• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Kejaksaan Dalam Penentuan Hak Restitusi Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Putusan Nomor : 1554/Pid. B/2012/PN.Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peran Kejaksaan Dalam Penentuan Hak Restitusi Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Putusan Nomor : 1554/Pid. B/2012/PN.Mdn)"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

   

 

PERAN KEJAKSAAN DALAM PENENTUAN HAK RESTITUSI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

(Studi Putusan Nomor : 1554/Pid. B/2012/PN.Mdn)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

SANTI RESMILA HUTAURUK

090200252

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

  PERAN KEJAKSAAN DALAM PENENTUAN HAK RESTITUSI TINDAK

PIDANA PERDAGANGAN ORANG (Studi Putusan Nomor : 1554/Pid. B/2012/PN.Mdn)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

SANTI RESMILA HUTAURUK 090200252

Disetujui :

Ketua Departemen Hukum Pidana

(Dr. Hamdan, S.H., M.H) NIP : 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Edi Yunara, S.H., M.Hum) (Dr. Marlina, S.H., M.Hum) NIP : 196012221986031003 NIP : 197503072002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

  KATA PENGANTAR

Pertama-tama puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya telah memberikan kekuatan dan kesehatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini diberi judul “Peran Kejaksaan Dalam Penentuan Hak Restitusi Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Putusan Nomor : 1554/Pid. B/2012/PN.Mdn)” yang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Ucapan yang paling dalam dan istimewa penulis persembahkan kepada Ayahanda Mangatur Hutauruk, S.H., dan Ibunda Anaida Tobing yang penulis sayangi dan cintai, terima kasih atas kasih sayang, doa dan dukungannya baik dukungan moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan juga ucapan terima kasih kepada abangku Juanda Ronny Hutauruk, S.H., abangku Briptu Fernando Fransiskus Hutauruk, adikku Ebigel Elprida Hutauruk dan adikku Kristina Delta Hutauruk terima kasih atas cinta, doa dan dukungannya. Skripsi ini penulis persembahkan buat kalian semua, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkat dan rahmat-Nya kepada kalian semua.

Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberi dukungan serta doanya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan, khususnya penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

(4)

  2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Edi Yunara, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan dan memberikan masukan, pandangan yang berguna kepada penulis sehingga skripsi ini selesai; 8. Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah

meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan dan memberikan masukan, pandangan yang berguna kepada penulis sehingga skripsi ini selesai; 9. Seluruh Dosen dan staf pengajar yang telah mengajar dan membimbing penulis

selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 10. Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpustakaan serta para

pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(5)

  12. Kepada Yon Pranata Sitorus terima kasih atas doa, dukungan, kasih sayang

dan perhatian serta kebaikannya;

13. Sahabat-sahabatku Johannes P. Hutapea, Sophie Dhinda, Disha Cholia, Meilisa Bangun, Wynne Wijaya, Sari Mariska, Hanssen, Budi Praptio, Pasca Purba, M. Subhi Solih Hasibuan dan teman kampus khususnya stambuk 2009;

14. Serta ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna dan banyak kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kebaikan skripsi ini.

Akhir kata dari penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi semua pihak.

Medan, Mei 2013 Penulis,

(6)

  DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Keaslian Penulisan ... 11

E. Tinjauan Pustaka . ... 11

1. Pengertian Jaksa ... 11

2. Pengertian Hak Restitusi ... 13

3. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 16

F. Metode Penelitian ... 20

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II PERATURAN HUKUM HAK RESTITUSI DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG ... 24

A. Sebelum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 24

B. Setelah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang .... 36

BAB III PERAN KEJAKSAAN DALAM PENENTUAN HAK RESTITUSI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG ... 47

(7)

 

B. Tugas dan Wewenang Kejaksaan RI ... ... 52

C. Studi Putusan No : 1554/Pid. B/2012/PN.Mdn ... 60

BAB IV HAMBATAN JAKSA DALAM PENENTUAN HAK RESTITUSI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG ... 77

A. Hambatan Internal ... 77

B. Hambatan Eksternal ... 80

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 86

A.Kesimpulan ... 86

B. Saran ... 87

(8)

  ABSTRAKSI

- Santi Resmila Hutauruk * - Edi Yunara ** - Marlina ***

(9)

  tegas pada pelaku tindak pidana perdagangan orang. Berdasarkan hal tersebut untuk melindungi hak korban, sangat dibutuhkan peran jaksa dalam penentuan hak restitusi tindak pidana perdagangan orang.

* Mahasiswa

(10)

  BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dewasa ini kasus tindak pidana perdagangan orang terutama perempuan dan anak (Trafficking in Persons Especially Women and Children) merupakan salah satu issu serius yang harus dihadapi dunia termasuk Indonesia.1 Masalah perdagangan orang sangat kompleks, dari waktu ke waktu semakin berkembang dan meningkat, sehingga sulit untuk menekan angka pertumbuhannya. Perdagangan orang merupakan perbuatan serupa dengan perbudakan modern yang melanggar harkat dan martabat manusia (Hak Asasi Manusia), yang bertentangan dengan tata hukum, merugikan masyarakat dan anti sosial.

Indonesia merupakan negara terbesar dan berada di urut ke 32, yaitu negara yang diasumsikan tidak serius menangani masalah trafficking, tidak memiliki perangkat perundang-undangan yang dapat mencegah, melindungi dan menolong korban, serta tidak memliki peraturan perundang-undangan untuk melakukan penghukuman pelaku perdagangan orang. Jumlah kasus tindak pidana perdagangan orang yang tinggi berkonsekuensi menimbulkan jumlah korban perdagangan orang yang banyak sehingga memerlukan penanganan kasus yang optimal. Tahun 2007 Indonesia berhasil membuat peraturan yang khusus mengatur tentang perdagangan orang yaitu, Undang-Undang Nomor 21 Tahun       

1

Sumijati Sahala, Masalah perdagangan anak dan wanita berdasarkan protokol konvensi

TOC, (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia

RI, 2006), Hal 1. 2

(11)

  2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang-Undang ini memberikan perlindungan terhadap korban perdagangan orang salah satu hak korban adalah untuk mendapatkan restitusi. Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 menyatakan bahwa restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. Selanjutnya, dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 mengatur tentang mekanisme pengajuan restitusi. Dapat dilihat bahwa bentuk ganti kerugian yang disebut restitusi itu dalam bentuk uang. Tujuan ganti rugi yaitu pemenuhan atas tuntutan berupa imbalan sejumlah uang.

