• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi kolektif dan ideologisasi jihad: studi kualitatif teroris di indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi kolektif dan ideologisasi jihad: studi kualitatif teroris di indonesia"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

TOPIK

G A Z I S A L O O M*)

A. P

ENDAHULUAN

Keterlibatan seseorang dalam kelompok dan aksi teror dikaji secara mendalam dari perspektif ilmu psikologi oleh para peneliti dan akademisi di bidang psikologi. Terjadi perdebatan panjang tentang apakah para teroris adalah kaum abnormal yang mengalami psikopati atau justru sebaliknya, kumpulan orang-orang normal yang

melakukan tindakan dengan penuh kesadaran dan perhitungan. Misalnya, Lasch (1979), Cryton (1983), Haynal et.al (1983), dan Pearlstein (1991) menganut pandangan bahwa teroris itu tidak normal dan mengidap gangguan. Sedangkan peneliti mutakhir seperti Moghaddam (2009) dan Kruglanski dkk (2011) berpandangan bahwa para teroris adalah kaum normal dan rasional1.

*Gazi Saloom: Dosen Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Fakultas Psikologi UIN Jakarta, Jl. Kertamukti 5 Cirendeu, Jakarta Selatan 15419. Email: gazi@uinjkt.ac.id.

**Naskah diterima Februari 2015, direvisi April 2015, disetujui untuk diterbitkan Mei 2015.

A

BSTRAK

Artikel ini menggambarkan bahwa para teroris setidaknya di Indonesia adalah kumpulan orang normal yang memiliki pikiran yang sehat dan memiliki tujuan jangka panjang untuk menegakkan sistem pemerintahan Islam yang berdasarkan ajaran Al-Qur ’an dan Hadis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pengumpulan data yang dilakukan melalui wawancara, telaah dokumen, dan informasi media tentang teroris dan terorisme. Satu orang mantan teroris yang pernah terlibat dalam kasus Bom Bali 1 dipilih untuk menjadi responden penelitian. Data yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam dan telaah dokumen dianalisa dengan teori identitas sosial dan teori kognisi sosial mengenai ideologisasi jihad. Artikel ini menyimpulkan bahwa proses perubahan orang biasa menjadi teroris sangat berkaitan dengan ideologisasi jihad dan pencarian identitas.

K

ATA

K

UNCI

:

Psikopat, Gangguan Mental, Normal, Islam

A

BSTRACT

This article articulates that the terrorists in Indonesia are basically a group of normal people who have sound minds and a long-term goal to establish an Islamic government system based on the teachings of the Quran and Hadith. This study employed qualitative approach by acquiring the data through interviews, document analysis and media information covering terrorists and terrorism. A former terrorist involved in Bali bombing I served as the research informant. Data from in-depth interviews and document analysis were analyzed by utilizing social identity and social cognition theory about ideology of jihad. The article concludes that the changing process from the

ordinary people into the terrorist strongly relates to jihad ideology and search for identity.

K

EY

W

ORDS

:

Psychopath, Mental Disorder, Normal, Islam

IDENTIFIKASI KOLEKTIF DAN IDEOLOGISASI

JIHAD: STUDI KUALITATIF TERORIS DI INDONESIA

1 Lihat, Fathalli M. Moghaddam, “The staircase to terrorism:

(2)

Artikel ini memihak pandangan kedua yaitu bahwa para teroris adalah orang-orang normal yang melakukan tindakan dan aksi mereka dengan penuh kesadaran dan didorong oleh cita-cita dan ideologi untuk menegakkan sistem pemerintahan yang berbasis Islam. Bagaimana sesungguhnya psikologi terutama psikologi sosial melihat persoalan terorisme ini?

Penelitian psikologi terorisme memiliki akar sejarah yang cukup panjang: mulai dari pendekatan psikoanalisis, pendekatan narsisme, sampai dengan pendekatan tipologi. Pendekatan-pendekatan ini lebih menekankan pada pandangan bahwa teroris adalah kumpulan manusia abnormal dan mengalami gangguan psikologis, terutama psikopati2. Dalam bahasa yang umum, psikopati sering disebut dengan istilah orang gila. Dengan kata lain, para teroris adalah kumpulan orang-orang gila. Pertanyaannya, benarkah para teroris adalah kumpulan orang gila?

Salah satu tokoh penting dalam bidang psikologi, Sigmund Freud menyebutkan bahwa di tengah realitas sosial terdapat sejumlah orang yang sejak masa kanak-kanak memiliki kecenderungan destruktif, sikap anti sosial, dan anti budaya. Jumlah mereka terbilang cukup banyak di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini, ada dua rumusan penting tentang terorisme dalam pandangan Freud, yaitu: Pertama, motif terorisme bersifat ketidaksadaran dan bersumber dari permusuhan terhadap orang tua, dalam hal ini, bapak. Kedua, terorisme adalah produk dari kekerasan yang dialami seseorang di masa kanak-kanak dan pola asuh yang salah3.

Feur (1966) yang mengusung teori konflik generasi (conflict of generations theory) sangat dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Freud. Teori Feur didasarkan atas penafsiran Kaum Freudian tentang terorisme sebagai suatu reaksi psikologis

anak terhadap ayahnya. Dalam berbagai literatur psikologi terutama literatur psikoanalisis, hal tersebut berkaitan dengan fenomena kegenerasian yang berakar pada “Kompleks Oedipus”, dan karenanya sangat erat kaitannya dengan dunia laki-laki atau dunia yang didominasi maskulinitas.4

Masih dari kalangan generasi pertama ilmuwan di bidang psikologi, Cryton (1983) mengemukakan terdapat banyak tokoh yang berusaha memahami dan menjelaskan terorisme dalam kerangka konseptual psikodinamika yang memberikan perhatian khusus kepada trait narsisisme sebagai suatu faktor yang menentukan dan mendorong perilaku terorisme pada seseorang. Menurut Cryton, ada dua dinamika utama narsisistik, yaitu perasaan yang berlebihan terhadap diri sendiri dan imago bapak yang ideal. Kemungkinan adanya hubungan antara narsisisme dan terorisme pertama kali dikembangkan oleh Morf pada tahun 1970-an, dan selanjutkan didiskusikan secara serius oleh beberapa tokoh psikologi terorisme seperti Lasch (1979), Cryton (1983), Haynal et.al (1983), dan Pearlstein (1991). Mereka adalah para ilmuwan dan peneliti yang menganggap bahwa para teroris adalah kumpulan orang-orang yang mengalami psikopati atau setidaknya secara klinis mengidap gangguan abnormalitas5.

Namun harus dikatakan bahwa rumusan pendekatan narsisisme tidak banyak memberikan pengaruh terhadap penelitian psikologi terorisme kontemporer. Penyebab utama dari hal itu adalah karena tidak banyak data atau fakta empirik yang mendukung hipotesis atau asumsi psikopati dan gangguan mental pada para teroris seperti yang dikembangkan oleh psikoanalisis termasuk pendekatan narsisisme6.

Dengan demikian, sampai pada titik ini, para peneliti di bidang psikologi terorisme, termasuk

Rohan Gunaratna, “Aspects of deradicalisation.” Dalam Terrorist Rehabilitation and Counter Terrorism: New Approaches to Counter Terrorism, oleh Rohan Gunaratna, Jolene Jerard dan Lawrence Rubin ( New York: Routledge, 2011) , 135-145.

2 Randy Borum, Psychology of terrorism (Florida: University

of Florida Press, 2008), 15-40; lihat juga John Horgan,. “Individual disengagement: a psychological analysis.” Dalam Leaving Terrorist Behind: Individual and Collective Disengagement, oleh Tore Bjorgo dan John Horgan (New York: Routledge, 2009), 17-29.

3 Randy Borum, Psychology of terrorism (Florida: University

of Florida Press, 2008), 15-40; lihat juga Fathalli M. Moghaddam,

“The staircase to terrorism: A psychological exploration.” American Psychologist, 2005: 161-169.

4Randy Borum, Psychology of terrorism (Florida: University

of Florida Press, 2008), 15-40.

5 John Horgan, “Individual disengagement: a psychological

analysis.” Dalam Leaving Terrorist Behind: Individual and Collective Disengagement, oleh Tore Bjorgo dan John Horgan (New York: Routledge, 2009), 17-29.

6 Randy Borum, Psychology of terrorism (Florida: University

(3)

penulis menolak keras dugaan bahwa para teroris adalah kumpulan orang gila yang tidak waras atau dalam bahasa psikologi disebut psikopat. Hal itu karena kesimpulan tersebut tidak didukung oleh temuan empirik di lapangan.

Perkembangan berikutnya, bersandar pada asumsi tentang keragaman motivasi terorisme, Frederick Hecker, seorang psikiater, mengemukakan gagasan tentang tipologi psikologis kaum teroris. Dia mengemukakan bahwa ada tiga tipologi teroris, yaitu tipologi krusader (teroris yang diilhami oleh suatu cita-cita yang tinggi), tipologi penjahat (orang yang melakukan terorisme untuk tujuan personal), dan tipologi gila (orang yang melakukan aksi terorisme karena dimotivasi oleh keyakinan dan persepsi yang salah akibat gangguan mental).7

Tokoh lain yang mengenalkan tipologi teroris adalah Jerrold Post (1984). Menurutnya, ada dua pola perilaku teroris, yaitu: Pertama, tipe anarkis-ideolog. Individu-individu yang menjadi teroris diasumsikan berasal dari keluarga yang mengalami disfungsi psikologi yang serius, misalnya mereka adalah korban kekerasan dalam rumah tangga atau korban pola asuh yang salah sehingga membuat mereka bersikap memusuhi orang tua. Ideologi ekstrim yang mereka anut merupakan pengganti dari sikap pemberontakan dan permusuhan terhadap otoritas “negara” yaitu dengan cara melakukan tindakan kekerasan dan permusuhan terhadap “negara” dari ayah mereka. Dalam bahasa psikoanalisa ini kerapkali disebut dengan istilah mekanisme pertahanan diri displacement. Kedua, tipe nasionalis-seksesionis. Tipe ini tidak disebabkan oleh permusuhan terhadap ayah tetapi disebabkan oleh kesetiaan terhadap sang ayah. Sikap ekstrimisnya bermotif balas dendam terhadap kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa yang dilakukan negara terhadap orang tua. Intinya, mereka melakukan tindak kekerasan dan pemberontakan terhadap masyarakat luar karena

setia terhadap sang ayah8. Pendekatan tipologi dan frofiling teroris dianggap gagal karena tidak mendapatkan pembenaran secara empirik dari temuan-temuan lapangan.9

Dugaan-dugaan yang menyebutkan bahwa para teroris adalah kumpulan orang gila atau kumpulan orang yang mengalami psikopati atau kumpulan orang yang tidak rasional tidak bisa dibenarkan.10 Kesimpulan yang sama dalam kaitannya dengan teroris di Indonesia dikemukakan oleh beberapa peneliti terorisme seperti Sarlito Wirawan Sarwono, Hamdi Muluk dan Mirra Noor Milla. Tulisan ini hendak menegaskan bahwa keterlibatan seseorang dalam kelompok dan aksi teror adalah pilihan sadar yang digerakkan oleh kesadaran akan identitas kolektif dan ideologi tertentu.11

Tulisan ini difokuskan untuk membuktikan bahwa motivasi terorisme adalah identitas sosial dan narasi ideologi yang mengalami dinamika dan proses yang panjang, baik secara psikologis maupun sosiologis.

