TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN UU
NO 14 TAHUN 2005
(Analisis Juridis Terhadap Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH :
ADVEND ARYHON M NIM 100200140
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN UU
NO 14 TAHUN 2005
(Analisis Juridis Terhadap Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH :
ADVEND ARYHON M NIM 100200140
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh
Ketua Departemen Pidana
Dr.M Hamdan, SH.,M.H NIP : 195703261986011001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Liza Erwina, S.H, M.Hum Rafiqoh Lubis, S.H, M.Hum
NIP. 196110241989032002 NIP. 197407252002122002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Pujian Syukur dan sembah hanya kepada Tuhan Yesus, yang
menganugerahkan keselamatan dan memimpin Penulis dalam mengerjakan skripsi
yang berjudul “Tindak Pidana Kekerasan Dalam Proses Belajar Mengajar Ditinjau
Dari Perspektif Hukum Pidana Dan Perlindungan Terhadap Guru Dan UU No 14
Tahun 2005 (Analisis Juridis Terhadap Putusan PT Medan No
274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009)”.
Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi dan memenuhi
persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara
yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/mahasiswi yang akan
menyelesaikan perkuliahannya. Dalam pengerjaan skripsi ini penulis tidak
sendirian, ada banyak pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Wakil Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., MH, DFM, selaku Wakil Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr.O.K. Saidin, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas
5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH., MH, selaku Ketua Jurusan Departemen
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Ibu Liza Erwina, SH.,M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen
Pembimbing I Penulis, yang telah membimbing dan mengarahkan dalam
penulisan skripsi ini.
7. Ibu Rafiqoh Lubis, SH.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah
membimbing dan mengarahkan dan mendukung penulis dalam
mengerjakan skripsi ini.
8. Untuk orang tua penulis, Bapak Derita Manurung dan , Ibu Dortiarma
Hutagaol. Terima kasih untuk doa dan pengertiannya selama ini kepada
penulis. Terima kasih untuk dukungannya serta kesabarannya kepada
penulis. Semoga kasih dari Kristus Yesus menyertai dan memberikan
keselamatan kepada kalian.
9. Untuk saudara–saudara penulis, Evan Frizhard Manurung (abang Penulis),
Josi Jeremia Manurung, Jonathan Milkyway Manurung (adik–adik
penulis), terima kasih untuk dukungan dan semangatnya serta semua
keluarga, terkhusus Tulang Anggiat dan Tulang Donal, serta Uda Paul dan
Uda Swanto, yang telah memberikan masukan, saran, dukungan dan
semangat kepada Penulis.
10. Untuk PKK ku, Kak Lusiana terima kasih untuk setiap doa-doanya, terima
kasih mengajariku mengenal Yesus Sang Juruselamat dan tempat berbagi
terima kasih untuk semuanya saudara–saudariku kita boleh dapat
berkumpul untuk bersama–sama bertumbuh, saling belajar, dan
menguatkan.
11. Untuk adekku KK Theolighty, Fitty, Amanda, Sothya, dan Dedi bersyukur
boleh menggembalakan kalian, keluarga rohani ku, terima kasih untuk doa
dan dukungan semangat kalian dek. Tetaplah melayani Tuhan dengan
semangat. Aku mengasihi kalian dan rindu melihat kalian menjadi orang
yang takut akan Tuhan dan selalu merindukan persekutuan dengan Tuhan.
12. Untuk wadah pelayanan KMK UP FH, yang menjadi tempat Penulis
bertumbuh dan orang-orang yang ada di dalamnya, terpujilah Tuhan yang
memilih kita untuk menjadi pelayanNya. Terima kasih untuk teman–teman
Koordinasi tahun 2012, Teman–teman koordinasi 2013, dan teman-teman
Koordinasi tahun 2014 serta adik–adik Koordinasi 2015.
13. Untuk teman-teman segerakan di GMKI, terima kasih boleh menjadi
bagian dalam gerakan ini. Semoga boleh tetap bertumbuh seperti Kristus
yang menjadi Sang Kepala Gerakan.
14. Untuk teman–teman Penulis, Juliani, Antony, Merty, Christoper, Oris,
Reynaldo, dan seluruh rekan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang tidak dapat Penulis sebutkan satu–persatu.
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI ...iv
ABSTRAK...vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penulisan ... 9
D. Manfaat Penulisan………9
E. Keaslian Penulisan ... 9
F. Tinjauan Pustaka………10
1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana………. .. 10
2. Pengertian dan Jenis-Jenis Kekerasan... 16
3. Peran dan Fungsi Guru ... 22
G. Metode Penelitian ... 25
H. Sistematika Penulisan ... 27
B. Perlindungan Terhadap Hak-Hak Anak dalam UU No 23 Tahun 2002
dikaitkan dengan kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak dalam
proses belajar mengajar………. 31
C. Perlindungan Terhadap Guru dalam Kegiatan Belajar Mengajar di Beberapa Peraturan ... 37
C.1. Perlindungan Terhadap Guru dalam UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional ... 37
C.2. Perlindungan Terhadap Guru dalam UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen……….. 38
C.3. Pengaturan Tentang Perlindungan Profesi Guru dalam MoU PGRI dengan POLRI No.B/53/XII/2012 dan No. 1003/UM/PB/XX/2012……….39
BAB III PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU KEKERASAN KEPADA ANAK DIDIK DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR (ANALISIS YURIDIS Putusan PT Medan No. 247/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009) A. Kekerasan yang Dilakukan Oleh Guru dalam Proses Belajar Mengajar Ditinjau Dari Hukum Pidana ... 51
B. Penerapan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kekerasan yang Dilakukan Guru Kepada Anak dalam Proses Belajar Mengajar ... 57
B.1. Putusan PT Medan No. 274/PID/2012/PT-MDN……… ... 57
B.1.1. Kronologi……… ... 57
B.1.2. Dakwaan……….. .... 59
B.1.4. Pertimbangan Hakim……… ... 60
B.1.5. Putusan………... 61
B.2. Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009………...62
B.2.1. Kronologi………. 63
B.2.2. Dakwaan……….. 64
B.2.3. Tuntutan………. .. 64
B.2.4. Pertimbangan Hakim………... .... 65
B.2.5. Putusan………... 67
B.3. Analisa Yuridis Kasus……… .... 68
B.3.1 Analisis Yuridis Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT- MDN……… ... 69
B.3.2 Analisis Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009………….. . 70
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 74
B. Saran ... 76
ABSTRAK Advend A M * Liza Erwina** Rafiqoh Lubis ***
Pendidikan merupakan suatu hal yang dijamin oleh Negara Republik Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam pasal 31 UUD 1945, dimana seluruh rakyat Indonesia untuk boleh dapat memilih dan menikmati pendidikan dan pengajaran. Kekerasan merupakan satu istilah yang tidak asing ditelinga kita. Fenomena kekerasan saat ini telah mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan sosial kita baik politik , budaya, bahkan hingga dunia pendidikan. Dalam dunia pendidikan kekerasan tersebut dapat dilakukan baik oleh sesama siswa, maupun dari guru oleh siswa. Sejak UU Perlindungan anak (UU No. 23 Tahun 2002) diundangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, praktis sejak saat itu adanya pemberian hukuman terhadap anak di sekolah menjadi sensasi berita yang hangat. Sehingga guru diperhadapkan dalam situasi yang dilematis dalam menjalankan tugas keprofesiannya
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah pengaturan tindak pidana kekerasan dalam proses belajar mengajar dari perspektif hukum pidana dan UU No 14 Tahun 2005 dan Bagaimanakah penerapan hukum pidana terhadap pelaku kekerasan kepada anak didik dalam kegitan belajar mengajar (Studi/Analisis Juridis Terhadap Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009).
