• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindak Pidana Kekerasan Dalam Proses Belajar Mengajar Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana dan Perlindungan Terhadap Guru dan UU No 14 Tahun 2005 (Analisis Juridis Terhadap Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tindak Pidana Kekerasan Dalam Proses Belajar Mengajar Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana dan Perlindungan Terhadap Guru dan UU No 14 Tahun 2005 (Analisis Juridis Terhadap Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009)"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN UU

NO 14 TAHUN 2005

(Analisis Juridis Terhadap Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

ADVEND ARYHON M NIM 100200140

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN UU

NO 14 TAHUN 2005

(Analisis Juridis Terhadap Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

ADVEND ARYHON M NIM 100200140

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Pidana

Dr.M Hamdan, SH.,M.H NIP : 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Liza Erwina, S.H, M.Hum Rafiqoh Lubis, S.H, M.Hum

NIP. 196110241989032002 NIP. 197407252002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Pujian Syukur dan sembah hanya kepada Tuhan Yesus, yang

menganugerahkan keselamatan dan memimpin Penulis dalam mengerjakan skripsi

yang berjudul “Tindak Pidana Kekerasan Dalam Proses Belajar Mengajar Ditinjau

Dari Perspektif Hukum Pidana Dan Perlindungan Terhadap Guru Dan UU No 14

Tahun 2005 (Analisis Juridis Terhadap Putusan PT Medan No

274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009)”.

Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi dan memenuhi

persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara

yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/mahasiswi yang akan

menyelesaikan perkuliahannya. Dalam pengerjaan skripsi ini penulis tidak

sendirian, ada banyak pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan

penulisan skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan

terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Wakil Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., MH, DFM, selaku Wakil Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr.O.K. Saidin, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas

(4)

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH., MH, selaku Ketua Jurusan Departemen

Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Liza Erwina, SH.,M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen

Pembimbing I Penulis, yang telah membimbing dan mengarahkan dalam

penulisan skripsi ini.

7. Ibu Rafiqoh Lubis, SH.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah

membimbing dan mengarahkan dan mendukung penulis dalam

mengerjakan skripsi ini.

8. Untuk orang tua penulis, Bapak Derita Manurung dan , Ibu Dortiarma

Hutagaol. Terima kasih untuk doa dan pengertiannya selama ini kepada

penulis. Terima kasih untuk dukungannya serta kesabarannya kepada

penulis. Semoga kasih dari Kristus Yesus menyertai dan memberikan

keselamatan kepada kalian.

9. Untuk saudara–saudara penulis, Evan Frizhard Manurung (abang Penulis),

Josi Jeremia Manurung, Jonathan Milkyway Manurung (adik–adik

penulis), terima kasih untuk dukungan dan semangatnya serta semua

keluarga, terkhusus Tulang Anggiat dan Tulang Donal, serta Uda Paul dan

Uda Swanto, yang telah memberikan masukan, saran, dukungan dan

semangat kepada Penulis.

10. Untuk PKK ku, Kak Lusiana terima kasih untuk setiap doa-doanya, terima

kasih mengajariku mengenal Yesus Sang Juruselamat dan tempat berbagi

(5)

terima kasih untuk semuanya saudara–saudariku kita boleh dapat

berkumpul untuk bersama–sama bertumbuh, saling belajar, dan

menguatkan.

11. Untuk adekku KK Theolighty, Fitty, Amanda, Sothya, dan Dedi bersyukur

boleh menggembalakan kalian, keluarga rohani ku, terima kasih untuk doa

dan dukungan semangat kalian dek. Tetaplah melayani Tuhan dengan

semangat. Aku mengasihi kalian dan rindu melihat kalian menjadi orang

yang takut akan Tuhan dan selalu merindukan persekutuan dengan Tuhan.

12. Untuk wadah pelayanan KMK UP FH, yang menjadi tempat Penulis

bertumbuh dan orang-orang yang ada di dalamnya, terpujilah Tuhan yang

memilih kita untuk menjadi pelayanNya. Terima kasih untuk teman–teman

Koordinasi tahun 2012, Teman–teman koordinasi 2013, dan teman-teman

Koordinasi tahun 2014 serta adik–adik Koordinasi 2015.

13. Untuk teman-teman segerakan di GMKI, terima kasih boleh menjadi

bagian dalam gerakan ini. Semoga boleh tetap bertumbuh seperti Kristus

yang menjadi Sang Kepala Gerakan.

14. Untuk teman–teman Penulis, Juliani, Antony, Merty, Christoper, Oris,

Reynaldo, dan seluruh rekan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang tidak dapat Penulis sebutkan satu–persatu.

Penulis,

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI ...iv

ABSTRAK...vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penulisan ... 9

D. Manfaat Penulisan………9

E. Keaslian Penulisan ... 9

F. Tinjauan Pustaka………10

1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana………. .. 10

2. Pengertian dan Jenis-Jenis Kekerasan... 16

3. Peran dan Fungsi Guru ... 22

G. Metode Penelitian ... 25

H. Sistematika Penulisan ... 27

(7)

B. Perlindungan Terhadap Hak-Hak Anak dalam UU No 23 Tahun 2002

dikaitkan dengan kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak dalam

proses belajar mengajar………. 31

C. Perlindungan Terhadap Guru dalam Kegiatan Belajar Mengajar di Beberapa Peraturan ... 37

C.1. Perlindungan Terhadap Guru dalam UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional ... 37

C.2. Perlindungan Terhadap Guru dalam UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen……….. 38

C.3. Pengaturan Tentang Perlindungan Profesi Guru dalam MoU PGRI dengan POLRI No.B/53/XII/2012 dan No. 1003/UM/PB/XX/2012……….39

BAB III PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU KEKERASAN KEPADA ANAK DIDIK DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR (ANALISIS YURIDIS Putusan PT Medan No. 247/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009) A. Kekerasan yang Dilakukan Oleh Guru dalam Proses Belajar Mengajar Ditinjau Dari Hukum Pidana ... 51

B. Penerapan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kekerasan yang Dilakukan Guru Kepada Anak dalam Proses Belajar Mengajar ... 57

B.1. Putusan PT Medan No. 274/PID/2012/PT-MDN……… ... 57

B.1.1. Kronologi……… ... 57

B.1.2. Dakwaan……….. .... 59

(8)

B.1.4. Pertimbangan Hakim……… ... 60

B.1.5. Putusan………... 61

B.2. Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009………...62

B.2.1. Kronologi………. 63

B.2.2. Dakwaan……….. 64

B.2.3. Tuntutan………. .. 64

B.2.4. Pertimbangan Hakim………... .... 65

B.2.5. Putusan………... 67

B.3. Analisa Yuridis Kasus……… .... 68

B.3.1 Analisis Yuridis Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT- MDN……… ... 69

B.3.2 Analisis Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009………….. . 70

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 76

(9)

ABSTRAK Advend A M * Liza Erwina** Rafiqoh Lubis ***

Pendidikan merupakan suatu hal yang dijamin oleh Negara Republik Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam pasal 31 UUD 1945, dimana seluruh rakyat Indonesia untuk boleh dapat memilih dan menikmati pendidikan dan pengajaran. Kekerasan merupakan satu istilah yang tidak asing ditelinga kita. Fenomena kekerasan saat ini telah mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan sosial kita baik politik , budaya, bahkan hingga dunia pendidikan. Dalam dunia pendidikan kekerasan tersebut dapat dilakukan baik oleh sesama siswa, maupun dari guru oleh siswa. Sejak UU Perlindungan anak (UU No. 23 Tahun 2002) diundangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, praktis sejak saat itu adanya pemberian hukuman terhadap anak di sekolah menjadi sensasi berita yang hangat. Sehingga guru diperhadapkan dalam situasi yang dilematis dalam menjalankan tugas keprofesiannya

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah pengaturan tindak pidana kekerasan dalam proses belajar mengajar dari perspektif hukum pidana dan UU No 14 Tahun 2005 dan Bagaimanakah penerapan hukum pidana terhadap pelaku kekerasan kepada anak didik dalam kegitan belajar mengajar (Studi/Analisis Juridis Terhadap Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009).

