• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Tinjauan Pustaka

1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu.10Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar, dan

feit. Secara literlijk kata straf artinya pidana, baar artinya dapat atau boleh

dan feit adalah perbuatan.11

Berbagai istilah yang digunakan untuk menunjuk pengertian strafbaar feit antara lain :12

a. Peristiwa pidana, dipakai dalam UUDS 1950 Pasal 14 ayat (1);

b. Perbuatan pidana, dipakai misalnya oleh UU No.1 Tahun 1945 tentang

Tindakan Sementara dan Cara Pengadilan-pengadilan Sipil;

c. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, dipakai oleh UU Darurat

No. 2 Tahun 1951 Tentang Perubahan Ordonantie Tijdelijke byzondere

bepaligen;

10

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 67

11

Ibid., hal 69

12

d. Hal yang diancam dengan hukum dan peraturan-peraturan yang dapat dikenakan hukuman, dipakai oleh UU Darurat No.16 Tahun 1951 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan;

e. Tindak Pidana, dipakai oleh UU Darurat No. 7 Tahun 1953 tentang

Pemilihan Umum, UU Darurat No.7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dan Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1964 tentang Kewajiban Kerja Bahkti dalam rangka Pemasyarakatan Bagi Terpidana Karena Tindak Pidana Yang Berupa Kejahatan.

f. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latindelictum juga

digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit.13

Pembentuk undang–undang kita telah menggunakan perkataan

strafbaarfeit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” didalam Kitab Undang–Undang Hukum pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan

perkataan strafbaarfeit tersebut. Perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa

Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau een gedeelte van de werkelijkheid sedang strafbaar berarti “dapat dihukum” hingga secara

harafiah perkataan strafbaar feititu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian

dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak

tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan,

perbuatan ataupun tindakan.14

Secara literlijk istilah perbuatan adalah lebih tepat sebagai

terjemahan feit, seperti yang telah lama kita kenal dalam perbendaharaan

ilmu hukum kita, misalnya istilah materieele feit atau formeele feit (feeiten

een formeele omschrijving, untuk rumusan perbuatan dalam tindak pidana

13

Adami Chazawi, Op.Cit., hal 68

14

P.A.F Lamintang, Dasar–Dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal 181

formil). Demikian juga istilah feitdalam banyak rumusan norma-norma

tertentu dalam WvS (Belanda) demikian juga WvS (Hindia Belanda)15

Terdapat perbedaan pandangan oleh para ahli dalam pemberian

pengertian dari strafbaar feit, yaitu pandangan dualistis, adalah

pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan dan pandangan monistis, yakni pandangan yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya.

Beberapa pengertian dari tindak pidana (strafbaar feit), menurut

para ahli yang dapat digolongkan menganut pandangan dualistis adalah :16

1. Menurut W.P.J Pompe, suatu strafbaar feit (definisi menurut hukum

positif) itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.

2. Menurut H.B. Vos, strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang

diancam pidana oleh undang-undang.

3. Menurut R.Tresna, persitiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan atau

rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.

Menurut ajaran dualistis pertanggungjawaban pidana itu terpisah

dengan tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana bukanlah unsur tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana berkenaan dengan syarat atau tidak dipidananya seorang pelaku yang terbukti telah melakukan tindak pidana

atau melanggar larangan berbuat dalam hukum pidana.17

15

Adami Chazawi, Op.Cit., hal 70

16

Mohammad Ekaputra, Dasar–Dasar Hukum Pidana Indonesia, USU Press, Medan, 2010, hal 81

17

Adapun pengertian tindak pidana menurut beberapa ahli hukum

yang digolongkan menganut pandangan monistis, yaitu18 :

1. Simons dalam P.A.F. Lamintang, merumuskan strafbaar feit sebagai

suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum

2. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan tindak pidana berarti suatu

perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

3. J.E. Jonkers dalam Bambang Poernomo, telah memberikan definisi

strafbaar feit menjadi dua pengertian :

a. Definisi pendek adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam

pidana oleh Undang-undang

b. Definisi panjang atau yang lebih mendalam, adalah suatu kelakuan

yang melawan hukum (wederrechttelijk) berhubung dilakukan

dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dapat dipertanggung jawabkan.