Metode penelitian yang digunakan pada penulisan ini adalah penelitian hukum normatif atau yang disebut juga studi kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan khususnya perundang-undangan dan kepustakan hukum yang berkaitan dengan guru, perlindungan guru dan perlindungan anak. Data sekunder yang berupa dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah, pendapat sarjana, artikel-artikel dan bahan lainnya. Bahan-bahan inilah kemudian diolah secara kualitatif.
Tindakan pemberian hukuman atau sanksi oleh guru kepada anak didik yang diindikasikan sebagai tindak pidana kekerasan dapat didakwakan dengan pasal 351 KUHP atau pasal 80 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002. Pengaturan Perlindungan hukum bagi guru telah diatur dalam UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta adanya MoU antara PGRI dengan POLRI tentang mekanisme Pengaturan Perlindungan Profesi Guru dan tentang Perlindungan Anak di atur dalam UU No. 23 Tahun 2002. Dalam penerapannya didalam memberikan putusan, hakim telah menerapkan sesuai dengan unsur-unsur terhadap pasal yang didakwakan dan juga telah melihat alasan dari terdakwa serta melihat keadaan atau kondisi pada saat kejadian sebagai bahan pertimbangan terhadap penjatuhan
hukuman atau sanksi pidana.
Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK Advend A M * Liza Erwina** Rafiqoh Lubis ***
Pendidikan merupakan suatu hal yang dijamin oleh Negara Republik Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam pasal 31 UUD 1945, dimana seluruh rakyat Indonesia untuk boleh dapat memilih dan menikmati pendidikan dan pengajaran. Kekerasan merupakan satu istilah yang tidak asing ditelinga kita. Fenomena kekerasan saat ini telah mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan sosial kita baik politik , budaya, bahkan hingga dunia pendidikan. Dalam dunia pendidikan kekerasan tersebut dapat dilakukan baik oleh sesama siswa, maupun dari guru oleh siswa. Sejak UU Perlindungan anak (UU No. 23 Tahun 2002) diundangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, praktis sejak saat itu adanya pemberian hukuman terhadap anak di sekolah menjadi sensasi berita yang hangat. Sehingga guru diperhadapkan dalam situasi yang dilematis dalam menjalankan tugas keprofesiannya
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah pengaturan tindak pidana kekerasan dalam proses belajar mengajar dari perspektif hukum pidana dan UU No 14 Tahun 2005 dan Bagaimanakah penerapan hukum pidana terhadap pelaku kekerasan kepada anak didik dalam kegitan belajar mengajar (Studi/Analisis Juridis Terhadap Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009).
Metode penelitian yang digunakan pada penulisan ini adalah penelitian hukum normatif atau yang disebut juga studi kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan khususnya perundang-undangan dan kepustakan hukum yang berkaitan dengan guru, perlindungan guru dan perlindungan anak. Data sekunder yang berupa dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah, pendapat sarjana, artikel-artikel dan bahan lainnya. Bahan-bahan inilah kemudian diolah secara kualitatif.
Tindakan pemberian hukuman atau sanksi oleh guru kepada anak didik yang diindikasikan sebagai tindak pidana kekerasan dapat didakwakan dengan pasal 351 KUHP atau pasal 80 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002. Pengaturan Perlindungan hukum bagi guru telah diatur dalam UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta adanya MoU antara PGRI dengan POLRI tentang mekanisme Pengaturan Perlindungan Profesi Guru dan tentang Perlindungan Anak di atur dalam UU No. 23 Tahun 2002. Dalam penerapannya didalam memberikan putusan, hakim telah menerapkan sesuai dengan unsur-unsur terhadap pasal yang didakwakan dan juga telah melihat alasan dari terdakwa serta melihat keadaan atau kondisi pada saat kejadian sebagai bahan pertimbangan terhadap penjatuhan
hukuman atau sanksi pidana.
Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perlindungan merupakan sesuatu hal yang menjadi aspek terpenting di
dalam kehidupan manusia dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari. Dikatakan
sebagai aspek terpenting karena perlindungan memberi suatu jaminan untuk
keselamatan, kesehatan, dan keamanan dalam hidup manusia. Republik Indonesia
yang merupakan negara yang berlandaskan hukum masalah perlindungan diatur
dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang berbunyi “melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan berbangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia”. Oleh karena itu tujuan tersebut harus diwujudkan demi terwujudkan
tujuan negara yang sesungguhnya.
Juga berdasarkan alinea keempat tersebut, salah satu bentuk perlindungan
yang diberikan adalah dalam hal Pendidikan, dimana Negara Indonesia
memberikan jaminan kepada seluruh rakyat untuk dapat memilih dan menikmati
pendidikan dan pengajaran, sebagaimana juga yang tertuang didalam pasal 31
UUD 1945.
Pendidikan pertama–tama dapat dilihat sebagai aktivitas untuk mengubah
posibilitas, yaitu kemungkinan–kemungkinan yang didasarkan atas keterbukaan
manusia itu menjadi aktualitas. Implikasi kedua ialah bahwa perilaku manusia
tidak ditentukan sebelumnya. Perilaku manusia diperoleh melalui proses belajar.
Pendidikan adalah bagian dari proses manusia membangun dunianya atau
kebudayaanya. Karena itu, dapat dikatakan, pendidikan adalah suatu “keharusan”
dalam hidup manusia.1
Dalam dunia pendidikan, guru dan murid merupakan elemen dalam
mendukung terciptanya kegiatan belajar dan mengajar. Baik dalam pembelajaran
di dalam kelas maupun di luar kelas. Guru memang menempati kedudukan yang
terhormat di masyarakat. Guru dapat dihormati oleh masyarakat karena
kewibawaannya, sehingga masyarakat tidak meragukan figur guru. Masyarakat
percaya bahwa dengan adanya guru, maka dapat mendidik dan membentuk
kepribadian anak didik mereka dengan baik agar mempunyai intelektualitas yang
tinggi serta jiwa kepemimpinan yang bertanggungjawab. Jadi dalam pengertian
yang sederhana, guru dapat diartikan sebagai orang yang memberikan ilmu
pengetahuan kepada anak didik.