Metode penelitian yang digunakan pada penulisan ini adalah penelitian hukum normatif atau yang disebut juga studi kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan khususnya perundang-undangan dan kepustakan hukum yang berkaitan dengan guru, perlindungan guru dan perlindungan anak. Data sekunder yang berupa dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah, pendapat sarjana, artikel-artikel dan bahan lainnya. Bahan-bahan inilah kemudian diolah secara kualitatif.

Tindakan pemberian hukuman atau sanksi oleh guru kepada anak didik yang diindikasikan sebagai tindak pidana kekerasan dapat didakwakan dengan pasal 351 KUHP atau pasal 80 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002. Pengaturan Perlindungan hukum bagi guru telah diatur dalam UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta adanya MoU antara PGRI dengan POLRI tentang mekanisme Pengaturan Perlindungan Profesi Guru dan tentang Perlindungan Anak di atur dalam UU No. 23 Tahun 2002. Dalam penerapannya didalam memberikan putusan, hakim telah menerapkan sesuai dengan unsur-unsur terhadap pasal yang didakwakan dan juga telah melihat alasan dari terdakwa serta melihat keadaan atau kondisi pada saat kejadian sebagai bahan pertimbangan terhadap penjatuhan

hukuman atau sanksi pidana.

 Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara

(10)

ABSTRAK Advend A M * Liza Erwina** Rafiqoh Lubis ***

Pendidikan merupakan suatu hal yang dijamin oleh Negara Republik Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam pasal 31 UUD 1945, dimana seluruh rakyat Indonesia untuk boleh dapat memilih dan menikmati pendidikan dan pengajaran. Kekerasan merupakan satu istilah yang tidak asing ditelinga kita. Fenomena kekerasan saat ini telah mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan sosial kita baik politik , budaya, bahkan hingga dunia pendidikan. Dalam dunia pendidikan kekerasan tersebut dapat dilakukan baik oleh sesama siswa, maupun dari guru oleh siswa. Sejak UU Perlindungan anak (UU No. 23 Tahun 2002) diundangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, praktis sejak saat itu adanya pemberian hukuman terhadap anak di sekolah menjadi sensasi berita yang hangat. Sehingga guru diperhadapkan dalam situasi yang dilematis dalam menjalankan tugas keprofesiannya

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah pengaturan tindak pidana kekerasan dalam proses belajar mengajar dari perspektif hukum pidana dan UU No 14 Tahun 2005 dan Bagaimanakah penerapan hukum pidana terhadap pelaku kekerasan kepada anak didik dalam kegitan belajar mengajar (Studi/Analisis Juridis Terhadap Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009).

Metode penelitian yang digunakan pada penulisan ini adalah penelitian hukum normatif atau yang disebut juga studi kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan khususnya perundang-undangan dan kepustakan hukum yang berkaitan dengan guru, perlindungan guru dan perlindungan anak. Data sekunder yang berupa dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah, pendapat sarjana, artikel-artikel dan bahan lainnya. Bahan-bahan inilah kemudian diolah secara kualitatif.

Tindakan pemberian hukuman atau sanksi oleh guru kepada anak didik yang diindikasikan sebagai tindak pidana kekerasan dapat didakwakan dengan pasal 351 KUHP atau pasal 80 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002. Pengaturan Perlindungan hukum bagi guru telah diatur dalam UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta adanya MoU antara PGRI dengan POLRI tentang mekanisme Pengaturan Perlindungan Profesi Guru dan tentang Perlindungan Anak di atur dalam UU No. 23 Tahun 2002. Dalam penerapannya didalam memberikan putusan, hakim telah menerapkan sesuai dengan unsur-unsur terhadap pasal yang didakwakan dan juga telah melihat alasan dari terdakwa serta melihat keadaan atau kondisi pada saat kejadian sebagai bahan pertimbangan terhadap penjatuhan

hukuman atau sanksi pidana.

 Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perlindungan merupakan sesuatu hal yang menjadi aspek terpenting di

dalam kehidupan manusia dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari. Dikatakan

sebagai aspek terpenting karena perlindungan memberi suatu jaminan untuk

keselamatan, kesehatan, dan keamanan dalam hidup manusia. Republik Indonesia

yang merupakan negara yang berlandaskan hukum masalah perlindungan diatur

dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang berbunyi “melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan berbangsa dan ikut melaksanakan ketertiban

dunia”. Oleh karena itu tujuan tersebut harus diwujudkan demi terwujudkan

tujuan negara yang sesungguhnya.

Juga berdasarkan alinea keempat tersebut, salah satu bentuk perlindungan

yang diberikan adalah dalam hal Pendidikan, dimana Negara Indonesia

memberikan jaminan kepada seluruh rakyat untuk dapat memilih dan menikmati

pendidikan dan pengajaran, sebagaimana juga yang tertuang didalam pasal 31

UUD 1945.

Pendidikan pertama–tama dapat dilihat sebagai aktivitas untuk mengubah

posibilitas, yaitu kemungkinan–kemungkinan yang didasarkan atas keterbukaan

(12)

manusia itu menjadi aktualitas. Implikasi kedua ialah bahwa perilaku manusia

tidak ditentukan sebelumnya. Perilaku manusia diperoleh melalui proses belajar.

Pendidikan adalah bagian dari proses manusia membangun dunianya atau

kebudayaanya. Karena itu, dapat dikatakan, pendidikan adalah suatu “keharusan”

dalam hidup manusia.1

Dalam dunia pendidikan, guru dan murid merupakan elemen dalam

mendukung terciptanya kegiatan belajar dan mengajar. Baik dalam pembelajaran

di dalam kelas maupun di luar kelas. Guru memang menempati kedudukan yang

terhormat di masyarakat. Guru dapat dihormati oleh masyarakat karena

kewibawaannya, sehingga masyarakat tidak meragukan figur guru. Masyarakat

percaya bahwa dengan adanya guru, maka dapat mendidik dan membentuk

kepribadian anak didik mereka dengan baik agar mempunyai intelektualitas yang

tinggi serta jiwa kepemimpinan yang bertanggungjawab. Jadi dalam pengertian

yang sederhana, guru dapat diartikan sebagai orang yang memberikan ilmu

pengetahuan kepada anak didik.

