• Tidak ada hasil yang ditemukan

Meskipun kehadiran pariwisata sedikit demi sedikit mampu meningkatkan kondisi perekonomian masyarakat di Kampung Sawinggrai, namun ada beberapa hambatan yang membuat keterlibatan masyarakat maupun perkembangan pariwisata di wilayah ini tidak dapat berjalan dengan maksimal. Persoalan-persoalan yang masih menjadi kendala antara lain adalah tingkat pendidikan masyarakat atau sumber daya manusia (SDM) yang masih rendah dan buruknya infrastruktur (sarana dan prasarana) yang menghubungkan Kampung Sawinggrai dengan daerah-daerah lain, serta fasilitas-fasilitas penunjang lainnya seperti listrik, air bersih, jaringan telekomunikasi dan faktor-faktor penghambat lainnya. Berikut ini penjelasan faktor-faktor tersebut.

Faktor pertama yaitu, Sumber Daya Manusia. Dalam pengembangan pariwisata di Kampung Sawinggrai selama ini mengalami kendala karena dipengaruhi oleh tingkat pendidikan masyarakatnya. Data berikut ini menunjukkan bahwa hampir semua masyarakat di Kampung Sawinggrai pernah mengenyam pendidikan walaupun hanya sampai pada pendidikan dasar. Tingkat pendidikan bervariasi dari yang menamatkan Sekolah Dasar (SD) berjumlah 73 orang (38,02 %), tamatan SMP berjumlah 12 orang (6,25 %), yang menyelesaikan pendidikan di SMA berjumlah 18 orang (9,37 %) dan lulusan Perguruan Tinggi 3 orang (1,56 %). Sedangkan penduduk yang tidak tidak tamat SD dan tidak mengenyam pendidikan sebesar 86 orang atau 44,79 %. 24.

Data di atas membuktikan bahwa tingkat pendidikan di Kampung Saawinggrai masih sangat rendah. Hal itu juga bisa

disebabkan karena faktor sarana dan prasarana pendidikan yang kurang. Di Kampung Sawinggrai, hanya terdapat satu buah Sekolah Dasar (SD). Itupun bukan sekolah negeri melainkan sekolah swasta yang dikelola oleh Gereja melalui Yayasan Pendidikan Kristen (YPK). Sekolah ini terletak di Kampung Kapisawar. Bila ingin melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, maka anak-anak di kampung ini harus pindah ke ibukota distrik atau ibukota kabupaten. Sedangkan untuk melanjutkan pendidikan SMU / SMK maka para pelajar-pelajar ini harus menuju Waisai atau keluar Raja Ampat. Berdasarkan hal tersebut, sudah bisa ditebak bahwa kontribusi mutu sumber daya manusia dalam mendukung pengembangan pariwisata di Kampung Sawinggrai sangat minim. Beruntung, para pelaku usaha di Kampung Sawinggrai bisa membangun usahanya berdasarkan kemauan dan pengalaman mereka selama bekerja di operator wisata maupun ketika bergabung dengan lembaga-lembaga sosial masyarakat. Hal ini yang kemudian membuat mereka memiliki kemampuan untuk mengelola usahanya dan tetap eksis dan survive hingga sekarang.

Faktor kedua penghambat pariwisata di Kampung Sawinggrai yaitu bidang transportasi. Sektor transportasi merupakan salah satu persoalan utama keterisolasian pemerataan pembangunan di Kabupaten Raja Ampat. Konsekuensi dari daerah kepulauan adalah untuk mencapai dan menjangkau daerah satu dengan daerah lainnya hanya bisa ditempuh dengan transportasi laut. Kondisi itu semakin parah lagi ketika pada bulan-bulan tertentu (bulan Mei sampai September) dilanda angin selatan sehingga membuat arus transportasi menjadi terhambat, akhirnya mobilisasi dari dan ke beberapa kampung atau daerah menjadi terhambat.