Seorang guru mempunyai kepribadian yang khas. Disatu pihak guru harus
ramah, sabar, menunjukkan pengertian, memberikan kepercayaan dan
menciptakan suasana aman. Akan tetapi di lain pihak, guru harus memberikan
tugas, mendorong siswa untuk mencapai tujuan, menegur, menilai, dan
mengadakan koreksi. Dengan demikian, kepribadian seorang guru seolah-olah
terbagi menjadi 2 bagian. Di satu pihak bersifat empati, di pihak lain bersifat
kritis. Di satu pihak menerima, di lain pihak menolak. Maka seorang guru yang
1
tidak bisa memerankan pribadinya sebagai guru, ia akan berpihak kepada salah
satu pribadi saja. Dan berdasarkan hal-hal tersebut, seorang guru harus bisa
memilah serta memilih kapan saatnya berempati kepada siswa, kapan saatnya
kritis, kapan saatnya menerima dan kapan saatnya menolak. Dengan perkatan lain,
seorang guru harus mampu berperan ganda. Peran ganda ini dapat di wujudkan
secara berlainan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.
Tugas guru sebagai suatu profesi, menuntut kepada guru untuk
mengembangkan profesionalitas diri sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Mendidik, mengajar, dan melatih anak didik adalah tugas guru sebagai
suatu profesi. Tugas guru sebagai pendidik, meneruskan dan mengembangkan
nilai-nilai hidup kepada anak didik.
Dunia pendidikan mengenal adanya pemberian penghargaan (reward) dan
hukuman (punishment), sebagai salah satu alat pendidikan pemberian hukuman
(punishment) kepada siswa yang melanggar bertujuan untuk mendidik siswa
tersebut. Hukuman yang diberikan bisa dalam bentuk teguran lisan ataupun
tertulis, bisa juga dalam bentuk hukuman lain yang bersifat mendidik,
memberikan efek jera untuk tidak mengulanginya. Tujuannya adalah agar siswa
tahu akan norma dan aturan yang berlaku.2
Pemberian hukuman yang dilakukan oleh guru ini yang sering diartikan
sama dengan tindakan kekerasan, penganiayaan, penyiksaan dan tindakan tidak
manusiawi oleh orang tua murid. Kekerasan merupakan satu istilah yang tidak
asing ditelinga kita dan ketika kita mendengar kata “kekerasan”. Fenomena
2
kekerasan saat ini telah mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan sosial kita baik
politik, budaya, bahkan hingga dunia pendidikan.3 Dalam dunia pendidikan
kekerasan tersebut dapat dilakukan baik oleh sesama siswa, maupun dari guru
kepada siswa.
Sejak UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002) diundangkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia, praktis sejak saat itu adanya pemberian hukuman
terhadap anak di sekolah menjadi sensasi berita yang hangat.4 Salah satu contoh
kasus yaitu Guru SMK Gajah Mungkur (GM) 1 Wuryantoro berinisial M yang
dilaporkan menganiaya muridnya dikarenakan murid tersebut melanggar disiplin
saat upacara bendera5
Beberapa contoh kasus lainnya adalah Ahmad Guntur, guru SMPN 20
Kota Jambi, terdakwa kasus menampar siswanya, M. Tandriadi yang tertangkap
menonton film porno di telepon genggamnya saat jam pelajaran, dituntut
hukuman tiga bulan penjara dengan masa percobaan enam bulan.6 Kemudian Sari
Asih Sosiawati binti Rohmatan, guru SDN Tiuhbalak, Kecamatan Baradatu
dilaporkan Erwan, orang tua Diko, murid yang dicubitnya pada September 2012
lalu di Polsek Baradatu karena tidak mengerjakan ulangan serta terhitung sudah
3
Nanang Martono, Kekerasan Simbolik di Sekolah Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu, Penerbit PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hal. 1
4
http://www.kompasiana.com/post/read/501624/1/uu-perlindungan-anak-derita-guru.html Judul Artikel : UU Perlindungan Anak : Derita Guru, Diakses pada Minggu1 Februari 2015, pukul 21.00 WIB
5
http://www.solopos.com/2011/02/09/aniaya-murid-guru-smk-gm-1-terancam-hukuman-35-tahun-85302 Judul Artikel : Aniaya Murid, Guru SMK GM 1 Terancam Hukuman 3,5 Tahun, Diakses pada Jumat, 24 April 2015, Pukul 00.48 WIB
6
dua kali, sehingga dia mendapatkan nilai nol,7 serta kasus Rizali Hadi (RH). Terdakwa kasus guru cubit murid itu, dinyatakan bersalah melakukan tindak
penganiayaan terhadap anak di bawah umur dalam persidangan.8
Dari beberapa contoh kasus diatas, dapat dilihat bagaimana perbuatan
pemberian hukuman yang dilakukan oleh guru berujung pada dilaporkannya guru
tersebut kepada pihak yang berwajib, padahal apa yang dilakukan oleh guru
tersebut bertujuan untuk menegakkan disiplin kepada anak didik. Hal ini
menyebabkan eksistensi guru berada pada posisi sangat pasif dan menjadi sosok
yang serba salah dalam melaksanakan tugas keprofesiannya, dikarenakan takut
dilaporkan kepada pihak yang berwajib apabila guru tersebut memberikan
hukuman guna memberikan didikan tegas kepada anak murid. Sehingga guru
apabila seorang murid melakukan beberapa pelanggaran terhadap peraturan
disekolah cenderung melakukan pembiaran terhadap anak didik tersebut.
Pada saat ini guru seperti kehilangan kewenangannya di sekolah dalam
melakukan pengajaran dan seperti acuh terhadap tingkah laku siswa di sekolah.
Efeknya sangat jelas ketika hal tersebut berimbas kepada sikap, perilaku dan
moral siswa dalam kesehariannya seperti siswa akhirnya berani melawan guru,
7
http://sp.beritasatu.com/home/berlebihan-guru-cubit-murid-dipidanakan/33611 Judul artikel : Berlebihan, Guru Cubit Murid Dipidanakan, diakses pada Senin 7 Mei 2015, Pukul 13.17 WIB
8
siswa melakukan aksi ugal-ugalan dijalanan, bahkan siswa seperti tidak takut pada
apapun dalam kesehariannya.9
Penulis sepakat, guru bukan malaikat, bisa saja melakukan pelanggaran
hukum. Jika memang benar melakukan tindakan kriminal harus dihukum. Tetapi
dalam konteks kasus tersebut di atas, baik guru maupun keluarga anak didik tidak
menghendaki adanya peristiwa tersebut.
Peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh guru ini terjadi diakibatkan oleh
akumulasi beberapa faktor, baik dari guru ataupun murid itu sendiri, misalnya
tekanan beban kerja oleh guru, keadaan keluarga dari si guru, pola pengajaran
yang masih terpaku pada budaya lama, yaitu sistem pengajaran satu arah yang
masih menekankan pola otoritas dari guru tersebut, serta kurangnya komunikasi
antara guru dengan orang tua murid terhadap perilaku atau tindakan anak didik
selama proses belajar mengajar. Namun juga tindakan ini tidak terlepas dari sikap
murid dan kualitas murid dimana terjadi degradasi kualitas etika, tata krama, dan
sopan santun di kalangan pelajar di negeri ini yang sewaktu-waktu bisa memicu
tindakan spontanitas yang dinilai sebagai kekerasan oleh guru, seperti menampar,
mencubit, dan sejenisnya.