(12)

  pemberian informasi dan reintegrasi (penyatuan kembali ke keluarganya atau ke lingkungan masyarakatnya).

Menurut Gelaway yang merumuskan lima tujuan dari kewajiban mengganti kerugian, yaitu :3

1. meringankan penderitaan korban;

2. sebagai unsur yang meringankan hukuman yang akan dijatuhkan; 3. sebagai salah satu cara merehabilitasi terpidana;

4. mempermudah proses pengadilan;

5. dapat mengurangi ancaman atau reaksi masyarakat dalam bentuk tindakan balas dendam.

Restitusi lebih diarahkan kepada tanggung jawab pelaku terhadap akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan yang dilakukan si pelaku. Sasaran utamanya adalah menanggulangi semua kerugian yang diderita korban. Tolak ukur untuk menentukan jumlah atau besar kecilnya ganti kerugian tergantung pada status sosial pelaku dan korban, dimana Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang tidak menentukan secara tegas dan hanya menjelaskan bahwa restitusi adalah hak korban atau ahli warisnya. Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan dalam amar putusan pengadilan, tidak dijelaskan ukuran besar atau indikator jumlah restitusi dan layak tidaknya ganti rugi yang diberikan. Perdagangan orang kini dinyatakan sebagai masalah global yang serius dan bahkan telah menjadi bisnis global yang telah memberikan keuntungan besar terhadap pelaku. Dari berbagai data dalam angka-angka yang

      

3

Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika,

(13)

  bisa ditampilkan berkaitan dengan perdagangan orang dikeluarkan oleh International Labor Organization (ILO, 2005), memperkirakan bahwa :4

1. 12,3 juta manusia di seluruh dunia telah dipaksa menjadi buruh atau tenaga kerja paksa. ILO menganggap bahwa tenaga kerja paksa adalah masalah global yang sesungguhnya karena telah menimbulkan dampak yang serius pada sebagian besar umat manusia, baik di negara-negara berkembang maupun negara maju;

2. 40-50% korban dari tenaga kerja paksa ini adalah anak-anak;

3. Mayoritas korban (64%) yang menjadi tenaga kerja paksa masuk dalam eksploitasi ekonomi seperti misalnya dalam pertanian, pertambangan dan kegiatan ekonomi lainnya;

4. 11% korban adalah tenaga kerja paksa yang masuk dalam eksploitasi seksual komersial;

5. Mayoritas (65%) korban tenaga kerja paksa yang masuk dalam eksploitasi ekonomi adalah perempuan dan anak-anak perempuan, dan 98% korban tenaga kerja paksa yang masuk dalam eksploitasi seksual komersial adalah perempuan dan anak-anak perempuan;

6. 20% (2,45 juta orang) tenaga kerja paksa tersebut adalah korban perdagangan orang dan 43% dari mereka masuk dalam eksploitasi seksual komersial.

Kenyataan bahwa yang lebih dominan korban adalah perempuan dan anak karena merekalah kelompok yang sering menjadi sasaran dan dianggap paling rentan. Korban perdagangan orang biasanya ditipu, diberlakukan tidak manusiawi, dan dieksploitasi. Bentuk-bentuk eksploitasi itu sendiri diantaranya dengan cara memperlakukan korban untuk bekerja yang mengarah pada praktik-praktik eksploitasi seksual, perbudakan atau bentuk-bentuk perbudakan modern, perbuatan transplantasi organ tubuh untuk tujuan komersial, sampai penjualan bayi yang dimaksudkan untuk tujuan dan kepentingan mendapatkan keuntungan besar bagi pelaku perdagangan orang. Kasus perdagangan orang terutama terjadi di kota–kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali, Medan, Padang,

      

4

(14)

  Pontianak, Makasar, dan Manado.5 Kaum perempuan yang terjebak bisnis narkotika sebenarnya dapat dikategorisasikan sebagai korban perdagangan perempuan yang dapat terjadi karena : diawali dengan rekrutmen perempuan mengggunakan penipuan dalam berbagai bentuk, terutama melalui hubungan personal seperti : pacaran, perkawinan, hidup bersama, dan hubungan personal lain antara perempuan dan pengedar atau pemilik narkotika yang sesungguhnya (laki-laki asing); orang-orang yang mendapat keuntungan dari bisnis ini; adanya unsur migrasi; dan adanya unsur kekerasan.6

Berdasarkan data tersebut terdapat banyak kasus mengenai tindak pidana perdagangan orang dan faktanya tidak banyak vonis yang mencantumkan ganti rugi kepada korban disebabkan berbagai faktor penghambat seperti : kurangnya pemahaman penegak hukum terkait restitusi, kurangnya pemahaman masyarakat terkait kepentingan korban, kurangnya pemahaman korban tindak pidana perdagangan orang terkait dengan hak-haknya, kurangnya sarana dan prasarana, tidak adanya peraturan pelaksana dan terlalu ringannya kurungan pengganti. Untuk itu diperlukan adanya regulasi tehadap peraturan perdagangan orang, khususnya dalam tataran legislasi, yaitu dengan membuat peraturan-peraturan yang merupakan peraturan yang menunjang atau pelaksana dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang mengatur secara umum mengenai perdagangan orang adalah KUHP dan hanya memiliki satu pasal saja       

5

Farhana.Op.Cit., Hal 6.

6

Sulistyowati Irianto, Lim Sing Meij, Perdagangan Perempuan Dalam Jaringan

(15)

  yaitu, Pasal 297 tetapi tidak jelas karena yang dijadikan korban perdagangan orang hanya perempuan dan anak laki-laki belum dewasa, padahal korban perdagangan orang tidak terbatas usia dan jenis kelamin. Sanksi hukum dalam Pasal 297 KUHP sangat ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita oleh korban. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak belum mampu untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Dalam ketentuan lain sudah terdapat peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah dalam penghapusan perdagangan orang, seperti : Peraturan Daerah khusus untuk Sumatera Utara, Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan Dan Anak, Rencana Aksi Provinsi Sumatera Utara Nomor 24 Tahun 2005.