Persoalan Telekomunikasi menjadi faktor penghambat ketiga bagi perkembangan pariwisata di beberapa kampung wisata di Distrik Meosmansar Kabupaten Raja Ampat. Informasi dan komunikasi dalam sektor pariwisata yang terjadi di Kampung Sawinggrai sangat tergantung pada sektor telekomunikasi. Komunikasi dari para pelaku usaha wisata dengan para wisatawan yang hendak berkunjung ke kampung ini biasanya terhambat karena persoalan komunikasi yang disebabkan hanya karena jaringan telekomunikasi yang lemah bahkan tidak ada sama sekali. Di Kampung Sawinggrai komunikasi lewat jaringan operator seluler sangat terbatas. Hal ini terjadi karena letak Kampung Sawinggrai

sangat jauh dari Kota Waisai. Untuk memperoleh jaringan operator seluler sangat terbatas atau bahkan tidak terjangkau sama sekali. Sebagai contoh, persoalan komunikasi akibat lemahnya bidang telekomunikasi yang menyebabkan konflik antara pelaku usaha dengan para wisatawan yang hendak berkunjung ke kampung. Berikut ini penuturan Bapak Paulus Sauyai25 :

“Saya pernah buat janji dengan turis (wisatawan) untuk jemput

dorang (mereka) di Waisai, untuk ke kampung untuk tinggal di homestay. Tapi karena masalah tidak ada signal para turis dorang mau hubungi saya tapi tidak bisa dihubungi. Ketong di sini sebagai pengelola usaha jasa wisata sangat bergantung dengan komunikasi dan informasi. Bagaimana ketong (kami) bisa dihubungi atau ketong mau hubungi para tamu kalau alat komunikasi dan telekomunikasi saja susah. Ketong sering dapat marah-marah atau ketong sering dapat komplein dari para tamu karena ketong sering tidak tepat waktu. Memang ketong mengalami kesulitan sekali karena usaha ketong sering kali terganggu karena cuaca dan mau berkomunikasi keluar saja

susah…”

Informasi yang disampaikan di atas menggambarkan bahwa faktor sarana dan prasarana telekomunikasi dan komunikasi sangat berperan penting dalam memajukan sektor pariwisata di suatu daerah. Memang sangat disayangkan hanya karena miscommunication menghambat kunjungan wisatawan ke kampung.

Faktor pendanaan/permodalan menjadi kendala yang sering kali diungkapkan oleh beberapa pelaku usaha dalam menjalankan usaha wisata di kampung ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa faktor pendanaan sangat berperan penting dalam menjalankan suatu program dalam masyarakat. Dalam pengembangan pariwisata di kawasan atau daerah tujuan wisata (DTW), faktor pendanaan masih sangat dibutuhkan dalam rangka membiayai sarana dan prasaran pendukung demi meningkatkan pengembangan pariwisata itu sendiri. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal lewat kegiatan pariwisata, maka pemerintah harus secara tegas dan terprogram mengkucurkan modal atau dana yang secara khusus harus diperuntukkan bagi para pelaku usaha di kawasan daerah tujuan

25 Hasil wawancara dengan Bapak Paulus Sauyaii, pada tanggal 07 Septembar 2011.

wisata (DTW). Sebagai contoh, di Kampung Sawinggrai memang disadari bahwa kucuran dana dari pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Raja Ampat, sering dilakukan dan sudah menjadi program rutin dalam APBD, bahkan mendapat suntikan dana dari APBN berupa dana PNPM Mandiri Pariwisata. Walaupun sudah ada program bantuan subsidi dana dari pemerintah, namun masih sangat kurang dari sisi jumlah nominalnya.

Sebagai contoh, bagaimana para pelaku usaha mengalami kendala dari sisi permodalan untuk melengkapi fasilitas dan sarana parasarana pendukung di homestay tempat usaha mereka. Hal tersebut seperti yang diceritakan oleh Bapak Paulus Sauyai :

“Banyak wisatawan asing yang ingin datang ke homestay-homestay yang ada di Kabupaten Raja Ampat, namun karena tidak punya perlengkapan diving yang lengkap, akhirnya yang selam ini berkunjung ke homestay adalah tamu-tamu yang ingin snorkeling.” 26

Selain persoalan kelengkapan sarana dan prasarana penunjang kegiatan pariwisata yang dikeluhkan oleh para pelaku usaha lokal di kampung, ada juga beberapa pelaku usaha yang dengan usahanya sendiri membangun tanpa adanya bantuan dana dari pemerintah. Sebut saja saudara Mettu Dimara yang dengan biaya sendiri berinisiatif membangun sebuah homestay guna menjalankan usahanya.