Seorang guru mempunyai kepribadian yang khas. Disatu pihak guru harus

ramah, sabar, menunjukkan pengertian, memberikan kepercayaan dan

menciptakan suasana aman. Akan tetapi di lain pihak, guru harus memberikan

tugas, mendorong siswa untuk mencapai tujuan, menegur, menilai, dan

mengadakan koreksi. Dengan demikian, kepribadian seorang guru seolah-olah

terbagi menjadi 2 bagian. Di satu pihak bersifat empati, di pihak lain bersifat

kritis. Di satu pihak menerima, di lain pihak menolak. Maka seorang guru yang

1

(13)

tidak bisa memerankan pribadinya sebagai guru, ia akan berpihak kepada salah

satu pribadi saja. Dan berdasarkan hal-hal tersebut, seorang guru harus bisa

memilah serta memilih kapan saatnya berempati kepada siswa, kapan saatnya

kritis, kapan saatnya menerima dan kapan saatnya menolak. Dengan perkatan lain,

seorang guru harus mampu berperan ganda. Peran ganda ini dapat di wujudkan

secara berlainan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.

Tugas guru sebagai suatu profesi, menuntut kepada guru untuk

mengembangkan profesionalitas diri sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Mendidik, mengajar, dan melatih anak didik adalah tugas guru sebagai

suatu profesi. Tugas guru sebagai pendidik, meneruskan dan mengembangkan

nilai-nilai hidup kepada anak didik.

Dunia pendidikan mengenal adanya pemberian penghargaan (reward) dan

hukuman (punishment), sebagai salah satu alat pendidikan pemberian hukuman

(punishment) kepada siswa yang melanggar bertujuan untuk mendidik siswa

tersebut. Hukuman yang diberikan bisa dalam bentuk teguran lisan ataupun

tertulis, bisa juga dalam bentuk hukuman lain yang bersifat mendidik,

memberikan efek jera untuk tidak mengulanginya. Tujuannya adalah agar siswa

tahu akan norma dan aturan yang berlaku.2

Pemberian hukuman yang dilakukan oleh guru ini yang sering diartikan

sama dengan tindakan kekerasan, penganiayaan, penyiksaan dan tindakan tidak

manusiawi oleh orang tua murid. Kekerasan merupakan satu istilah yang tidak

asing ditelinga kita dan ketika kita mendengar kata “kekerasan”. Fenomena

2

(14)

kekerasan saat ini telah mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan sosial kita baik

politik, budaya, bahkan hingga dunia pendidikan.3 Dalam dunia pendidikan

kekerasan tersebut dapat dilakukan baik oleh sesama siswa, maupun dari guru

kepada siswa.

Sejak UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002) diundangkan oleh

Pemerintah Republik Indonesia, praktis sejak saat itu adanya pemberian hukuman

terhadap anak di sekolah menjadi sensasi berita yang hangat.4 Salah satu contoh

kasus yaitu Guru SMK Gajah Mungkur (GM) 1 Wuryantoro berinisial M yang

dilaporkan menganiaya muridnya dikarenakan murid tersebut melanggar disiplin

saat upacara bendera5

Beberapa contoh kasus lainnya adalah Ahmad Guntur, guru SMPN 20

Kota Jambi, terdakwa kasus menampar siswanya, M. Tandriadi yang tertangkap

menonton film porno di telepon genggamnya saat jam pelajaran, dituntut

hukuman tiga bulan penjara dengan masa percobaan enam bulan.6 Kemudian Sari

Asih Sosiawati binti Rohmatan, guru SDN Tiuhbalak, Kecamatan Baradatu

dilaporkan Erwan, orang tua Diko, murid yang dicubitnya pada September 2012

lalu di Polsek Baradatu karena tidak mengerjakan ulangan serta terhitung sudah

3

Nanang Martono, Kekerasan Simbolik di Sekolah Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu, Penerbit PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hal. 1

4

http://www.kompasiana.com/post/read/501624/1/uu-perlindungan-anak-derita-guru.html Judul Artikel : UU Perlindungan Anak : Derita Guru, Diakses pada Minggu1 Februari 2015, pukul 21.00 WIB

5

http://www.solopos.com/2011/02/09/aniaya-murid-guru-smk-gm-1-terancam-hukuman-35-tahun-85302 Judul Artikel : Aniaya Murid, Guru SMK GM 1 Terancam Hukuman 3,5 Tahun, Diakses pada Jumat, 24 April 2015, Pukul 00.48 WIB

6

(15)

dua kali, sehingga dia mendapatkan nilai nol,7 serta kasus Rizali Hadi (RH). Terdakwa kasus guru cubit murid itu, dinyatakan bersalah melakukan tindak

penganiayaan terhadap anak di bawah umur dalam persidangan.8

Dari beberapa contoh kasus diatas, dapat dilihat bagaimana perbuatan

pemberian hukuman yang dilakukan oleh guru berujung pada dilaporkannya guru

tersebut kepada pihak yang berwajib, padahal apa yang dilakukan oleh guru

tersebut bertujuan untuk menegakkan disiplin kepada anak didik. Hal ini

menyebabkan eksistensi guru berada pada posisi sangat pasif dan menjadi sosok

yang serba salah dalam melaksanakan tugas keprofesiannya, dikarenakan takut

dilaporkan kepada pihak yang berwajib apabila guru tersebut memberikan

hukuman guna memberikan didikan tegas kepada anak murid. Sehingga guru

apabila seorang murid melakukan beberapa pelanggaran terhadap peraturan

disekolah cenderung melakukan pembiaran terhadap anak didik tersebut.

Pada saat ini guru seperti kehilangan kewenangannya di sekolah dalam

melakukan pengajaran dan seperti acuh terhadap tingkah laku siswa di sekolah.

Efeknya sangat jelas ketika hal tersebut berimbas kepada sikap, perilaku dan

moral siswa dalam kesehariannya seperti siswa akhirnya berani melawan guru,

7

http://sp.beritasatu.com/home/berlebihan-guru-cubit-murid-dipidanakan/33611 Judul artikel : Berlebihan, Guru Cubit Murid Dipidanakan, diakses pada Senin 7 Mei 2015, Pukul 13.17 WIB

8

(16)

siswa melakukan aksi ugal-ugalan dijalanan, bahkan siswa seperti tidak takut pada

apapun dalam kesehariannya.9

Penulis sepakat, guru bukan malaikat, bisa saja melakukan pelanggaran

hukum. Jika memang benar melakukan tindakan kriminal harus dihukum. Tetapi

dalam konteks kasus tersebut di atas, baik guru maupun keluarga anak didik tidak

menghendaki adanya peristiwa tersebut.

Peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh guru ini terjadi diakibatkan oleh

akumulasi beberapa faktor, baik dari guru ataupun murid itu sendiri, misalnya

tekanan beban kerja oleh guru, keadaan keluarga dari si guru, pola pengajaran

yang masih terpaku pada budaya lama, yaitu sistem pengajaran satu arah yang

masih menekankan pola otoritas dari guru tersebut, serta kurangnya komunikasi

antara guru dengan orang tua murid terhadap perilaku atau tindakan anak didik

selama proses belajar mengajar. Namun juga tindakan ini tidak terlepas dari sikap

murid dan kualitas murid dimana terjadi degradasi kualitas etika, tata krama, dan

sopan santun di kalangan pelajar di negeri ini yang sewaktu-waktu bisa memicu

tindakan spontanitas yang dinilai sebagai kekerasan oleh guru, seperti menampar,

mencubit, dan sejenisnya.

Di Indonesia, Perlindungan hukum terhadap guru telah diatur didalam UU

Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.Pasal 7 ayat (1) huruf h

mengamanatkan bahwa guru harus memiliki jaminan perlindungan hukum dalam

9

(17)

melaksanakan tugas keprofesionalan. Selanjutnya pada Pasal 39 secara rinci

dinyatakan:

1. Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau

satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.

2. Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan

hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

3. Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup

perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.

4. Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup

perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.

5. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.

Ketika guru terkena masalah hukum khususnya yang

berkaitan dengan tugasnya, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru

dan Dosen tersebut seharusnya dapat menjadi dasar payung hukum bagi guru

dalam hal perlindungan hukum profesi keguruan. Namun dalam prakteknya

perlindungan guru tersebut masih belum memberikan upaya yang optimal bagi

profesi guru. Sehingga guru seolah-olah berjuang sendiri dalam penyelesaian

masalahnya khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum.

Anak yang merupakan tunas generasi bangsa perlu diberikan suatu usaha

perlindungan dalam tumbuh dan berkembangnya dan guru adalah pendidik

profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,

(18)

pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam

melaksanakan tugasnya guru mendapat perlindungan. Perlindungan guru yang

dimaksud sebagaimana dimaksud pada UU Guru dan Dosen adalah perlindungan

hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan

kerja. Tujuannya agar guru tenang dalam melaksanakan tugas dan mampu bekerja

dengan baik.Sejauh mana perlindungan tersebut sudah dilaksanakan? Sampai

sejauh ini memang belum ada evaluasi yang menyeluruh. Tetapi secara umum,

memang perlindungan bagi guru dinilai masih rendah.

Maka dari itu penulis membuat judul skripsi tentang Tindak Pidana Kekerasan

dalam Proses Belajar Mengajar Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana dan UU

No 14 Tahun 2005 (Analisis Juridis Terhadap Putusan PT Medan No

274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009)

B. Rumusan Masalah

Berbicara mengenai guru cakupan sangat luas, maka dari itu penulis

membatasi permasalahan pada :

1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana kekerasan dalam proses belajar

mengajar dari perspektif hukum pidana dan UU No 14 Tahun 2005 ?

2. Bagaimanakah penerapan hukum pidana terhadap pelaku kekerasan

kepada anak didik dalam kegitan belajar mengajar ? (Studi/Analisis

Juridis Terhadap Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT-MDN dan

(19)

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana kekerasan yang dilakukan

oleh guru dalam proses belajar mengajar dikaitkan dengan perlindungan

terhadap anak dan guru.

2. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana terhadap guru pelaku

kekerasan kepada anak didik dalam kegiatan belajar mengajar.

D. Manfaat Penulisan

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dari segi :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dan

pengkajian dalam melaksanakan perlindungan guru dan anak.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi kepada

masyarakat terutama kalangan guru dan orang tua murid, dalam

menghadapi masalah guru melakukan kekerasan dalam kegiatan belajar

mengajar.

3. Secara akademis, hasil penelitian ini di harahapkan dapat menjadi

sumbangan bagi almamater penulis.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari Perpusatakaan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, skripsi yang berjudul

“Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Guru Dalam Proses Belajar Mengajar

Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana Dan Perlindungan Terhadap Guru

(20)

MA No 2024 K/Pid.Sus/2009)” belum pernah ditulis. Permasalahan yang

diajukan belum pernah dibahas oleh permasalahan skripsi lainnya. Adapun

judul skripsi tersebut diatas merupakan tulisan yang masih baru, belum pernah

ada tulisan lain dalam bentuk skripsi mengenai masalah ini dan belum pernah

dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Maka penulisan skripsi ini masih orisinil, dengan demikian penulis dapat

mempertanggungjawakan secara ilmiah.

F. Tinjauan Pustaka

1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam

hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat

dalam WvS Belanda dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP),

tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan

strafbaar feit itu.10Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar, dan

feit. Secara literlijk kata straf artinya pidana, baar artinya dapat atau boleh

dan feit adalah perbuatan.11

Berbagai istilah yang digunakan untuk menunjuk pengertian

strafbaar feit antara lain :12

a. Peristiwa pidana, dipakai dalam UUDS 1950 Pasal 14 ayat (1);

b. Perbuatan pidana, dipakai misalnya oleh UU No.1 Tahun 1945 tentang

Tindakan Sementara dan Cara Pengadilan-pengadilan Sipil;

c. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, dipakai oleh UU Darurat

No. 2 Tahun 1951 Tentang Perubahan Ordonantie Tijdelijke byzondere

bepaligen;

10

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 67

11

Ibid., hal 69

12

(21)

d. Hal yang diancam dengan hukum dan peraturan-peraturan yang dapat dikenakan hukuman, dipakai oleh UU Darurat No.16 Tahun 1951 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan;

e. Tindak Pidana, dipakai oleh UU Darurat No. 7 Tahun 1953 tentang

Pemilihan Umum, UU Darurat No.7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dan Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1964 tentang Kewajiban Kerja Bahkti dalam rangka Pemasyarakatan Bagi Terpidana Karena Tindak Pidana Yang Berupa Kejahatan.

f. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latindelictum juga

digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit.13

Pembentuk undang–undang kita telah menggunakan perkataan

strafbaarfeit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” didalam Kitab Undang–Undang Hukum pidana tanpa memberikan

sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan

perkataan strafbaarfeit tersebut. Perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa

Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau een gedeelte van de

werkelijkheid sedang strafbaar berarti “dapat dihukum” hingga secara

harafiah perkataan strafbaar feititu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian

dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak

tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu

sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan,

perbuatan ataupun tindakan.14

Secara literlijk istilah perbuatan adalah lebih tepat sebagai

terjemahan feit, seperti yang telah lama kita kenal dalam perbendaharaan

ilmu hukum kita, misalnya istilah materieele feit atau formeele feit (feeiten

een formeele omschrijving, untuk rumusan perbuatan dalam tindak pidana

13

Adami Chazawi, Op.Cit., hal 68

14

(22)

formil). Demikian juga istilah feitdalam banyak rumusan norma-norma

tertentu dalam WvS (Belanda) demikian juga WvS (Hindia Belanda)15

Terdapat perbedaan pandangan oleh para ahli dalam pemberian

pengertian dari strafbaar feit, yaitu pandangan dualistis, adalah

pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan

dan pandangan monistis, yakni pandangan yang tidak memisahkan antara

unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri

orangnya.

Beberapa pengertian dari tindak pidana (strafbaar feit), menurut

para ahli yang dapat digolongkan menganut pandangan dualistis adalah :16

1. Menurut W.P.J Pompe, suatu strafbaar feit (definisi menurut hukum

positif) itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.

2. Menurut H.B. Vos, strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang

diancam pidana oleh undang-undang.

3. Menurut R.Tresna, persitiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan atau

rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.

Menurut ajaran dualistis pertanggungjawaban pidana itu terpisah

dengan tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana bukanlah unsur tindak

pidana. Pertanggungjawaban pidana berkenaan dengan syarat atau tidak

dipidananya seorang pelaku yang terbukti telah melakukan tindak pidana

atau melanggar larangan berbuat dalam hukum pidana.17

15

Adami Chazawi, Op.Cit., hal 70

16

Mohammad Ekaputra, Dasar–Dasar Hukum Pidana Indonesia, USU Press, Medan, 2010, hal 81

17

(23)

Adapun pengertian tindak pidana menurut beberapa ahli hukum

yang digolongkan menganut pandangan monistis, yaitu18 :

1. Simons dalam P.A.F. Lamintang, merumuskan strafbaar feit sebagai

suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum

2. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan tindak pidana berarti suatu

perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

3. J.E. Jonkers dalam Bambang Poernomo, telah memberikan definisi

strafbaar feit menjadi dua pengertian :

a. Definisi pendek adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam

pidana oleh Undang-undang

b. Definisi panjang atau yang lebih mendalam, adalah suatu kelakuan

yang melawan hukum (wederrechttelijk) berhubung dilakukan

dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dapat dipertanggung jawabkan.