Perumusan Masalah

Keterlibatan seseorang dalam terorisme bukan semata-mata karena satu faktor, misalnya faktor kepribadian, tetapi lebih merupakan interaksi antara berbagai faktor yang melingkupi seorang teroris. Para peneliti psikologi terorisme kontemporer bersepakat bahwa penjelasan abnormalitas atau tipologi teroris tidak lagi shahih dalam menjelaskan fenomena keterlibatan seseorang dalam terorisme karena temuan di

Tore Bjorgo dan John Horgan (New York: Routledge, 2009), 17-29 serta Fathalli M. Moghaddam, “The staircase to terrorism: A psychological exploration.” (American Psychologist, 2005): 161-169.

7 William H. Reid, “Controlling political terrorism: Practicality,

not psychology.” Dalam The Psychology of Terrorism: Public Understanding, oleh Chris E. Stout (Westport CT: Praeger Publisher, 2002), 1-8. Lihat juga Randy Borum, Psychology of terrorism (Florida: University of Florida Press, 2008), 15-40.

8 Randy Borum, Psychology of terrorism (Florida: University

of Florida Press, 2008), 15-40.

9Graeme C.S. Steven, dan Rohan Gunaratna, Counterterrorism:

A reference handbook (California: ABC-CLIO, Inc, 2004), 6. Lihat juga Horgan, John. “Individual disengagement: a psychological analysis.” Dalam Leaving Terrorist Behind: Individual and Collective Disengagement, oleh Tore Bjorgo dan John Horgan (New York: Routledge, 2009), 5.

10Graeme C.S. Steven dan Rohan Gunaratna, Counterterrorism:

A reference handbook (California: ABC-CLIO, Inc, 2004), 6.

11Graeme C.S Steven dan Rohan Gunaratna, Counterterrorism:

(4)

lapangan tidak mendukung teori ini. Ada faktor lain yang lebih tepat menjelaskan keterlibatan dalam terorisme yaitu gabungan berbagai faktor yang berkaitan dengan pribadi teroris dan hal-hal lain di luar pribadinya atau yang biasa disebut dengan faktor lingkungan atau faktor eksternal di luar masalah personal. Dalam penelitian ini, faktor identitas dan ideologisasi jihad, secara khusus akan dikaji sebagai faktor penyebab keterlibatan dalam gerakan dan aksi teror. Oleh karenanya, masalah penelitian atau pertanyaan penelitian yang hendak dijawab adalah: Bagaimana identitas sosial dan ideologisasi jihad mempengaruhi proses radikalisasi dan keterlibatan seseorang dalam aksi teror di Indonesia?

Tujuan dan Kegunaan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh identitas sosial dan ideologisasi jihad terhadap keterlibatan seseorang dalam dunia teror, sedangkan kegunaannya adalah untuk mengembangkan kajian psikologi tentang kekerasan politik dan terorisme serta untuk memberikan penjelasan yang lebih bersifat psikologis tentang aksi teror di Indonesia.

B. K

ERANGKA

T

EORI

Identitas Sosial, Radikalisasi dan Keterlibatan dalam Teror

Perspektif identitas sosial banyak digunakan sebagai pisau analisa untuk melihat berbagai persoalan psikologi sosial,12 termasuk proses radikalisasi dan keterlibatan dalam kelompok dan aksi teror. Pendekatan identitas sosial bersandar pada asumsi-asumsi yang berkaitan dengan sifat manusia dan masyarakat dan hubungan timbal-balik di antara keduanya. Perspektif identitas menyebutkan bahwa: “Society comprises social categories which stand in power and status relations to

one another. Kategori sosial merujuk kepada

pengertian yang membagi manusia berdasarkan kebangsaan (Indonesia/Belanda), ras (Arab/ Yahudi), kelas (pekerja/kapitalis), pekerjaan (dokter/tukang las), jenis kelamin (pria/wanita), agama (Hindu/Muslim) dan lain-lain. Penting untuk diingat dalam konteks ini adalah bahwa

identitas tidak muncul dalam ruang hampa atau ruang isolasi. Suatu kategori akan muncul jika dipertentangkan dengan kategori yang lain. Sebagai contoh, kategori sosial “Muslim” tidak akan bermakna apa-apa kecuali jika dikontraskan dengan kategori “Non Muslim” atau kategori sosial “Beriman” tidak akan bermakna apa-apa kecuali setelah dikontraskan dengan kategori sosial “kafir” .13

Ada 4 mekanisme psikologis yang mendasari

Social Identity Theory (SIT) yaitu kategorisasi sosial,

perbandingan sosial, identifikasi sosial dan distingsi kelompok yang positif. Pertama, kategorisasi sosial adalah proses kognitif di mana objek, peristiwa dan manusia diklasifikasikan menjadi beberapa kategori. Dengan melakukannya maka kita cenderung mencari kesamaan pada kelompok sendiri dan mencari perbedaan pada kelompok lain. Kedua, perbandingan sosial adalah kecenderungan membandingkan antara kelompok sendiri dengan kelompok lain. Kita cenderung menjauhkan diri dari kelompok yang tidak memiliki keyakinan dan ide yang sama serta mengambil keyakinan yang lebih banyak dari diri kita dan kelompok kita. Ketiga, identifikasi sosial yaitu bagian dari konsep diri individu yang bersumber dari pengetahuannya mengenai keanggotaannya dalam suatu kelompok sosial. Pelekatan emosi dan kognisi yang sangat kuat terhadap kelompok sangat mempengaruhi seseorang dalam memandang dirinya dan orang lain. Keempat, distingsi positif adalah kecenderungan untuk menunjukkan bahwa kelompok sendiri lebih baik dibandingkan kelompok lain. Mekanisme dilakukan melalui etnosentrisme, ingroup

favoritism, berpikir streotipe, dan konformitas

terhadap norma kelompok . 14

Dalam konteks proses radikalisasi serta keterlibatan dalam kelompok dan aksis teror, perasaan terluka karena anggota atau bagian dari

12 Rupert Brown, “Social identity theory: Past achievements,

current problems and future challenges.” European Journal of Social Psychology, 30: 6, 2000: 745-778.

13 Michael A. Hogg dan Dominic Abrams, Social

Identifications: A Social Psychology of Intergroup Relations and Group Processes (London: Routledge, 1998), 1-30. Lihat juga Jenkins, Richard, Social identity: Key Ideas (New York: Routledge, 2008), 1-10.

14 Taylor, Donald M., dan Fathali M. Moghaddam, Theories of

(5)

ingroup disakiti atau tersakiti dapat memicu perasaan solidaritas seseorang untuk bersikap radikal dan mengambil keputusan untuk terlibat dalam aksi balas dendam sebagai ekspresi keberpihakan kepada identitas dan marwah kelompok yang dipersepsikan terancam.15 Dalam sejumlah kasus teroris Islam, seringkali identifikasi yang kuat sebagai bagian dari umat Islam dan internalisasi nilai dan ajaran agama yang memperkuat proses dan mekanisme identifikasi seringkali menjadi faktor penting keterlibatan seseorang dalam dunia teror.

Ideologisasi Jihad dan Pembenaran Teror Jihad sebagai salah satu ajaran penting dalam Islam, seringkali dipersepsi sebagai salah satu sumber inspirasi kekerasan dan perusakan massal yang dilakukan oleh kelompok teroris berbaju Islam. Dalam hal ini, Amin Abdullah sebagaimana dikutip Zulkifli Mubaraq menolak keras pandangan tersebut karena dalam pandangannya hampir semua ajaran agama termasuk ajaran Islam mendorong para pengikutnya untuk mencegah kekerasan dan menghindari cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan keyakinan dan cita-cita kelompok.16

Namun, kenyataan menunjukkan bahwa segelintir orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok gerakan bawah tanah menggunakan ajaran jihad sebagai landasan untuk melakukan aksi teror dan kekerasan padahal jihad sendiri tidak dimaksudkan untuk tujuan yang demikian. Pada titik inilah jihad mengalami proses ideologisasi untuk kepentingan politik melawan negara dan kekuatan lain yang dipandang merugikan umat Islam17.

Studi yang dilakukan Milla dkk menunjukkan bahwa interaksi pemimpin-pengikut berpengaruh besar terhadap proses ideologisasi jihad di mana dalam hal ini para pemuka kelompok teroris menggunakan

penafsiran khusus terhadap ajaran jihad dalam melihat persoalan umat Islam dan bagaimana menyelesaikannya.18 Ideologisasi jihad terjadi karena cara pandang pemimpin kelompok yang melihat adanya ketidakadilan dan perlakuan tidak jujur terhadap umat Islam di sejumlah negara Muslim. Pada konteks ini, keyakinan terhadap dunia yang tidak adil atau belief in unjust

world berkombinasi dengan ingroup favoritism

(kecenderunga mengutamakan kelompok sendiri) menjadi faktor penting sejumlah orang tertentu untuk cenderung melakukan ideologisasi terhadap konsep jihad. Pandangan tersebut kemudian didesiminasikan ke para pengikut sehingga melahirkan aksi teror dan kekerasan atas nama agama.19

Walaupun ideologi bukanlah faktor utama yang mendorong seseorang bergabung ke dalam kelompok teror tetapi ideologi merupakan bahan bakar utama yang membakar semangat dan gairah anggota kelompok radikal untuk melakukan aksi teror dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama.20

Jadi, ideologisasi jihad patut dipertimbangkan sebagai faktor penentu keterlibatan seseorang dalam aksi teror di Indonesia.