Di Indonesia, Perlindungan hukum terhadap guru telah diatur didalam UU
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.Pasal 7 ayat (1) huruf h
mengamanatkan bahwa guru harus memiliki jaminan perlindungan hukum dalam
9
melaksanakan tugas keprofesionalan. Selanjutnya pada Pasal 39 secara rinci
dinyatakan:
1. Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau
satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.
2. Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan
hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
3. Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup
perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
4. Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup
perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.
5. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.
Ketika guru terkena masalah hukum khususnya yang
berkaitan dengan tugasnya, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen tersebut seharusnya dapat menjadi dasar payung hukum bagi guru
dalam hal perlindungan hukum profesi keguruan. Namun dalam prakteknya
perlindungan guru tersebut masih belum memberikan upaya yang optimal bagi
profesi guru. Sehingga guru seolah-olah berjuang sendiri dalam penyelesaian
masalahnya khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum.
Anak yang merupakan tunas generasi bangsa perlu diberikan suatu usaha
perlindungan dalam tumbuh dan berkembangnya dan guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam
melaksanakan tugasnya guru mendapat perlindungan. Perlindungan guru yang
dimaksud sebagaimana dimaksud pada UU Guru dan Dosen adalah perlindungan
hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan
kerja. Tujuannya agar guru tenang dalam melaksanakan tugas dan mampu bekerja
dengan baik.Sejauh mana perlindungan tersebut sudah dilaksanakan? Sampai
sejauh ini memang belum ada evaluasi yang menyeluruh. Tetapi secara umum,
memang perlindungan bagi guru dinilai masih rendah.
Maka dari itu penulis membuat judul skripsi tentang Tindak Pidana Kekerasan
dalam Proses Belajar Mengajar Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana dan UU
No 14 Tahun 2005 (Analisis Juridis Terhadap Putusan PT Medan No
274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009)
B. Rumusan Masalah
Berbicara mengenai guru cakupan sangat luas, maka dari itu penulis
membatasi permasalahan pada :
1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana kekerasan dalam proses belajar
mengajar dari perspektif hukum pidana dan UU No 14 Tahun 2005 ?
2. Bagaimanakah penerapan hukum pidana terhadap pelaku kekerasan
kepada anak didik dalam kegitan belajar mengajar ? (Studi/Analisis
Juridis Terhadap Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT-MDN dan
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana kekerasan yang dilakukan
oleh guru dalam proses belajar mengajar dikaitkan dengan perlindungan
terhadap anak dan guru.
2. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana terhadap guru pelaku
kekerasan kepada anak didik dalam kegiatan belajar mengajar.
D. Manfaat Penulisan
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dari segi :
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dan
pengkajian dalam melaksanakan perlindungan guru dan anak.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi kepada
masyarakat terutama kalangan guru dan orang tua murid, dalam
menghadapi masalah guru melakukan kekerasan dalam kegiatan belajar
mengajar.
3. Secara akademis, hasil penelitian ini di harahapkan dapat menjadi
sumbangan bagi almamater penulis.
E. Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari Perpusatakaan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, skripsi yang berjudul
“Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Guru Dalam Proses Belajar Mengajar
Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana Dan Perlindungan Terhadap Guru
MA No 2024 K/Pid.Sus/2009)” belum pernah ditulis. Permasalahan yang
diajukan belum pernah dibahas oleh permasalahan skripsi lainnya. Adapun
judul skripsi tersebut diatas merupakan tulisan yang masih baru, belum pernah
ada tulisan lain dalam bentuk skripsi mengenai masalah ini dan belum pernah
dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Maka penulisan skripsi ini masih orisinil, dengan demikian penulis dapat
mempertanggungjawakan secara ilmiah.
F. Tinjauan Pustaka
1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana
Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam
hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat
dalam WvS Belanda dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP),
tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan
strafbaar feit itu.10Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar, dan
feit. Secara literlijk kata straf artinya pidana, baar artinya dapat atau boleh
dan feit adalah perbuatan.11
Berbagai istilah yang digunakan untuk menunjuk pengertian
strafbaar feit antara lain :12
a. Peristiwa pidana, dipakai dalam UUDS 1950 Pasal 14 ayat (1);
b. Perbuatan pidana, dipakai misalnya oleh UU No.1 Tahun 1945 tentang
Tindakan Sementara dan Cara Pengadilan-pengadilan Sipil;
c. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, dipakai oleh UU Darurat
No. 2 Tahun 1951 Tentang Perubahan Ordonantie Tijdelijke byzondere
bepaligen;
10
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 67
11
Ibid., hal 69
12
d. Hal yang diancam dengan hukum dan peraturan-peraturan yang dapat dikenakan hukuman, dipakai oleh UU Darurat No.16 Tahun 1951 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan;
e. Tindak Pidana, dipakai oleh UU Darurat No. 7 Tahun 1953 tentang
Pemilihan Umum, UU Darurat No.7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dan Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1964 tentang Kewajiban Kerja Bahkti dalam rangka Pemasyarakatan Bagi Terpidana Karena Tindak Pidana Yang Berupa Kejahatan.
f. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latindelictum juga
digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit.13
Pembentuk undang–undang kita telah menggunakan perkataan
strafbaarfeit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” didalam Kitab Undang–Undang Hukum pidana tanpa memberikan
sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan
perkataan strafbaarfeit tersebut. Perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa
Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau een gedeelte van de
werkelijkheid sedang strafbaar berarti “dapat dihukum” hingga secara
harafiah perkataan strafbaar feititu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian
dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak
tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu
sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan,
perbuatan ataupun tindakan.14
Secara literlijk istilah perbuatan adalah lebih tepat sebagai
terjemahan feit, seperti yang telah lama kita kenal dalam perbendaharaan
ilmu hukum kita, misalnya istilah materieele feit atau formeele feit (feeiten
een formeele omschrijving, untuk rumusan perbuatan dalam tindak pidana
13
Adami Chazawi, Op.Cit., hal 68
14
formil). Demikian juga istilah feitdalam banyak rumusan norma-norma
tertentu dalam WvS (Belanda) demikian juga WvS (Hindia Belanda)15
Terdapat perbedaan pandangan oleh para ahli dalam pemberian
pengertian dari strafbaar feit, yaitu pandangan dualistis, adalah
pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan
dan pandangan monistis, yakni pandangan yang tidak memisahkan antara
unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri
orangnya.
Beberapa pengertian dari tindak pidana (strafbaar feit), menurut
para ahli yang dapat digolongkan menganut pandangan dualistis adalah :16
1. Menurut W.P.J Pompe, suatu strafbaar feit (definisi menurut hukum
positif) itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
2. Menurut H.B. Vos, strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang
diancam pidana oleh undang-undang.
3. Menurut R.Tresna, persitiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan atau
rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.