4. J.Bauman dalam Sudarto merumuskan, bahwa tindak pidana

merupakan perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui, bahwa penganut aliran monistis tidak secara tegas memisahkan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapat dipidananya pelaku, syarat untuk dapatnya dipidananya itu masuk kedalam dan menjadi unsur tindak pidana, sedangkan bagi penganut aliran dualistis unsur mengenai diri (orang) yakni adanya pertanggungjawaban pidana bukan merupakan unsur tindak pidana

melainkan syarat untuk dapat dipidananya pelaku.19

Penjabaran suatu tindak pidana ke dalam unsur–unsurnya dan

kemahiran untuk menentukan keadaan–keadaan yang dapat dimasukkan

sebagai “essentialia dari delik” adalah sangat penting dalam hubungannya

18

Ibid., hal 85

19

dengan ajaran mengenai opzet dan culpa serta dalam hubungannya dengan

penerapan dari hukum acara pidana.20

Setiap tindak yang terdapat dalam Kitab Undang–Undang Hukum

Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan kedalam unsur–unsur yang

pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur–

unsur subjektif dan unsur–unsur objektif.21

Terhadap unsur-unsur tersebut dapat diutarakan sebagai berikut :

1. Unsur subjektif

Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan” (An act does not make a person guilty unless the mind is guilty or actus non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang dimaksud disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kealpaan (negligence or schuld). Pada umumnya para pakar telah menyetujui bahwa “kesengajaan” terdiri atas tiga bentuk, yakni :

1) Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk);

2) Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als

zekerheidsbewustzijn);

3) Kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus

evantualis)

20

P.A.F. Lamintang, Op. Cit., hal 190

21

Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan. Kealpaan terdiri atas dua bentuk, yakni :

1) Tak berhati-hati;

2) Dapat menduga akibat perbuatan itu.22

2. Unsur Objektif

Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas :

a. Perbuatan manusia, berupa :

1) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif;

2) Onmission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan;

b. Akibat (result) perbuatan manusia

Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan

menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya.

c. Keadaan-keadaan (circumstances)

Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain :

1) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan;

2) Keadaan setelah perbuatan dilakukan.

d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum

22

Leden Marpaung, Asas–Teori–Praktik Hukum Pidana, (Jakarta : Penerbit Sinar Grafika, 2005) hal 9

Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.

Semua unsur delik tersebut merupakan satu kesatuan. Salah satu unsur saja tidak terbukti, biasa menyebabkan terdakwa dibebaskan dari

pengadilan.23

4. Pengertian dan Jenis-Jenis Kekerasan

Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan sebuah

perilaku, baik terbuka (overt) atau tertutup (covert) dan baik yang bersifat

menyerang (offensive) atau bersifat bertahan (deffensive) yang disertai

penggunaan kekuatan kepada orang lain 24

Abuse adalah kata yang biasa diterjemahkan menjadi kekerasan,

penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Dalam The Social Work

Dictionary, Barker mendefinisikan abuse sebagai “improper behavior intended to cause physcal, psychological, or fiancial harm to an individual or group” (Kekerasan adalah perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya fisik, psikologis, atau finansial, baik yang dialami

oleh individu atau kelompok)25.

Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran

(penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang akan

23

Ibid., hal 10 24

Thomas Santoso,Teori- Teori Kekerasan, Penerbit PT. Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal . 11

25

menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain. Istilah “kekerasan” juga mengandung kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Kerusakan harta benda biasanya dianggap masalah kecil dibandingkan dengan kekerasan terhadap orang.

Dalam kamus bahasa Indonesia kekerasan diartikan dengan perihal yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang

orang lain, atau ada paksaan.26 Menurut penjelasan ini, kekerasan itu

merupakan wujud perbuatan yang bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau penderitaan pada orang lain. Salah satu unsur yang perlu diperhatikan adalah berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak adanya persetujuan pihak lain yang disakiti.