Penelitian ini hendak melihat bagaimana pengaruh identifikasi dan keanggotaan seseorang dalam kelompok besar serta proses ideologisasi jihad terhadap radikalisasi dan keterlibatan dalam aksi teror. Faktor penyebab pertama akan dilihat dengan menggunakan pendekatan teori identitas sosial, sedangkan faktor penyebab kedua akan dilihat dari perspektif psikologi kognitif terutama terkait ideologisasi jihad yaitu cara seseorang memaknai ajaran jihad dan penerapannya dalam memperjuangkan cita-cita kelompok.

15Mirra Noor Milla, Mengapa memilih jalan teror: Analisa

psikologis pelaku teror (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2010), 5-20.

16Zulkifli Mubaraq, Doktrin Jihâd Dalam Perspektif Pelaku Bom

Bali (Surabaya: Disertasi PPS IAIN Sunan Ampel, tidak diterbitkan, 2010), 1-10.

17Mirra Noor Milla, Faturochman, dan Djamaludin Ancok,

“The impact of leader–follower interactions on the radicalization of terrorists: A case study of the Bali bombers.” Asian Journal of Social Psychology, 2012: 1-9 DOI: 10.1111/ajsp.12007.

18Mirra Noor Milla, Faturochman, dan Djamaludin Ancok.

“The impact of leader–follower interactions on the radicalization of terrorists: A case study of the Bali bombers.” Asian Journal of Social Psychology, 2012: 1-9 DOI: 10.1111/ajsp.12007.

19Robert Loo, “Belief in a just world: support for independent

just world and unjust world dimensions.” Personality and Individual Differences 33 , 2002: 703-711. Lihat pula Mirra Noor Milla, Faturochman, dan Djamaludin Ancok. “The impact of leader–follower interactions on the radicalization of terrorists: A case study of the Bali bombers.” Asian Journal of Social Psychology, 2012: 1-9 DOI: 10.1111/ajsp.12007.

20Marc Sagemen, Understanding terror network (Philadelphia:

(6)

C. M

ETODE

P

ENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan sejak Bulan Juli 2012 sampai Desember 2012 yang dilakukan di Jakarta dan Pekanbaru. Pertimbangan memilih kedua kota ini karena beberapa mantan narapidana teroris dan narapidana teroris yang masih dipenjara bisa diakses langsung dengan bantuan sejumlah pihak terkait.

Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara langsung kepada para teroris yang telah dipilih untuk menjadi subjek penelitian, telaah dokumen terutama buku biografi teroris dan catatan-catatan yang dibuat para teroris, dan telaah literatur tentang terorisme terutama dari perspektif psikologi, sosiologi dan agama. Data wawancara diperoleh melalui tatap muka langsung dengan 5 orang narapidana teroris atau mantan narapidana teroris yang terlibat dalam kasus Bom Bali 1 dan Bom Mariot. Berdasarkan pertimbangan tertentu maka satu orang dari lima teroris dan mantan teroris yang berhasil diwawancarai dijadikan responden utama penelitian. Sedangkan data di luar wawancara diperoleh melalui telaah dokumen terkait dan rekaman video atau rekaman berita tentang terorisme yang diperoleh melalui media audiovisual dan internet terutama youtube.com.

Metode Analisis Data

Analisa dilakukan dengan metode kualitatif yaitu mencari kategori dan konsep dari data-data penting yang diperoleh melalui wawancara dan telaah dokumen berisi pernyataan dan pikiran para pelaku teror yang menjadi subjek penelitian. Kategori dan konsep tersebut kemudian dianalisa dengan menggunakan Teori Identitas Sosial (TIS) dan Pendekatan Psikologi Kognitif terutama teori kognisi sosial terkait ideologisasi jihad.

D. T

EMUANDAN

P

EMBAHASAN

Sebagaimana disebutkan di atas, penelitian ini akan melihat keterlibatan dalam terorisme dari perspektif Teori Identitas Sosial dan Ideologi Jihad. Mekanisme psikologis yang akan dijadikan sebagai pijakan untuk menganalisa fenomena bergabungnya seseorang ke dalam kelompok teroris dikenal sebagai isi utama dari Teori Identitas Sosial, yaitu kategorisasi sosial,

perbandingan sosial, identifikasi sosial dan distingsi kelompok yang positif. Sedangkan untuk ideologi jihad akan dilihat dari sisi proses ideologisasi jihad yang dilakukan pimpinan kelompok serta bagaimana pengikut memahami atau mempersepsi ideologi jihad tersebut dan bagaimana kemudian ideologisasi jihad tersebut menggerakkan seluruh energi fisik dan psikis seseorang untuk melakukan aksi teror.

Identitas Sosial dan Keterlibatan Dalam Terorisme

Keterlibatan dalam kelompok teror dimulai dari proses radikalisasi seseorang dalam beragama dan relasi agama dengan bidang-bidang yang lain. Tetapi proses radikalisasi beragama yang dialami seseorang dimulai dari mekanisme psikologis tertentu yang membentuk identitas seseorang, baik personal maupun sosial. Mekanisme pertama adalah kategorisasi sosial yaitu kecenderungan mengelompokkan diri dan orang lain dalam kelompok-kelompok yang berbeda dan saling bertentangan. Dalam kasus terorisme, seorang radikal yang bergabung dalam kelompok teror cenderung mengelompokkan diri dalam kelompok yang dipandang mampu meningkatkan self-esteem dan status yang lebih tinggi dan terhormat sebagaimana terungkap dari pernyataan Id, salah seorang pelaku Bom Bali Jilid 1. Dalam hal ini, menjadi bagian dari kelompok mujahid yang berjihad di jalan Allah mampu membangun perasaan berharga dan status yang tinggi. Id menyatakan pikirannya ketika ditanya kenapa ia memasuki kelompok teror.

“Ceritanya panjang... Tetapi mungkin urutan-urutannya dimulai dari permohonan dan doa saya kepada Allah selama lebih kurang 10 tahun sejak saya memasuki Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki Solo pada tahun 1989. Saya selalu berdoa dan meminta kepada Allah semoga saya diberi kesempatan bergabung di dalam barisan para mujahidin. Keinginan bergabung ke dalam barisan mujahidin telah lama muncul semenjak saya belajar di Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki Solo. Keinginan tersebut terwujud pada tahun 1999.”(Wawancara personal di Pekanbaru, Oktober 2012)

(7)

orang-orang tertentu untuk meraih martabat yang tinggi dalam beragama. Dalam pandangan subjek penelitian, jihad adalah bentuk ibadah tertinggi yang sangat diridhai Allah, oleh karenanya, menjadi bagian dari kaum yang berjihad di jalan Allah dengan sendirinya akan meningkatkan self-esteem di mata manusia dan pengharapan di sisi Allah. Bagi sebagian tersangka teroris di Indonesia, dianggap sebagai teroris atau mujahidin sama saja karena yang paling penting bagi mereka adalah bagaimana memperjuangkan Islam dan umat Islam agar tidak diremehkan dan dilecehkan oleh orang-orang kafir. Dalam perspektif Teori Identitas Sosial, kategorisasi semacam ini sesungguhnya merupakan mekanisme peneguhan diri dan kelompok sendiri sebagai kelompok yang benar dan pada saat yang sama sebagai bentukan penegasan bahwa kelompok lain adalah kelompok negatif yang harus dilawan dan diberantas.21

Mekanisme kedua, dilanjutkan dengan perbandingan sosial. Dalam perspektif Teori Identitas Sosial, kategorisasi sosial akan semakin tajam dan jelas ketika seseorang melakukan perbandingan antara kelompoknya sendiri dengan kelompok lain yang berbeda secara diametral. Perbandingan ini diperlukan sebagai justifikasi bagi dirinya untuk bertindak yang sepadan dengan kelompok lain yang berlawanan dengan kelompoknya.22 Biasanya, perbandingan dengan kelompok lain lebih bersifat prasangka, misalnya sebagaimana terungkap dari pernyataan Id ketika ditanya tentang kenapa harus bergabung ke dalam kelompok teroris.

Ya akhi, mereka kelompok salibis sedang

melakukan konsolidasi dan i’dad (persiapan) untuk menyerang dan menghabiskan kita. Kenapa kita tidak melakukan hal yang sama? Jika kita tidak melakukan hal yang sama maka habislah kita umat Islam. Lihat saja, di Ambon dan Poso, kita dihabisi mereka. Itulah salah satu alasan kenapa saya ingin bergabung dengan para mujahid”(Wawancara personal di Pekanbaru, Oktober 2012)

Dalam perspektif Teori Identitas Sosial, mekanisme perbandingan sosial ini pada kasus konflik tertentu, terutama konflik dalam setting

antarkelompok, membuka ruang balas dendam agar pengalaman negatif yang dialami ingroup

(kelompok sendiri) juga dialami oleh outgroup

(kelompok lawan). Perbandingan sosial dengan kelompok lawan secara psikologis mendorong seseorang untuk berkompetisi dengan anggota kelompok lain agar terjadi kesetaraan dan keadilan dalam pengertian yang luas .23

Mekanisme ketiga, identifikasi kelompok yang sangat kuat juga terjadi pada pelaku teror. Identifikasi yang kuat diindikasikan dengan kekaguman terhadap kelompok sendiri dan pemimpin kelompok, sebagaimana terungkap dari pernyataan Id.

Saya bangga dengan keputusan saya bergabung

dalam kelompok mujahidin walaupun kami dipandang sebagai teroris oleh orang lain. Biarkan mereka memandang apa saja kepada kami, walaupun sangat negatif, karena kami yakin bahwa apa yang kami lakukan ini atas kehendak dan restu Allah. Anda tahu ya akhi, dalam lingkaran para mujahid ini, saya menemukan orang-orang yang hebat dan ikhlas dalam berjuang. Mereka konsisten dengan apa yang mereka ucapkan.” (Wawancara personal di Pekanbaru, Oktober 2012)

Mekanisme keempat, distingsi ingroup yang positif. Mekanisme ini memunculkan mekanisme psikologis yang disebut dengan istilah ingroup

favoritism and outgroup derogation yaitu

kecenderungan menganggap kelompok sendiri lebih baik dibandingkan kelompok lain dan pada saat yang sama menganggap kelompok lain lebih buruk dibandingkan kelompok sendiri. Victoroff menjelaskan bahwa kesan positif adalah harapan dan keinginan yang dicapai oleh semua orang, baik dalam konteks sebagai pribadi maupun sebagai anggota kelompok. Dalam hal ini, faktor ekonomi atau akses ke sumber daya ekonomi mampu membentuk kesan positif baik seseorang, baik dalam kapasitas sebagai pribadi maupun sebagai anggota kelompok. Inilah salah satu

21Henry Tajfel dan John C. Turner, “The social identity theory

of intergroup behavior.” Dalam Psychology of Intergroup Relations, oleh Stephen Worchel dan William G. Austin, 7-24 (Illinois: Nelson-Hall Inc, 1986).