Menurut ajaran dualistis pertanggungjawaban pidana itu terpisah
dengan tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana bukanlah unsur tindak
pidana. Pertanggungjawaban pidana berkenaan dengan syarat atau tidak
dipidananya seorang pelaku yang terbukti telah melakukan tindak pidana
atau melanggar larangan berbuat dalam hukum pidana.17
15
Adami Chazawi, Op.Cit., hal 70
16
Mohammad Ekaputra, Dasar–Dasar Hukum Pidana Indonesia, USU Press, Medan, 2010, hal 81
17
Adapun pengertian tindak pidana menurut beberapa ahli hukum
yang digolongkan menganut pandangan monistis, yaitu18 :
1. Simons dalam P.A.F. Lamintang, merumuskan strafbaar feit sebagai
suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum
2. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan tindak pidana berarti suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.
3. J.E. Jonkers dalam Bambang Poernomo, telah memberikan definisi
strafbaar feit menjadi dua pengertian :
a. Definisi pendek adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam
pidana oleh Undang-undang
b. Definisi panjang atau yang lebih mendalam, adalah suatu kelakuan
yang melawan hukum (wederrechttelijk) berhubung dilakukan
dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dapat dipertanggung jawabkan.
4. J.Bauman dalam Sudarto merumuskan, bahwa tindak pidana
merupakan perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui, bahwa penganut aliran
monistis tidak secara tegas memisahkan antara unsur tindak pidana dengan
syarat untuk dapat dipidananya pelaku, syarat untuk dapatnya dipidananya
itu masuk kedalam dan menjadi unsur tindak pidana, sedangkan bagi
penganut aliran dualistis unsur mengenai diri (orang) yakni adanya
pertanggungjawaban pidana bukan merupakan unsur tindak pidana
melainkan syarat untuk dapat dipidananya pelaku.19
Penjabaran suatu tindak pidana ke dalam unsur–unsurnya dan
kemahiran untuk menentukan keadaan–keadaan yang dapat dimasukkan
sebagai “essentialia dari delik” adalah sangat penting dalam hubungannya
18
Ibid., hal 85
19
dengan ajaran mengenai opzet dan culpa serta dalam hubungannya dengan
penerapan dari hukum acara pidana.20
Setiap tindak yang terdapat dalam Kitab Undang–Undang Hukum
Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan kedalam unsur–unsur yang
pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur–
unsur subjektif dan unsur–unsur objektif.21
Terhadap unsur-unsur tersebut dapat diutarakan sebagai berikut :
1. Unsur subjektif
Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku.
Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan” (An act does not make a person guilty unless the mind is
guilty or actus non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang
dimaksud disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan
(intention/opzet/dolus) dan kealpaan (negligence or schuld). Pada
umumnya para pakar telah menyetujui bahwa “kesengajaan” terdiri
atas tiga bentuk, yakni :
1) Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk);
2) Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als
zekerheidsbewustzijn);
3) Kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus
evantualis)
20
P.A.F. Lamintang, Op. Cit., hal 190
21
Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari
kesengajaan. Kealpaan terdiri atas dua bentuk, yakni :
1) Tak berhati-hati;
2) Dapat menduga akibat perbuatan itu.22
2. Unsur Objektif
Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri
atas :
a. Perbuatan manusia, berupa :
1) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif;
2) Onmission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu
perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan;
b. Akibat (result) perbuatan manusia
Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan
menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh
hukum, misalnya nyawa, badan, hak milik, kehormatan, dan
sebagainya.
c. Keadaan-keadaan (circumstances)
Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain :
1) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan;
2) Keadaan setelah perbuatan dilakukan.
d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum
22
Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang
membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan
hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum,
yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.
Semua unsur delik tersebut merupakan satu kesatuan. Salah satu
unsur saja tidak terbukti, biasa menyebabkan terdakwa dibebaskan dari
pengadilan.23
4. Pengertian dan Jenis-Jenis Kekerasan
Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan sebuah
perilaku, baik terbuka (overt) atau tertutup (covert) dan baik yang bersifat
menyerang (offensive) atau bersifat bertahan (deffensive) yang disertai
penggunaan kekuatan kepada orang lain 24
Abuse adalah kata yang biasa diterjemahkan menjadi kekerasan,
penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Dalam The Social Work
Dictionary, Barker mendefinisikan abuse sebagai “improper behavior intended to cause physcal, psychological, or fiancial harm to an individual
or group” (Kekerasan adalah perilaku tidak layak yang mengakibatkan
kerugian atau bahaya fisik, psikologis, atau finansial, baik yang dialami
oleh individu atau kelompok)25.
Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran
(penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang akan
23
Ibid., hal 10 24
Thomas Santoso,Teori- Teori Kekerasan, Penerbit PT. Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal . 11
25
menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau
menyakiti orang lain. Istilah “kekerasan” juga mengandung
kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.
Kerusakan harta benda biasanya dianggap masalah kecil dibandingkan
dengan kekerasan terhadap orang.
Dalam kamus bahasa Indonesia kekerasan diartikan dengan perihal
yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cidera
atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang
orang lain, atau ada paksaan.26 Menurut penjelasan ini, kekerasan itu
merupakan wujud perbuatan yang bersifat fisik yang mengakibatkan luka,
cacat, sakit atau penderitaan pada orang lain. Salah satu unsur yang perlu
diperhatikan adalah berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak adanya
persetujuan pihak lain yang disakiti.
Black’s Law Dictionary menyatakan bahwa kejahatan dengan
kekerasan merupakan suatu kejahatan yang mempergunakan elemen
kekerasan fisik, mencoba menggunakan, mengancam untuk menggunakan
atau menimbulkan resiko yang penting dari penggunaan kekerasan fisik
pada seseorang atau harta benda lainnya (violent crime : a crime that has
an element the use, attempted use, threatened use, or substantial risk of
use ouse of physical force against the person, or property of another-also
termed crime of violence).27
26
Trisno Yuwono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, Arkola, Surabaya, 1994, hal. 223
27
Asumsi yang muncul dan berlaku general, bahwa setiap modus
kekerasan itu merupakan wujud pelanggaran hak asasi manusia, artinya
berbagai bentuk kekerasan yang terjadi ditengah masyarakat misalnya
berakibat bagi kerugian orang lain.
Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk
kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau
yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak seperti yang
terjadi dalam perang (yakni kekerasan antar-masyarakat) dan terorisme.28
Kondisi perilaku kekerasan dewasa ini sangat mengganggu ketentraman
hidup kita. Jika hal ini dibiarkan, dengan tidak ada upaya sistematik untuk
mencegahnya, tidak mustahil hal ini menjadi faktor kerugian bagi kita
sebagai bangsa yang besar .
