• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENENTUAN HAK RESTITUSI TINDAK PIDANA

HAMBATAN-HAMBATAN JAKSA DALAM PENENTUAN HAK RESTITUSI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

B. Hambatan Eksternal yang berasal dari luar Kejaksaan

hukum tidak dibenahi, hukum senantiasa dijadikan alat kejahatan. Kemudian, belum memadainya kualitas dan kuantitas aparat penegak hukum yang memiliki keahlian khusus dalam penyidikan kasus perdagangan perempuan dan anak. Kecenderungan aparat penegak hukum masih menggunakan KUHP daripada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dalam proses penjatuhan hukuman pada pelaku.

B. Hambatan Eksternal yang berasal dari luar Kejaksaan

Salah satu faktor eksternal penghambat yang berasal dari luar Kejaksaan adalah masalah kelemahan peraturan. Setidaknya ada beberapa kelemahan peraturan perundang-undangan mengenai pemberian restitusi terhadap korban kejahatan, yakni :55

1. Ada polarisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pemberian restitusi kepada korban kejahatan yang cenderung saling bertentangan. Misalnya, pengaturan restitusi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang didelegasikan secara teknis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Dalam beberapa hal, aturan itu bertentangan dengan Pasal 98 KUHAP mengenai penggabungan perkara, khususnya terkait dengan hukum acara yang akan digunakan. Praktis hal ini membuat penegak hukum cenderung memilih menggunakan ketentuan KUHAP karena aturan hukumnya dianggap lebih pasti dan aplikatif;

      

55

http://www.tempo.co/read/kolom/2013/01/24/641/Tantangan-Berat-Restitusi-Korban-Kejahatan diakses pada tanggal 8 April 2013.

  2. Tumpang-tindihnya pengaturan mengenai restitusi terhadap korban kejahatan. Setidaknya ada tiga peraturan yang mengatur tentang pemberian restitusi terhadap saksi dan korban kejahatan, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban; Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat; serta Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Ketiga peraturan tersebut mengatur aspek yang sama dengan obyek yang berbeda. Implikasinya, secara yuridis formal, justru menghambat pelaksanaan restitusi dan cenderung menimbulkan masalah baru karena tidak ada standar dan prosedur yang sama serta cenderung memunculkan ego sektoral;

3. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, jangkauan restitusi dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan ataupun penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Sedangkan dalam KUHAP tentang ganti kerugian hanya terfokus pada kerugian yang nyata akibat tidak pidana. Jadi, dalam prakteknya, hanya kerugian-kerugian materiil yang bisa diperiksa oleh Hakim. Tuntutan ganti rugi atas kehilangan bagi korban dianggap sebagai bersifat imateriil sehingga harus menggunakan mekanisme hukum perdata; 4. Lemahnya daya paksa dan eksekusi pelaksanaan restitusi. Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tidak mengatur tentang daya paksa untuk melakukan pembayaran dan lembaga mana yang

  berwenang mengeksekusi pelaksanaan restitusi tersebut. Artinya, jika pelaku tidak mampu dan tidak mau membayar restitusi kepada korban, hal itu tidak berakibat hukum dan menimbulkan implikasi apa pun bagi pelaku. Praktis hal ini telah mencederai hak korban unutk memperoleh ganti kerugian.

Dalam kasus tersebut menurut Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara yaitu Ibu Emy Suryati Lubis, S.H., terdapat hambatan Jaksa dalam penentuan hak restitusi. Menurut beliau adapun yang menjadi faktor penghambat secara eksternal yang berasal dari luar Kejaksaan adalah sebagai berikut :56

a. Faktor hukumnya sendiri, disebabkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang masih terlalu rumit karena Undang-Undang tersebut dianggap belum tegas mengatur hukuman pidana dan denda kepada pelaku. Kemudian pemberian jumlah ganti kerugian belum diatur secara terperinci dalam Undang-Undang ini;

b. Faktor sarana dan prasarana, tidak adanya tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, terorganisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup merupakan faktor penghambat tersendiri didalam penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang (trafficker) dan pemberian resituti kepada korban;

c. Faktor masyarakat, pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah menjadikan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang menjadi lambat dan terhambat untuk ditegakkan sehingga       