22 Henry Tajfel dan John C. Turner, “The social identity theory

of intergroup behavior.” Dalam Psychology of Intergroup Relations, oleh Stephen Worchel dan William G. Austin (Illinois: Nelson-Hall Inc, 1986), 7-24.

23Hayagreeva Rao, Gerald F. Davis, dan Andrew Ward,

(8)

pembentuk kesan positif yang menjadi ciri khas kelompok.24 Relevan dengan hal ini, seorang narasumber mantan teroris yang penulis wawancarai mengatakan demikian:

Ya akhi, saya menemukan makna persaudaraan

sejati ketika bergabung dengan ikhwan-ikhwan mujahid. Kami itu ibarat satu tubuh, ketika yang satu sakit maka yang lain juga merasakan sakit yang sama. Kami merasa satu fikrah dan satu semangat untuk membela saudara-saudara seiman yang tertindas di berbagai tempat di Indonesia maupun di luar Indonesia. Kesulitan apapun termasuk kesulitan keuangan kami atasi bersama-sama. Pokoknya saya betul-betul merasakan nilai persahabatan di kelompok saya.” (Wawancara personal di Pekanbaru, Oktober 2012)

Ideologisasi Jihad dan Teror

Para ahli seperti Sagemen dan Horgan sepakat bahwa terorisme bermula dari proses radikalisasi terutama dalam beragama dan pemikiran keagamaan, walaupun radikalisasi tidak niscaya akan mendorong seseorang menjadi teroris. Sebab, selain radikalisasi terdapat faktor lain yang bersifat multifaktor yang mendorong keterlibatan seseorang dalam teror. Kendati demikian, ideologisasi jihad patut diduga sebagai faktor yang mendorong keterlibatan individu dan kelompok dalam aksi teror.25

Ideologisasi jihad akan menjadi determinan penting dalam proses pengambilan keputusan bergabung dalam kelompok teror atau keputusan untuk terlibat dalam aksi teror manakala ada interaksi yang intesif antara pemimpin kelompok teror dan individu calon anggota atau anggota kelompok.26

Data lapangan yang diperoleh melalui wawancara dan telaah dokumen memperkuat asumsi bahwa proses ideologisasi jihad mengawali proses radikalisasi pemikiran dan aksi teror pada para teroris pelaku Bom Bali. Wawancara yang dilakukan peneliti dengan Id,

salah seorang pelaku Bom Bali, yang kini bermukim di Pekanbaru menunjukkan hal itu.

Ya akhi, jihad itu adalah ajaran paling tinggi

dalam Islam. Tidak ada gunanya anda berislam jika belum pernah melakukan jihad nyata. Jihad dalam arti perang fi sabilillah atau bergabung dalam kelompok mujahid adalah ajaran utama yang diajarkan Rasulullah. Saya tidak percaya kepada orang-orang yang mengatakan bahwa jihad fi sabilillah untuk saat sekarang ini tidak relevan. Mungkin kalau dikatakan bahwa Indonesia bukan medan jihad, bisa saya terima, tetapi bukan berarti jihad bukan waktunya. Jihad bisa di mana saja, di Afganistan, misalnya.” (Wawancara personal di Pekanbaru, Oktober 2012)

Penempatan jihad sebagai bentuk ibadah yang paling tinggi dalam Islam merupakan isu perdebatan yang cukup hangat di kalangan umat Islam. Pertama, dari sisi kebahasaan dan peristilahan, jihad bagi sebagian besar umat Islam tidak selalu bermakna perang, apalagi melakukan teror. Makna jihad diperluas ke hal-hal di luar perang seperti berjihad untuk memberantas kebodohan dan kemiskinan di kalangan umat Islam. Kedua, bagi sebagian besar umat Islam, jihad yang paling utama bukan berperang melawan musuh tetapi berperang melawan hawa nafsu. Tentu saja, kedua argumen tersebut ditolak habis oleh narasumber penelitian. Bagi mereka, jihad apalagi jihad fisabilillah harus difahami dan dimaknai sebagai perang melawan musuh-musuh Islam. Ujung dari semua proses ideologisasi jihad adalah bagaimana konsep perjuangan tersebut mampu menggerakkan anggota untuk berjuang dengan segalanya demi menerapkan sistem pemerintahan berbasis syariah Islam di Indonesia. Berikut ini digambarkan bagaimana proses identifikasi kolektif dan ideologisasi jihad mendorong seseorang bergabung ke dalam jaringan teror.

Gambar 1

Kelemahan penelitian. Salah satu kelemahan

24Phillips, Peter J, dan Gabriela Pohl, “Terrorism, identity,

psychology and defence economics.” International Research Journal of Finance and Economics, Issue 77, 2011: 102-113.

25Marc Sagemen, Understanding terror network (Philadelphia:

University of Pennsylvania Press, 2004). Lihat juga Horgan, John. “Disengagement from terrorism.” Journal of Personality and Social Psychology, 2011: 56.

26Mirra Noor Milla, Faturochman, dan Djamaludin Ancok,

(9)

penelitian berbasis pendekatan psikologi adalah kecenderungan melihat hal-hal yang bersifat mikro, psikis dan personal dan mengabaikan hal-hal yang bersifat makro dan struktural. Hal ini juga berlaku dengan penelitian ini, yaitu abai untuk menyentuh masalah-masalah yang bersifat struktural seperti perubahan sosial-politik-budaya sebagai konteks peristiwa. Fakta memperlihatkan bahwa respon psikologis teroris seperti proses identifikasi kelompok atau proses ideologisasi jihad tidak terjadi dalam ruang hampa. Ada konteks situasi atau perubahan sosial-politik-budaya pada tingkat global dan lokal yang mempengaruhi semua proses dan mekanisme psikologis yang terjadi pada manusia, termasuk pada kaum teroris atau mantan teroris.

E. P

ENUTUP

Kesimpulan

(10)

D A F T A R P U S T A K A

Ardila, Ruben. “The psychology of the terrorism: Behavioral perspectives.” Dalam The Psychology of Terrorism: A Public

Understanding, oleh Chris E. Stout, 9-16.

Westport CT: Praeger Publisher, 2002.

Borum, Randy. Psychology of terrorism. Florida: University of Florida Press, 2008.

Brown, Rupert. “Social identity theory: Past achievements, current problems and future challenges.” European Journal of Social

Psychology, 30: 6, 2000: 745-778.

Crenshaw, Martha. “The causes of terrorism.”

Comparative Politics, Vol. 13 No. 4 (July 1981).

retrieved 12/3/2012, 1981: 379-399.

Furnham, Adrian. “Belief in a just world: research progress over the past decade.” Personality

and Individual Differences 34 , 2003: 795–817.

Hafez, Mohammed M. “Rationality, culture, and structure in the making of suicide bombers: Preliminary theoritical sythesis and illustrative case study.” Studies in Conflict and

Terrorism, (29), 2003: 165-185.

Hogg, Michael A., dan Dominic Abrams. Social Identifications: A Social Psychology of Intergroup

Relations and Group Processes. London:

Routledge, 1998.

Horgan, John. “Disengagement from terrorism.”

Journal of Personality and Social Psychology,

2011: 56.

Horgan, John. “Individual disengagement: a psychological analysis.” Dalam Leaving Terrorist Behind: Individual and Collective

Disengagement, oleh Tore Bjorgo dan John

Horgan, 17-29. New York: Routledge, 2009.

Jenkins, Richard. Social identity: Key Ideas. New York: Routledge, 2008.

Kruglanski, Arie W., Michele J. Gelfand, dan Rohan Gunaratna. “Aspects of deradicalisation.” Dalam Terrorist Rehabilitation and Counter Terrorism: New

Approaches to Counter Terrorism, oleh Rohan

Gunaratna, Jolene Jerard dan Lawrence Rubin, 135-145. New York: Routledge, 2011.

Lankford, Adam. “Do suicide terrorist exhibit clinically suicidal risk factors? A review of initial evidence and call for future research.”

Aggression and Violent Behavior 15, 2010:

334-340.

Loo, Robert. “Belief in a just world: support for independent just world and unjust world dimensions.” Personality and Individual

Differences 33 , 2002: 703-711.

Milla, Mirra Noor. Mengapa memilih jalan teror:

Analisa psikologis pelaku teror. Yogyakarta:

Gajah Mada University Press, 2010.

Milla, Mirra Noor, Faturochman, dan Djamaludin Ancok. “The impact of leader–follower interactions on the radicalization of terrorists: A case study of the Bali bombers.”

Asian Journal of Social Psychology, 2012: 1-9

DOI: 10.1111/ajsp.12007.

Moghaddam, Fathali M. From the terrorists’ point of view: what they experience and why they come to

destroy. London: Praeger Security

International , 2006.

Moghaddam, Fathalli M. “The staircase to terrorism: A psychological exploration.”

American Psychologist, 2005: 161-169.

Mubaraq, Zulfi. Doktrin Jihad dalam Perspektif

Pelaku Bom Bali. Surabaya: Disertasi PPS

IAIN Sunan Ampel, tidak diterbitkan., 2010.

Muluk, Hamdi. “Teroris kambuh?” Majalah Gatra, 2 September 2009: 106.

Phillips, Peter J, dan Gabriela Pohl. “Terrorism, identity,psychology and defence economics.” International Research Journal of

Finance and Economics, Issue 77, 2011: 102-113.

Post, Jerold. “Addressing the causes of terrorism: Psychology.” The International Summit on

Democracy, Terrorism, and Security. Madrid:

Club De Madrid, 2005. 7-12.

Post, Jerrold M. “The key role of psychological operations in countering terrorism.” Dalam

Countering Terrorism and Insurgency in the 21st

(11)

oleh James J.F.Forest, 380-396. Westport: Praeger Security International, 2007.

Post, Jerrold M., Ehud Sprinzak, dan Laurita M. Denny. “The terrorist in their own words: interview with 35 incarcarated Middle Eastern terrorists.” Dalam The Psyhcology

of Terrorism: Classic and Contemporary Insight,

oleh Jeff Victoroff dan Arie W. Kruglanski, 109-118. New York: Psychology Press, 2009.

