• Tidak ada hasil yang ditemukan

peneliti senior LSI dan sedang menyelesaikan pendidikan doktoral bidang komunikasi di Universitas Indonesia. Eriyanto termasuk peneliti yang produktif. Beberapa karyanya antara lain:

Metodologi Polling: Memberdayakan Suara

Rakyat (Bandung: Rosda Karya, 1999); Kekuasaan

Otoriter: Studi Atas Pidato Politik Soeharto

(Yogyakarta: Insist-Pustaka Pelajar, 2000); Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media

(Yogyakarta: LKIS, 2001); Analisis Framing:

Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media (Yogyakarta:

LKIS, 2002); Panduan Menyelengarakan Quick

Qount (Jakarta: LSI, 2005), dan; Teknik Sampling:

Analisis Opini Publik (Yogyakarta: LKIS, 2007).

Selain buku, tulisannya juga banyak dimuat di berbagai jurnal dalam maupun luar negeri, misalnya Jurnal Wacana, Jurnal Basis, dan Asian

Journalism Review.

Untuk memahami buku ini, pembaca sangat terbantu oleh Pengantar Redaksi, Pengantar dari Dr.

Deddy Mulyana, dan Pengantar Penulis sendiri.

Menurut redaktur, tulisan ini memiliki “kesejajaran” dengan karya Eriyanto sebelumnya

1 Pernah dipresentasikan pada acara “Review Buku Keagamaan

Tahap IV (Analisis Framing karya Eriyanto dan Sejarah Maluku Karya Des Alwi),” diselenggarakan Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag, tanggal 30 Agustus 2012 di Hotel Desa Wisata TMII Jakarta Timur.

2 Peneliti Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI.

berjudul Analisis Wacan: Pengantar Analisis Teks

Media. Keduanya dapat menjembatani pembaca

yang mendalami ilmu komunikasi, khususnya jurnalistik. Sementara itu, Deddy Mulyana menegaskan bahwa meskipun analisis framing

dipandang Eriyanto sebagai pendekatan konstruktivis, ia justru menganggapnya sebagai analisis konstruktivis, sekaligus analisis kritis. Buku ini menawarkan metode yang relatif baru selain metode klasik [positivis]. Paradigma alternatif yang lebih kritis ini mampu melihat realitas lain di balik wacana media massa, salah satunya melalui analisis framing. Untuk memperkaya interpretasi, kita bahkan dapat memanfaatkan berbagai teori sosiologi, psikologi, antropologi, ilmu politik, teori-teori kritis, hermeneutik dan semiotik, teori-teori pascamodernis (postmodernism), termasuk teori-teori normatif-religius mengenai wacana (komunikasi) yang terkandung dalam kitab suci seperti Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Al-Qur’an, dan Hadis Nabi Saw. Intinya, siapa pun dapat membangun dan mengembangkan sebuah kerangka atau model analisis framing. Sebagaimana penelitian interpretif lainnya, analisis framing merupakan suatu seni atau kreativitas. Metode analisis dan kesimpulannya boleh jadi berbeda meskipun kasusnya sama (hlm. ix-xvii).

Media massa di Indonesia sangat kaya dengan wacana, antara lain tentang perubahan konstelasi kekuasaan antara berbagai komponen bangsa, masyarakat, atau komunitas tertentu. Analisis framing cocok digunakam untuk melihat konteks sosial-budaya suatu wacana, khususnya hubungan antara berita dan ideologi, yaitu proses atau mekanisme pemberitaan dalam membangun, mempertahankan, memproduksi, meng-ubah, dan meruntuhkan suatu ideologi. Analisis framing mampu melihat siapa mengendalikan siapa dalam suatu struktur kekuasaan, pihak mana yang diuntungkan dan dirugikan, siapa si ‘penindas’ dan si ‘tertindas’, siapa yang konstitusional dan yang inkonstitusional, kebijakan publik mana yang harus didukung atau ditolak, dan sebagainya (hlm.xiv-xv).

Eriyanto menggarisbawahi bahwa buku ini membahas analisis framing dan penerapannya dalam analisis isi media. Analisis framing sendiri adalah analisis yang memusatkan perhatian pada

bagaimana media mengemas dan membingkai berita. Proses itu umumnya dilakukan dengan memilih peristiwa tertentu untuk diberitakan, dan menekankan aspek tertentu dari peristiwa lewat bantuan kata, aksentuasi kalimat, gambar, dan perangkat lainnya (hlm.xxi).

Meskipun terkesan terlambat, namun belum “basi” bagi para peneliti di lingkungan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama untuk “mendalami” kembali buku ini. Model analisis

framing memang sudah diperkenalkan para

penggagasnya di “Barat” sekitar penghujung 1980-an atau awal 1990-an, akan tetapi model ini baru populer di dunia akademik Indonesia--, terutama bidang ilmu komunikasi dan humaniora. Jika kita menelusuri di berbagai website, tulisan dan buku mereka selalu dirujuk oleh para akademisi yang berminat di bidang komunikasi untuk menulis skripsi, tesis, maupun disertasi, juga para peneliti dari berbagai lembaga ilmiah yang menggunakan analisis framing dalam meneliti suatu wacana, termasuk wacana keagamaan.

Mendiskusikan buku ini dapat diibaratkan seperti pepatah “sambil menyelam minum air”. Untuk memahami analisis framing, pembaca mau tidak mau akan digiring untuk mengerti pula paradigma dan teori yang menjadi pijakannya, juga model analisis terkait yang telah dikembangkan sebelumnya seperti analisis isi, analisis wacana, analisis semiotik, analisis kebijakan redaktur, dan sebagainya. Bukan hanya itu, “ketajaman” suatu analisis framing juga akan sangat bergantung pada penguasaan para analisnya atas teori dan model analisis pendukung lainnya seperti sosiologi, politik, antropologi, sejarah, filologi, hermeneutik,

folklore, termasuk feminisme, dan mencoba

perspektif baru lainnya. Bahasan

Eriyanto membagi tulisannya menjadi 13 bab. Pada bab pertama, penulis menjelaskan apa itu analisis framing. Intinya, framing (bingkai) adalah metode untuk melihat cara bercerita (story telling) media atas berita. Analisis framing digunakan untuk mengetahui bagaimana realitas dikonstruksi oleh media, yaitu dengan cara dan teknik tertentu suatu peristiwa ditekankan dan ditonjolkan, dihilangkan, luput, atau bahkan disembunyikan dari pemberitaan. Analisis framing

“menggeser” paradigma penelitian analisis isi kuantitatif (content analysis), yang titik tekannya adalah isi (content) dari suatu pesan/teks komunikasi. Sementara analisis framing, lebih menekankan pada pembentukan pesan dari teks, yaitu mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media, baik melalui proses konstruksi dengan makna tertentu maupun dengan bentukan tertentu, misalnya melalui wawancara dengan orang tertentu (hlm.3-11). Sebagai suatu metode analisis teks yang terbilang masih baru, analisis

framing banyak mendapat pengaruh dari teori

sosiologi, terutama pemikiran Peter L. Berger dan Erving Goffman, juga dari teori psikologi yang berhubungan dengan skema dan kognisi. Secara garis besar, buku ini dapat dipahami melalui skema berikut ini:

Selanjutnya bab kedua, penulis memaparkan media dan berita dilihat dari paradigma konstruksionis. Konsep konstruksionisme mengenai konstruksi sosial atas realitas, terutama menurut sosiolog interpretatif Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Tesis utamanya adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus. Pendekatan konstruksionis mempunyai delapan penilaian mendasar tentang bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. Untuk memudahkan, penjelasan kedelapan penilaian konstruksionis tersebut dapat dibandingkan dengan paradigma positivis, sebagaimana ilustrasi berikut:

Bab ketiga menjelaskan karakteristik

penelitian konstruksionis. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis sering juga disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia sering dilawankan dengan paradigma positivis atau paradigma transmisi. Secara sederhana, terdapat tujuh perbedaan karakteristik penelitian berkategori positivis dibandingkan dengan yang berkategori konstruksionis, sebagai berikut:

Bab keempat menguraikan tiga hal, yaitu: seleksi isu dan penekanan isu; dimensi Sosiologi-Psikologi; serta framing dan realitas. Ada beberapa definisi berbeda mengenai framing menurut Robert N.Entman, William A. Gamson, juga Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Meskipun berbeda, terdapat dua aspek yang menjadi titik singgung dari definisi para ahli, yaitu: (1) memilih fakta/ realitas. Proses pemilihan fakta ini didasarkan pada asumsi bahwa wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta selalu terkandung dua kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang

(exluded); (2) menuliskan fakta. Proses ini

berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Suatu gagasan diungkapkan dengan kata, kalimat, dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto

dan gambar apa, dan sebagainya. Bagaimana keterkaitan framing dengan realitas? Framing pada akhirnya menentukan bagaimana realitas itu hadir di hadapan pembaca. Apa yang kita tahu tentang realitas sosial pada dasarnya tergantung pada bagaimana kita melakukan frame atas peristiwa itu, yang memberikan pemahaman dan pemaknaan tertentu atas suatu peristiwa.

Bab kelima menjelaskan skema dan produksi

berita serta skema berita itu sendiri. Dalam taraf awal, kita dapat melihat semua proses konstruksi

dan frame dalam perspektif individu. Artinya,

frame dapat kita tempatkan dalam perspektif

bagaimana seseorang mengonstruksi pesan. Konsep yang dapat digunakan adalah skema (skemata) antara lain: (1) simplifikasi, kita menggunakan skema untuk membuat dunia yang tampak kompleks dan saling terhubung menjadi sederhana, dan karenanya dapat dipahami; (2) klasifikasi, skema ini digunakan oleh individu untuk membuat dunia agar tampak bermakna dan dapat dimengerti; (3) generalisasi, yaitu hasil generalisasi dari berbagai klasifikasi yang telah dilakukan; (4) asosiasi, suatu realitas tidak dipandang sebagai yang unik dan saling terpisah, melainkan sebagai rangkaian yang saling terhubungkan dan berkaitan satu dengan yang lain.

Bagaimana hubungan skema dengan produksi berita? Secara garis besar, skema dikelompokkan menjadi tiga tingkatan, yaitu: (a) skema sosial. Skema yang paling sering digunakan ini sering disebut sebagai skrip atau skenario. Kita mengandaikan dunia dan realitasnya seperti layaknya sebuah lakon atau drama; (b)skema tektual. Skema ini berhubungan dengan segi skematis dari teks, yang umumnya digunakan oleh seseorang ketika melihat dan menafsirkan teks; (c) skema ideologi. Skema ini terjadi ketika skema seseorang menggunakan skemanya sendiri untuk melihat dirinya, juga untuk melihat dan menafsirkan realitas.

Bab keenam menerangkan proses

pembentukan berita dan produksi berita dilakukan. Framing bukan hanya berkaitan dengan skema individu (wartawan), tetapi juga berhubungan dengan proses produksi berita, kerangka kerja, dan rutinitas organisasi media. Suatu peristiwa dibingkai atau dipahami dalam kerangka tertentu, bukan semata-mata disebabkan oleh struktur skema wartawan, tetapi

juga dalam rutinitas kerja, dan institusi media yang secara langsung atau tidak memengaruhi pemaknaan peristiwa.

Bab ketujuh mengupas tiga hal, yaitu: peta

ideologi, peta ideologi dan konstruksi realitas, serta pendefinisian realitas. Media berperan mendefinisikan bagaimana realitas (peristiwa maupun aktor-aktor sosial) seharusnya dipahami, dan dijelaskan dengan cara tertentu kepada khalayak. Dalam kaitannya dengan ideologi, fungsi utama media adalah sebagai mekanisme integrasi sosial. Media berfungsi menjaga nilai-nilai kelompok, dan mengontrol bagaimana nilai itu dijalankan. Media dapat mendefinisikan nilai dan perilaku yang sesuai atau menyimpang dari kelompok. Semua nilai dan pandangan tersebut bukan sesuatu yang terbentuk begitu saja (nature), melainkan dikonstruksi sedemikian rupa oleh media sehingga membentuk kenyataan apa yang layak, baik, sesuai, dan dipandang menyimpang. Tujuan utama media adalah memberi legitimasi pada perilaku atau gagasan tertentu, sekaligus mendelegitimasi perilaku atau gagasan lainnya yang dianggap menyimpang.

