Pada bagian sub ini, lebih akan membahas berbagai persoalan atau permasalahan yang diakibatkan dari pengembangan pariwisata di kampung Sawinggrai. Beberapa isu persoalan (masalah) yang terjadi dalam pengembangan pariwisata itu, antara lain : permasalahan antara masyarakat dengan pemerindah daerah. Begitupun persoalan yang terjadi antara masyarakat dengan LSM; serta permasalahan antara masyarakat dengan para pelaku usaha lokal; Ada juga, konflik antara para pelaku usaha lokal dengan investor (asing dan domestik); Yang menarik untuk dilihat adalah konflik antara para pelaku usaha lokal di kampung itu sendiri; dan persoalan pengembangan pariwisata antara pelaku usaha dengan pihak aparat desa. Berikut ini pemaparannya.
Masyarakat Vs Pemerintah daerah. Dalam konteks
konflik antara masyarakat dengan pemerintah, sebenarnya bukan hendak digambarkan konflik secara terbuka. Akan tetapi dalam bagian ini, peneliti lebih ingin mencoba menunjukkan berbagai tanggapan masyarakat mengenai peran serta pemerintah dalam pengelolaan pariwisata di kampung Sawinggrai. Contohnya pendanaan yang diberikan tidak secara langsung. Selain itu, pemerintah tidak memberikan perhatian langsung lewat kehadiran atau kunjungan ke kampung untuk melihat perkembangan pariwisata di kampung. Sebagai contoh, saudara Mettu Dimara mengeluhkan, ada sarana berupa sebuah homestay namun kurang koordinasi dalam pengelolaannya, bangunan itu diterlantarkan begitu saja28. Senada dengan apa yang disampaikan oleh saudara Mettu Dimara di atas, Bapak Paulus Sauyai juga mengeluhkan tentang lemahnya peran
28
Wawancara dengan Saudara Mettu Dimara pada tanggal 27 Agustus 2011.
pemerintah dalam membantu mempromosikan kegiatan homestay yang dikelola oleh masyarakat setempat.
Masih dengan persoalan yang sama mengenai peran pemerintah yang dinilainya kurang mampu untuk menjalankan tugasnya, Bapak Paulus Sauyai mengatakan bahwa :29
“Dinas Pariwisata selama ini tidak membantu pelaku usaha
wisata, untuk orang asli Papua, usaha yang ketorang (kami) lakukan adalah usaha ketong (kami) sendiri. Menurut saya, pelaku usaha orang Papua, banyak yang sudah mampu, namun tidak diberdayakan. Jadi selama ini, saya melihat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Raja Ampat, hanya fokus pada investor (Resort Waiwo, Raja Ampat Develop, Papua Daving,
Misool Eco Resort, dsb).”
Sama dengan penjelasan atau informasi diatas, bapak Paulus Sauyai juga menambahkan bahwa30 :
“Pendanaan dari dinas tidak mencapai sasaran. Sebagai contoh,
setelah dana bergulir, pihak dinas yang menentukan penggunaan dana tersebut. Dana tidak secara mandiri dikelola oleh pelaku usaha. Seharusnya pengelolaan dana, dikoordinasikan oleh kepala kampung untuk digunakan dalam rangka mendukung
kegiatan pariwisata “
Faktor pendanaan lagi-lagi menjadi salah satu faktor yang
seringkali menimbulkan konflik antara pihak pemerintah dan masyarakat lokal. Hal-hal ini yang kemudian menimbulkan kemarahan masyarakat terhadap pemerintah. Seringkali masyarakat dianggap belum mampu untuk mengelola dana yang diberikan untuk menjalankan usahanya. Sebagai contoh, berikut petikan wawancara peneliti dengan saudara Mettu Dimara.31 :
“Kapankah Pemda Raja Ampat mengangkat masyarakat
pribumi / lokal menjadi setara/sederajat dengan investor tersebut. Berbicara menyangkut kemampuan masyarakat Raja Ampat, sudah banyak yang mampu untuk mengelola usaha
wisata, namun belum diberikan kesempatan.”