Ramakrishna, Kumar. Radical pathways: understanding Muslim radicalization in Indonesia.

Connecticut: Praeger Security International, 2009.

Rao, Hayagreeva, Gerald F. Davis, dan Andrew Ward. “Embeddedness, social identity and mobility: Why firms leave the Nasdaq and join the New York Stock Exchange.”

Administrative Science Quarterly, Vol. 45 No. 2

Juni , 2000: 268-292.

Reid, William H. “Controlling political terrorism: Practicality, not psychology.” Dalam The

Psychology of Terrorism: Public Understanding,

oleh Chris E. Stout, 1-8. Westport CT: Praeger Publisher, 2002.

Sagemen, Marc. Understanding terror network.

Philadelphia, Pennsylvania: University of Pennsylvania Press, 2004.

Sarwono, Sarlito Wirawan. Terorisme di Indonesia.

Jakarta: Alvabet & Lakip, 2012.

Savage, Sara, dan Jose Light. “Mapping fundamentalism: the psychology of religion as sub-discipline in the understanding of religioulsy motivated violence.” Archieve For

The Psychology of Religion (30), 2008: 75-91.

Silke, Andrew. “Cheshire-cat logic: the recurring theme of terrorist abnormality in psychological research.” Dalam The Psychology of Terrorism: Clasic and

Contemporary Insight, oleh Jeff Victoroff dan

Arie W. Kruglanski, 95-108. New York: Psyhcology Press, 2009.

Smelser, Neil J., dan Faith Mitchel. Terrorism: Perspectives from the behavioral and social

sciences. Washington DC: The National

Academic Press, 2002.

Steven, Graeme C.S., dan Rohan Gunaratna.

Counterterrorism: A reference handbook.

California: ABC-CLIO, Inc, 2004.

Tajfel, Henry, dan John C. Turner. “The social identity theory of intergroup behavior.” Dalam Psychology of Intergroup Relations, oleh Stephen Worchel dan William G. Austin, 7-24. Illinois: Nelson-Hall Inc, 1986.

Taylor, Donald M., dan Fathali M. Moghaddam.

Theories of Intergroup Relations: International

Social Psychological Perspectives. Westport:

Praeger Publisher, 1994.

Taylor, Max. “Is terrorism a group phenomenon?” Aggression and Violent

(12)
(13)

TOPIK

WISATA RELIGI DI BALI: GELIAT USAHA

PENGEMBANGAN PARIWISATA ISLAM

M U H A M A D M U R T A D H O*)

A

BSTRAK

Wisata religi menjadi salah satu alternatif yang menarik dalam rangka revitalisasi agama dalam kehidupan masyarakat modern di satu sisi, dan di sisi lain dalam rangka peningkatan kesejahteraan (ekonomi) masyarakat. Bali merupakan salah satu obyek wisata kelas dunia yang ada di Indonesia. Julukan Bali sebagai pulau dewata menunjukkan Bali sebagai pulau religius. Penelitian ini ingin mencoba menggali potensi wisata agama di Bali dari kelompok-kelompok keagamaan di luar Hindu. Mengambil kasus pada potensi pariwisata Islam di Bali, penelitian ini menemukan adanya beberapa potensi wisata keagamaan non Hindu di Pulau Bali dan adanya permintaan wisatawan terhadap layanan wisata yang ramah terhadap pemeluk agama non Hindu seperti kebutuhan makanan halal dan ketersedian fasilitas ibadah yang memadai.

K

ATA

K

UNCI

:

Wisata Religi, Pulau Dewata, Obyek Wisata Islam

A

BSTRACT

Religious tourism serves as an attractive choice in revitalizing religious faith among people in the modern society and an economic improvement for the local society. Bali as one of world-class tourist attractions in Indonesia has been known as the land of god that indicates its religiousness. This study attempts to explore the potential of religious tourism in Bali from the perspectives of non –Hindu people. Focusing on the potentials of Islamic tourism in Bali, this study finds out that there is a high potential for non-Hindu tourism in Bali and that there is a demand for non-Hindu-friendly tourism including the availability of halal foods and decent praying facilities.

.

K

EY

W

ORDS

:

Religious Tourism, Land of God, Islamic Tourism

A. P

ENDAHULUAN

Pulau Bali telah menjadi magnet tersendiri di bumi Indonesia yang mampu mengundang wisatawan mancanegara untuk hadir ke pulau itu. Keunikan yang dimiliki oleh Pulau Bali menjadi daya tarik yang luar biasa. Sebuah keunikan yang terdiri dari kombinasi antara keindahan alam, pantai, budaya, dan agama telah

membangun konstruksi budaya sedemikian rupa sehingga Bali mendapat julukan sebagai pulau dewata. Bahkan setelah pembuatan Film Holywood berjudul “Eat, Pray, Love” yang dibintangi Julia Roberts dan aktor Javier Bardem dengan sebagian besar mengambil konteks Bali, menjadikan Bali semakin mengambil hati masyarakat dunia dan Bali diuntungkan dengan momentum ini untuk mempromosikan diri sebagai pulau cinta. Kehadiran film dari pengarang novel Elizabeth Gilbert itu telah menjadikan Bali sebagai tempat yang semakin dikenal dunia. Peristiwa ini sama seperti dampak *) Peneliti Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Jln. M.H. Thamrin 6 Jakarta. Email: tadho25@gmail.com

(14)

film Lord of The Rings bagi masyarakat Selandia Baru (New Zealand), sebagai tempat latar film itu dibuat. Serta merta kunjungan turis ke negara tersebut meningkat tajam.

Kasus Bali menjadi fenomena menarik, bagaimana peran agama mampu menghadirkan suasana tertentu yang mempunyai daya tarik estetis tertentu. Kasus agama itu terjadi justru pada sebuah agama Hindu, sebuah agama minoritas di negeri mayoritas pemeluk agama Islam di Indonesia. Kemampuan masyarakat Hindu Bali menjadikan agama sebagai spirit menjaga keseimbangan alam melalui sistem Subaknya, dan juga keanekaragaman budaya dan tradisi Hindu telah melahirkan pesona tersendiri bagi Bali seperti eksistensi Banjar, hari raya Nyepi, upacara Odalan, umbul-umbul dari Janur (daun kelapa muda) yang menghiasi setiap sudut daerah di Bali menjadikan pulau itu menjadi tempat yang lengkap dan indah dan menyimpan kenangan tersendiri bagi semua orang yang pernah datang ke tempat ini.

Pengembangan wisata di Bali, diharapkan tidak saja dinikmati oleh umat Hindu di Bali, tetapi juga komunitas agama non-Hindu di Pulau itu. Kemampuan mengembangkan potensi wisata semua agama akan memantapkan Bali sebagai pulau religius (sebutan lain Pulau dewata). Kalau keadaan itu bisa diwujudkan, maka potensi wisata agama non Hindu tidak lagi dipahami sebagai sebuah sesuatu yang kontraproduktif dengan dunia pariwisata di Bali. Keberadaan khazanah agama lain tidak lagi dipahami sebuah ancaman sehingga perlu lahir sikap curiga dan aksi sepihak yang justru tidak menguntungkan dari sisi pariwisata di Bali.

Dari harapan seperti itu, wisata agama di Bali tidak saja disediakan oleh komunitas agama Hindu semata, melainkan juga diikuti oleh pegiat pariwisata dari komunitas agama lain seperti Islam, Kristen, Protestan di Bali. Pengembangan wisata religi berbagai agama bisa dimanfaatkan untuk mengenalkan agama masing-masing dan menunjukkan sikap toleransi masyarakat yang bisa diwujudkan di Bali. Dengan banyaknya wisatawan baik dari mancanegara maupun domestik, di Bali dapat dikenalkan budaya agama yang membangun hubungan simbiosis mutualisme atau hubungan yang saling menguntungkan bagi model relasi keagamaan yang terkemas dalam tema wisata agama. Dari

sini pula dapat ditarik positioning agama yang pas dalam menjawab bagaimana posisi agama dalam dunia pariwisata (tourisme).

Dalam konteks pariwisata di Bali yang disemangati kultur agama Hindu, penelitian ini merumuskan masalah bagaimana potensi khazanah non-Hindu (Islam) di Bali bisa dan mampu menjadi unsur pendukung pengembangan wisata di Bali. Jawaban dari penelitian ini akan menghasilkan model pengembangan wisata agama yang bisa direplikasi di daerah lain. Kehadiran agama selain Hindu dalam turut mengembangkan pariwisata di Bali diharapkan menjadi perspektif baru yang tidak lagi menganggap agama lain sebagai ancaman tersendiri bagi eksistensi Hindu, namun justru sebaliknya dipahami sebagai unsur yang melengkapi dalam memperkuat Bali sebagai pulau religius di satu sisi, dan di sisi lain sebagai tujuan wisata kelas dunia.

Penelitian ini dilakukan dalam rangka membaca potensi wisata religi di Pulau Bali, khususnya potensi yang bisa dilakukan oleh komunitas non Hindu di Bali. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara melacak dalam data kepustakaan, website dan survei di lokasi. Pelacakan data kepustakaan diperlukan untuk memetakan secara menyeluruh potensi wisata Islam yang pernah diangkat oleh penulis lain. Dalam tahapan ini dibantu pelacakan data melalui internet. Selanjutnya survei dilakukan untuk mengonfirmasi kenyatuan faktual yang ada di lapangan, serta mencari keterangan tambahan yang diperlukan dalam kajian ini. Beberapa informasi yang terkait dengan potensi wisata Islam dikumpulkan untuk mendapatkan informasi yang lengkap. Pengumpulan data dilakukan secara snowball, yaitu dari satu informasi digabungkan dengan informasi lain yang terkait. Sumber informasi didapatkan dari wawancara dengan informan-informan yang berhasil dihubungi pengkaji, informasi internet, brosur-brosur atau tulisan mengenai wisata di Bali.

(15)

1 Parwata, Yb. “Konsep Wisata Religi Menurut Agama

Hindu,” www.kemenag. go.id/fileAkses 4 Jan 2014

2 Ketut Sutama. “Pariwisata Spiritual di Bali dari Perspektif

Stakeholders Pariwisata.” Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Desember 2013, Vol.3 No.2 hal.9

atau potensi wisata Islam dan terakhir analisis permasalahan terkait peluang dan tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan wisata Islam di Bali.