Bab kedelapan mengilustrasikan tentang

mobilisasi massa dan menggiring khalayak pada ingatan tertentu. Salah satu efek framing yang paling mendasar adalah realitas sosial yang kompleks, penuh dimensi dan tidak beraturan disajikan dalam berita sebagai sesuatu yang sederhana, beraturan, dan memenuhi logika tertentu. Efek framing lainnya yang dapat muncul antara lain: (1) mendefinisikan realitas tertentu dan melupakan definisi lain atas realitas; (2) menonjolkan aspek tertentu dan mengaburkan aspek lainnya; (3) penyajian sisi tertentu dan penghilangan sisi yang lain; (4) pemilihan fakta tertentu dan pengabaian fakta lainnya. Selain itu, efek framing yang lebih massif adalah bahwa ia dapat memobilisasi massa untuk tujuan-tujuan tertentu, juga dapat menggiring khalayak pada ingatan (sindrom) tertentu saja.

Bab selanjutnya mengenalkan model-model analisis framing beserta contoh studi kasus terkait.

Bab kesembilan mengangkat tokoh Murray

Edelman. Gagasannya tentang framing disarikan dari tulisannya, “Contestable Categories and Public Opinion”, dalam Political Commmunication,

Vol.10, No.3, 1993. Menurut Edelman, apa yang

kita ketahui tentang realitas atau dunia

tergantung pada bagaimana kita membingkai atau mengonstruksi (menafsirkan) realitas. Jadi, realitas yang sama bisa jadi menghasilkan realitas berbeda ketika ia dibingkai dengan cara yang berbeda. Edelmen menyejajarkan framing sebagai kategorisasi, yaitu pemakaian perspektif tertentu dengan kata-kata tertentu pula, yang menandakan bagaimana fakta atau realitas dipahami.

Bab kesepuluh mengemukakan pemikiran

Robert N. Entman. Konsepnya tentang framing

ditulis dalam artikel berjudul, “Framing: Toward Clarification of a Fractured Paradigm”, dalam

Jurnal of Communication, Vol. 43, No. 4, 1993, juga

tulisan lain yang mempraktikkan konsep itu dalam suatu kasus pemberitaan media. Entman melihat framing dalam dua dimensi besar, yaitu seleksi isu dan penekanan/penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu.Secara garis besar, Entman menerapkan analisis framing terhadap teks berita melalui empat cara, yaitu: (1) pendefinisian masalah [define problems]; (2) memperkirakan masalah atau sumber masalah

[diagnose causes]; (3) membuat keputusan moral

[make moral judgement]; (4) menekankan

penyelesaian [treatment recommendation].

Bab kesebelas mengangkat sosok William A.

Gamson. Gagasan utamanya adalah menghubungkan wacana media di satu sisi dengan pendapat umum di sisi lain. Dalam pandangannya, wacana adalah elemen yang penting untuk memahami dan mengerti pendapat umum yang berkembang atas suatu isu atau peristiwa. Pendapat umum tidak cukup kalau hanya didasarkan pada data survei publik, sebab data tersebut perlu dihubungkan dan dibandingkan dengan cara media mengemas dan menyajikan berita/isu. Gagasan spesifik Gamson tentang frame media ditulisnya bersama Andre Modigliani dalam artikel berjudul “Media Discourse and Public Opinion on Nuclear Power: A Constructionist Approach”, dalam American Journal of Sociology, Vol.95, No,1, 1989. Frame

dipandang sebagai cara bercerita (story line) atau gugusan ide-ide yang tersusun sedemikian rupa, dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana.

Bab kedua belas mengulas pemikiran

Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosichi. Model

framing ini merupakan salah satu model yang

Kosichi memperkenalkan model tersebut lewat suatu artikel berjudul “Framing Analysis: An Approach to News Discourse”, dalam Journal

Political Communication, Vol.10., No,1., 1993.Analisis

framing dilihat sebagai wacana publik tentang

suatu isu atau kebijakan yang dikonstruksi dan dinegosiasikan. Framing didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, dan menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak menyetujui pesannya. Dalam model ini, perangkat framing dibagi dalam empat struktur besar, yaitu: (1) struktur sintaksis, cara wartawan menyusun peristiwa (pernyataan, opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa) ke dalam bentuk susunan umum berita; (2) struktur skrip, strategi wartawan mengisahkan atau menceritakan peristiwa ke dalam bentuk berita; (3) struktur tematik, cara wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam proposisi, kalimat, atau hubungan antarkalimat yang membentuk teks secara keseluruhan; (4) struktur retoris, cara wartawan menekankan arti tertentu ke dalam berita seperti memakai pilihan kata, idiom, grafik, dan gambar yang dipakai untuk mendukung tulisan dan menekankan arti tertentu kepada pembaca.