Dari informasi ini, dapat dilihat bahwa ada kecenderungan bahwa pihak pemerintah masih belum secara terbuka memberikan
29
Wawancara tanggal 7 Agustus 2011. 30
wawancara tanggal 7 Agustus 2011. 31
kesempatan kepada masyarakat dalam menjalankan usahanya. Pemerintah masih lebih melihat fokus pada pihak swasta dalam mengembangkan sektor pariwisata di Raja Ampat.
Masyarakat Vs LSM. Secara kasat mata memang terlihat
bahwa kehadiran LSM di kampung-kampung di Raja Ampat selalu membawa angin perubahan dalam memberikan pendampingan dan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat tentang pemeliharaan lingkungan hidup. Selain itu, peran LSM juga tidak hanya terfokus pada pendidikan lingkungan semata, melainkan juga berperan lebih banyak mengembangkan ekonomi kerakyatan masyarakat. Misalnya, sebagai bukti riil, beberapa LSM memberikan bantuan modal untuk membantu masyarakat dalam menjalankan usaha mereka, seperti memberikan bantuan kepada kelompok ibu-ibu dalam menjalankan usaha kerajinan tangan dan kegiatan-kegiatan lainnya yang secara tidak langsung dapat membantu kesejahteraan keluarganya.
Akan tetapi, peneliti juga menemukan bahwa ada ketidak cocokan antara kedua belah pihak. Ketidakcocokan itu dijumpai, misalnya, ada sebagian anggota masyarakat merasa bahwa kehadiran LSM - khususnya memberikan pendidikan dan perlindungan lingkungan laut -, secara tidak langsung menghambat dalam mata pencaharian mereka yang didominasi oleh aktivitas sebagai nelayan. Berikut ini petikan wawancara dengan bapak Martinus Sauyai. mengenai kondisi tersebut32 :
“Dulu sebelum kampung ini belum ada LSM-LSM yang datang, ketorang (kami) ingin pergi cari ikan, tidak harus pergi jauh-jauh dari kampung. Cukup ketorang ke depan kampung (maksudnya mencari di sekitar perairan kampung) saja ketorang sudah dapat ikan. Sekarang setelah LSM-LSM ini dorang datang ke kampung, ketorang masyarakat di kampung harus pergi jauh untuk mencari tangkapan ikan untuk pake (dimanfaatkan untuk) makan sehari-hari. Habis, LSM-LSM itu dorang (mereka) larang ketorang tangkap ikan di depan kampung lagi, karena lokasi pantai dorang sudah jadikan sebagai Daerah Perlindungan Laut (DPL). Ketorang
masyarakat jadi repot, karena harus pergi mencari jauh lagi. “
Masyarakat Vs Pelaku Usaha lokal. Dalam konteks ini,
keterlibatan masyarakat lokal dalam aktivitas kegiatan pariwisata di
kampung Sawinggrai sangat jarang terlihat. Yang banyak mendapat tempat dan porsi dalam kegiatan pariwisata di kampung adalah anggota masyarakat yang secara garis kekeluargaan lebih dekat dengan keluarga para pelaku usaha. Misalnya, anggota masyarakat yang sering dilibatkan oleh bapak Yesaya dan Paulus. Secara umum, keterlibatan masyarakat dilakukan apabila ada kunjungan dari pemerintah kabupaten atau ada tamu-tamu yang berkunjung ke kampung. Dalam situasi ini, biasanya masyarakat bergotong royong membersihkan kampung atau bersama-sama menyiapkan acara penyambuta.
Dari segi menjaga kondisi kebersihan lingkungan kampung, menurut bapak Yesaya, Masyarakat kampung dari sisi menjaga kebersihan lingkungan masih sangat rendah. Itu bisa dilihat dari kondisi kampung yang terkesan kotor dan kurang terawat dengan baik. Kondisi ini bisa juga disebabkan karena tidak adanya kegiatan bersih-bersih kampung yang dilaksanakan secara bersama dengan diprogramkan secara baik. Sebagai contoh, pada suatu ketika ada anggota masyarakat yang dengan sengaja pergi ke hutan dan menebang pohon-pohon di mana di lokasi tersebut merupakan tempat bermainnya burung Cenderawasih. Ada juga yang mencari burung Cenderawasih untuk digunakan sebagai tebusan dalam mencari pekerjaan (melamar sebagai anggota TNI / Polri). Ini merupakan beberapa contoh yang disampaikan oleh Bapak Yesaya dalam diskusi-diskusi yang dilakukan dengan peneliti selama melakukan penelitian di kampung Sawinggrai. Dengan kata lain, informasi tersebut, menunjukkan kesadaran masyarakat masih rendah tentang lingkungan.