(16)

  kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 25/KEP/MENKO/KESRA/IX/2009 tentang Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RAN TPPO) dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) 2009-2014.7

Faktor utama penyebab terjadinya perdagangan orang diantaranya yang dominan adalah persoalan ekonomi dan kemiskinan. Selain itu berdasarkan analisisnya juga terdapat beberapa faktor lain, seperti :8 kurangnya pengetahuan akibat dari terjadinya trafficking, keinginan untuk secara cepat mendapatkan uang atau kerja yang mudah dan tidak terlalu berat, orang tua yang kurang kontrol dan adanya faktor izin dari orang tua, mudahnya memperoleh izin dari birokrat (kelurahan, kecamatan dan lain-lain institusi), keinginan mengikuti perkembangan modern serta gaya hidup yang konsumtif, kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis.

Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang merupakan salah satu tujuan dari kebijakan hukum pidana (social defence), yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat (socialwelfare) harus sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yaitu bahwa negara dan pemerintah harus melindungi segenap bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan kesejahteraan umum sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945. Penting bagi negara untuk menghukum atas terjadinya pelanggaran HAM dalam tindak pidana perdagangan orang serta memberikan       

7

Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang Kebijakan Hukum Pidana Dan

Pencegahannya, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Hal 162. 8

Moh. Hatta, Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Teori Dan Praktek,

(17)

  perlindungan kepada korban atau orang-orang yang diperdagangkan. Sebab tindak pidana perdagangan orang dirasakan sebagai ancaman bagi masyarakat, bangsa dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sehingga dalam penegakan hukum memerlukan upaya yang menyeluruh, terpadu dan berkelanjutan, serta terkordinasi dengan baik. Perlindungan terhadap perempuan dan anak telah menjadi tugas bersama segenap bangsa Indonesia untuk dapat menanggulangi kejahatan kemanusiaan.

Diperlukan upaya pencegahan dan penanganan perdagangan orang dengan lebih meningkatkan peran serta fungsi sektor, baik di tingkat pusat sampai ke daerah maka perlu dibentuk gugus tugas sebagai institusi yang akan membantu pemerintah. Gugus tugas adalah lembaga koordinatif yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/akademisi. Pengaturan gugus tugas terdapat dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Tujuan sistem peradilan dapat terwujud apabila penegakan hukum pidana bekerja dengan baik, selaras dan berwibawa, terutama apabila aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan petugas lapas), dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diamanatkan oleh undang-undang (integrated criminal justice administration). Keempat badan/institusi tersebut harus dapat bekerja sesuai dengan sistem yang berlaku dan mengacu pada managemen sistem peradilan pidana yang berlaku.9

      

9

(18)

  Maka di sadari pentingnya peran dari seluruh pihak mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga aparat penegak hukum khususnya Kejaksaan. Perlunya Jaksa yang profesional dan harus mempunyai peran yang aktif dalam menangani kasus tindak pidana perdagangan orang. Jaksa harus dapat menjalankan tugas dan wewenangnya dengan baik, diharapkan agar tidak lalai untuk memberitahukan kepada korban tentang haknya mengajukan restitusi. Pengajuannya dapat dilaksanakan sejak korban melaporkan kasusnya ke Kepolisian Republik Indonesia setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan tindak pidana yang dilakukan. Jaksa menyampaikan jumlah kerugian yang di derita korban bersamaan dengan tuntutan yang tidak akan menghilangkan hak korban untuk mengajukan sendiri gugatan atas kerugiannya. Berdasarkan uraian di atas, penting untuk dilakukan penelitian tentang Peran Kejaksaan Dalam Penentuan Hak Restitusi Tindak Pidana Perdagangan Orang.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka permasalahan pokok dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana peraturan hukum dalam penentuan hak restitusi tindak pidana perdagangan orang ?

2. Bagaimana peran kejaksaan dalam penentuan hak restitusi tindak pidana perdagangan orang ?

3. Apa yang menjadi hambatan-hambatan dalam penentuan hak restitusi tindak pidana perdagangan orang ?

(19)

  C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui peraturan hukum dalam penentuan hak restitusi tindak pidana perdagangan orang.

2. Untuk mengetahui peran kejaksaan dalam penentuan hak restitusi tindak pidana perdagangan orang.

3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi jaksa dalam penentuan hak restitusi tindak pidana perdagangan orang.

Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Untuk menambah pengetahuan tentang penyelesaian tindak pidana perdagangan orang.

b. Agar dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum pada

umumnya dan khususnya dalam bidang hukum pidana dan hukum acara pidana. 2. Manfaat Praktis

a. Penulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran kepada semua pihak terkait dalam menangani masalah tindak pidana perdagangan orang.

(20)

  D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran kepustakaan dan studi literature sepanjang yang diketahui belum dilakukan penulisan yang membahas judul tentang “Peran Kejaksaan Dalam Penentuan Hak Restitusi Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Putusan Nomor : 1554/Pid. B/2012/PN.Mdn). Penelitian ini asli karena belum ada peneliti yang melakukan penelitian tersebut di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

E. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Jaksa

(21)

  jepang (1942-1945), “jaksa” – pada masa itu ditulis “djaksa” adalah gelar bagi para pejabat hukum yang berwenang menuntut perkara-perkara pidana.10

Menurut konsep R. Tresna antara lain menyatakan : “bahwa nama jaksa atau yaksa berasal dari India dan gelar itu di Indonesia diberikan kepada pejabat yang sebelum pengaruh hukum Hindu masuk di Indonesia, sudah biasa melakukan pekerjaan yang sama”.11

Menurut pandangan SAHERODJI, menjelaskan bahwa : “Kata Jaksa berasal dari bahasa sansekerta yang berarti Pengawas (Superintedant) atau pengontrol yaitu pengawas soal-soal kemasyarakatan”.12

Pengertian Jaksa sesuai lampiran Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia tahun 1978, ialah : “Jaksa asal kata dari Seloka Satya Adhy Wicaksana yang merupakan Trapsila Adhyaksa yang menjadi landasan jiwa dan raihan cita-cita setiap warga negara Adhyaksa dan mempunyai arti serta makna sebagai berikut :

SATYA, kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap TYME, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun sesama manusia.