“ Kendala saya yang paling utama adalah masalah permodalan.

Saya pernah mengajukan proposal ke pemerintah daerah, tetapi tidak ada tanggapan terhadap proposal yang saya ajukan. Saya bingung mau ke mana lagi saya harus berharap untuk memperoleh bantuan dana untuk membangun homestay saya di ujung kampung yang sampai saat ini belum selesai

pengerjaannya“27.

26

Hasil Wawancara dengan Bapak Paulus Sauyaii pada tanggal 7 September 2011.

27

Hasil wawancara dengan Saudara Mettusael (Mettu) Dimara pada tanggal 27 Agustus 2011 di Kampung Sawinggrai. Saudara Mettusael Dimara atau yang sering disapa Mettu, adalah salah seorang pelaku usaha wisata lokal (masyarakat asli) di Kampung Sawinggrai. Usaha yang ditekuni adalah memiliki sebuah homestay yang sementara dibangun, dan memiliki kemampuan atau potensi dalam kegiatan seni dan kemampuan bahasa Inggris

Penggalan informasi di atas secara tidak sadar mau menunjukkan kepada kita bahwa bagaimana mungkin dana yang begitu banyak digelontorkan untuk membantu masyarakat dalam upayanya mendukung pariwisata, sedangkan di sisi lain masih ada anggota masyarakat yang kekurangan dana untuk menjalankan usahannya dalam memajukan pariwisata di Kampung Sawinggrai.

Penerangan. Selain faktor permodalan, persoalan penerangan atau jaringan listrik menjadi salah satu faktor penghambat di Kampung Sawinggrai, bahkan menjadi persoalan umum di setiap kampung di Kabupaten Raja Ampat. Sampai saat ini, Kampung Sawinggrai belum dialiri jaringan listrik dari PLN. Kondisi topografi yang berbentuk pulau-pulau, membuat keterjangkauan jaringan listrik belum ada sama sekali. Di kampung ini, penerangan sangat tergantung dari ketersediaan bahan bakar solar. Ketika bahan bakar tersebut tidak ada maka genset-genset (mesin pembangkit arus listrik bertenaga rendah) tidak bisa dihidupkan. Ketika itu terjadi, maka kampung akan gelap gulita. Untuk menerangi rumah-rumah di kampung digunakan alat-alat penerangan sederhana yang berbahan bakar minyak tanah; itupun kalau tersedia. Jadi sangat ironis memang, ketika pariwisata Raja Ampat dipublikasikan ke berbagai belahan dunia, dengan berbagai informasi yang aduhai, sedangkan di satu sisi, kesiapan sarana dan prasarana pendukung, khususnya terhadap usaha yang dilakukan masyarakat lokal tidak terpenuhi dengan baik. Bagaimana mungkin kita bisa memberikan suasana rasa aman dan nyaman kepada para wisatawan seperti yang dislogankan oleh Sapta Pesona, yang menjadi ikon Dinas Pariwisata, sedangkan masih banyak kendala dan hambatan penunjang kegiatan yang menghantui aktivitas pariwisata.

Faktor-faktor penghambat yang dijelaskan di atas, memang kalau tidak diselesaikan, maka berbicara pengembangan pariwisata akan berjalan di tempat, bahkan akan mengalami kemunduran. Pengembangan pariwisata di suatu daerah dapat dikatakan berhasil atau tidak, sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sarana dan prasarana penunjang pariwisata itu sendiri. Oleh sebab itu, diharapkan dengan cepat dan cermat ditemukan sebuah formula

yang baik. Sehingga sering kali dia (Mettu) dilibatkan oleh bapak Yesaya sebagai tour guide di kampung.

kebijakan pengembangan pariwisata yang baik untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Diharapkan ketika persoalan-persoalan tersebut ditemukan jalan keluarnya, maka peningkatan ekonomi masyarakat dapat terwujud dengan sendirinya.

Masalah-masalah yang Timbul dari Pengembangan

Dokumen terkait