Persoalan yang diceritakan bapak Yesaya, sebelumnya bisa disebabkan (mencerminkan) kekesalan – ketidaksenangan – beberapa anggota masyarakat yang merasa sebagai pemilik hak ulayat tanah di mana terdapat pos pemantauan burung Cenderawasih, yang selama ini dikelola oleh Bapak Yesaya. Untuk melihat hal tersebut, simak pernyataan bapak Berts Saori mengenai konflik hak ulayat yang terjadi.33
“ Sejujurnya kalau saya melihat ada masyarakat yang terlibat dan ada juga yang malas tahu. Masyarakat ada yang mengeluh, karena ada masyarakat yang merasa memiliki hak ulayat tanah
33
di atas lokasi yang digunakan pak Yesaya sebagai lokasi taman wisata, tetapi ketika para wisatawan datang berkunjung dan mereka memberikan uang, uang tersebut tidak pernah dibagikan kepada mereka yang juga merupakan pemilik hak ulayat tanah. Hal-hal ini, yang kemudian membuat anggota masyarakat menjadi kecewa sehingga terjadi ketidakharmonisan di dalam
kampung…”.
Selain persoalan (masalah) pengelolaan tanah hak ulayat antara masyararakat lokal denga pelaku usaha lokal, ada persoalan lain yang juga turut memberikan andil dalam menciptakan hubungan yang kurang harmonis antara masyarakat dan pelaku usaha lokal di kampung Sawinggrai. Persoalan itu menyangkut pengelolaan dana yang diberikan oleh pemerintah daerah – Dinas Pariwisata dan Kebudayaan -, yang dianggap hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu dalam pemanfaatannya. Informasi yang disampaikan bapak Berts Saori, menunjukan hal tersebut.
“…Sejujurnya, kalau yang saya ketahui dan sering
diperbincangkan masyarakat di kampung adalah menyangkut pendanaan yang hanya menguntungkan satu pihak saja. Selain itu pemanfaatan dana yang juga tidak digunakan oleh pemerintah kampung untuk mendukung program pengembangan pariwisata di kampung. Saya pernah mengusulkan, agar setiap tahunnya kita mendapatkan dana dari pemerintah lebih baik kita gunakan untuk membangun homestay yang dikelola oleh masyarakat secara umum. Bukan dikelola oleh perorangan yang mengatasnamakan
masyarakat”34.
Selain pandangan di atas, saudara Mettu Dimara juga menyampaikan pandangannya menyikapi konflik antara para pelaku usaha – dalam hal ini, keberadaan bapak Yesaya – dengan masyarakat di kampung Sawinggrai, terkait perilaku bapak Yesaya yang dianggap terlalu keras dan protektif dalam melindungi kondisi lingkungan di Kampung.
“ Pa Yesaya di mata masyarakat dianggap sebagai salah satu
penggerak pariwisata di Kampung Sawanggrai yang secara tidak sadar dengan usaha-usaha yang dilakukannya mendatangkan wisatawan ke kampung sekaligus usahanya tersebut membuat kampung Sawanggrai ditetapkan sebagai kampung wisata. Namun sering kali Pa Yesaya juga sering dianggap oleh masyarakat lebih mementingkan kepentingannya
34
sendiri dibandingkan kepentingan masyarakat kampung, Misalnya, kadangkala Pa Yesaya menekan masyarakat – dalam arti terlalu keras dalam menjaga kelestarian lingkungan kampung -, sehingga masyarakat mengeluh”35
Dari berbagai data informasi di atas, jelas bahwa dalam pengembangan pariwisata di kampung Sawinggrai, sarat akan persoalan antara pelaku usaha dengan masyarakat sendiri. Pemasalahan hak ulayat tanah adat, pengelolaan permodalan dan kehadiran sosok bapak Yesaya yang keras dan tidak pandang kompromi, secara tidak langsung kalau tidak disikapi dan diselesaikan akan memperlambat proses pengembangan dan kemajuan pariwisata di kampung Sawinggrai.
Pelaku usaha lokal Vs Investor (Domestik dan Asing).