ADHI, kesempurnaan dalam bertugas dan yang berunsur utama pemilikan rasa tanggung jawab baik terhadap TYME terhadap keluarga dan sesama manusia. WICAKSANA, bijaksana dalam bertutur kata dan tingkah laku khususnya dalam penerapan kekuasaan dan kewenangannya.13

      

10

Surachman Dan Andi Hamzah, Jaksa Di Berbagai Negara Peranan Dan

Kedudukannya, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), Hal 3 – 4. 11

Ilham Gunawan, Peran Kejaksaan Dalam Menegakkan Hukum Dan Stabilitas Politik,

(Jakarta : Sinar Grafika, 1994), Hal 41 - 42. 12

Ibid. 13

(22)

  Ketentuan Pasal 1 menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia disebutkan bahwa :

1. Jaksa adalah Pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.

2. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

3. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

4. Jabatan Fungsional Jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan.

Menurut ketentuan Pasal 1 butir 6 a dan b KUHAP, menyebutkan bahwa: a. Jaksa adalah Pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk

bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim.

2. Pengertian Hak Restitusi

Hak adalah segala sesuatu yang harus di dapatkan oleh setiap orang yang telah ada sejak lahir bahkan sebelum lahir. Salah satu bentuk upaya perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada korban perdagangan orang adalah melalui pemberian restitusi. Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi dari pelaku.

Ada beberapa komponen terkait hak restitusi korban yang harus diberikan pelaku berupa ganti kerugian atas :

1. Kehilangan kekayaan atau penghasilan; 2. Penderitaan;

(23)

  Restitusi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, Dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat dalam Pasal 1 butir 5 adalah :

Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

Restitusi menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Pasal 1 angka 13 yaitu : “Pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.”

Restitusi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, Dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban dalam Pasal 1 angka 5 adalah :

“Ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu”.

(24)

  tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang dan dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama. Pemberian restitusi dilakukan dalam empat belas hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi, hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan (Pasal 48 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang). Jika pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi sampai melampaui batas waktu empat belas hari, korban atau ahli warisnya memberitahukan hal tersebut ke pengadilan (Pasal 50 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang). Selain restitusi, korban berhak mendapat rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis. Hak tersebut dapat juga diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja sosial dengan melaporkan kasus yang dialami kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pasal 51 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang).

Menurut Stephen Schafer,14 perbedaan antara restitusi dan kompensasi adalah restitusi lebih bersifat pidana, yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana atau merupakan wujud pertanggungjawaban terpidana       

14

Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan

(25)

  (the responsibility of the offender). Sedangkan kompensasi lebih bersifat perdata, timbul dari permintaan korban, di bayar oleh masyarakat atau negara (the responsible of the society).

3. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang

Pengertian tindak pidana (strafbaarfeit) menurut W.J.P. Pompe adalah : “Tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”.15

Menurut Simons pengertian tindak pidana adalah : “Sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja atau pun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum”.16

Sebelum Undang-Undang Tindak Pidana disahkan, pengertian tindak pidana perdagangan orang yang umum paling banyak digunakan adalah pengertian dari Protokol PBB untuk mencegah, menekan, dan menghukum pelaku perdagangan orang.

Pengertian perdagangan orang menurut Protokol PBB adalah :17

a. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk, paling tidak, eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain       

15

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan : USU Press, 2010), Hal

81. 16

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Citra Aditya

Bakti, 1997), Hal 185. 17

(26)

  dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayan paksa, perbudakan atau praktik- praktik serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh. b. Persetujuan korban perdagangan orang terhadap eksploitasi yang dimaksud

yang dikemukakan dalam subalinea (a) ini tidak relevan jika salah satu dari cara-cara yang dimuat dalam subalinea (a) digunakan.

c. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang anak untuk tujuan eksploitasi dipandang sebagai perdagangan orang bahkan jika kegiatan ini tidak melibatkan satu pun cara yang dikemukakan dalam subalinea (a) pasal ini.

d. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 tahun.

Dari pengertian tersebut tiga unsur yang berbeda yang saling berkaitan satu sama lainnya, yaitu :18

a. tindakan atau perbuatan yang dilakukan, yaitu perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang;

b. cara, menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk paksaan lain, penculikan, tipu daya, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang-orang;

c. tujuan atau maksud, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi mencakup setidak-tidaknya eksploitasi pelacuran dari orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan dan pengambilan organ tubuh.

Pasal 297 KUHP menyatakan bahwa : “perdagangan wanita dan perdagangan anak-anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”.

Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, dalam Pasal 1 angka 1 Perdagangan Orang adalah sebagai berikut : “Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk tujuan mengeksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.

Jennifer E. Enck memberi pengertian perdagangan orang yaitu :19 “Recruitment, transport, harboring, transfer, sale or receipt of persons through

      

(27)

  coercion, force, fraud, or deception in order to get people in situations such as

forced prostitution, domestic servitude, sweatshop labor or other kinds of work to

pay debts.”

Michelle O. P. Dunbar memberi pengertian perdagangan orang dalam konteks yang lebih sempit yaitu, dalam hubungannya dengan perdagangan perempuan. Menurutnya, konsep perdagangan perempuan tidak hanya dibatasi pada pelacuran paksa.20

Pengertian perdagangan orang dikemukakan oleh Aliansi Global Anti Perdagangan Perempuan (Global Alliance Against the Trafficking of Women/GAATW), yaitu :21“All acts involved in recruitment and/or transportation of a person within and across national borders for work or services by means of violence or threat of violence, abuse of authority or dominant position, debt bondage, deception or other forms of coercion”. (Semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman, atau penerimaan seseorang dengan mengggunakan penipuan atau tekanan, termasuk penggunaan ancaman kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau tidak, untuk kerja yang tidak diinginkan (domestik seksual atau reproduktif) dalam kerja paksa atau dalam kondisi perbudakan, dalam suatu lingkungan lain dari tempat dimana orang itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertama kali).

Tahun 1996 Europion Parliament Report mengartikan perdagangan orang sebagai berikut :22

“The illegal action of someone who, directly or indirectly, encourages a

citizen from a country to enter or stay in another country in order to exploit that

person by using deceit or any other from og coercion or by abusing that person’s

vulnerable situation or administrative status.”