4. J.Bauman dalam Sudarto merumuskan, bahwa tindak pidana

merupakan perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui, bahwa penganut aliran

monistis tidak secara tegas memisahkan antara unsur tindak pidana dengan

syarat untuk dapat dipidananya pelaku, syarat untuk dapatnya dipidananya

itu masuk kedalam dan menjadi unsur tindak pidana, sedangkan bagi

penganut aliran dualistis unsur mengenai diri (orang) yakni adanya

pertanggungjawaban pidana bukan merupakan unsur tindak pidana

melainkan syarat untuk dapat dipidananya pelaku.19

Penjabaran suatu tindak pidana ke dalam unsur–unsurnya dan

kemahiran untuk menentukan keadaan–keadaan yang dapat dimasukkan

sebagai “essentialia dari delik” adalah sangat penting dalam hubungannya

18

Ibid., hal 85

19

(24)

dengan ajaran mengenai opzet dan culpa serta dalam hubungannya dengan

penerapan dari hukum acara pidana.20

Setiap tindak yang terdapat dalam Kitab Undang–Undang Hukum

Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan kedalam unsur–unsur yang

pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur–

unsur subjektif dan unsur–unsur objektif.21

Terhadap unsur-unsur tersebut dapat diutarakan sebagai berikut :

1. Unsur subjektif

Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku.

Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan” (An act does not make a person guilty unless the mind is

guilty or actus non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang

dimaksud disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan

(intention/opzet/dolus) dan kealpaan (negligence or schuld). Pada

umumnya para pakar telah menyetujui bahwa “kesengajaan” terdiri

atas tiga bentuk, yakni :

1) Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk);

2) Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als

zekerheidsbewustzijn);

3) Kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus

evantualis)

20

P.A.F. Lamintang, Op. Cit., hal 190

21

(25)

Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari

kesengajaan. Kealpaan terdiri atas dua bentuk, yakni :

1) Tak berhati-hati;

2) Dapat menduga akibat perbuatan itu.22

2. Unsur Objektif

Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri

atas :

a. Perbuatan manusia, berupa :

1) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif;

2) Onmission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu

perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan;

b. Akibat (result) perbuatan manusia

Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan

menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh

hukum, misalnya nyawa, badan, hak milik, kehormatan, dan

sebagainya.

c. Keadaan-keadaan (circumstances)

Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain :

1) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan;

2) Keadaan setelah perbuatan dilakukan.

d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum

22

(26)

Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang

membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan

hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum,

yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.

Semua unsur delik tersebut merupakan satu kesatuan. Salah satu

unsur saja tidak terbukti, biasa menyebabkan terdakwa dibebaskan dari

pengadilan.23

4. Pengertian dan Jenis-Jenis Kekerasan

Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan sebuah

perilaku, baik terbuka (overt) atau tertutup (covert) dan baik yang bersifat

menyerang (offensive) atau bersifat bertahan (deffensive) yang disertai

penggunaan kekuatan kepada orang lain 24

Abuse adalah kata yang biasa diterjemahkan menjadi kekerasan,

penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Dalam The Social Work

Dictionary, Barker mendefinisikan abuse sebagai “improper behavior intended to cause physcal, psychological, or fiancial harm to an individual

or group” (Kekerasan adalah perilaku tidak layak yang mengakibatkan

kerugian atau bahaya fisik, psikologis, atau finansial, baik yang dialami

oleh individu atau kelompok)25.

Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran

(penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang akan

23

Ibid., hal 10 24

Thomas Santoso,Teori- Teori Kekerasan, Penerbit PT. Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal . 11

25

(27)

menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau

menyakiti orang lain. Istilah “kekerasan” juga mengandung

kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.

Kerusakan harta benda biasanya dianggap masalah kecil dibandingkan

dengan kekerasan terhadap orang.

Dalam kamus bahasa Indonesia kekerasan diartikan dengan perihal

yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cidera

atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang

orang lain, atau ada paksaan.26 Menurut penjelasan ini, kekerasan itu

merupakan wujud perbuatan yang bersifat fisik yang mengakibatkan luka,

cacat, sakit atau penderitaan pada orang lain. Salah satu unsur yang perlu

diperhatikan adalah berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak adanya

persetujuan pihak lain yang disakiti.

Black’s Law Dictionary menyatakan bahwa kejahatan dengan

kekerasan merupakan suatu kejahatan yang mempergunakan elemen

kekerasan fisik, mencoba menggunakan, mengancam untuk menggunakan

atau menimbulkan resiko yang penting dari penggunaan kekerasan fisik

pada seseorang atau harta benda lainnya (violent crime : a crime that has

an element the use, attempted use, threatened use, or substantial risk of

use ouse of physical force against the person, or property of another-also

termed crime of violence).27

26

Trisno Yuwono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, Arkola, Surabaya, 1994, hal. 223

27

(28)

Asumsi yang muncul dan berlaku general, bahwa setiap modus

kekerasan itu merupakan wujud pelanggaran hak asasi manusia, artinya

berbagai bentuk kekerasan yang terjadi ditengah masyarakat misalnya

berakibat bagi kerugian orang lain.

Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk

kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau

yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan

oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak seperti yang

terjadi dalam perang (yakni kekerasan antar-masyarakat) dan terorisme.28

Kondisi perilaku kekerasan dewasa ini sangat mengganggu ketentraman

hidup kita. Jika hal ini dibiarkan, dengan tidak ada upaya sistematik untuk

mencegahnya, tidak mustahil hal ini menjadi faktor kerugian bagi kita

sebagai bangsa yang besar .

Secara yuridis, apa yang dimaksud dengan kejahatan dengan

kekerasan tidak secara otentik dijelaskan dalam Kitab Undang- Undang

Hukum Pidana (KUHP), hanya saja dalam Bab IX Pasal 89 KUHP

dinyatakan bahwa membuat orang pingsan atau membuat orang tidak

berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Dengan demikian

kejahatan kekerasan merupakan kejahatan yang dilakukan dan disertai

dengan menggunakan kekuatan fisik yang mengakibatkan korban pingsan

atau tidak berdaya.29

28

Diakses dari www.wikipedia.com

29

(29)

Pasal 89 ini hanya mengatur mengenai perbuatan yang disamakan

dengan kekerasan. Melakukan kekerasan artinya menggunakan tenaga atau

kekuatan jasmani yang tidak kecil dan secara tidak sah, misalnya memukul

dengan tangan atau segala macam senjata, menyepak, menendang dan

lain-lain. Pingsan artinya tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya,

umpamanya memberi minuman racun kecubung atau obat, sehingga orang

tidak ingat lagi. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang

terjadi pada dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai tenaga sama

sekali sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun. Orang

yang tidak berdaya masih sadar apa yang terjadi pada dirinya.30

Dalam kehidupan nyata dalam masyarakat, kita dapat menjumpai

beberapa bentuk–bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota

masyarakat yang satu terhadap anggota masyarakat lainnya. Oleh karena

itu, ada empat jenis kekerasan yang dapat diidentifikasi :31

1. Kekerasan terbuka, kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian;

2. Kekerasan tertutup, kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan

langsung, sperti perilaku mengancam;

3. Kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk

perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti penjabalan;

4. Kekerasan defensif, kekerasan yang dilakukan sebagai perindungan

diri.