Perkembangan pariwisata di Raja Ampat mengalami kemajuan yang sangat pesat. Perkembangannya itu bisa dilihat dengan berkembangnya usaha pengelolaan operator pariwisata. Di Raja Ampat usaha ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Perkembangan industri pariwisata secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat lokal. Kondisi saat ini bisa dilihat dari bagaimana aktivitas masyarakat lokal dalam mengusahakan usaha jasa wisata pengelolaan homestay di Raja Ampat serta bertambahnya investor yang semakin banyak yang menanamkan modalnya di Raja Ampat.
Perbedaan yang mencolok antara para pelaku usaha wisata lokal dengan para investor dapat dilihat pada penjelasan berikut ini. Pelaku usaha hanya memiliki lahan, modal semangat, menguasai kondisi lingkungan karena sejak awal mereka dibesarkan sebagai putra daerah di lokasi wisata. Sedangkan para investor memiliki segala-galanya dalam menjalankan usahanya. Kekurangannya dari sisi SDM yakni tidak menguasai bahasa asing/bahasa Inggris, pengelolaan homestay yang belum profesional serta belum memiliki sertifikat diving yang merupakan dasar dalam menunjang tugas seorang pemandu selam ataupun sebagai pemandu wisata - para wisatawan asing kebanyakan tidak mau dilayani kalau para pemandu
35
Wawancara dengan Saudara Mettusael Dimara, pada tanggal 27 Agustus 2011 di Kampung Sawinggrai.
lokal tidak dibekali maupun tidak memiliki sertifikat instruktur penyelaman. Berikut ini penjelasan bapak Paulus Sauyai bagaimana para pelaku operator wisata asing dalam memperlakukan pemuda-pemuda lokal dalam usaha kegiatan wisata.
“Sebagai investor Di Raja Ampat, dorang (mereka para investor) sangat hati-hati untuk membina putra daerah. Atau dengan kata lain, mereka tidak mau mendidik putra daerah
menjadi pelaku usaha.”36
Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Paulus Sauyai di atas, data di bawah ini menunjukkan bagaimana konflik antara para pelaku usaha lokal dengan para investor luar dalam menjalankan usahanya di Kampung Sawinggrai :
“Pernah terjadi konflik antara Pa Yesaya dengan bapak Max
Ammer. Satu kali (suatu waktu) pa Yesaya pernah kasih rusak speedboadnya pa Max, gara-gara pa Max tidak bayar uangnya Pa Yesaya dengan baik. Hal itu bikin (membuat) Pa Yesaya melarang tamu-tamunya pa Max untuk datang ke kampung untuk melihat burung Cenderawasih. Hal yang buat pa Yesaya marah sampe (sampai) kasih rusak perahunya pa Max dengan potong pake parang, dan mengancam pa max untuk harus bayar uang jasa yang telah dorang (mereka) janji sejak awal dalam
perjanjiannya”.37
Informasi di atas menggambarkan bahwa para pelaku usaha tidak takut untuk secara langung berhadapan dengan para investor asing dalam menjalankan usaha wisata di Raja Ampat. Informasi tambahan yang diperoleh peneliti dari bapak Yesaya Mayor tentang peristiwa tersebut, bermula ketika kampung Sawinggrai sering mendapat kunjungan wisatawan yang ditangani oleh perusahaan Mr. Max Ammer. Untuk memudahkan dan menghindari pungutan atau pembayaran jasa mengamati burung cenderawasih pada wisatawan, maka Mr. Max Ammer bekerjasama denga bapak Yesaya Mayor dalam hal pembiayaan. Maksudnya adalah ketika para wisatawan membayar biaya paket kunjungan wisata ke kampung Sawinggrai, maka biaya tersebut akan diberikan kepada bapak Yesaya Mayor lewat operator perusahaan milik Mr. Ammer. Oleh karena itu, ketika para wisatawan berkunjung ke kampung
36
Wawancara dengan Bapak Paulus Sauyai, pada tanggal 07 September 2011.
37
tidak perlu lagi untuk membayar uang ke bapak Yesaya. Namun dalam perjalanan waktu, proses pembayaran tidak berjalan sesuai dengan kenyataannya. Menurut bapak Yesaya, jumlah kunjungan wisatawan banyak, namun tidak sesuai dengan harga yang harus diterima oleh beliau sehingga ia mengancam dan merusak fasilitas speedboat milik Mr Max Ammer.