       

19

Mahraus Ali dan Bayu Aji Pramono, Perdagangan Orang Dimensi, Instrumen

Internasional dan Pengaturannya di Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2011), Hal 16 - 18. 20

Ibid.  21

Ibid.  22

(28)

  Pengertian perdagangan manusia menurut Rebecca Surtees dan Martha Wijaya adalah “sindikat kriminal”, yaitu merupakan perkumpulan dari sejumlah orang yang terbentuk untuk melakukan aktivitas kriminal. Dari pengertian diatas, sindikat kriminal itu perbuatannya harus dilakukan lebih dari satu orang dan telah melakukan perbuatan tindak pidana dalam pelaksanaannya. Aktivitas sindikat perdagangan perempuan dan anak ini kegiatannya dilakukan secara terorganisir. Pengertian secara terorganisir menurut sarjana adalah sebagai berikut :23

a. Donald Cressey : kejahatan terorganisir adalah suatu kejahatan yang mempercayakan penyelenggaraannya pada seseorang yang mana dalam mendirikan pembagian kerjanya yang sedikit, di dalamnya terdapat seorang penaksir, pengumpul, dan pemaksa.

b. Michael Maltz : kejahatan terorganisir sebagai suatu kejahatan yang dilakukan lebih dari satu orang yang memiliki kesetiaan terhadap perkumpulannya untuk menyelenggarakan kejahatan. Ruang lingkup dari kejahatan ini meliputi kekejaman, pencurian, korupsi monopoli, ekonomi, penipuan, dan menimbulkan korban.

c. Frank Hagan : kejahatan terorganisir adalah sekumpulan orang yang memulai aktivitas kejahatannya dengan melibatkan diri pada pelanggaran hukum untuk mencari keuntungan secara ilegal dengan kekuatan ilegal serta mengakibatkan aktivitasnya pada kegiatan pemerasan dan penyelewengan keuangan.

Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 adalah sebagai berikut : “Setiap tindakan       

23

Chairul Bariah Mosaza, Aturan-Aturan Hukum Trafiking (Perdagangan Perempuan dan

(29)

  atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini”.

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang terdapat dalam perumusan masalah tersebut di atas adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian empiris. Penelitian tipe ini lazim disebut Studi dogmatic atau penelitian doktrinal (doktrinal research).24 Dalam penelitian ini bertujuan untuk menemukan asas hukum atau doktrin hukum positif yang berlaku berupa norma-norma hukum positif dalam masyarakat. Sedangkan penelitian empiris, peneliti harus berhadapan langsung dengan warga masyarakat yang menjadi objek penelitian.

2. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder yaitu, data dari bahan-bahan kepustakaan yang antara lain meliputi bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam hal ini adalah norma atau kaidah dasar peraturan

      

24

(30)

  perundang-undangan yang berlaku dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang berupa peraturan perundang-undangan, keputusan presiden, peraturan menteri, peraturan pemerintah, peraturan daerah.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer, berupa buku-buku, hasil penelitian dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan penelitian dan putusan pengadilan.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya seperti ensiklopedia dan lain-lain. 3. Metode pengumpulan data

a. Studi Kepustakaan (Library Research), yakni studi dokumen dengan mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum, literatur, tulisan-tulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini, dan dokumen yang diteliti adalah putusan pengadilan.

b. Studi Lapangan (Field Research), yakni studi lapangan dengan melakukan wawancara dengan para informan yaitu, Jaksa dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara.

4. Analisis Data

(31)

  data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil pada penulisan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi haruslah disusun atau ditulis secara sistematis agar dihasilkan suatu tulisan yang teratur dan terarah pada suatu titik permasalahan dan pembahasan yang jelas. Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman mengenai isi tulisan skripsi ini. Maka penulis membuat sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Di dalam bab ini dijelaskan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, alat pengumpul data, analisis hasil penelitian, kemudian dijelaskan yang merupakan sistematika dari penulisan itu sendiri.

BAB II PERATURAN HUKUM HAK RESTITUSI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

(32)

  BAB III PERAN KEJAKSAAN DALAM PENENTUAN HAK

RESTITUSI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Di dalam bab ini dijelaskan mengenai peran Jaksa sebagai penuntut umum dalam penentuan hak restitusi ketika menangani kasus tindak pidana perdagangan orang diwilayah hukum kota Medan. Juga tentang kedudukan Kejaksaan RI, serta tugas, wewenang dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia, serta analisa kasus.

BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENENTUAN HAK RESTITUSI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

Di dalam bab ini dijelaskan tentang faktor penghambat yang dihadapi Jaksa dalam penentuan hak restitusi tindak pidana perdagangan orang, baik hambatan secara internal dan eksternal. BAB V PENUTUP

(33)

   

  BAB II

PERATURAN HUKUM HAK RESTITUSI DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

A. Sebelum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Aspek lain dari perlindungan masyarakat adalah perlindungan terhadap korban dan pemulihan keseimbangan nilai yang terganggu di dalam masyarakat. Untuk memenuhi aspek ini, konsep menyediakan jenis sanksi berupa “pembayaran ganti kerugian” dan “pemenuhan kewajiban adat”. Kedua jenis dimasukkan sebagai jenis pidana tambahan, karena dalam kenyataan sering terungkap bahwa penyelesaian masalah secara yuridis formal dengan menjatuhkan sanksi pidana pokok saja kepada terdakwa belum dirasakan oleh warga masyarakat sebagai suatu penyelesaian masalah secara tuntas.25 Selama ini dalam penegakan hukum kelemahan mendasar dalam proses penanganan perkara pidana adalah terabaikannya hak korban maupun akibat yang harus ditanggung oleh korban kejahatan karena perlindungan hukum terhadap korban kejahatan tidak mendapat pengaturan yang memadai. Sebelum dikeluarkannya tindak pidana perdagangan orang, penanganan kasusnya sudah lama diatur dalam hukum positif Indonesia, misalnya saja dengan menggunakan rumusan kejahatan perdagangan orang yang diatur dalam KUHP maupun hukum nasional lainnya diluar KUHP.

      

25

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan

(34)

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Beberapa pasal dalam KUHP yang terkait dengan kejahatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana perdagangan orang yakni :

a. Pasal 297 KUHP secara tegas telah melarang dan mengancam pidana perbuatan memperdagangkan atau memperniagakan wanita dan laki-laki. Ketentuan Pasal 297 KUHP tersebut secara lengkap berbunyi : “Perdagangan wanita dan perdagangan laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”. Dalam memahami pasal ini sangat penting untuk diketahui arti dari kata memperniagakan. Pada Buku I KUHP tentang Ketentuan Umum tidak memberikan penjelasan mengenai kata ini. R. Soesilo dalam penjelasan pasal terhadap pasal ini mengatakan bahwa :26 yang dimaksud dengan perniagaan atau perdagangan perempuan ialah melakukan perbuatan-perbuatan dengan maksud untuk menyerahkan perempuan guna pelacuran. Termasuk pula perempuan-perempuan muda untuk dikirimkan ke luar negeri yang maksudnya tidak lain akan dipergunakan untuk pelacuran...” b. Pasal 324 : “Barang siapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain

menjalankan perniagaan budak atau melakukan perbuatan perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam salah satu perbuatan diatas, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Istilah perdagangan apabila sama artinya dengan perdagangan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, berarti : membeli untuk dijual lagi, kemudian menjual, maka seseorang yang membeli saja atau menjual saja       