Baik kekerasan agresif maupun defensif biasa bersifat terbuka atau

tertutup.

30

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy :Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam menanggulangi Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, hal 34

31

(30)

Martin R. Haskel dan Lewis Yasblonski mengemukakan ada empat

kategori sebagai bentuk dari kekerasan, yaitu :32

a. Legal, sanctioned, rational violence, kategori ini merupakan kekerasan yang mendapat dukungan oleh hukum. Tindakan kekerasan ini misalnya Tentara atau polisi yang melakukan kekerasan di dalam melaksanakan tugasnya. Kekerasan ini juga terdapat pada olahrag-olahraga agresif tertentu, misalnya tinju, sepakbola, serta tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mempertahankan diri.

b. Illegal, rational, socially sanctioned violence, yaitu kekerasan yang tergolong illegal yang juga mendapat sanksi social. Dalam hal ini, faktor yang penting untuk menganalisa kekerasan adalah tingkat dukungan atau sanksi sosial terhadap kekerasam tersebut.

c. Illegal, nonsacntioned, rational violence, yaitu kekerasan yang illegal, yang dipandang rasional dan tidak ada sanksi sosialnya. Kekerasan ini biasanya digunakan oleh pelaku kejahatan dan dianggap rasional dalam konteks melakukan kejahatan. Kekerasan dalam kategori ini misalnya kekerasan untuk memperoleh keuntungan financial, kejahatan perampokan atau tindakan pembunuhan dalam kejahatan terorganisir.

d. Illegal, nonsanctioned, irrational violence, merupakan kekerasan yang tidak rasional dan melawan hukum. Kekerasan ini juga dikenal sebagai “kekerasan tidak berperasaan” (senseless violence) yang terjadi tanpa didahului oleh adanya provokasi dan tidak adanya motivasi yang logis.

Sedangkan dalam Kitab Undang–Undang Hukum Pidana

mengemukakan jenis–jenis kejahatan yang disertai dengan kekerasan,

yaitu :

1. Kejahatan terhadap nyawa orang lain pasal 338 – 350.

2. Kejahatan penganiayaan pasal 351 – 358

3. Kejahatan seperti pencurian, penodongan, perampokan pasal 365

4. Kejahatan terhadap kesusilaan pasal 285, 289

5. Kejahatan yang menyebabkan kematian atau luka karena kealpaan

359-361

32

(31)

The Federal Bureau of Investigation, dibawah Uniform Crime

Reporting Program, telah mengembangkan jenis–jenis kejahatan dengan

kekerasan, yaitu:33

1. Kejahatan pembunuhan yang meliputi pembunuhan dan pembantaian

manusia yang bukan merupakan kelalaian, pembunuhan dengan sengaja (bukan kelalaian) yang dilakukan seseorang terhadap orang

lain (Criminal homicide, comprising murder and nonnegligent

manslaughter, the willfull (nonnegligent) killing of one human being by another).

2. Perkosaan dengan kekerasan, yaitu menguasai jasmani seorang wanita

dengan ancaman penggunaan kekerasan dan melawan kehendaknya (Forcible rape, the carnal knowledge of a female forcibly and against her will).

3. Perampokan : Pengambilan atau berusaha mengambil sesuatu yang

berharga dari perawatan, penjagaan atau pengawasan seseorang atau banyak orang dengan menggunakan kekerasan atau ancaman

kekerasan dan/atau menyebabkan korban ketakutan (Robbery : taking

or attempting to take something of value from the care, custody, or control of a person or persons by force or threat of force or violence and/or by putting Victim in fear).

4. Penganiayaan berat, serangan yang dilakukan oleh seseorang terhadap

orang lain secara melawan hukum, dengan tujuan mengakibatkan luka

parah atau luka berat (aggravated assault : an unlawfull attack by one

person upon anoter for the purpose of inflichting severe or aggravated bodily injury).

5. Serangan lainnya (yang sederhana), serangan atau usaha untuk

melakukan penyerangan dengan tidak menggunakan senjata dan tidak

mengakibatkan luka–luka yang serius atau luka berat pada korban

(Other Assault (simple) : assault and attempted assault where no weapon was used and which did not result in serious or aggravated injury to victim).

Berdasarkan pembagian diatas, maka secara garis besarnya,

kejahatan kekerasan terdiri dari pembunuhan, perkosaan, perampokan,

dan penganiyaan berat.34

33

Ibid,.hal 6-7

34

(32)

5. Peran dan Fungsi Guru

Guru merupakan bagian dari tenaga kependidikan sebagaimana yang

diatur dalam UU No 20 Tahun 2003, dimana Pendidik menurut UU No 20 Tahun

2003 Pasal 1 ayat (6) menyebutkan :“Pendidik adalah tenaga kependidikan yang

berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor,

instruktor, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya serta

berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.”

Sedangkan pengertian guru menurut UU No 14 Tahun 2005 Pasal (1)

menyebutkan : Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi

peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan

dasar, dan pendidikan menengah.

Oleh karena itu, guru yang profesional adalah guru yang mempunyai

kompetensi. Hal ini juga disebutkan dalam UU No. 14 Tahun 2004 Pasal

10 ayat (1) yaitu bahwa guru dituntut untuk memiliki kompetensi pedagogik,

kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang

diperoleh melalui pendidikan profesi.

Definisi yang kita kenal sehari–hari adalah bahwa guru merupakan orang

yang harus digugu dan ditiru, dalam arti orang yang memiliki kharisma atau

wibawa. 35 Harus digugu artinya segala sesuatu yang disampaikan olehnya

senantiasa dipercaya dan diyakini sebagai kebenaran oleh semua murid.

Sedangkan ditiru artinya seorang guru harus menjadi suri teladan (panutan) bagi

35

(33)

semua muridnya. Untuk itulah guru harus dapat menjadi contoh bagi peserta

didik, karena pada dasarnya guru adalah representasi dari sekelompok orang pada

suatu komunitas atau masyarakat yang diharapkan dapat menjadi teladan, yang

dapat digugu dan ditiru.36

Secara tradisional atau oleh masyarakat awam guru adalah seorang yang

berdiri didepan kelas untuk menyampaikan ilmu pengetahuan. Guru sebagai

pendidik dan pengajar anak, guru diibaratkan seperti ibu kedua yang mengajarkan

berbagai macam hal yang baru dan sebagai fasilitator anak supaya dapat belajar

dan mengembangkan potensi dasar dan kemampuannya secara optimal,hanya saja

ruang lingkupnya guru berbeda, guru mendidik dan mengajar di sekolah negeri

ataupun swasta.

Secara umum guru memiliki fungsi untuk menunjang terselenggaranya

sistem pendidikan nasional dan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional,

serta memiliki peran sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan

pedidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang

demokratis dan bertanggung jawab.