Bab ketiga belas menyajikan “intisari” buku

secara keseluruhan. Menurut penulis buku, ada empat model analisis yang diperkenalkannya. Meskipun banyak istilah dan definisi yang digunakan, keempat model tersebut memiliki kesamaan. Paling tidak ada tiga kategori besar elemen framing. Pertama, level makro-struktural. Level ini dapat dilihat sebagai pembingkaian dalam tingkat wacana. Bagaimana peristiwa oleh media dalam tingkat abstrak yang paling tinggi (wacana). Kedua, level mikro-struktural. Elemen ini memusatkan perhatian pada bagian atau sisi mana dari peristiwa yang ditonjolkan, dan bagian atau sisi mana yang dilupakan/kecilkan. Pemilihan fakta, angel, dan narasumber adalah bagian dari level ini. Ketiga, elemen retoris. Elemen ini memusatkan perhatian pada bagaimana fakta ditekankan, di antaranya dengan pemilihan kata, kalimat, retorika, gambar, atau grafik tertentu.

Di mana posisi framing dalam keseluruhan jagat penelitian komunikasi? Framing merupakan perpanjangan dari tradisi penelitian efek media, yaitu yang didasarkan pada asumsi bahwa media mempunyai pengaruh signifikan, meskipun para ahli masih berdebat tentang sejauh mana tingkat

signifikansi tersebut. Artinya, buku ini secara umum memperkenalkan analisis framing sebagai studi teks media. Saat ini framing telah berkembang menjadi teori. Konsep framing bukan hanya terbatas pada alat analisis, melainkan juga berkembang menjadi teori komunikasi secara keseluruhan.

T

INJAUAN

Meskipun memiliki beragam cara dan pendekatan, berbagai model framing di atas mempunyai kesamaan. Hampir setiap tokohnya membahas tentang bagaimana media membentuk konstruksi atas realitas, kemudian menyajikan dan menampilkannya kepada pembaca. Mengutip Jisuk Woo, paling tidak ada tiga kategori dasar elemen framing. Pertama, level makrostruktural. Level ini dapat dilihat sebagai pembingkaian dalam tingkat wacana. Kedua, level mikrostruktural. Elemen ini memusatkan perhatian pada bagian/sisi mana suatu peristiwa ditonjolkan atau dilupakan/dikecilkan. Ketiga, elemen retoris. Elemen ini memusatkan perhatian pada bagaimana fakta ditekankan. 1

Pada prinsipnya, model framing yang dikemukakan Entman dan Edelman belum dikembangkan secara detail. Memang dalam tingkatan analisisnya mampu menunjukkan bagaimana kata, kalimat, dan gambar dapat dianalisis sebagai bagian integral dalam memahami frame, akan tetapi belum terdapat gambaran mendetail tentang elemen retoris tersebut. Dapat dikatakan, model tersebut masih bergerak pada level bagaimana memahami peristiwa dan pemilihan fakta oleh media. Sementara itu, model Pan dan Kosicki mampu menjelaskan unit analisisnya, yaitu apa saja elemen retoris yang perlu diperhatikan dalam kerangka framing. Di satu sisi, model Gamson lebih menekankan pada ‘penandaan’ dalam bentuk simbolik, baik lewat kiasan maupun retorika yang secara tidak langsung menggiring perhatian pembaca. Di sisi lain, model Pan dan Kosicki banyak dipengaruhi pendekatan linguistik, misalnya pemakaian kata, penulisan struktur dan bentuk kalimat dibingkai oleh media dalam menggambarkan suatu peristiwa.

1 http://sinaukomunikasi.wordpress.com/2011/08/20/analisis-bingkai-framing-analysis/, diakses 4 November 2013.

Tidak dapat dipungkiri bahwa ide tentang analisis framing digagas pertama kali oleh Baterson tahun 1955. Ketika itu, frame dimaknai sebagai struktur konseptual yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana yang menyediakan berbagai kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman (1974). Ia menganggap frame sebagai kepingan perilaku yang membimbing individu dalam membaca realitas2. Hanya saja, para penggagas sebelum Goffman ini kurang mendapat penjelasan memadai dari penulis.