Black’s Law Dictionary menyatakan bahwa kejahatan dengan kekerasan merupakan suatu kejahatan yang mempergunakan elemen kekerasan fisik, mencoba menggunakan, mengancam untuk menggunakan atau menimbulkan resiko yang penting dari penggunaan kekerasan fisik

pada seseorang atau harta benda lainnya (violent crime : a crime that has

an element the use, attempted use, threatened use, or substantial risk of use ouse of physical force against the person, or property of another-also termed crime of violence).27

26

Trisno Yuwono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, Arkola, Surabaya, 1994, hal. 223

27

Bryan A. Garner (Ed), Black’s Law Dictionary, West Publishing Co, Seventh Edition, 1999 hal 378

Asumsi yang muncul dan berlaku general, bahwa setiap modus kekerasan itu merupakan wujud pelanggaran hak asasi manusia, artinya berbagai bentuk kekerasan yang terjadi ditengah masyarakat misalnya berakibat bagi kerugian orang lain.

Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak seperti yang

terjadi dalam perang (yakni kekerasan antar-masyarakat) dan terorisme.28

Kondisi perilaku kekerasan dewasa ini sangat mengganggu ketentraman hidup kita. Jika hal ini dibiarkan, dengan tidak ada upaya sistematik untuk mencegahnya, tidak mustahil hal ini menjadi faktor kerugian bagi kita sebagai bangsa yang besar .

Secara yuridis, apa yang dimaksud dengan kejahatan dengan kekerasan tidak secara otentik dijelaskan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP), hanya saja dalam Bab IX Pasal 89 KUHP dinyatakan bahwa membuat orang pingsan atau membuat orang tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Dengan demikian kejahatan kekerasan merupakan kejahatan yang dilakukan dan disertai dengan menggunakan kekuatan fisik yang mengakibatkan korban pingsan

atau tidak berdaya.29

28

Diakses dari www.wikipedia.com

29

R.Soesilo, Kitab Undang–Undang Hukum Pidana ( KUHP ) Serta Komentar

Pasal 89 ini hanya mengatur mengenai perbuatan yang disamakan dengan kekerasan. Melakukan kekerasan artinya menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil dan secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau segala macam senjata, menyepak, menendang dan lain-lain. Pingsan artinya tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya, umpamanya memberi minuman racun kecubung atau obat, sehingga orang tidak ingat lagi. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai tenaga sama sekali sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun. Orang

yang tidak berdaya masih sadar apa yang terjadi pada dirinya.30

Dalam kehidupan nyata dalam masyarakat, kita dapat menjumpai

beberapa bentuk–bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota

masyarakat yang satu terhadap anggota masyarakat lainnya. Oleh karena

itu, ada empat jenis kekerasan yang dapat diidentifikasi :31

1. Kekerasan terbuka, kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian;

2. Kekerasan tertutup, kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan

langsung, sperti perilaku mengancam;

3. Kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk

perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti penjabalan;

4. Kekerasan defensif, kekerasan yang dilakukan sebagai perindungan

diri.

Baik kekerasan agresif maupun defensif biasa bersifat terbuka atau tertutup.

30

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy :Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam menanggulangi Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, hal 34

31

Martin R. Haskel dan Lewis Yasblonski mengemukakan ada empat

kategori sebagai bentuk dari kekerasan, yaitu :32

a. Legal, sanctioned, rational violence, kategori ini merupakan kekerasan yang mendapat dukungan oleh hukum. Tindakan kekerasan ini misalnya Tentara atau polisi yang melakukan kekerasan di dalam melaksanakan tugasnya. Kekerasan ini juga terdapat pada olahrag-olahraga agresif tertentu, misalnya tinju, sepakbola, serta tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mempertahankan diri.

b. Illegal, rational, socially sanctioned violence, yaitu kekerasan yang tergolong illegal yang juga mendapat sanksi social. Dalam hal ini, faktor yang penting untuk menganalisa kekerasan adalah tingkat dukungan atau sanksi sosial terhadap kekerasam tersebut.

c. Illegal, nonsacntioned, rational violence, yaitu kekerasan yang illegal, yang dipandang rasional dan tidak ada sanksi sosialnya. Kekerasan ini biasanya digunakan oleh pelaku kejahatan dan dianggap rasional dalam konteks melakukan kejahatan. Kekerasan dalam kategori ini misalnya kekerasan untuk memperoleh keuntungan financial, kejahatan perampokan atau tindakan pembunuhan dalam kejahatan terorganisir.

d. Illegal, nonsanctioned, irrational violence, merupakan kekerasan yang tidak rasional dan melawan hukum. Kekerasan ini juga dikenal sebagai “kekerasan tidak berperasaan” (senseless violence) yang terjadi tanpa didahului oleh adanya provokasi dan tidak adanya motivasi yang logis.

