dan kemudian harus ada penyusunan materi yang sistematis dan telah dikaji secara menyeluruh agar pembelajaran bisa berjalan sesuai dengan standar komptensi dan kompetensi dasar yang di harapkan, contohnya susunan materi yang di ajarkan seperti Pengertian dan pentingnnya globalisasi, Politik luar negeri Indonesia dalam hubungan internasional die era globalisasi, Dampak negatif globalisasi dan dampak positif globalisasi, kemudian bagaimana menyikapi globalisasi, dan mengevaluasi globalisasi yaitu dalam bentuk ulangan akhir pelajaran. Adapun maksud dari pada uraian diatas khususnya dalam kaitan dengan dimensi pengetahuan adalah agar para siswa dapat berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu globalisasi.

b. Dimensi Keterampilan dan Dimensi Nilai

(49)

dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman globalisasi, para siswa dapat menentukan sikap terhadap dampak globalisasi, para siswa dapat mengambil hal-hal positif dalam era globalisasi, serta para siswa bisa memproteksi efek-efek negatif dari pada globalisasi.Adapun indikator-indikator yang ditawarkan misalnya: mengawal dan meberikan ruang kepada para siswa untuk belajar tentang internet, menanamkan jiwa nasionalisme yang kuat kepada para siswa, penguatan sejarah negara republik Indonesia lewat pengenalan tokoh-tokoh pahlawan (the founding fathers), penguatan budaya Indonesia agar mempunyai nilai tawar yang lebih di mata para siswa, mengajak para siswa agar mencintai dan mengkonsumsi produk-produk asli buatan negeri. Kemudian membuka ruang kreativitas para siswa sesuai dengan keterampilan mereka masing-masing agar nantinya tidak hanya menjadi siswa yang konsumtif dan ketergantungan pada instrumen-instrumen globalisasi.

Dari uraian diatas jelas bahwa para siswa setelah mempelajari “globalisasi”

Gambar

gambar atau simbol yang bergerak seperti film bisu, dan film kartun.

Referensi

Dokumen terkait

Kedua , Teater Muslim hidup di arena sosial dan kultural yang didominasi oleh grup- grup yang menjadi mainstream dalam perkembangan teater modern Indonesia.. Dalam arena sosial

Dalam hal ini, puisi itu sarat dengan gagasan tasawuf Wahdatul Wujud, yang menunjukkan berpadunya eksistensi manusia dengan eksistensi Tuhan, berpadunya dimensi insaniyah dengan

Secara keseluruhan hasil penelitian menunjukan: (1) Tingkat kedisiplin diri para siswa kelas V SD PL Don Bosko Semarang tahun ajaran 2009/2010 terhadap tata tertib sekolah

This study is entitled Anne Frank’s Motivation in Giving Responses to the Conflicts Appearing during Her Hiding as Seen in Anne Frank’s The Diary of a Young Girl.. It deals with

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung kecambah kacang hijau pada formulasi flakes terhadap sifat fisik, kimia dan sensori dalam

Ketika bus diberikan aksi bergerak menuju halte, maka RFID 1 akan menerima sinyal dari tag yang ada pada bus yang kemudian diteruskan ke palang dan led untuk melakukan

Rizky Wikatama sudah terdapat prosedur sistem akuntansi pengawasan produksi yang sederhana dan belum terdapat pengembangan, (2) Terdapat kelemahan dalam pelaksanaan sistem

Seorang guru atau ulama adalah orang yang menempatkan cita-cita teragung dan termulia tersebut di depan muridnya (Ali, 2005: 62). Al-Ghazali sangat mengagungkan posisi