26

R. Soesilo, KUHP serta komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor :

(35)

  tidak masuk istilah berdagang. Akan tetapi, menurut Noyon-Langemenyer (jilid III halaman 63), istilah menjalankan perdagangan budak belian lain daripada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu meliputi juga membeli saja atau menjual saja. Pasal yang bersangkutan dari KUHP Belanda tidak memuat tambahan melakukan perbuatan perdagangan. Dengan adanya tambahan kata-kata ini di Indonesia lebih tegas bahwa membeli saja atau menjual saja seorang budak belian masuk rumusan Pasal 324 ini.27

Terdapat sepuluh asas yang dianut oleh KUHAP dengan maksud untuk melindungi hak warganegara dalam proses hukum yang adil, yaitu :28

1. Perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun; 2. Praduga tidak bersalah;

3. Pelanggaran atas hak-hak individu warganegara (yaitu dalam hal penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah;

4. Seorang tersangka hendak diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya;

5. Seorang tersangka dan terdakwa berhak mendapat bantuan penasehat hukum; 6. Seorang terdakwa berhak hadir di muka pengadilan;

7. Adanya peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat serta sederhana; 8. Peradilan harus terbuka untuk umum;

9. Tersangka maupun terdakwa berhak memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi; serta

10. Adalah kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-putusannya.

2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Perdagangan perempuan dan anak merupakan bentuk pelanggaran terhadap HAM, karena melanggar :

a. Hak atas kehidupan; b. Hak atas persamaan;

c. Hak atas kemerdekaan dan keamanan prribadi; d. Hak atas perlindungan yang sama di muka umum;       

27

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, (Bandung : PT

Refika Aditama : 2003), Hal 82 – 83. 28

Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan,

(36)

  e. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mental yang

sebaik-baiknya;

f. Hak atas pekerjaan yang layak dan kondisi kerja yang baik; g. Hak untuk pendidikan lanjut; dan

h. Hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau bentuk kekejaman lain, perlakuan atau penyiksaan secara tidak manusiawi yang sewenang-wenang.

Undang-Undang ini telah mencantumkan tentang hak anak, hak wanita, pelaksanaan, kewajiban, dan tanggungjawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan anak sebagai landasan yuridis sebagai pelaksanaan kewajiban dan tanggungjawab tersebut.

a. Pasal 3 : Setiap orang dilahirkan dengan bebas, dengan harkat dan martabat yang sama dan sederajat, serta setiap orang berhak atas perlindungan dan kebebsasan dasar manusia tanpa diskriminasi.

b. Pasal 4 : Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

c. Pasal 20 : Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba, seperti perdagangan budak, perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang. Diperbudak, diperhamba atau yang dibeli atau yang boleh dibeli, atau yang dipekerjakan karena hutang, atau yang menjadi budak karena tidak mampu membayar hutang, atau yang perempuan karena permainan.

d. Pasal 64 : Setiap anak berhak untuk memperoleh per1indungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral. kehidupan sosial, dan mental spiritualnya.

(37)

  Akan tetapi, Undang-Undang ini tidak memuat norma tentang ketentuan saksi hukuman bagi pelanggar hak asasi manusia, termasuk pasal tentang perdagangan anak.

3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di Lingkungan Peradilan Umum yang memiliki tugas dan wewenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat dan berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Tetapi tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan. a. Pasal 7 huruf b : Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi: kejahatan

terhadap kemanusiaan.

b. Pasal 9 : Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan;29

d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum intemasional;

f. penyiksaan;

g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentukbentuk kekerasan seksual lain yang setara;

h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama,       

29

(38)

  jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

i. penghilangan orang secara paksa; atau j. kejahatan apartheid.

c. Pasal 35 : Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.30

4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat

Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Perbuatan tindak pidana perdagangan orang merupakan salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Setiap korban atau saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh perlindungan dari aparat penegak hukum dan aparat keamanan yang diberikan sejak tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan yang meliputi: perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik dan mental; perahasiaan identitas korban atau saksi; danpemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka. Perlindungan terhadap korban dan saksi dilakukan berdasarkan inisiatif aparat penegak hukum dan aparat keamanan; dan atau permohonan yang disampaikan oleh korban atau saksi. Permohonan tersebut disampaikan kepada : Komisi       

30

Penjelasan Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 bahwa : Yang dimaksud dengan “kompensasi” adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu rnemberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Yang dimaksud dengan “restitusi” adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi dapat berupa:

a. pengembalian harta milik ;

b. pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan; atau c. penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

(39)

  Nasional Hak Asasi Manusia, pada tahap penyelidikan; Kejaksaan, pada tahap penyidikan dan penuntutan dan Pengadilan, pada tahap pemeriksaan.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, Dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat

Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pelanggaran HAM yang berat tersebut adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pasal yang melindungi hak-hak korban yaitu :

a. Pasal 2 : Kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi diberikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya dan harus dilaksanakan secara tepat, cepat, dan layak.31

b. Pasal 7 : Instansi Pemerintah Terkait melaksanakan pemberian kompensasi dan atau rehabilitasi serta pelaku atau pihak ketiga melaksanakan pemberian restitusi, paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diterima.

c. Pasal 8 : Pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi, dilaporkan oleh Instansi Pemerintah Terkait, pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan HAM yang memutus perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi. Kemudian tanda bukti tersebut disampaikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya. Ketua Pengadilan HAM menerima tanda bukti kemudian mengumumkan pelaksanaan tersebut pada papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.

d. Pasal 9 : Dalam hal pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi kepada pihak korban melampaui batas waktu sebagaimana       

31

(40)

  dimaksud dalam Pasal 7, korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya dapat melaporkan hal tersebut kepada Jaksa Agung. Kemudian Jaksa Agung segera memerintahkan Instansi Pemerintah Terkait, pelaku, atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.

e. Pasal 10 : Dalam hal pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi dapat dilakukan secara bertahap, maka setiap tahapan pelaksanaan atau kelambatan pelaksanaan harus dilaporkan kepada Jaksa Agung.32

6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Negara Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia; dan anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat manusia sebagai manusia seutuhnya dan ini adalah bagian dari pembukaan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak.

a. Pasal 59 : Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

b. Pasal 66 : Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat yang dilakukan melalui: a. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan

c. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.