Tugas guru sebagai suatu profesi meliputi mendidik dalam arti

meneruskan dan mengembangkan nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan

mengembangkan iptek, sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan

peserta didik. Tugas guru dalam bidang kemanusiaan meliputi bahwa guru

36

(34)

disekolah harus dapat menjadi orang tua kedua, dapat memahami peserta didik

dengan tugas perkembangannya mulai dari sebagai makhluk bermain

(homoludens), sebagai makhluk remaja/berkarya (Homopither), dan sebagai

makhluk berpikir/dewasa (Homosapiens).37

Terdapat beberapa peran guru dalam proses pembelajaran tatap muka,

yaitu sebagai berikut :

a. Pemimpin belajar, dalam arti guru sebagai perencana, pengorganisasi,

pelaksana, dan pengontrol kegiatan belajar peserta didik.

b. Fasilitator belajar, dalam arti guru sebagai pemberi kemudahan kepada peserta

didik dalam melakukan kegiatan belajarnya melalui upaya dalam berbagai bentuk.

c. Moderator belajar, dalam arti guru sebagai pengatur arus kegiatan belajar

peserta didik. Guru sebagai moderator tidak hanya mengatur arus kegiatan belajar, tetapi juga bersama peserta didik harus menari kesimpulan atau jawaban masalah sebagai hasil belajar peserta didik, atas dasar semua pendapat yang telah dibahas dan diajukan peserta didik.

d. Motivator belajar, dalam arti guru sebagai pendorong peserta didik agar mau

melakukan kegiatan belajar kegiatan belajar. Sebagai motivator guru harus dapat menciptakan kondisi kelas yang merangsang peserta untuk mau melakukan kegiatan belajar, baik individual maupun kelompok.

e. Evaluator belajar, dalam arti guru sebagai penilai yang objektif dan

komprehensif. Sebagai evaluator, guru berkewajiban mengawasi, memantau proses pembelajaran peserta didik dan hasil belajar yang dicapainya. Guru juga berkewajiban untuk melakukan upaya perbaikan proses belajar peserta didik, menunjuk kelemahan dan cara memperbaikinya, baik secara individual,

kelompok, maupun secara klasikal.38

Guru sejatinya adalah seorang pribadi yang harus serba bisa dan serba

tahu. Serta mampu mentransferkan kebiasaan dan pengetahuan pada muridnya

dengan cara yang sesuai dengan perkembangan dan potensi anak didik.Begitu

banyak peran yang harus diemban oleh seorang guru. Peran yang begitu berat

dipikul di pundak guru hendaknya tidak menjadikan calon guru mundur dari tugas

37

Ibid, hal. 20

38

(35)

mulia tersebut. Peran-peran tersebut harus menjadi tantangan dan motivasi bagi

calon guru. Dia harus menyadari bahwa di masyarakat harus ada yang menjalani

peran guru. Bila tidak, maka suatu masyarakat tidak akan terbangun dengan utuh.

Penuh ketimpangan dan akhirnya masyarakat tersebut bergerak menuju

kehancuran.

G. Metode penelitian

Metode penelitian diperlukan sebagai suatu tipe pemikiran secara

sistematis yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian skripsi, yang pada

akhirnya bertujuan mencapai keilmiahan dari penulisan skripsi. Dalam penulisan

skripsi ini, metode penelitian yang dipakai oleh penulis adalah sebagai berikut :

1. Jenis dan Sifat

Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif ini disebut juga

dengan studi kepustakaan atau studi dokumen.

Adapun sifat dari penulisan skripsi ini adalah penelitian deskriptif, yaitu

penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin

tentang keadaan yang menjadi objek penelitian sehingga akan mempertegas

hipotesa dan dapat membantu memperkuat teori lama atau teori baru.

2. Jenis dan Sumber Data

Penelitian hukum Normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data

utama. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek

(36)

bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder, dan bahan hukum tertier guna memecahkan dan menjawab

permasalahan pada objek penelitian.

Data sekunder yang penulis pakai adalah sebagai berikut :

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang–undangan yang terkait,

antara lain : UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU

no 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU No 23 tahun 2003, tentang

Perlindungan Anak, MoU PGRI dengan POLRINo.B/53/XII/2012 dan No

1003/UM/PB/XX/2012, serta Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP).

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer seperti buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi,

artikel, artikel, hasil–hasil penelitian, laporan-laporan, dan sebagainya yang

diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum,

jurnal ilmiah, dan bahan – bahan lainyang relevan dan dapat digunakan untuk

melengkapi data yag diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dari penulisan ini dilakukan melalui teknik studi

pustaka (literature research) dan juga melalui bantuan media elektronik, yaitu

internet.Untuk memperoleh data dari sumber ini penulis memadukan,

mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku–buku dan arti–arti yang

(37)

4. Analisis Data

Mengumpulkan bahan hukum sekunder, dan tertier yang relevan dengan

permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini. Kemudian dilakukan pemilahan

terhadap bahan–bahan hukum relevan tersebut diatas agar sesuai dengan masing–

masing permasalahan yang dibahas. Kemudian mengolah dan

menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan. Dan

memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yaitu

kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dantulisan.

H. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini telah dibuat secara terperinci dan sistematis, hal ini

bertujuan agar dapat memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami

makna dari penulisan skripsi ini. Keseluruhan daripada sistematika tersebut adalah

satu kesatuan yang saling berkesinambungan dan berhubungan antara satu sama

lain yang dapat dilihat sebagai berikut :

BAB I : Bab pertama ini merupakan bab pendahuluan, pada bab ini dimuat

apa yang menjadi latar belakang penulis dalam menulis skripsi ini, kemu dian apa

masalah yang dapat dirumuskan dalam rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penulisan skripsi ini, keaslian penulisan, metode penulisan dan sistematika

penulisan

BAB II : Bab kedua merupakan bab pembahasan, pada bab pembahasan ini

(38)

perlindungan guru dan tentang perlindungan anak dikaitkan dengan kekerasan

yang dilakukan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar.

BAB III : Bab ketiga ini juga merupakan bab pembahasan, pada bab ini akan

membahas mengenai penerapan hukum pidana terhadap guru pelaku kekerasan

kepada anak didik dalam kegiatan belajar mengajar serta analisa kasus dari

putusan.

BAB IV : Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran yang berfungsi untuk

memberikan masukan bagi perkembangan hukum pidana di masa yang akan

(39)

BAB II

TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN UU NO 14

TAHUN 2005

A. Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Fisik Dalam Hukum Pidana

Kekerasan fisik adalah agresi fisik diarahkan pada seorang anak oleh

orang dewasa. Hal ini dapat melibatkan meninju, memukul, menendang,

mendorong, menampar, membakar, membuat memar, menarik telinga atau

rambut, menusuk, membuat tersedak atau menguncang seorang anak.39

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 89 dinyatakan bahwa

membuat orang pingsan atau membuat orang tidak berdaya disamakan dengan

menggunakan kekerasan. Dengan demikian kejahatan kekerasan merupakan

kejahatan yang dilakukan dan disertai dengan menggunakan kekuatan fisik yang

mengakibatkan korban pingsan atau tidak berdaya.40 Selain itu kekerasan sering

dilakukan bersama dengan salah satu bentuk tindak pidana, misalnya pencurian

dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP),

perkosaan (Pasal 285 KUHP), dan seterusnya.41

Tindak pidana tersebut dilakukan dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan, sedangkan cara bagaimana kekerasan dilakukan atau alat apa yang

dipakai, masing-masing tergantung pada kasus yang timbul. Jadi sifatnya

39

https://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak Judul Artikel : Kekerasan Terhadap Anak, diakses pada Senin 3 Agustus 2015, Pukul 13.40 WIB

40

R.Soesilo, Loc.cit

41

(40)

kasuistis. Perbuatan tersebut dapat menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun

perempuan, dari anak-anak sampai dewasa.42

Dalam Undang-undang Perlindungan anak (UU No 23 Tahun 2002)

mengenai kekerasan ini telah diatur dalam Pasal 4 yaitu salah satu hak anak untuk

mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, juga dalam Pasal 13

dijelaskan tentang perlindungan anak selama dalam pengasuhan salah satunya

pada huruf (d) dijelaskan perlindungan dari kekejaman, kekerasan, dan

penganiayaan. 43Adapun kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan yang

ditujukan pada anak yang berakibat kesengsaraan dan penderitaan baik fisik

maupun psikis, baik yang terjadi didepan umum atau dalam kehidupan pribadi.