Secara yuridis, apa yang dimaksud dengan kejahatan dengan
kekerasan tidak secara otentik dijelaskan dalam Kitab Undang- Undang
Hukum Pidana (KUHP), hanya saja dalam Bab IX Pasal 89 KUHP
dinyatakan bahwa membuat orang pingsan atau membuat orang tidak
berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Dengan demikian
kejahatan kekerasan merupakan kejahatan yang dilakukan dan disertai
dengan menggunakan kekuatan fisik yang mengakibatkan korban pingsan
atau tidak berdaya.29
28
Diakses dari www.wikipedia.com
29
Pasal 89 ini hanya mengatur mengenai perbuatan yang disamakan
dengan kekerasan. Melakukan kekerasan artinya menggunakan tenaga atau
kekuatan jasmani yang tidak kecil dan secara tidak sah, misalnya memukul
dengan tangan atau segala macam senjata, menyepak, menendang dan
lain-lain. Pingsan artinya tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya,
umpamanya memberi minuman racun kecubung atau obat, sehingga orang
tidak ingat lagi. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang
terjadi pada dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai tenaga sama
sekali sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun. Orang
yang tidak berdaya masih sadar apa yang terjadi pada dirinya.30
Dalam kehidupan nyata dalam masyarakat, kita dapat menjumpai
beberapa bentuk–bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota
masyarakat yang satu terhadap anggota masyarakat lainnya. Oleh karena
itu, ada empat jenis kekerasan yang dapat diidentifikasi :31
1. Kekerasan terbuka, kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian;
2. Kekerasan tertutup, kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan
langsung, sperti perilaku mengancam;
3. Kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk
perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti penjabalan;
4. Kekerasan defensif, kekerasan yang dilakukan sebagai perindungan
diri.
Baik kekerasan agresif maupun defensif biasa bersifat terbuka atau
tertutup.
30
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy :Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam menanggulangi Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, hal 34
31
Martin R. Haskel dan Lewis Yasblonski mengemukakan ada empat
kategori sebagai bentuk dari kekerasan, yaitu :32
a. Legal, sanctioned, rational violence, kategori ini merupakan kekerasan yang mendapat dukungan oleh hukum. Tindakan kekerasan ini misalnya Tentara atau polisi yang melakukan kekerasan di dalam melaksanakan tugasnya. Kekerasan ini juga terdapat pada olahrag-olahraga agresif tertentu, misalnya tinju, sepakbola, serta tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mempertahankan diri.
b. Illegal, rational, socially sanctioned violence, yaitu kekerasan yang tergolong illegal yang juga mendapat sanksi social. Dalam hal ini, faktor yang penting untuk menganalisa kekerasan adalah tingkat dukungan atau sanksi sosial terhadap kekerasam tersebut.
c. Illegal, nonsacntioned, rational violence, yaitu kekerasan yang illegal, yang dipandang rasional dan tidak ada sanksi sosialnya. Kekerasan ini biasanya digunakan oleh pelaku kejahatan dan dianggap rasional dalam konteks melakukan kejahatan. Kekerasan dalam kategori ini misalnya kekerasan untuk memperoleh keuntungan financial, kejahatan perampokan atau tindakan pembunuhan dalam kejahatan terorganisir.
d. Illegal, nonsanctioned, irrational violence, merupakan kekerasan yang tidak rasional dan melawan hukum. Kekerasan ini juga dikenal sebagai “kekerasan tidak berperasaan” (senseless violence) yang terjadi tanpa didahului oleh adanya provokasi dan tidak adanya motivasi yang logis.
Sedangkan dalam Kitab Undang–Undang Hukum Pidana
mengemukakan jenis–jenis kejahatan yang disertai dengan kekerasan,
yaitu :
1. Kejahatan terhadap nyawa orang lain pasal 338 – 350.
2. Kejahatan penganiayaan pasal 351 – 358
3. Kejahatan seperti pencurian, penodongan, perampokan pasal 365
4. Kejahatan terhadap kesusilaan pasal 285, 289
5. Kejahatan yang menyebabkan kematian atau luka karena kealpaan
359-361
32
The Federal Bureau of Investigation, dibawah Uniform Crime
Reporting Program, telah mengembangkan jenis–jenis kejahatan dengan
kekerasan, yaitu:33
1. Kejahatan pembunuhan yang meliputi pembunuhan dan pembantaian
manusia yang bukan merupakan kelalaian, pembunuhan dengan sengaja (bukan kelalaian) yang dilakukan seseorang terhadap orang
lain (Criminal homicide, comprising murder and nonnegligent
manslaughter, the willfull (nonnegligent) killing of one human being by another).
2. Perkosaan dengan kekerasan, yaitu menguasai jasmani seorang wanita
dengan ancaman penggunaan kekerasan dan melawan kehendaknya (Forcible rape, the carnal knowledge of a female forcibly and against her will).
3. Perampokan : Pengambilan atau berusaha mengambil sesuatu yang
berharga dari perawatan, penjagaan atau pengawasan seseorang atau banyak orang dengan menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan dan/atau menyebabkan korban ketakutan (Robbery : taking
or attempting to take something of value from the care, custody, or control of a person or persons by force or threat of force or violence and/or by putting Victim in fear).
4. Penganiayaan berat, serangan yang dilakukan oleh seseorang terhadap
orang lain secara melawan hukum, dengan tujuan mengakibatkan luka
parah atau luka berat (aggravated assault : an unlawfull attack by one
person upon anoter for the purpose of inflichting severe or aggravated bodily injury).
5. Serangan lainnya (yang sederhana), serangan atau usaha untuk
melakukan penyerangan dengan tidak menggunakan senjata dan tidak
mengakibatkan luka–luka yang serius atau luka berat pada korban
(Other Assault (simple) : assault and attempted assault where no weapon was used and which did not result in serious or aggravated injury to victim).
Berdasarkan pembagian diatas, maka secara garis besarnya,
kejahatan kekerasan terdiri dari pembunuhan, perkosaan, perampokan,
dan penganiyaan berat.34
33
Ibid,.hal 6-7
34
5. Peran dan Fungsi Guru
Guru merupakan bagian dari tenaga kependidikan sebagaimana yang
diatur dalam UU No 20 Tahun 2003, dimana Pendidik menurut UU No 20 Tahun
2003 Pasal 1 ayat (6) menyebutkan :“Pendidik adalah tenaga kependidikan yang
berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor,
instruktor, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya serta
berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.”
Sedangkan pengertian guru menurut UU No 14 Tahun 2005 Pasal (1)
menyebutkan : Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah.
Oleh karena itu, guru yang profesional adalah guru yang mempunyai
kompetensi. Hal ini juga disebutkan dalam UU No. 14 Tahun 2004 Pasal
10 ayat (1) yaitu bahwa guru dituntut untuk memiliki kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang
diperoleh melalui pendidikan profesi.
Definisi yang kita kenal sehari–hari adalah bahwa guru merupakan orang
yang harus digugu dan ditiru, dalam arti orang yang memiliki kharisma atau
wibawa. 35 Harus digugu artinya segala sesuatu yang disampaikan olehnya
senantiasa dipercaya dan diyakini sebagai kebenaran oleh semua murid.
Sedangkan ditiru artinya seorang guru harus menjadi suri teladan (panutan) bagi
35
semua muridnya. Untuk itulah guru harus dapat menjadi contoh bagi peserta
didik, karena pada dasarnya guru adalah representasi dari sekelompok orang pada
suatu komunitas atau masyarakat yang diharapkan dapat menjadi teladan, yang
dapat digugu dan ditiru.36
Secara tradisional atau oleh masyarakat awam guru adalah seorang yang
berdiri didepan kelas untuk menyampaikan ilmu pengetahuan. Guru sebagai
pendidik dan pengajar anak, guru diibaratkan seperti ibu kedua yang mengajarkan
berbagai macam hal yang baru dan sebagai fasilitator anak supaya dapat belajar
dan mengembangkan potensi dasar dan kemampuannya secara optimal,hanya saja
ruang lingkupnya guru berbeda, guru mendidik dan mengajar di sekolah negeri
ataupun swasta.