Pelaku usaha lokal vs pelaku usaha lokal sendiri di kampung. Ada hubungan kerjasama antara para pelaku usaha
dengan sesama pelaku usaha. Seperti contoh ketika bapak Paulus Sauyai membutuhkan perahu Bapak Yesaya Mayor, maka jika perahu itu tidak digunakan oleh bapak Yesaya maka akan dipinjamkan kepada bapak Paulus.
“Saya melihat hubungan kami selaku para pelaku usaha di
Kampung Sawinggrai tidak ada konflik. Sebagai contoh, saya punya tamu, maka saya akan serahkan ke Pa Yesaya untuk diantarkan ke hutan untuk melihat burung Cenderawasih.”38
Hubungan yang kurang baik terlihat antara Saudara Mettu Dimara dengan bapak Yesaya. Ketidakharmonisan itu terlihat dari ketidak cocokan antara bapak Yesaya dengan Mettu, sehingga Mettu yang pada saat ini sedang membangun usahanya sendiri dengan membuat sebuah homestay. Dari pandangannya Saudara Mettu Sauyai, usahanya tersebut tidak terlalu mendapat respons positif dari para pelaku usaha homestay usaha lainnya. Berikut pernyataan saudara Mettu Dimara :39
“Sejujurnya saya melihat, sebenarnya ada ketidak senangan antara sesama pelaku usaha. Saya kasih contoh, misalnya pada saat ini saya sedang membangun homestay saya sendiri. Sering kali ketika saya bermain ketempatnya Pa Yesaya, saya sering tidak mendapatkan dukungan positif tentang pembangunan homestay tersebut. Saya sering dikatakan kenapa harus membangun homestay,,??. Namun saya anggap itu angin lalu saja. Jadi sejujurnya hubungan saya dengan Pa Yesaya kurang baik atau tidak harmonis lagi seperti dulu. Kalaupun sekarang saya sering ke homestaynya Pa Yesaya untuk membantunya,
itupun karena ada hubungan saudara.”
38
Wawancara dengan Saudara Mettu Dimara pada tanggal 27 Agustus 2011.
39
Wawancara dengan Saudara Mettu Dimara pada tanggal 27 Agustus 2011.
Sejalan dengan pernyataan saudara, Mettu Dimara diatas, hal yang sama juga disampaikan oleh Bapak Berts Saori. Berikut pernyataannya :
“ Selain itu, Pa Mayor juga tidak setuju kalau ada anggota masyarakat lain yang ingin membuat homestay sendiri. Saya pernah diceritakan sama Saudara Mettu, kalau usahanya membangun homestay mendapat halangan dan tidak mendapat
dukungan dari Pa Yesaya.”
Pelaku usaha vs Pemerintah desa. Di Kampung
Sawinggrai terlihat jelas sekali hubungan yang kurang harmonis yang terjadi antara aparat kampung dalam hal ini kepala kampung, dengan para pelaku usaha terutama bapak Yesaya Mayor. Bapak Paulus Sauyai, memberikan informasi tentang bagaimana pengelolaan dana dari pemerintah daerah berupa dana respek40 yang bersumber dari dana otonomi khusus.
“…Secara pribadi menurut saya, aparat kampung mereka dalam
mengambil keputusan dan kebijakan selalu mengecewakan masyarakat. Misalnya, tahun 2011 dana yang diterima 200 juta, penggunaan dananya tidak digunakan untuk membangun sesuatu ke arah pariwisata. Sebagai contoh pembelian mesin jahit kaki, dalam hubungan dengan pariwisata seperti apa?
Menurut saya tidak ada hubungan dengan usaha wisata.”41
Hal yang sama juga dilontarkan atau disampaikan oleh bapak Paulus Sauyai menyangkut bagimana mekanisme dan prosedur dalam pengelolaan dana yang diberikan oleh pemerintah kabupaten, dalam hal ini dinas pariwisata.
“Pembahasan penggunaan dana 200 juta rupiah tidak pernah
dibicarakan secara bersama-sama dengan masyarakat,
khususnya dengan kami para pelaku usaha.”