Sedangkan dalam Kitab Undang–Undang Hukum Pidana

mengemukakan jenis–jenis kejahatan yang disertai dengan kekerasan,

yaitu :

1. Kejahatan terhadap nyawa orang lain pasal 338 – 350.

2. Kejahatan penganiayaan pasal 351 – 358

3. Kejahatan seperti pencurian, penodongan, perampokan pasal 365

4. Kejahatan terhadap kesusilaan pasal 285, 289

5. Kejahatan yang menyebabkan kematian atau luka karena kealpaan

359-361

32

Martin R Haskel & Lewis Yablonski : Criminology, Crime, and Criminality, Harper & Row Publisher, New York, 1983, hal 207 dalam buku Mahmud Mulyadi, Op Cit., hal 30-31

The Federal Bureau of Investigation, dibawah Uniform Crime Reporting Program, telah mengembangkan jenis–jenis kejahatan dengan

kekerasan, yaitu:33

1. Kejahatan pembunuhan yang meliputi pembunuhan dan pembantaian

manusia yang bukan merupakan kelalaian, pembunuhan dengan sengaja (bukan kelalaian) yang dilakukan seseorang terhadap orang

lain (Criminal homicide, comprising murder and nonnegligent

manslaughter, the willfull (nonnegligent) killing of one human being by another).

2. Perkosaan dengan kekerasan, yaitu menguasai jasmani seorang wanita

dengan ancaman penggunaan kekerasan dan melawan kehendaknya (Forcible rape, the carnal knowledge of a female forcibly and against her will).

3. Perampokan : Pengambilan atau berusaha mengambil sesuatu yang

berharga dari perawatan, penjagaan atau pengawasan seseorang atau banyak orang dengan menggunakan kekerasan atau ancaman

kekerasan dan/atau menyebabkan korban ketakutan (Robbery : taking

or attempting to take something of value from the care, custody, or control of a person or persons by force or threat of force or violence and/or by putting Victim in fear).

4. Penganiayaan berat, serangan yang dilakukan oleh seseorang terhadap

orang lain secara melawan hukum, dengan tujuan mengakibatkan luka

parah atau luka berat (aggravated assault : an unlawfull attack by one

person upon anoter for the purpose of inflichting severe or aggravated bodily injury).

5. Serangan lainnya (yang sederhana), serangan atau usaha untuk

melakukan penyerangan dengan tidak menggunakan senjata dan tidak

mengakibatkan luka–luka yang serius atau luka berat pada korban

(Other Assault (simple) : assault and attempted assault where no weapon was used and which did not result in serious or aggravated injury to victim).

Berdasarkan pembagian diatas, maka secara garis besarnya, kejahatan kekerasan terdiri dari pembunuhan, perkosaan, perampokan,

dan penganiyaan berat.34

33

Ibid,.hal 6-7

34

5. Peran dan Fungsi Guru

Guru merupakan bagian dari tenaga kependidikan sebagaimana yang diatur dalam UU No 20 Tahun 2003, dimana Pendidik menurut UU No 20 Tahun

2003 Pasal 1 ayat (6) menyebutkan :“Pendidik adalah tenaga kependidikan yang

berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktor, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya serta

berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.”

Sedangkan pengertian guru menurut UU No 14 Tahun 2005 Pasal (1) menyebutkan : Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Oleh karena itu, guru yang profesional adalah guru yang mempunyai kompetensi. Hal ini juga disebutkan dalam UU No. 14 Tahun 2004 Pasal 10 ayat (1) yaitu bahwa guru dituntut untuk memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.