Secara konseptual, ada beberapa istilah yang berkaitan dengan wisata religi seperti wisata spiritual. Dengan medan garap yang sama di kalangan muslim sekarang muncul istilah pariwisata Islami dan istilah wisata syariah. Istilah wisata religi dicoba didefinisikan salah satunya oleh Parwata, seorang Pengurus Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) di Jakarta. Menurutnya, dalam Agama Hindu ada beberapa istilah yang berkesesuaian dengan wisata diantaranya istilah Tirta Yatra, Dharma

Yatra, Vita Sagara. Tirtha Yatra atau perjalanan suci,

merupakan suatu kegiatan keagamaan untuk meningkatkan kehidupan spiritual (kerohanian) dengan cara mengunjungi tempat tempat suci kemudian melakukan persembahyangan, melakukan meditasi dan japa. Dharma Yatra, perjalanan suci bagi rohaniwan untuk membabarkan ajaran dharma ketempat tempat yang dianggap suci, Vita Sagara melakukan perjalanan suci dalam bentuk mengarungi lautan/ samudra.1

Konsep Wisata Religi sering dicampur adukkan dengan definisi wisata spiritual. Meminjam pemetaan teoritis oleh Ketut Sutama,2 di kalangan para akademisi terdapat dikotomi antara wisata spiritual (spiritual tourism) dan wisata religi (relegious tourism) dan masih terbuka lebar untuk diperdebatkan. “Religious tourism is far from being a simple concept. A simple quest for religion and travel on a search engine would reveal that there are several terms used in the literature to define travel to religious sites: pilgrimage, religious tourism or faith tourism. In a few studies these terms are used very loosely

and often interchangeably” (Sharpley and Sundaram,

2005:163).

Egresi dkk (2012) lebih cenderung menyebut

pilgrimage dan religious tourism daripada spritual dan

religious tourism. Mereka juga menyatakan bahwa

pengertian pilgrimage dan religious tourism sering dikaburkan. Hal ini terjadi karena tidak menutup

kemungkinan wisatawan memiliki motivasi ganda, berziarah sekaligus berwisata atau berwisata sambil berziarah. Sementara pandangan yang lebih jelas diberikan oleh Sharpley dan Sundaram (2005), mengutip Heelas, Hay dan Socha yang menyatakan bahwa kesadaran spiritual merupakan hal yang alami dan bersifat universal pada diri manusia, tidak terikat oleh agama apa pun. Malah seseorang dapat dikatakan memahami dan memiliki pengalaman spiritual walaupun ia tidak memeluk atau meyakini sebuah agama tertentu.

Rogers (2002) menyatakan spiritualitas merupakan jalan kembali ke dasar pluralitas bentuk agama yang menjadi dasar rasional bagi keberagamaan tanpa batas pada jalan seseorang di dunia. Spiritualitas adalah hal alami dan universal dan oleh karenanya tidak dapat hanya dikaitkan dengan budaya agama tertentu. Berkemenn 2006 (dalam Herntre dan Pechlaner, 2011) menyatakan bahwa secara umum pariwisata spiritual berarti segala bentuk perjalanan wisata yang menyangkut perjalanan pisik dan spiritual. Interaksi antara tubuh (body)

dan pikiran (mind) juga mendapat penekanan dari Bramer (2009) yang menyatakan bahwa spiritualitas adalah pencarian untuk mempersatukan kepala (head), hati (heart), dan badan (body) yang dapat dicapai melalui pergerakan badan pisik menyatu ke alam semesta

(physical movement in nature).

Wisata spiritual adalah wisata mencari pengalaman spiritual yang tidak memandang agama, sedangkan wisata religi terkait dengan perintah agama. Seorang pemeluk Islam yang pergi haji, ia bisa dikatakan berwisata religi sekaligus spiritual. Akan tetapi, kalau ia mengunjungi Pura Besakih misalnya, bisa jadi ia hanya berekreasi, atau mungkin juga mencari pengalaman spiritual, pengalaman batin yang tidak langsung terkait dengan doktrin agama yang dianutnya, melainkan tentang hubungan antara Yang Maha Pencipta dan ciptaan-Nya. Jadi, wisata religi termasuk juga wisata spiritual, namun wisata spiritual belum tentu wisata religi.3 Pitana (2012) menyatakan bahwa sebenarnya wisata spiritual telah hadir di bumi sejak

berabad-3 http://venuemagz.com/September-2012. Akses 11 Januari

(16)

4 http://www.eturbonews.com/30411/Bali

-rapidly-becoming-popular-spiritual-tourism - destination) Akses 11 Januari 2015

5 A. Faidlal Rahman, Konsep Pariwisata Islami dalam “ The

2nd Association of Indonesian Tourism Tertiary Education

Institutions (AITEI) “ di Malaysia, 23 Mei 2013.

abad lalu. Wisatawan spiritual (spiritual tourists) berwisata ke suatu tempat untuk mencari kedamaian dan keharmonisan (peace and harmony), dan mereka kebanyakan orang yang berpendidikan, peduli pada budaya, peduli pada alam dan lingkungan, dan tidak mengganggu siapa pun. Lebih lanjut Pitana menyatakan bahwa wisata spiritual di Bali merupakan gabungan antara budaya dan aspek keagamaan. Wisatawan yang datang ke Bali untuk tujuan spiritual berpengaruh positif bagi Bali. Mereka ke Bali tidak mencari “sun, sea, sand and sex”, melainkan mencari kedamaian batin.4

Dari perspektif Islam, Faidlal Rahman secara khusus mengeksplorasi wisata religi ini dengan konsep pariwisata Islami. Menurutnya, konsep pariwisata Islami merupakan konsep yang masih baru. Pariwisata Islami melibatkan kegiatan, pengalaman atau kesenangan dalam bentuk perjalanan sesuai dengan konsep Islam dan bisa dilakukan melalui sejarah, seni, kebudayaan, warisan, cara hidup, dan ekonomi. Untuk mewujudkan tujuan pariwisata Islami ada lima hal yang harus diupayakan, meliputi sumber daya manusianya, promosi, infrastuktur, kerjasama, dan lembaganya.5

Kajian ini dalam posisi ingin melihat potensi dan praktek wisata religi di luar khazanah Hindu di Bali. Kajian diarahkan pada potensi yang ada dalam khazanah Islam di Bali. Itu artinya, dalam konteks kajian ini awalnya sebenarnya tidak dimaksudkan untuk memilih salah satu definisi tersebut, bahkan dalam beberapa hal cenderung ingin menganggap sama potensi kedua definisi tersebut dalam perpektif sebagai potensi wisata atas nama keagamaan. Namun karena definisi terlanjur diperdebatkan, maka untuk kajian ini memulai dangan memetakan dari dimensi wisata religi.

Karena itu, untuk membaca potensi wisata religi non-Hindu di Bali, dalam hal ini wisata Islam, diajukan pertanyaan-pertanyaan berikut: Apa dan bagaimana permasalahan yang dihadapi dalam usaha merintis wisata religi Islam dalam

lingkup masyarakat Hindu di sana. Bisakah wisata agama non Hindu dapat berkembang di Bali ? Bagaimana peran pemerintah dan apa yang bisa dilakukan oleh pelaku usaha wisata religi non Hindu di Bali ?

B. S

EKILAS

S

EJARAH

P

ERADABAN

B

ALI

Keberhasilan daerah Bali menjadi tujuan kelas dunia tidak bisa dipisahkan dari keberhasilan masyarakat Bali yang mayoritas Hindu. Secara langsung dan tidak langsung, ajaran Hindu di Bali telah mengantarkan pulau ini memiliki khazanah yang mampu menghadirkan obyek wisata pulau ini menjadi eksotik.

Sejarah peradaban Hindu diperkirakan dimulai pada 100 SM. Kebudayaan Bali mendapat pengaruh kuat dari kebudayaan India yang prosesnya semakin cepat setelah abad ke-1 Masehi. Nama Bali Dwipa (pulau Bali) mulai ditemukan di berbagai prasasti, di antaranya Prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada 913 M yang menyebutkan kata

Walidwipa. Diperkirakan sekitar masa inilah

sistem irigasi subak untuk penanaman padi mulai dikembangkan. Beberapa tradisi keagamaan dan budaya juga mulai berkembang pada masa itu. Semasa Kerajaan Majapahit (1293–1500 M) yang berpusat di pulau Jawa yang menganut agama utama Hindu dan pernah menguasai maritim di nusantara ini, pernah mendirikan kerajaan bawahan di Bali pada sekitar tahun 1343 M.

Dalam konteks nusantara, kebesaran Hindu kemudian menyusut seiring dengan kedatangan Islam yang berhasil mendirikan kerajaan-kerajaan Islam di berbagai wilayah. Banyak umat Hindu di berbagai daerah yang beralih ke Islam. Pusat peradaban Hindu yang tadinya di Majapahit, terpaksa runtuh dan dan pusat Hindu bergeser ke Bali. Banyak bangsawan, pendeta, artis dan masyarakat Hindu lainnya yang ketika itu menyingkir dari Pulau Jawa ke Bali. Konsentrasi sumber daya Hindu inilah yang menyebabkan Bali berhasil mempertahankan diri dan mengemas Bali menjadi daerah yang eksotik dan banyak seni budaya nya yang bercorak tradisi besar yang menunjukkan besarnya peradaban Hindu di nusantara masa lalu.

(17)

6 Keunikan dari gereja ini ialah bangunan gereja yang

memadukan arsitektur ghotik dengan Bali. Meskipun gereja ini sudah berusia lumayan senja, namun kondisi dan keadaan didalam gedungnya masih terlihat terawat. Di pintu masuknya, terdapat seperti gapura yang pada umumnya tugu tersebut biasa terdapat di sebuah pura atau perumahan masyarakat Bali pada umumnya. Halaman Gereja Palasari yang banyak ditumbuhi pohon cemara dengan beberapa pembatas halaman gedung gereja yang terdapat sedikit ukir ukiran Bali.