      

32

(41)

  c. Pasal 68 : Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan

perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat dan setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan.

d. Pasal 81 : Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

e. Pasal 82 : Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

f. Pasal 83 : Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

g. Pasal 84 : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(42)

  7. Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 RAN Anti Perdagangan Orang

Rencana Aksi Nasional (RAN) Anti Perdagangan Orang dan Anak disahkan pada tanggal 30 Desember 2002 melalui Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002. RAN tersebut merupakan landasan dan pedoman bagi pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Pengesahan RAN ditindaklanjuti dengan pembentukan gugus tugas anti trafficking di Tingkat Nasional. Untuk menjamin terlaksananya RAN di tingkat provinsi dan kabupaten/kota maka penetapan peraturan dan pembentukan gugus tugas didasarkan keputusan kepala daerah masing-masing termasuk anggaran pembiayaannya. Rencana Aksi Nasional (RAN) penghapusan Perdagangan (trafficking) Perempuan dan Anak yang menjadi arahan, pedoman, dan rujukan dalam penanganan masalah trafficking ini. Adapun RAN ini telah dilakukan penyusunannya dengan memperhatikan pokok-pokok penyusunan rencana aksi yang baik, yaitu memenuhi standar sistematik (sistematic), terukur (measurable) dapat dicapai (attainable), rasional dan layak (rational/reasonable), dan waktu yang tepat (timely).

8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

a. Pasal 68 : Pengusaha dilarang mempekerjakan anak;

b. Pasal 69 ayat (1) : Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. c. Pasal 69 ayat (2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan

sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. izin tertulis dari orang tua atau wali;

(43)

  c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;

d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah; e. keselamatan dan kesehatan kerja;

f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan

g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

d. Pasal 74 : Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud meliputi :

a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;

b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian; c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak

untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau

d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.

9. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan Dan Anak

Suatu langkah maju Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah melahirkan suatu Peraturan Daerah Trafficking disahkan di Medan pada tanggal 6 Juli 2004 oleh Gubernur Provinsi Sumatera Utara T. Rizal Nurdin dan diundangkan di Medan pada tanggal 16 Agustus 2004 oleh Sekretaris Daerah Propinsi, Drs. Muhyan Tambuse. Dalam Peraturan Daerah ini bahwa perdagangan orang merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia, dan mempunyai jaringan yang luas sehingga merupakan ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia baik secara nasional maupun internasional. Hal-hal yang penting dalam Perda Nomor 6 Tahun 2004, yaitu :

(44)

  b. Pasal 4 yaitu : Perempuan yang akan bekerja diluar wilayah desa/kelurahan

wajib memiliki Surat izin Bekerja Perempuan (SIBP) yang dikeluarkan oleh Kepala Desa atau Lurah dan diadministrasikan oleh camat setempat.

c. Pasal 11 yaitu :Perlu mengefektifkan dan menjamin pelakasanaan pencegahan trafiking perlu dibentuk gugus tugas tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak (RAN-P3A). d. Pasal 17 yaitu : Masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas-luasnya

untuk berperan serta membantu upaya pencegahan dan penghapusan perdagangan (trafiking) perempuan dan anak.

e. Pasal 28 yaitu : Sanksi pidana, setiap orang yang melakukan, mengetahui, melindungi, menutup informasi dan membantu secara langsung maupun tidak langsung terjadinya perdagangan (trafiking) perempuan dan anak dengan tujuan untuk melakukan eksploitasi baik dengan atau tanpa persetujuan untuk pelacuran, kerja atau pelayanan, perbudakan atau praktek serupa dengan perbudakan, pemindahan atau transplantasi organ tubuh, atau segala tindakan yang melibatkan pemerasaan dan pemanfaatan fisik, seksual, tenaga dan atau kemampuan seseorang oleh pihak lain dengan secara sewenang-wenang untuk mendapatkan keuntungan baik material maupun non material dapat dikenakan ancaman pidana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 10. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan

Korban

(45)

  Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Maka sudah saatnya perlindungan Saksi dan Korban diatur dengan undang-undang tersendiri.

Adapun pokok materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban meliputi:

1. Perlindungan dan hak Saksi dan Korban; 2. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;

3. Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan; dan 4. Ketentuan pidana.

B. Setelah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

(46)

  penindakan terhadap pelaku, dan termasuk perlindungan terhadap hak-hak korban perdagangan orang. Dengan demikian penanganan perkara perdagangan orang telah berlandaskan pada pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 sehingga para pelaku baik perorangan maupun korporasi dapat jera untuk melangkah melakukannya.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 terdiri dari 9 Bab yang meliputi 67 Pasal, yang pada intinya mencakup Pencegahan, Pemberantasan dan Penanganan yang terdiri dari dua aspek yaitu :

1. Aspek Non Pro Justisia, yaitu :

a.Aspek Perlindungan Saksi dan Korban b.Aspek Pencegahan dan Penanganan

c.Aspek Kerjasama Dan Peran Serta Masyarakat

2. Aspek Pro Justisia, yaitu merupakan Aspek Pemidanaan Atau Hukum Materiil dan Aspek Hukum Acara Pidana.

Adapun secara menyeluruh Undang-Undang ini berisi dan menceritakan tentang beberapa aspek yang terdapat di dalam beberapa pasal berikut ini :33 1) Aspek Tindak Pidana Perdagangan Orang

Secara garis besar aspek ini memuat tentang berbagai macam dan cara serta jenis-jenis dari tindak pidana perdagangan orang yang dimulai dari perekrutan, pengangkutan hingga nantinya diperkerjakan, baik itu yang ditujukan ke dalam atau ke luar negeri, yang mana baik itu dilakukan dengan unsur penipuan, pembujukan, pemanfaatan ataupun kekerasan bahkan yang dilakukan

      

33

(47)

  secara korporasi, yang mana kesemuanya itu terdapat di dalam Pasal 2 hingga Pasal 18 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 ini, pada dasarnya berisikan mengenai ketentuan-ketentuan pidana yang dijatuhkan terhadap perdagangan orang, baik pidana Penjara, Kurungan atupun Denda. Bagi pelaku Human Trafficking yang melakukan tindak pidana yang mengakibatkan seseorang mengalami eksploitasi ataupun yang melakukan kegiatan perdagangan orang yang dimulai dari percobaan, pemanfaatan, pengiriman bahkan korporasi. Terhadap tindak pidana perdagangan orang akan dijatuhkan pidana denda paling sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah, dan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama seumur hidup.