Model-model analisis pesan media disistematisasi Eriyanto berdasarkan konsep

framing yang dikembangkan Murray Edelman,

Robert N. Entman, William A. Gamson, serta Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Masing-masing model diterapkannya dalam studi kasus analisis framing “Isu Caleg PDIP Non-Muslim” di tabloid Abadi dan Demokrat, “Isu Aryantigate” di majalah Forum Keadilan dan Panji Masyarakat, “Isu Debat Calon Presiden” di tablod Amanat dan

Demokrat, dan “Isu Pengalihan Kekuasaan dari

Soeharto ke Habibie” di harian Kompas dan

Republika. Buku ini merupakan seri kedua dari

metode penelitian media yang dikerjakan Eryanto. Hanya saja, buku analisis framing ini terlihat tidak “nyambung” dengan seri pertama Analisis

Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (2001). Kita

tidak dapat melihat kesinambungan metodologis yang para penggagas analisis wacana dengan analisis framing dalam kedua buku tersebut. Berbeda dengan Alex Sobur dan Ibnu Hamad3 yang berhasil menyajikan kedua analisis tersebut secara “berkesinambungan”.

Menarik dikemukan pandangan Hamad, bahwa framing dipandang sebagai sebuah strategi penyusunan realitas sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah wacana (discourse).

Dalam media massa, wacana ini paling banyak mengambil bentuk dalam wujud berita. Framing

juga dipakai sebagai salah satu metode untuk memahami “information strategy” dalam sebuah wacana. Sebagai kebalikan dari “strategi

penyusunan realitas”, maka analisis framing

berfungsi untuk membongkar muatan wacana4. Analisis framing sebagai suatu metode analisis isi media memang terbilang “baru”. Analisis ini terutama diilhami oleh paradigma kaum konstruksionis. Dalam kerangka metode analisis, analisis framing dapat dikatakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis teks media yang telah digunakan secara luas, terutama bagi para peminat studi ilmu komunikasi. Dalam ranah ilmu komunikasi, analisis framing kemudian mengedepankan pendekatan atau perspektif multidisipliner untuk menghasilkan analisis teks media yang lebih mendalam, seperti penggunaan analisis sosiologi, politik, sejarah, hermeneutik, feminis, dan sebagainya. Selain itu, konsep tentang framing

atau frame bukan murni konsep ilmu komunikasi, akan tetapi dipinjam dari teori kognitif dalam psikologi. Artinya, penerapan analisis framing menjadi tidak “memadai”, apabila tidak diperkaya dengan pendekatan, teori, dan model analisis lainnya. Memang disinilah kelemahan mendasar setiap kajian ilmu-ilmu sosial.

Terlepas dari maraknya penerapan analisis wacana maupun analisis framing, kedua bentuk analisis ini sering mendapat kritik tajam karena menganut pandangan “anything goes” (semuanya bisa masuk). Para pakar sering pula melihat bahwa kedua analisis tersebut dalam banyak kasus, terutama di dunia akademik tidak layak mampu menerapkan model analisisnya secara memadai. Apalagi model analisa ini tidak memiliki aturan yang tegas tentang kriteria atau batasan kualitas tertentu dalam melakukan analisis. Kritik seperti ini telah dikemukakan Charles Antaki, Michael Billig (dkk), t.t., dalam paper mereka berjudul “Discourse Analysis Means Doing Analysis: A Critique Of Six Analytic Shortcomings”, makalah yang disampaikannya dalamDiscourse and Rhetoric Group Department of Social Sciences Loughborough University, Loughborough Leicestershire, Inggris.5

Menurut Antaki, terdapat beberapa kekurangan atau kelemahan yang sering terjadi dalam penulisan analisis wacana (termasuk analisis bingkai), antara lain:

2 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2001), 161-162.

3 Ibnu Hammad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik, 2004 (Jakarta: Granit).

4Ibid, hlm. 22.

1. Belum dapat dikatakan analisis wacana maupun framing, jika hanya meringkas suatu transkrips (under-analysis through summary). Analisis wacana harus menyediakan hasil transkrip, teks, dan percakapan secara