Portugis pernah terdampar dekat tanjung Bukit, Jimbaran, pada 1585. VOC mulai melaksanakan penjajahannya di tanah Bali, rakyat Bali melawan. Namun karena teknologi perang yang terbatas, kekuasaan di Bali berhasil sedikit demi sedikit diambil alih kolonial. Semenjak 1840-an, belanda mengambil alih wilayah utara dan mulai mengincar daerah selatan. Dengan mengadu-domba berbagai penguasa Bali yang saling tidak mempercayai satu sama lain. Belanda melakukan serangan besar lewat laut dan darat terhadap daerah Sanur dan disusul dengan daerah Denpasar. Pihak Bali yang kalah dalam jumlah maupun persenjataan tidak ingin mengalami malu karena menyerah, sehingga menyebabkan terjadinya perang sampai titik darah penghabisan atau perang puputan yang melibatkan seluruh rakyat baik pria maupun wanita termasuk rajanya. Diperkirakan sebanyak 4.000 orang tewas dalam peristiwa tersebut, meskipun Belanda telah memerintahkan mereka untuk menyerah. Selanjutnya, para gubernur Belanda yang memerintah hanya sedikit saja memberikan pengaruhnya di pulau ini, sehingga pengendalian lokal terhadap agama dan budaya umumnya tidak berubah.

Penduduk Bali pada tahun 2014 berdasarkan sensus terbaru pada Januari 2014 berjumlah kurang lebih 4 juta jiwa. Mayoritas beragama Hindu dengan prosentase 84,5%. Disusul Islam sebagai agama terbesar kedua dengan prosentase pemeluk sebanyak 13 %. Selanjutnya Protestan dan Katolik sebanyak 1,7% dan Buddha sebanyak 0,5%. Partisipasi umat non Hindu dalam pembangunan Bali adalah sebuah gagasan dan semangat yang sesuai dengan cita-cita falsafah kita berbangsa, Pancasila.

Dengan latar belakang agama Hindu, obyek wisata agama di Bali kebanyakan merupakan khazanah agama Hindu seperti Pura Besakih yang Pura terbesar di Indonesia, bahkan konon terbesar di Asia. Selain pura Besakih terdapat Hari raya Nyepi yang diwujudkan dalam tradisi di mana semua lampu seluruh kota di Bali dimatikan dan tidak ada aktifitas duniawi yang dijalankan, Hari Raya galungan dan ratusan pura yang tersebar di seluruh Pulau Bali. Banyaknya pura ini menyebabkan Bali memperoleh sebutan negeri para dewa, karena di sana para dewa banyak disembah oleh umat manusia.

Tidak ketinggalan, Katholik juga mempunyai

obyek wisata yang banyak dikunjungi pemeluk Katholik yang kebetulan hadir di Bali seperti gereja Palasari. Menyesuaikan dengan kontek Hindu, Katholik mempunyai gereja dengan warna kultur Bali. Gereja ini dibangun sejak tahun 1940-an oleh Pater Simon Buis yang membuka sebuah hutan Pala yang kemudian diberi nama tempat itu dengan sebutan Palasari (sekarang disebut dengan Palasari Lama). Disinilah Pater Simon membangun sebuah desa yang memiliki Mode Dorf yang berbudaya Bali namun tetap bernuansa Katholik yang kental. Lantas, pada tahun 1955, sebuah bukit di kawasan ini diratakan dan dibangunlah sebuah gereja yang kokoh, yang memiliki arsitektur perpaduan antara Belanda dan Bali. Gereja inipun kemudian diberi nama Gereja Palasari dan diresmikan oleh Pastor Simon Bois. Dan pastor inilah yang kemudian mengenalkan agama Katholik kepada masyarakat Bali secara luas untuk yang pertama kalinya.6

Bagaimana dengan potensi obyek wisata Islam yang ada di Bali ? Ternyata pengkaji menemukan banyak sekali obyek wisata agama Islam di Bali. Obyek-obyek yang sering menjadi obyek kunjungan dalam konteks Islam dapat disebutkan antara lain makam-makam keramat para tokoh Islam awal di Bali, kampung-kampung Islam yang terdapat di hampir semua kabupaten di Bali, masjid-masjid yang unik dan sebagian bersejarah karena merupakan masjid paling awal didirikan di Bali. Lebih lengkap sedikit gambaran untuk masing-masing lokasi di bahas pada sub bab berikut.

Obyek Wisata Muslim di Bali

(18)

7 Berikut makam-makam Keramat di Bali yang disebut Wali

Pitu: 1) Pangeran Mas Sepuh alias Raden Amangkuningrat; 2) Habib Umar Maulana Yusuf; 3). Habib Ali Bin Abu Bakar Bin Umar Bin Abu Bakar Al Khamid; 4) Habib Ali Bin Zaenal Abidin Al Idrus; 5) Syeh Maulana yusuf Al Magribi; 6) Habib Ali Bin Umar Bafaqih; 7) Syeh Abdul Qodir Muhammad lihat Kisah Wali Pitu dari Bali oleh Umi Kalsum nasional.news.viva.co.id/news/read/ 239218-kisah-wali-pitu-dari-Bali Akses 11 Januari 2015

8 Makam Keramat Siti Khotijah dan Pangeran Sosrodiningrat

Di Denpasar Bali. http://achmad-suchaimi- sememi.blogspot.com/2013/07/mjib-24-makam-keramat-siti-khotijah-dan.html akses 11 Januari 2015

di Bali, 2) obyek wisata berupa kampung-kampung Islam, dan 3) obyek wisata berupa rumah ibadah unik dan bersejarah. Pengelompokkan ini belum memasukkan beberapa potensi wisata Islam seperti lembaga pendidikan Islam seperti pesantren dan madrasah yang sebenarnya tak kalah potensial bagi obyek wisatawan muslim yang berkunjung di Bali.

Makam Keramat Islam

Dimulai dari obyek wisata Islam berupa makam keramat tokoh Islam, ada beberapa makam Islam di Bali. Terkait keberadaan beberapa obyek wisata makam keramat di Bali, yang menjadi legenda adalah keberadaan Wali Pitu (Wali Yang Tujuh). Sebutan Wali Pitu di Bali dianalogikan dengan keberadaan wali sanga di Jawa. Berbeda dengan di Jawa, Wali Pitu di Bali hanya julukan kepada tujuh orang perintis Islam di Bali yang satu sama lain barangkali tidak pernah ketemu karena hidup di zaman yang berbeda.7 Beberapa makam keramat yang telah menjadi tujuan ziarah, yang sebagiannya anggota Wali Pitu, antara lain meliputi:

1. Makam Keramat Pangeran Sepuh, Pantai Seseh.

Pantai Seseh terletak di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Jarak tempuh ke lokasi ini lebih kurang 15 km dari kota Denpasar. Makam ini adalah makam Raden Amangkuningrat. Dia adalah anak Raja Mengwi I (Raja di Bali 1690-1722 M) yang menikah dengan puteri Blambangan. Dia tidak dibesarkan di lingkungan istana kraton di Bali, namun dibesarkan ibunya di Blambangan, suatu ketika bertanya pada ibunya siapa gerangan ayahnya. Setelah memaksa akhirnya berkatalah ibunya bahwa dia adalah Putra raja Mengwi I di Bali. Berangkat sang anak ke Bali, namun di sana terjadi salah paham antara anak dan ayah. Kembali lah sang anak ke Blambangan. Namun di tengah jalan, ia dikeroyok orang. Suatu

kesempatan, Raden Amangkuningrat menarik kerisnya dan keajaiban terjadi, semua lawan menjadi lumpuh seketika. Selanjutnya, di akhir hayatnya, sosok raden ini dimakamkan di Pantai Seseh.

2. Makam Keramat Siti Khodijah di Pamecutan. Nama aslinya Ratu Ayu Anak Agung Rai. Makam ini berada di kota Denpasar. Dia dipercaya sebagai orang pertama dari keturunan keluarga dalam keraton di Bali yang masuk Islam. Dia adalah putri Raja Pemecutan Cokorda III yang bergelar Bathara Sakti yang memerintah sekitar tahun 1653 M (Menurut sumber lain, memerintah tahun 1697 dan wafat tahun 1813 M).8 Ada dua versi cerita masuknya Ratu Ayu ke Islam. Versi pertama, dia masuk Islam karena menikah dengan Sosrodiningrat (Senopati dari Mataram) setelah berhasil membantu Raja Pamecutan memenangkan peperangan. Versi kedua, dia diperistri Cakraningrat dari Madura yang berhasil menyembuhkan puteri raja. Raja membuat sayembara, siapa yang mampu mengobati puteri raja maka dia akan dinikahkan dengan puteri tersebut. Ketika hidup di lingkungan keraton, suatu saat terjadi kesalahpahaman antara Siti Khodijah dengan para punggawa. Para punggawa dihebohkan adanya leak (makhluk Jahat) yang masuk istana. Maka semua punggawa berusaha memburunya dan memergoki puteri Khodijah sedang salat malam dan disangkanya sedang melakukan ritual yang menghadirkan Leak. Maka tanpa ragu-ragu seorang punggawa menombak punggung puteri khadijah dan mati seketika.

3. Makam Pangeran Sosrodiningrat di Ubung Denpasar.

(19)

ditangkaplah pangeran itu dan dihadapkan kepada raja. Karena salah tangkap, maka Pangeran Sosrodiningrat ditawari untuk membantu Kerajaan Pamecutan mengalahkan musuh. Kalau perang berhasil dimenangkan, Pangeran Sosrodiningrat akan dinikahkan dengan adik raja. Tawaran itu diterima, dan akhirnya perang berhasil dimenangkan, dan Pangeran menikah dengan keluarga kerajaan dan akhirnya bisa mengajak istrinya masuk Islam. Setelah masuk Islam, Sang istri berganti nama menjadi Siti Khodijah dan merupakan orang pertama dari keluarga keraton yang masuk Islam.

4. Makam Habib Umar bin Yusuf Al-Maghribi di Bukit Bedugul

Makam ini berada di Desa Bungaya Kangin, Kecamatan Bebandem, Karangasem. Nasab Habib Umar diyakini bersambung sampai Rasulullah SAW. Untuk mencapai lokasi makam, para peziarah harus mendaki bukit yang cukup tinggi. Mereka harus sangat hati-hati, karena anak tangganya masih asli dari tanah, tanpa pagar atau pegangan tangan.

5. Makam Habib Ali bin Abu bakar al Hamid di Kusumba Klungkung

Dia adalah guru besar Raja Klungkung, Dhalem I Dewa Agung Jambe. Ia mengajar bahasa Melayu kepada Raja Dhalem I Dewa Agung Jambe dari Kerajaan Klungkung. Sang raja menghadiahkan seekor kuda kepadanya sebagai kendaraan dari kediamannya di Kusamba menuju Istana Klungkung. Suatu hari, pulang mengajar di istana, ia diserang oleh kawanan perampok. Ia wafat dengan puluhan luka di tubuhnya. Jenazahnya dimakamkan di ujung barat pekuburan Desa Kusamba. Malam hari selepas penguburan, terjadi keajaiban. Dari atas makam menyemburlah kobaran api, membubung ke angkasa, memburu kawanan perampok yang membunuh Sang Habib. Akhirnya semua kawanan perampok itu tewas terbakar.