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa kekerasan itu bukan hanya

tindakan secara fisik, tetapi juga dapat secara psikis. Tindakan fisik langsung bisa

dirasakan akibatnya oleh korban serta dapat dilihat oleh siapa saja.

Kekerasan anak secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan

penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda–benda

tertentu, yang menimbulkan luka–luka fisik atau kematian pada anak.44 Sedang

dalam UU PKDRT sebagaimana yang disebutkan pada pasal 9, kekerasan fisik

adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.45

Sehingga dapat dsimpulkan bahwa kekerasan fisik merupakan tindakan

fisik yang ditujukan kepada anak dengan menggunakan kekuatan fisik baik

dengan cara meninju, memukul, menendang, menampar dan sebagainya yang

42

Ibid.,

43

Ibid, hal 60

44

Abu Huraerah, Op.Cit, hal 37 45

(41)

dapat menimbulkan penderitaan fisik baik luka-luka atau dapat berujung kematina

pada anak. Kekerasan fisik ini dapat langsung dirasakan serta dapat dirasakan

oleh siapa saja.

B. Perlindungan Terhadap Hak-Hak Anak dalam UU No. 23 Tahun 2002

Dikaitkan Dengan Kekerasan yang Dilakukan Guru Terhadap Anak

dalam Proses Belajar Mengajar

Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana

setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Adapun perlindungan

anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat.

Perlindungan anak merupakan suatu bidang Pembangunan Nasional. Melindungi

anak adalah melindungi manusia, adalah membangun manusia seutuhnya.

Mengabaikan masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan Pembangunan

Nasional.46

Konsepsi perlindungan anak meliputi ruang lingkup yang luas, dalam arti

bahwa perlindungan anak tidak hanya mengenai perlindungan atas semua hak

serta kepentingan yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya

dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial, dan perlindungan anak

juga menyangkut aspek pembinaan generasi muda. Terhadap anak dalam kasus

apapun, kepentingan anak selalu diutamakan berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan :

46

(42)

a. Bahwa anak–anak harus dijunjung tinggi oleh setiap orang dengan tidak

lupa menanamkan rasa tanggung jawab kepadanya untuk melaksanakan

kewajibannya sebagai warga negara, warga masyarakat, dan anggota

keluarga dalam batas–batas tertentu yang menghimbau anak dalam

melaksanakan kewajiban itu.

b. Bahwa perlindungan anak dalam arti hak–hak dan kebutuhannya secara

optimal bertanggung jawab, merupakan usaha bagi kepentingan masa

depan anak dan pembinaan generasi mendatang. 47

Oleh Aminah Aziz, mengutip pendapat Barda Nawawi Arief dengan

menggunakan istilah perlindungan hukum anak dan diartikan sebagai

perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak

(fundamental right and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang

berhubungan dengan kesejahteraan anak.48

Masalah perlindungan hukum dan hak–haknya anak bagi anak–anak

merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak–anak Indonesia.

Agar perlindungan hak–hak anak dapat dilakukan secara teratur, tertib dan

bertanggung jawab maka diperlukan peraturan hukum yang selaras dengan

perkembangan masyarakat Indonesia yang dijiwai sepenuhnya oleh Pancasila dan

UU Dasar 1945. Dalam kaitannya dengan persoalan perlindungan hukum bagi

anak–anak, maka dalam UUD 1945 pada Pasal 34 telah ditegaskan bahwa “fakir

miskin dan anak–anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Hal ini menunjukkan

47

Aminah Aziz, Aspek Hukum Perlindungan Anak,USU Press,Medan, 1998, hal 26

48

(43)

adanya perhatian serius dari pemerintah terhadap hak–hak anak dan

perlindungannya.

Pengaturan perlindungan anak diatur dalam UU No 23 Tahun 2002,

dimana pada Pasal 1 ayat (2) menyebutkan : Perlindungan anak adalah segala

kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak–haknya agar dapat hidup,

tumbuh, dan berkembang, dan berpastisipasi secara optimal sesuai dengan harkat

dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi.

Sehingga yang menjadi cakupan dari perlindungan anak adalah meliputi

non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup,

kelangsungan hidup, dan perkembangan, dan penghargaan terhadap pendapat

anak. Perlindungan anak memiliki tujuan, sebagaimana yang diatur didalam Pasal

3 UU No 23 Tahun 2002 yaitu “untuk menjamin terpenuhinya hak–hak agar anak

dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan

harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan

dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak

mulia dan sejahtera.

Undang–Undang Perlindungan Anak dibuat dan dirancang dalam rangka

bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap–tiap

warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap anak yang merupakan hak

asasi manusia, dimana bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

Esa, yang didalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia

(44)

luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun

sosial, dan berakhlak mulia, dan perlu dilakukan perlindungan serta untuk

mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap

pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.

Sebagaimana tertulis dalam Pasal 1 ayat (2), yang disebut dengan

perlindungan anak adalah : Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk

menjamin dan melindungi anak dan hak–haknya agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Serta,

pada Pasal 2, ayat 3 dan 4, Undang–Undang Republik Indonesia No. 4 tahun

1979, Tentang Kesejahteraan Anak berbunyi sebagai berikut : Anak berhak atas

pemeliharaan dan perlindungan, baik semsa dalam kandungan maupun sesudah

dilahirkan. Anak berhak atas perindungan–perlindungan terhadap lingkungan

hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan

perkembangan dengan wajar. Kedua ayat ini dengan jelas menyatakan dan

mendorong perlu adanya perlindungan anak dalam rangka mengusahak

Referensi

Dokumen terkait

Potensi wisata adalah sumberdaya alam yang beraneka ragam, dari aspek fisik dan hayati, serta kekayaan budaya manusia yang dapat dikembangkan untuk pariwisata. Banyu

[r]

Sistem penjualan barang rietail ini memerlukan peranan komputer beserta software untuk mencapai hasil yang optimal, dalam hal ini laporan penjualan yang dibuat oleh kasir untuk manager

• Potongan-potongan kertas tersebut ditulisi kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pembelajaran tematik.. • Peserta berhimpun dalam

Dalam hal ini ppenulis mencoba menulis dan membuat suatu alat yang banyak digunakan masyarakat, yaitu tentang jam melayang sebagian orang mungkin akan bertanya bagaimana sebenarnya

- Tabel ini berisi informasi mengenai perkiraan jumlah biaya sekolah (pengembangan dan operasional) dalam kurun 4 tahun mendatang - Inputlah jumlah peserta yang akan dilatih

Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang digunakan sebagai upaya penyelenggaraan dan pembangunan kesehatan dituntut untuk terus meningkatkan dan

Pengaruh Kemampuan Berargumentasi Pada Model Problem Based Learning Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas X Mata Pelajaran Biologi SMA Negeri.. Patikraja Tahun Ajaran 2012/2013 Oleh