Definisi yang kita kenal sehari–hari adalah bahwa guru merupakan orang

yang harus digugu dan ditiru, dalam arti orang yang memiliki kharisma atau

wibawa. 35 Harus digugu artinya segala sesuatu yang disampaikan olehnya

senantiasa dipercaya dan diyakini sebagai kebenaran oleh semua murid.

Sedangkan ditiru artinya seorang guru harus menjadi suri teladan (panutan) bagi

35

H.Hamzah B.Uno, Profesi Kependidikan Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, 2009, hal 15

semua muridnya. Untuk itulah guru harus dapat menjadi contoh bagi peserta didik, karena pada dasarnya guru adalah representasi dari sekelompok orang pada suatu komunitas atau masyarakat yang diharapkan dapat menjadi teladan, yang

dapat digugu dan ditiru.36

Secara tradisional atau oleh masyarakat awam guru adalah seorang yang berdiri didepan kelas untuk menyampaikan ilmu pengetahuan. Guru sebagai pendidik dan pengajar anak, guru diibaratkan seperti ibu kedua yang mengajarkan berbagai macam hal yang baru dan sebagai fasilitator anak supaya dapat belajar dan mengembangkan potensi dasar dan kemampuannya secara optimal,hanya saja ruang lingkupnya guru berbeda, guru mendidik dan mengajar di sekolah negeri ataupun swasta.

Secara umum guru memiliki fungsi untuk menunjang terselenggaranya sistem pendidikan nasional dan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, serta memiliki peran sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pedidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Tugas guru sebagai suatu profesi meliputi mendidik dalam arti meneruskan dan mengembangkan nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan iptek, sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan peserta didik. Tugas guru dalam bidang kemanusiaan meliputi bahwa guru

36

disekolah harus dapat menjadi orang tua kedua, dapat memahami peserta didik dengan tugas perkembangannya mulai dari sebagai makhluk bermain

(homoludens), sebagai makhluk remaja/berkarya (Homopither), dan sebagai

makhluk berpikir/dewasa (Homosapiens).37

Terdapat beberapa peran guru dalam proses pembelajaran tatap muka, yaitu sebagai berikut :

a. Pemimpin belajar, dalam arti guru sebagai perencana, pengorganisasi,

pelaksana, dan pengontrol kegiatan belajar peserta didik.

b. Fasilitator belajar, dalam arti guru sebagai pemberi kemudahan kepada peserta

didik dalam melakukan kegiatan belajarnya melalui upaya dalam berbagai bentuk.

c. Moderator belajar, dalam arti guru sebagai pengatur arus kegiatan belajar

peserta didik. Guru sebagai moderator tidak hanya mengatur arus kegiatan belajar, tetapi juga bersama peserta didik harus menari kesimpulan atau jawaban masalah sebagai hasil belajar peserta didik, atas dasar semua pendapat yang telah dibahas dan diajukan peserta didik.

d. Motivator belajar, dalam arti guru sebagai pendorong peserta didik agar mau

melakukan kegiatan belajar kegiatan belajar. Sebagai motivator guru harus dapat menciptakan kondisi kelas yang merangsang peserta untuk mau melakukan kegiatan belajar, baik individual maupun kelompok.

e. Evaluator belajar, dalam arti guru sebagai penilai yang objektif dan

komprehensif. Sebagai evaluator, guru berkewajiban mengawasi, memantau proses pembelajaran peserta didik dan hasil belajar yang dicapainya. Guru juga berkewajiban untuk melakukan upaya perbaikan proses belajar peserta didik, menunjuk kelemahan dan cara memperbaikinya, baik secara individual,

kelompok, maupun secara klasikal.38

Guru sejatinya adalah seorang pribadi yang harus serba bisa dan serba tahu. Serta mampu mentransferkan kebiasaan dan pengetahuan pada muridnya dengan cara yang sesuai dengan perkembangan dan potensi anak didik.Begitu banyak peran yang harus diemban oleh seorang guru. Peran yang begitu berat dipikul di pundak guru hendaknya tidak menjadikan calon guru mundur dari tugas

37

Ibid, hal. 20

38

mulia tersebut. Peran-peran tersebut harus menjadi tantangan dan motivasi bagi

Dokumen terkait