Secara umum guru memiliki fungsi untuk menunjang terselenggaranya
sistem pendidikan nasional dan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional,
serta memiliki peran sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan
pedidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab.
Tugas guru sebagai suatu profesi meliputi mendidik dalam arti
meneruskan dan mengembangkan nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan
mengembangkan iptek, sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan
peserta didik. Tugas guru dalam bidang kemanusiaan meliputi bahwa guru
36
disekolah harus dapat menjadi orang tua kedua, dapat memahami peserta didik
dengan tugas perkembangannya mulai dari sebagai makhluk bermain
(homoludens), sebagai makhluk remaja/berkarya (Homopither), dan sebagai
makhluk berpikir/dewasa (Homosapiens).37
Terdapat beberapa peran guru dalam proses pembelajaran tatap muka,
yaitu sebagai berikut :
a. Pemimpin belajar, dalam arti guru sebagai perencana, pengorganisasi,
pelaksana, dan pengontrol kegiatan belajar peserta didik.
b. Fasilitator belajar, dalam arti guru sebagai pemberi kemudahan kepada peserta
didik dalam melakukan kegiatan belajarnya melalui upaya dalam berbagai bentuk.
c. Moderator belajar, dalam arti guru sebagai pengatur arus kegiatan belajar
peserta didik. Guru sebagai moderator tidak hanya mengatur arus kegiatan belajar, tetapi juga bersama peserta didik harus menari kesimpulan atau jawaban masalah sebagai hasil belajar peserta didik, atas dasar semua pendapat yang telah dibahas dan diajukan peserta didik.
d. Motivator belajar, dalam arti guru sebagai pendorong peserta didik agar mau
melakukan kegiatan belajar kegiatan belajar. Sebagai motivator guru harus dapat menciptakan kondisi kelas yang merangsang peserta untuk mau melakukan kegiatan belajar, baik individual maupun kelompok.
e. Evaluator belajar, dalam arti guru sebagai penilai yang objektif dan
komprehensif. Sebagai evaluator, guru berkewajiban mengawasi, memantau proses pembelajaran peserta didik dan hasil belajar yang dicapainya. Guru juga berkewajiban untuk melakukan upaya perbaikan proses belajar peserta didik, menunjuk kelemahan dan cara memperbaikinya, baik secara individual,
kelompok, maupun secara klasikal.38
Guru sejatinya adalah seorang pribadi yang harus serba bisa dan serba
tahu. Serta mampu mentransferkan kebiasaan dan pengetahuan pada muridnya
dengan cara yang sesuai dengan perkembangan dan potensi anak didik.Begitu
banyak peran yang harus diemban oleh seorang guru. Peran yang begitu berat
dipikul di pundak guru hendaknya tidak menjadikan calon guru mundur dari tugas
37
Ibid, hal. 20
38
mulia tersebut. Peran-peran tersebut harus menjadi tantangan dan motivasi bagi
calon guru. Dia harus menyadari bahwa di masyarakat harus ada yang menjalani
peran guru. Bila tidak, maka suatu masyarakat tidak akan terbangun dengan utuh.
Penuh ketimpangan dan akhirnya masyarakat tersebut bergerak menuju
kehancuran.
G. Metode penelitian
Metode penelitian diperlukan sebagai suatu tipe pemikiran secara
sistematis yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian skripsi, yang pada
akhirnya bertujuan mencapai keilmiahan dari penulisan skripsi. Dalam penulisan
skripsi ini, metode penelitian yang dipakai oleh penulis adalah sebagai berikut :
1. Jenis dan Sifat
Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif ini disebut juga
dengan studi kepustakaan atau studi dokumen.
Adapun sifat dari penulisan skripsi ini adalah penelitian deskriptif, yaitu
penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin
tentang keadaan yang menjadi objek penelitian sehingga akan mempertegas
hipotesa dan dapat membantu memperkuat teori lama atau teori baru.
2. Jenis dan Sumber Data
Penelitian hukum Normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data
utama. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek
bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tertier guna memecahkan dan menjawab
permasalahan pada objek penelitian.
Data sekunder yang penulis pakai adalah sebagai berikut :
a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang–undangan yang terkait,
antara lain : UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU
no 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU No 23 tahun 2003, tentang
Perlindungan Anak, MoU PGRI dengan POLRINo.B/53/XII/2012 dan No
1003/UM/PB/XX/2012, serta Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP).
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer seperti buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi,
artikel, artikel, hasil–hasil penelitian, laporan-laporan, dan sebagainya yang
diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum,
jurnal ilmiah, dan bahan – bahan lainyang relevan dan dapat digunakan untuk
melengkapi data yag diperlukan dalam penulisan skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dari penulisan ini dilakukan melalui teknik studi
pustaka (literature research) dan juga melalui bantuan media elektronik, yaitu
internet.Untuk memperoleh data dari sumber ini penulis memadukan,
mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku–buku dan arti–arti yang
4. Analisis Data
Mengumpulkan bahan hukum sekunder, dan tertier yang relevan dengan
permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini. Kemudian dilakukan pemilahan
terhadap bahan–bahan hukum relevan tersebut diatas agar sesuai dengan masing–
masing permasalahan yang dibahas. Kemudian mengolah dan
menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan. Dan
memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yaitu
kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dantulisan.
H. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini telah dibuat secara terperinci dan sistematis, hal ini
bertujuan agar dapat memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami
makna dari penulisan skripsi ini. Keseluruhan daripada sistematika tersebut adalah
satu kesatuan yang saling berkesinambungan dan berhubungan antara satu sama
lain yang dapat dilihat sebagai berikut :
BAB I : Bab pertama ini merupakan bab pendahuluan, pada bab ini dimuat
apa yang menjadi latar belakang penulis dalam menulis skripsi ini, kemu dian apa
masalah yang dapat dirumuskan dalam rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penulisan skripsi ini, keaslian penulisan, metode penulisan dan sistematika
penulisan
BAB II : Bab kedua merupakan bab pembahasan, pada bab pembahasan ini
perlindungan guru dan tentang perlindungan anak dikaitkan dengan kekerasan
yang dilakukan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar.
BAB III : Bab ketiga ini juga merupakan bab pembahasan, pada bab ini akan
membahas mengenai penerapan hukum pidana terhadap guru pelaku kekerasan
kepada anak didik dalam kegiatan belajar mengajar serta analisa kasus dari
putusan.