6. Makam Maulana Yusuf al Baghdadi al Maghribi Karangasem.

Tepatnya di desa Bungaya, Bebandhem, Karangasem, Bali. Dia adalah perintis Islam di Karangasem. dimakamkan tidak jauh dari makam Habib Ali bin Zainal Al-Idrus. Di atas makam

tersusun batu bata merah tanpa semen yang tak terawat dan tampak sangat tua. Keistimewaan makam ini terletak ketika makam itu justru selamat dari amukan Gunung Agung yang meletus dengan dahsyat pada 1963. Sejak saat itu orang mempercayai bahwa orang yang dimakamkan di sana adalah orang keramat.

7. Makam Keramat Syeikh Abdul Qadir Muhammad di Temukus

Lokasinya di Temukus Banjar, Bulelang, Singaraja Bali. Nama asli syekh ini adalah The Kwan Lie. Penduduk menyebutnya sebagai Keramat Karang Rupit. Semasa remaja, ia adalah murid Sunan Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. Para peziarah, baik muslim maupun Hindu, biasanya banyak berkunjung pada hari Rabu terakhir (Rebu Wekasan) bulan Shafar. Uniknya, masing-masing mengelar upacara menurut keyakinan masing-masing.

8. Makam Ali Bin Umar Bafaqih di Loloan Jembrana

Ia hidup antara (1890-1997). Ia adalah seorang habib yang mengembangkan Islam di Kampung Islam Loloan Jembrana Bali. Ia dikenal sebagai seorang ulama dan terkadang dimasukkan dalam hitungan ulama ke delapan dari “Wali Pitu” yang ada di Bali. Makamnya di Jembrana banyak didatangi para peziarah yang hadir dari berbagai daerah. Di Loloan Habib Ali mendirikan pesantren Syamsul huda pada tahun 1935. Dari pesantren ini, Ia telah melahirkan banyak ulama & da’i. Santri-santrinya berasal dari berbagai daerah di tanah air. Faktor inilah yang diduga menjadi sebab makamnya ramai dikunjungi para peziarah.9

Kampung-kampung Islam

Selain makam keramat, terdapat obyek wisata Islam di Bali berupa beberapa kampung Islam yang mulai dikunjungi wisatawan luar daerah. Mengenai jumlah kampung Islam di Bali, menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Denpasar - Bali, KH. Mustofa al-Amin, saat ini di Bali terdapat 59 kampung muslim.10 Beberapa

9 Kisah Wali Pitu dari Bali oleh Umi Kalsum

nasional.news.viva.co.id/news/read/239218-kisah-wali-pitu-dari-Bali Akses 11 Januari 2015

10 Cita-cita Tokoh Islam Bali: Insya Allah, Bali Menjadi Jendela

(20)

kampung diantaranya berisi orang-orang asli Bali yang telah memeluk agama Islam. Dari sejumlah kampung muslim yang ada di Bali, beberapa diantaranya yang sering disebut Kampung-kampung Islam utama yang banyak dikunjungi wisatawan meliputi: Kampung Saren Jawa Budakeling Karangasem, Kampung Gelgel di Klungkung, Kampung Kepaon dan Serangan di Denpasar, Kampung Pegayaman di Buleleng, dan Kampung Loloan di Jembrana.

I Made Pageh dkk menyebutkan bahwa terbentuknya kampung-kampung Islam di Bali dilatarbelakangi oleh beberapa sebab seperti: 1) motif dagang orang Islam sehingga bermukim di daerah pelabuhan-pelabuhan kuno di pinggir pantai (Pelabuhan dan Batugambir), yang kemudian ada yang berubah profesi menjadi petani tinggal ke pedalaman. (2) tinggal di pedalaman karena memang di-enclaves-kan oleh raja di daerah khusus. (3) Ikatan patron-klien dikukuhkan dengan perkawinan lintas agama (Kepaon Badung berasal dari Serangan) (4) faktor untuk pertahanan kerajaan dalam memperkuat pasukannya, dijadikan benteng penyebeh puri,

penasihat raja dalam perdagangan, sebagai penerjemah bahasa arab dalam kontak dagang (Islam Gelgel, Angantiga, Kepaon, Loloan) (5) kejayaan dan kemenangan raja menghadiahi tanah tempat permukiman khusus sebagai entitas menyejarah, dan diberikan pemerintahan sendiri sesuai dengan sifat etniknya.11

1. Kampung Gelgel di Klungkung.

Kampung ini dipercaya merupakan tempat awal agama Islam memasuki daerah ini yang saat itu menjadi pusat kekuasaan Bali. Pada abad ke-15, datanglah 40 orang Islam atau wali dari ‘Mekah’ (diduga merupakan sebutan untuk Demak) yang memasuki wilayah Gelgel. Mereka tinggal berdampingan dengan masyarakat Bali yang memeluk Hindu. Awalnya, mereka hanya tinggal berdampingan saja, namun lama kelamaan ada masyarakat lokal yang tertarik kepada Islam. Memang benar bahwa komunitas ini pernah mengajak Raja Gelgel untuk masuk

Islam. Tetapi ajakan mereka belum diterima oleh raja. Awalnya, untuk sementara waktu mereka tinggal di sekitar daerah sungai. Karena kondisi lingkungan yang tidak layak dan mengenaskan, beberapa orang meninggal dan beberapa di antaranya ada yang sakit. Melihat keberadaan kelompok muslim yang mengenaskan ini, Raja Gelgel menjadi simpati dan memberi mereka tempat bermukim di Gelgel. Saat tinggal di Gelgel, akhirnya mereka mendapatkan pengikut dari kalangan rakyat. Kini, di Gelgel terdapat 800 orang pemeluk agama Islam.

2. Kampung Saren Jawa Karangasem.

Mayoritas pemeluk Islam di Karangasem merupakan pendatang dari Lombok Timur (Suku Sasak). Di Amlapura, penempatan kampung Islam dan Hindu dibuat berselang-seling di sekitar puri. Tujuannya adalah selain sebagai garis pertahanan, juga agar masyarakat membaur. Masyarakat Sasak yang tinggal di Karangasem, kini telah membaur dengan masyarakat Bali. Banyak orang Sasak yang telah menggunakan Bahasa Bali. Memang sebagian besar dari mereka sudah tidak fasih berbicara menggunakan Bahasa Sasak, tetapi masih mengerti artinya. Adapula yang masih aktif menggunakan bahasanya, yakni mereka yang tinggal di Karanglongko. Salah satu bentuk akulturasi budaya antara masyarakat Sasak Islam dan Bali adalah Cepung (macapatan) dengan tema umumnya yang mengandung pesan moral agar menjadi manusia yang baik sesuai syariat Islam.

3. Kampung Pegayaman.

Kampung ini terletak di Sukasada, Buleleng, merupakan pusat terbesar agama Islam. Nenek moyang masyarakat yang tinggal di desa ini merupakan pendatang dari Jawa dan Bugis. Konon, dahulu, orang-orang Mataram Islam menuju Bali dengan membawa keris gayam. Juga banyak pohon Gayam di sekeliling desa, sehingga tempat itu disebut Pegayaman. Di Pegayaman memiliki situasi yang sedikit berbeda dengan situasi di tempat-tempat lain di Bali. Tidak ada atribut keagamaan maupun tempat ibadah Hindu baik Pura Puseh, Pura Kelod, maupun Pura Dalem. Sebaliknya, justru terdapat masjid. Yang terbesar di Pegayaman bernama Masjid Jami’ Safinatussalam. Selain bangunan fisik berupa masjid, terdapat pula peninggalan berupa

Al-11 I Made Pageh Dkk. Analisis Faktor Integratif Nyama Bali

(21)

Qur’an yang ditulis tangan, juga pola pendidikan yang mengajarkan Islam pada anak-anak mereka.

4. Kampung Loloan Jembrana.

Kampung ini dirintis oleh Syarif Abdullah bin Yahya Al-Qodri (Syarif Abdullah), Sebuah kampung yang menjadi pusat berkembangnya Islam di Bali. Ia berasal dari Pontianak. Ayahnya adalah seorang Ulama Arab termasyur yang menikah dengan ibunda Raja di Matan. Ia bersama anak buahnya berkelana sampai di Loloan-Jembrana karena berbeda pandangan dengan Sultan Pontianak Syarif Abdurrahman yang mau tunduk kepada pemerintah Belanda. Karena memberontak kepada Belanda, Syarif Abdullah memutuskan untuk pindah ke daerah-yang belum dikuasai oleh pengaruh Belanda.

Rombongan Syarif Abdullah berlayar hingga sampai di Nusa Tenggara Barat dan terus ke barat sampai di Air Kuning-Jembrana pada tahun 1799. Ketika di Bali, Syarif Abdullah disambut dengan baik oleh penduduk yang sudah lama tinggal di sana yang berasal dari suku Bugis bernama Haji Shihabuddin. Syarif Abdullah diantar menghadap kepada Raja Jembrana Anak Agung Putu Seloka. Setelah menghadap raja, Syarif Abdullah diizinkan menetap di Jembrana dan diberikan tempat bermukim di kiri dan kanan Sungai Ijo Gading seluas 80 ha deng

Gambar

Tabel 1Dari asas partai, PPP, PBB dan PKS bisa disebut
Tabel 4Namun demikian, secara teoritis, hubungan
Tabel 6
Tabel 8
+4

Referensi

Dokumen terkait

Kebijakan modernisasi pertanian di Indonesia pada masa Orde Baru yang sering dikenal dengan sebutan Revolusi Hijau merupakan proses memodernisasikan pertanian gaya lama

berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan margin murabahah (Y) dengan nilai signifikasi 0,827 atau diatas 0,05, ini artinya Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia

Sangat baik apabila menunjukkan sudah ada usaha untuk bersikap toleran terhadap proses pemecahan masalah yang berbeda dan kreatif secara terus menerus

[r]

a. Terdapat persamaan dari kelompok tinggi dalam menggambarkan situasi masalah dan menyatakan solusi masalah menggunakan gambar, bagan tabel, dan secara

[r]

Powered by

Tujuan pendidikan di Indonesia mengemban tugas yang sangat penting yang pada hakekatnya untuk meningkatkan kualitas manusia tersebut, maka dalam pelaksanaan proses pendidikan