Informasi ini, menunjukan bahwa ada terjadi kekurangan harmonisan antara para pelaku usaha, masyarakat dan apara kampung dalam membicarakan dan merencanakan pemanfaatan dana yang diberikan pemerintah daerah untuk kemajuan dan pembangunan kampung Sawinggrai.
40
Dana Respek / dana PNPM Mandiri adalah danah yang diberikan kesetiap kampung. Dana ini sebesar 100 juta sampai dengan 200 juta per tahun.
41
Hasil wawancara dengan Bapak Paulus Sauyai, pada tanggal 07 September 2011.
Kesimpulan
Dalam bagian ini, ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil sebagai catatan penutup bab ini, antara lain ; Pertama. Sejak awal, kampung Sawinggrai tidak atau belum dianggap sebagai daerah tujuan wisata di Raja Ampat oleh pemerintah daerah. Namun dengan kegigihan dan keuletan komunitas masyarakat dalam hal ini perjuangan bapak Yesaya Mayor dalam mengelola hutan dan mengembangkan lokasi pengamatan burung Cenderawasih, akhirnya saat ini, kampung Sawinggrai berubah menjadi salah satu daerah alternatif kunjungan wisatawan ke Raja Ampat. Dengan potensi obyek wisata yang dimiliki oleh Kampung Sawinggrai khususnya keberadaan burung Cenderawasih dan beberapa obyek wisata lainnya, (telah) membuat kampung Sawinggrai menarik untuk dikunjungi. Kedua, ada sosok pelaku usaha (inisiator) yang berusaha memajukan usaha wisata, dengan tetap menjaga kondisi lingkungan alam lewat kegiatan konservasi, dengan pendekatan pengetahuan lokal (local knowledge) dan kearifan lokal (local wisdom).
Selain itu yang menarik dari peran pelaku usaha ini (bapak Yesaya) adalah apa yang dilakukannya pada pada awalnya bukan untuk kepentingan pariwisata, melainkan bertujuan untuk melindungi hutan dibelakang kampungnya. Sehingga apa yang dirintisnya menjadi bermanfaat bagi masyarakat di kampung Sawinggrai. Ini yang kemudian, menjadikan peran ketokohan (actor) bapak Yesaya menjadi salah satu faktor ditetapkannya kampung Sawinggrai sebagai kampung wisata di Raja Ampat. Ketiga, ada aktivitas pariwisata yang dilakukan oleh masyarakat lokal di kampung Sawinggrai. Namun, untuk saat ini masih (hanya) digeluti oleh beberapa anggota masyarakat. Itu dimaklumi, mengingat perkembangan kampung Sawinggrai, belum terlalu lama dikelola sebagai kampung wisata.
Dari hasil penelitian peneliti di kampung Sawinggrai terlihat bahwa masih dijumpai kebanyakan dari masyarakat belum menganggap sektor pariwisata sebagai salah satu faktor penting dalam pemenuhan kebutuhan hidup rumah tangga mereka. Namun ada kesadaran dari beberapa anggota masyarakat untuk secara sadar dan terus melakukan aktivitas konservasi lingkungan dalam rangka mendukung pengembangan pariwisata di kampung Sawinggrai. Masyarakat sadar bahwa keberadaan lingkungan yang terjaga akan
dengan sendirinya membawa pengaruh positif terhadap perkembangan pariwisata di kampung ini. Peran serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) menjadi institusi yang secara tidak langsung berperan aktif dalam kemajuan memberikan pemahaman dan pendidikan terhadap konservasi lingkungan dalam rangka mendukung pengembangan pariwisata di kampung Sawinggrai.
Disadari bahwa, ada manfaat dari pengembangan pariwisata bagi komunitas masyarakat lokal di Sawinggrai, namun disatu sisi ada konflik kepentingan yang timbul akibat dampak dari pengembangan pariwisata itu sendiri. Salah satu faktor lainnya yang juga menjadi penting untuk dilihat adalah absennya negara / pemerintah dalam pengembangan pariwisata dalam hal ini memberikan perhatian secara nyata atau langsung – terjun / hadir - ke masyarakat di kampung Sawinggrai, menjadi salah satu faktor mendasar dan menjadi perhatian pemerintah daerah dalam mendukung perkembangan pariwisata di Raja Ampat yang berbasis komunitas.