2) Aspek Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang

(48)

  3) Aspek Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan, di Sidang Pengadilan

Aspek ini berisikan mengenai penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan, di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, termasuk didalamnya pemeriksaan alat bukti, saksi, dan korban. Aspek ini dimulai dari Pasal 28 hingga Pasal 42 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.

4) Aspek Perlindungan Saksi dan Korban

Di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, seorang korban dan saksi perlu mendapat perlindungan sebagaimana tercantum, antara lain :

a. Ruang Pelayanan Khusus (Pasal 45) b. Pusat Pelayanan Terpadu (Pasal 46)

c. Mekanisme Pembayaran Restitusi (Pasal 48-Pasal 50) d. Rehabilitasi untuk Pemulihan Korban (Pasal 51) e. Rumah Perlindungan Sosial/pusat trauma (Pasal 52)

Di sinilah sangat penting peran masyarakat untuk membantu memberikan perlindungan kepada saksi korban. Adapun aspek ini meliputi Pasal 43 hingga Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.

5) Aspek Pencegahan dan Penanganan Aspek ini meliputi 2 hal yaitu : a. Program Pencegahan (Pasal 57) b. Pembentukan Gugus Tugas (Pasal 58)

6) Aspek Kerjasama Internasional dan Peran Serta Masyarakat

(49)

  korban tindak pidana perdagangan orang. Aspek ini terdapat dalam Pasal 59 hingga Pasal 63 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.

7) Aspek lain yang meliputi : a. Ketentuan Umum (Pasal 1) b. Ketentuan Peralihan (Pasal 64) c. Ketentuan Penutup (Pasal 65-67)

2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

(50)

  PPT dibentuk di kabupaten/kota yang pembentukannya dengan peraturan daerah masing-masing kabupaten/kota. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk mengacu pada Peraturan Pemerintah ini, terutama mengenai tata cara dan mekanisme pelayanan, serta pegaturan mengenai standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial juga wajib menyediakan sarana dan prasarana PPT yang meliputi penyediaan fisik bangunan beserta perlengkapan yang dibutuhkan atau sesuai dengan standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial. Sarana dan prasarana adalah ketersediaan para petugas dalam pengelolaan PPT tersebut, misalnya tenaga kesehatan, keperawatan, psikolog, psikiater, pekerja sosial yang digaji sesuai ketentuan perundang-undangan. Pendanaan penyelengaraan PPT dibebankan pada anggaran pendapatan belanja negara dan anggaran pendapatan belanja daerah serta dari sumber-sumber lain yang sah.34 3. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian

Kompensasi, Restitusi, Dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban

Menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 pengertian kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan, pengertian restitusi menurut Pasal 1 angka 5 adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Dalam Peraturan Pemerintah ini Pemberian kompensasi diatur       

34

(51)

  dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 19 dan Pemberian restitusi diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 33.

a. Pasal 20 : Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi. Permohonan dapat diajukan oleh Korban, Keluarga, atau kuasanya dengan surat kuasa khusus dan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada pengadilan melalui LPSK.

b. Pasal 21: Pengajuan permohonan Restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

c. Pasal 33 : Dalam hal pemberian Restitusi dilakukan secara bertahap, setiap tahapan pelaksanaan atau keterlambatan pelaksanaan harus dilaporkan Korban, Keluarga atau kuasanya kepada pengadilan yang menetapkan atau memutuskan permohonan Restitusi.

d. Pasal 34 : Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh bantuan, berupa:

a. bantuan medis;

b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial.

Dan Permohonan Bantuan dapat diajukan oleh Korban, Keluarga, atau kuasanya dengan surat kuasa khusus yang dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada LPSK atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol Untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan Dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi

(52)

  Konvensi Palermo memuat tiga protokol, yaitu anti perdagangan orang terutama perempuan dan anak-anak, anti penyeludupan imigran, serta antiproduksi dan penyeludupan senjata api gelap. Sedangkan dalam perdagangan orang, tindakan-tindakan efektif untuk mencegah dan memerangi perdagangan orang, terutama perempuan dan anak-anak, membutuhkan sebuah pendekatan internasional yang komprehensif di negara asal, negara transit dan negara tujuan yang mencakup langkah-langkah untuk mencegah perdagangan, untuk menghukum para pelaku perdagangan orang dan untuk melindungi korban-korban perdagangan orang termasuk melindungi hak asasi mereka yang diakui secara internasional.

5. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan

(53)

  Menurut Pasal 1 angka 3 kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah publik atau dalam kehidupan pribadi. Sedangkan kekerasan terhadap anak menurut Pasal 1 angka 4 adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, mental, seksual, psikologis, termasuk penelantaran dan perlakuan buruk yang mengancam integritas tubuh dan merendahkan martabat anak.

Referensi

Dokumen terkait

(4) Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan

Ketentuan peraturan Perundang-Undangan yang mengatakan tentang pengadaan barang/jasa pemerintah ini telah mengalami banyak revisi dan pergantian hingga yang sekarang ini

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang menelaah lebih lanjut tentang peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk perkara tindak

Berdasarkan fakta-fakta dipersidangan dengan keterangan saksi dan alat bukti yang begitu banyak bahwa tepat dikenakan Terdakwa Yudi hasmir Siregar dengan pasal 112 ayat (2) UU No

Berdasarkan fakta-fakta dipersidangan dengan keterangan saksi dan alat bukti yang begitu banyak bahwa tepat dikenakan Terdakwa Yudi hasmir Siregar dengan pasal 112 ayat (2) UU No

Dalam kasus ini, modus operandi yang dilakukan oleh terdakwa hanya merekrut korban dan tidak menimbulkan kerugian secara langsung sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 48 ayat

Optimalisasi upaya hukum ditinjau dari peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana memperniagakan satwa liar dalam pemidanaannya tidak mampu memberikan efek jera

Ad.3 Unsur yang tidak memenuhi atau tidak sesuai standar yang dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan Menimbang, bahwa ketentuan Pasal 8 ayat 1 huruf a UU RI Nomor 8 Tahun