BAB IV : Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran yang berfungsi untuk
memberikan masukan bagi perkembangan hukum pidana di masa yang akan
BAB II
TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN UU NO 14
TAHUN 2005
A. Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Fisik Dalam Hukum Pidana
Kekerasan fisik adalah agresi fisik diarahkan pada seorang anak oleh
orang dewasa. Hal ini dapat melibatkan meninju, memukul, menendang,
mendorong, menampar, membakar, membuat memar, menarik telinga atau
rambut, menusuk, membuat tersedak atau menguncang seorang anak.39
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 89 dinyatakan bahwa
membuat orang pingsan atau membuat orang tidak berdaya disamakan dengan
menggunakan kekerasan. Dengan demikian kejahatan kekerasan merupakan
kejahatan yang dilakukan dan disertai dengan menggunakan kekuatan fisik yang
mengakibatkan korban pingsan atau tidak berdaya.40 Selain itu kekerasan sering
dilakukan bersama dengan salah satu bentuk tindak pidana, misalnya pencurian
dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP),
perkosaan (Pasal 285 KUHP), dan seterusnya.41
Tindak pidana tersebut dilakukan dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan, sedangkan cara bagaimana kekerasan dilakukan atau alat apa yang
dipakai, masing-masing tergantung pada kasus yang timbul. Jadi sifatnya
39
https://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak Judul Artikel : Kekerasan Terhadap Anak, diakses pada Senin 3 Agustus 2015, Pukul 13.40 WIB
40
R.Soesilo, Loc.cit
41
kasuistis. Perbuatan tersebut dapat menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun
perempuan, dari anak-anak sampai dewasa.42
Dalam Undang-undang Perlindungan anak (UU No 23 Tahun 2002)
mengenai kekerasan ini telah diatur dalam Pasal 4 yaitu salah satu hak anak untuk
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, juga dalam Pasal 13
dijelaskan tentang perlindungan anak selama dalam pengasuhan salah satunya
pada huruf (d) dijelaskan perlindungan dari kekejaman, kekerasan, dan
penganiayaan. 43Adapun kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan yang
ditujukan pada anak yang berakibat kesengsaraan dan penderitaan baik fisik
maupun psikis, baik yang terjadi didepan umum atau dalam kehidupan pribadi.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa kekerasan itu bukan hanya
tindakan secara fisik, tetapi juga dapat secara psikis. Tindakan fisik langsung bisa
dirasakan akibatnya oleh korban serta dapat dilihat oleh siapa saja.
Kekerasan anak secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan
penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda–benda
tertentu, yang menimbulkan luka–luka fisik atau kematian pada anak.44 Sedang
dalam UU PKDRT sebagaimana yang disebutkan pada pasal 9, kekerasan fisik
adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.45
Sehingga dapat dsimpulkan bahwa kekerasan fisik merupakan tindakan
fisik yang ditujukan kepada anak dengan menggunakan kekuatan fisik baik
dengan cara meninju, memukul, menendang, menampar dan sebagainya yang
42
Ibid.,
43
Ibid, hal 60
44
Abu Huraerah, Op.Cit, hal 37 45
dapat menimbulkan penderitaan fisik baik luka-luka atau dapat berujung kematina
pada anak. Kekerasan fisik ini dapat langsung dirasakan serta dapat dirasakan
oleh siapa saja.
B. Perlindungan Terhadap Hak-Hak Anak dalam UU No. 23 Tahun 2002
Dikaitkan Dengan Kekerasan yang Dilakukan Guru Terhadap Anak
dalam Proses Belajar Mengajar
Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana
setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Adapun perlindungan
anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat.
Perlindungan anak merupakan suatu bidang Pembangunan Nasional. Melindungi
anak adalah melindungi manusia, adalah membangun manusia seutuhnya.
Mengabaikan masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan Pembangunan
Nasional.46
Konsepsi perlindungan anak meliputi ruang lingkup yang luas, dalam arti
bahwa perlindungan anak tidak hanya mengenai perlindungan atas semua hak
serta kepentingan yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya
dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial, dan perlindungan anak
juga menyangkut aspek pembinaan generasi muda. Terhadap anak dalam kasus
apapun, kepentingan anak selalu diutamakan berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan :
46
a. Bahwa anak–anak harus dijunjung tinggi oleh setiap orang dengan tidak
lupa menanamkan rasa tanggung jawab kepadanya untuk melaksanakan
kewajibannya sebagai warga negara, warga masyarakat, dan anggota
keluarga dalam batas–batas tertentu yang menghimbau anak dalam
melaksanakan kewajiban itu.
b. Bahwa perlindungan anak dalam arti hak–hak dan kebutuhannya secara
optimal bertanggung jawab, merupakan usaha bagi kepentingan masa
depan anak dan pembinaan generasi mendatang. 47
Oleh Aminah Aziz, mengutip pendapat Barda Nawawi Arief dengan
menggunakan istilah perlindungan hukum anak dan diartikan sebagai
perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak
(fundamental right and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang
berhubungan dengan kesejahteraan anak.48
Masalah perlindungan hukum dan hak–haknya anak bagi anak–anak
merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak–anak Indonesia.
Agar perlindungan hak–hak anak dapat dilakukan secara teratur, tertib dan
bertanggung jawab maka diperlukan peraturan hukum yang selaras dengan
perkembangan masyarakat Indonesia yang dijiwai sepenuhnya oleh Pancasila dan
UU Dasar 1945. Dalam kaitannya dengan persoalan perlindungan hukum bagi
anak–anak, maka dalam UUD 1945 pada Pasal 34 telah ditegaskan bahwa “fakir
miskin dan anak–anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Hal ini menunjukkan
47
Aminah Aziz, Aspek Hukum Perlindungan Anak,USU Press,Medan, 1998, hal 26
48
adanya perhatian serius dari pemerintah terhadap hak–hak anak dan
perlindungannya.
Pengaturan perlindungan anak diatur dalam UU No 23 Tahun 2002,
dimana pada Pasal 1 ayat (2) menyebutkan : Perlindungan anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak–haknya agar dapat hidup,
tumbuh, dan berkembang, dan berpastisipasi secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Sehingga yang menjadi cakupan dari perlindungan anak adalah meliputi
non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup,
kelangsungan hidup, dan perkembangan, dan penghargaan terhadap pendapat
anak. Perlindungan anak memiliki tujuan, sebagaimana yang diatur didalam Pasal
3 UU No 23 Tahun 2002 yaitu “untuk menjamin terpenuhinya hak–hak agar anak
dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak
mulia dan sejahtera.
Undang–Undang Perlindungan Anak dibuat dan dirancang dalam rangka
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap–tiap
warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap anak yang merupakan hak
asasi manusia, dimana bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha
Esa, yang didalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia
luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun
sosial, dan berakhlak mulia, dan perlu dilakukan perlindungan serta untuk
mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap
pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.
Sebagaimana tertulis dalam Pasal 1 ayat (2), yang disebut dengan
perlindungan anak adalah : Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak–haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Serta,
pada Pasal 2, ayat 3 dan 4, Undang–Undang Republik Indonesia No. 4 tahun
1979, Tentang Kesejahteraan Anak berbunyi sebagai berikut : Anak berhak atas
pemeliharaan dan perlindungan, baik semsa dalam kandungan maupun sesudah
dilahirkan. Anak berhak atas perindungan–perlindungan terhadap lingkungan
hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan
perkembangan dengan wajar. Kedua ayat ini dengan jelas menyatakan dan
mendorong perlu adanya perlindungan anak dalam rangka mengusahak