56

Hasil wawancara dengan Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara yaitu Ibu Emy Suryati Lubis, S.H., pada tanggal 15 April 2013.

  mengakibatkan restitusi tidak dicantumkan dalam amar putusan pengadilan. Sebab apabila masyarakat menyadari ia adalah korban kekerasan, maka yang patut dipersalahkan adalah pelaku kejahatan, sedangkan korban adalah orang yang tidak bersalah. Pada umumnya para korban tidak mau kasusnya diselidiki sebab merasa malu dan menganggap sebagai aib keluarga;

d. Faktor kebudayaan, peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat maka akan semakin sulit untuk melaksanakan atau menegakkan peraturan hukum tersebut. Maka secara otomatis resititusi tidak terlaksana dengan baik;

e. Faktor aparat birokrasi di daerah yang masih belum memiliki kesadaran hukum yang sangat tinggi, khususnya berkaitan dengan masalah administrasi kependudukan dalam hal pembuatan paspor. Tanpa disadari korban telah dengan sengaja melakukan tindak pidana pemalsuan dokumen. Sehingga meningkatnya pekerja ke luar negeri (migrant workers) merupakan masalah yang sangat rentan dengan trafficking. Dengan demikian berkembangnya perdagangan manusia internasional semakin marak dan menyulitkan pelacakan. Maka upaya pemberantasan terhadap pelaku sulit dilakukan dan korban tidak mendapat haknya dalam upaya perlindungan untuk memperoleh hak restitusi;

f. Belum optimalnya kerjasama perjanjian bilateral dan internasional tentang perdagangan perempuan dan anak, menyulitkan penanganan kasus lintas batas antar negara;

  g. Kurangnya koordinasi antar instansi terkait sering menjadi kendala sehingga

muncul tumpang tindih kewenangan antar instansi yang satu dengan yang lain; h. Kemajuan transportasi yang menyebabkan mudahnya terjadi perpindahan

korban dari satu tempat ke tempat lain antar wilayah maupun negara.

Demikian juga dengan tanggapan Ibu Emy Suryati Lubis, S.H., selaku Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus tindak pidana perdagangan orang atas terkabulnya hak restitusi korban dengan putusan perkara No. 1554/Pid. B/201/PN.Mdn mengatakan bahwa vonis Pengadilan Negeri telah memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat dan telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan menjatuhkan hukuman bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang yakni sanksi 3 (tiga) tahun pidana penjara dan pembayaran restitusi sebesar Rp 64.700.00,- (enam puluh empat juta tujuh ratus ribu rupiah). Dalam menangani kasus tindak pidana perdagangan orang pihak kejaksaan dibantu oleh pihak penyidik atau kepolisian, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan pemerintah daerah. Adapun upaya yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang yakni pertama sekali adalah dengan memberikan pendidikan agama yang baik dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat serta memberikan sosialisasi tentang Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam masyarakat serta dampak bahaya untuk kesehatan yang akan diderita pada diri korban akibat perdagangan orang.

  Ketidak keberanian korban untuk menuntut ganti rugi, disebabkan oleh :57 1. Merasa tidak mempunyai hak untuk menyatakan pendapat;

2. Tidak mampu mengetahui cara-cara mengajukan tuntutan; 3. Takut akan mendapat kesulitan apabila mengajukan tuntutan; 4. Mengira nasibnya memang sudah demikian (fatalisme);

5. Merasa tidak mempunyai pendukung untuk mengajukan tuntutan; 6. Tidak ingin mempersulit diri dengan mengadakan tuntutan ganti rugi;

7. Hasil jerih payah menuntut ganti rugi adalah tidak seimbang dengan kerugian yang diderita;

8. Peristiwanya tidak boleh diketahui oleh banyak orang;

9. Malu dicap pelit oleh karena mau menuntut ganti rugi atas jumlah yang dianggap kecil oleh orang lain.

      

57

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan [Kumpulan Karangan], (Jakarta : PT Bhuana

   

  BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN