BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dewasa ini kasus tindak pidana perdagangan orang terutama perempuan
dan anak (Trafficking in Persons Especially Women and Children) merupakan
salah satu issu serius yang harus dihadapi dunia termasuk Indonesia.1 Masalah
perdagangan orang sangat kompleks, dari waktu ke waktu semakin berkembang
dan meningkat, sehingga sulit untuk menekan angka pertumbuhannya.
Perdagangan orang merupakan perbuatan serupa dengan perbudakan modern yang
melanggar harkat dan martabat manusia (Hak Asasi Manusia), yang bertentangan
dengan tata hukum, merugikan masyarakat dan anti sosial.
Indonesia merupakan negara terbesar dan berada di urut ke 32, yaitu
negara yang diasumsikan tidak serius menangani masalah trafficking, tidak
memiliki perangkat perundang-undangan yang dapat mencegah, melindungi dan
menolong korban, serta tidak memliki peraturan perundang-undangan untuk
melakukan penghukuman pelaku perdagangan orang. Jumlah kasus tindak pidana
perdagangan orang yang tinggi berkonsekuensi menimbulkan jumlah korban
perdagangan orang yang banyak sehingga memerlukan penanganan kasus yang
optimal. Tahun 2007 Indonesia berhasil membuat peraturan yang khusus
mengatur tentang perdagangan orang yaitu, Undang-Undang Nomor 21 Tahun
1
Sumijati Sahala, Masalah perdagangan anak dan wanita berdasarkan protokol konvensi TOC, (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI, 2006), Hal 1.
2
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang-Undang
ini memberikan perlindungan terhadap korban perdagangan orang salah satu hak
korban adalah untuk mendapatkan restitusi. Pasal 1 angka 13 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 menyatakan bahwa restitusi adalah pembayaran ganti
kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita
korban atau ahli warisnya. Selanjutnya, dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2007 mengatur tentang mekanisme pengajuan restitusi. Dapat dilihat
bahwa bentuk ganti kerugian yang disebut restitusi itu dalam bentuk uang. Tujuan
ganti rugi yaitu pemenuhan atas tuntutan berupa imbalan sejumlah uang.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang belum memenuhi rasa keadilan masyarakat,
karena undang-undang ini belum optimal dalam menyelesaikan permasalahan
yang muncul. Selama ini penanganan perkara pidana terlalu berorientasi pada
tersangka atau terdakwa sehingga kurangnya perhatian terhadap korban yang
mengakibatkan haknya terabaikan. Banyaknya korban tidak di imbangi dengan
perlindungan hak dan kewajibannya. Setiap korban perdagangan orang
seharusnya berhak mendapat bantuan hukum berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Perlunya perlindungan hukum bagi korban
khususnya korban perdagangan orang harus diperhatikan. Bentuk perlindungan
hukum terhadap korban perdagangan orang adalah pemberian restitusi dan
kompensasi, layanan konseling, pelayanan medis atau pemulihan kesehatan fisik
pemberian informasi dan reintegrasi (penyatuan kembali ke keluarganya atau ke
lingkungan masyarakatnya).
Menurut Gelaway yang merumuskan lima tujuan dari kewajiban mengganti kerugian, yaitu :3
1. meringankan penderitaan korban;
2. sebagai unsur yang meringankan hukuman yang akan dijatuhkan;
3. sebagai salah satu cara merehabilitasi terpidana;
4. mempermudah proses pengadilan;
5. dapat mengurangi ancaman atau reaksi masyarakat dalam bentuk tindakan balas dendam.
Restitusi lebih diarahkan kepada tanggung jawab pelaku terhadap akibat
yang ditimbulkan oleh kejahatan yang dilakukan si pelaku. Sasaran utamanya
adalah menanggulangi semua kerugian yang diderita korban. Tolak ukur untuk
menentukan jumlah atau besar kecilnya ganti kerugian tergantung pada status
sosial pelaku dan korban, dimana Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang tidak menentukan secara tegas
dan hanya menjelaskan bahwa restitusi adalah hak korban atau ahli warisnya.
Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan dalam amar putusan pengadilan,
tidak dijelaskan ukuran besar atau indikator jumlah restitusi dan layak tidaknya
ganti rugi yang diberikan. Perdagangan orang kini dinyatakan sebagai masalah
global yang serius dan bahkan telah menjadi bisnis global yang telah memberikan
keuntungan besar terhadap pelaku. Dari berbagai data dalam angka-angka yang
3
bisa ditampilkan berkaitan dengan perdagangan orang dikeluarkan oleh
International Labor Organization (ILO, 2005), memperkirakan bahwa :4
1. 12,3 juta manusia di seluruh dunia telah dipaksa menjadi buruh atau tenaga kerja paksa. ILO menganggap bahwa tenaga kerja paksa adalah masalah global yang sesungguhnya karena telah menimbulkan dampak yang serius pada sebagian besar umat manusia, baik di negara-negara berkembang maupun negara maju;
2. 40-50% korban dari tenaga kerja paksa ini adalah anak-anak;
3. Mayoritas korban (64%) yang menjadi tenaga kerja paksa masuk dalam eksploitasi ekonomi seperti misalnya dalam pertanian, pertambangan dan kegiatan ekonomi lainnya;
4. 11% korban adalah tenaga kerja paksa yang masuk dalam eksploitasi seksual komersial;
5. Mayoritas (65%) korban tenaga kerja paksa yang masuk dalam eksploitasi ekonomi adalah perempuan dan anak-anak perempuan, dan 98% korban tenaga kerja paksa yang masuk dalam eksploitasi seksual komersial adalah perempuan dan anak-anak perempuan;
6. 20% (2,45 juta orang) tenaga kerja paksa tersebut adalah korban perdagangan orang dan 43% dari mereka masuk dalam eksploitasi seksual komersial.
Kenyataan bahwa yang lebih dominan korban adalah perempuan dan anak
karena merekalah kelompok yang sering menjadi sasaran dan dianggap paling
rentan. Korban perdagangan orang biasanya ditipu, diberlakukan tidak manusiawi,
dan dieksploitasi. Bentuk-bentuk eksploitasi itu sendiri diantaranya dengan cara
memperlakukan korban untuk bekerja yang mengarah pada praktik-praktik
eksploitasi seksual, perbudakan atau bentuk-bentuk perbudakan modern,
perbuatan transplantasi organ tubuh untuk tujuan komersial, sampai penjualan
bayi yang dimaksudkan untuk tujuan dan kepentingan mendapatkan keuntungan
besar bagi pelaku perdagangan orang. Kasus perdagangan orang terutama terjadi
di kota–kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali, Medan, Padang,
4
Pontianak, Makasar, dan Manado.5 Kaum perempuan yang terjebak bisnis
narkotika sebenarnya dapat dikategorisasikan sebagai korban perdagangan
perempuan yang dapat terjadi karena : diawali dengan rekrutmen perempuan
mengggunakan penipuan dalam berbagai bentuk, terutama melalui hubungan
personal seperti : pacaran, perkawinan, hidup bersama, dan hubungan personal
lain antara perempuan dan pengedar atau pemilik narkotika yang sesungguhnya
(laki-laki asing); orang-orang yang mendapat keuntungan dari bisnis ini; adanya
unsur migrasi; dan adanya unsur kekerasan.6
Berdasarkan data tersebut terdapat banyak kasus mengenai tindak pidana
perdagangan orang dan faktanya tidak banyak vonis yang mencantumkan ganti
rugi kepada korban disebabkan berbagai faktor penghambat seperti : kurangnya
pemahaman penegak hukum terkait restitusi, kurangnya pemahaman masyarakat
terkait kepentingan korban, kurangnya pemahaman korban tindak pidana
perdagangan orang terkait dengan hak-haknya, kurangnya sarana dan prasarana,
tidak adanya peraturan pelaksana dan terlalu ringannya kurungan pengganti.
Untuk itu diperlukan adanya regulasi tehadap peraturan perdagangan orang,
khususnya dalam tataran legislasi, yaitu dengan membuat peraturan-peraturan
yang merupakan peraturan yang menunjang atau pelaksana dari Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007.
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang mengatur secara umum
mengenai perdagangan orang adalah KUHP dan hanya memiliki satu pasal saja
5
Farhana.Op.Cit., Hal 6.
6
yaitu, Pasal 297 tetapi tidak jelas karena yang dijadikan korban perdagangan
orang hanya perempuan dan anak laki-laki belum dewasa, padahal korban
perdagangan orang tidak terbatas usia dan jenis kelamin. Sanksi hukum dalam
Pasal 297 KUHP sangat ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita
oleh korban. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak belum mampu untuk memberikan perlindungan terhadap
anak. Dalam ketentuan lain sudah terdapat peraturan yang dibuat oleh pemerintah
daerah dalam penghapusan perdagangan orang, seperti : Peraturan Daerah khusus
untuk Sumatera Utara, Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan
(Trafficking) Perempuan Dan Anak, Rencana Aksi Provinsi Sumatera Utara
Nomor 24 Tahun 2005.
Konsekuensi dari upaya pencegahan tersebut, pemerintah mengeluarkan
beberapa peraturan yang dimaksudkan untuk melindungi dan menghormati HAM,
diantarnya adalah Keputusn Presiden Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana
Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Komersial Anak (RAN RESKA), dan
Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A). Sejalan dengan
semangat untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan, maka sejak tahun 2002
telah banyak hasil yang dicapai dalam upaya pencegahan tindak pidana
perdagangan orang, antara lain ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Untuk mendukung pelaksanaan
kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat Nomor 25/KEP/MENKO/KESRA/IX/2009 tentang Rencana Aksi
Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RAN TPPO) dan
Eksploitasi Seksual Anak (ESA) 2009-2014.7
Faktor utama penyebab terjadinya perdagangan orang diantaranya yang
dominan adalah persoalan ekonomi dan kemiskinan. Selain itu berdasarkan
analisisnya juga terdapat beberapa faktor lain, seperti :8 kurangnya pengetahuan
akibat dari terjadinya trafficking, keinginan untuk secara cepat mendapatkan uang
atau kerja yang mudah dan tidak terlalu berat, orang tua yang kurang kontrol dan
adanya faktor izin dari orang tua, mudahnya memperoleh izin dari birokrat
(kelurahan, kecamatan dan lain-lain institusi), keinginan mengikuti perkembangan
modern serta gaya hidup yang konsumtif, kehidupan rumah tangga yang tidak
harmonis.
Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang merupakan salah satu
tujuan dari kebijakan hukum pidana (social defence), yang bertujuan untuk
memberikan perlindungan kepada masyarakat (socialwelfare) harus sesuai dengan
cita-cita bangsa Indonesia yaitu bahwa negara dan pemerintah harus melindungi
segenap bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan kesejahteraan umum sesuai dengan yang tertuang dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Penting bagi negara untuk menghukum atas terjadinya
pelanggaran HAM dalam tindak pidana perdagangan orang serta memberikan
7
Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang Kebijakan Hukum Pidana Dan Pencegahannya, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Hal 162.
8
perlindungan kepada korban atau orang-orang yang diperdagangkan. Sebab tindak
pidana perdagangan orang dirasakan sebagai ancaman bagi masyarakat, bangsa
dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan
terhadap hak asasi manusia. Sehingga dalam penegakan hukum memerlukan
upaya yang menyeluruh, terpadu dan berkelanjutan, serta terkordinasi dengan
baik. Perlindungan terhadap perempuan dan anak telah menjadi tugas bersama
segenap bangsa Indonesia untuk dapat menanggulangi kejahatan kemanusiaan.
Diperlukan upaya pencegahan dan penanganan perdagangan orang dengan
lebih meningkatkan peran serta fungsi sektor, baik di tingkat pusat sampai ke
daerah maka perlu dibentuk gugus tugas sebagai institusi yang akan membantu
pemerintah. Gugus tugas adalah lembaga koordinatif yang beranggotakan
wakil-wakil dari pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/akademisi. Pengaturan gugus tugas
terdapat dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Tujuan sistem peradilan dapat terwujud apabila penegakan hukum pidana
bekerja dengan baik, selaras dan berwibawa, terutama apabila aparat penegak
hukum (polisi, jaksa, hakim, dan petugas lapas), dapat melaksanakan tugasnya
sesuai dengan tanggung jawab yang diamanatkan oleh undang-undang (integrated
criminal justice administration). Keempat badan/institusi tersebut harus dapat
bekerja sesuai dengan sistem yang berlaku dan mengacu pada managemen sistem
peradilan pidana yang berlaku.9
9
Maka di sadari pentingnya peran dari seluruh pihak mulai dari pemerintah,
masyarakat, hingga aparat penegak hukum khususnya Kejaksaan. Perlunya Jaksa
yang profesional dan harus mempunyai peran yang aktif dalam menangani kasus
tindak pidana perdagangan orang. Jaksa harus dapat menjalankan tugas dan
wewenangnya dengan baik, diharapkan agar tidak lalai untuk memberitahukan
kepada korban tentang haknya mengajukan restitusi. Pengajuannya dapat
dilaksanakan sejak korban melaporkan kasusnya ke Kepolisian Republik
Indonesia setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan tindak pidana
yang dilakukan. Jaksa menyampaikan jumlah kerugian yang di derita korban
bersamaan dengan tuntutan yang tidak akan menghilangkan hak korban untuk
mengajukan sendiri gugatan atas kerugiannya. Berdasarkan uraian di atas, penting
untuk dilakukan penelitian tentang Peran Kejaksaan Dalam Penentuan Hak
Restitusi Tindak Pidana Perdagangan Orang.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka permasalahan
pokok dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana peraturan hukum dalam penentuan hak restitusi tindak
pidana perdagangan orang ?
2. Bagaimana peran kejaksaan dalam penentuan hak restitusi tindak
pidana perdagangan orang ?
3. Apa yang menjadi hambatan-hambatan dalam penentuan hak restitusi
tindak pidana perdagangan orang ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, adapun yang menjadi tujuan dari
penulisan skripsi ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui peraturan hukum dalam penentuan hak restitusi tindak
pidana perdagangan orang.
2. Untuk mengetahui peran kejaksaan dalam penentuan hak restitusi tindak
pidana perdagangan orang.
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi jaksa dalam
penentuan hak restitusi tindak pidana perdagangan orang.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk menambah pengetahuan tentang penyelesaian tindak pidana perdagangan
orang.
b. Agar dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum pada
umumnya dan khususnya dalam bidang hukum pidana dan hukum acara pidana.
2. Manfaat Praktis
a. Penulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran kepada
semua pihak terkait dalam menangani masalah tindak pidana
perdagangan orang.
b. Memberikan informasi agar dapat dilakukan penanganan apabila muncul
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan penelusuran kepustakaan dan studi literature sepanjang yang
diketahui belum dilakukan penulisan yang membahas judul tentang “Peran
Kejaksaan Dalam Penentuan Hak Restitusi Dalam Tindak Pidana Perdagangan
Orang (Studi Putusan Nomor : 1554/Pid. B/2012/PN.Mdn). Penelitian ini asli
karena belum ada peneliti yang melakukan penelitian tersebut di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
E. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Jaksa
Ditinjau dari segi etimologi bahasa, khususnya mengenai asal-usul
perkataan atau sebutan Jaksa yang bersumber dari bahasa Sansekerta atau bahasa
Jawa Kuno (Jawa Kawi). Pengertian Jaksa dalam bahasa Inggris ialah Public
Prosecutor (Jaksa Umum atau Jaksa Biasa), Jaksa Agung (Attorney General),
Kantor Kejaksaan (Office of a Public Prosecutor, Office of Council for the
Prosecution). Sebutan Jaksa di Indonesia sudah berabad-abad lamanya digunakan
dan berasal dari bahasa Sansekerta Adhyaksa. Sebutan ini juga dipakai untuk gelar
pendeta paling tinggi di Kerajaan-kerajaan Hindu di Pulau Jawa, dan terutama
dipakai untuk gelar hakim kerajaan yang tertinggi. Pada zaman pemerintahan
VOC (di abad keenam belas) ditulis sebagai “j-a-x-a”. Sejak zaman itu sampai
dengan pemerintahan kolonial belanda di tahun 1942, “jaxa” kemudian diubah
menjadi “djaksa” dipakai sebagai sebutan untuk para Pejabat Hukum Bumi Putera
jepang (1942-1945), “jaksa” – pada masa itu ditulis “djaksa” adalah gelar bagi
para pejabat hukum yang berwenang menuntut perkara-perkara pidana.10
Menurut konsep R. Tresna antara lain menyatakan : “bahwa nama jaksa
atau yaksa berasal dari India dan gelar itu di Indonesia diberikan kepada pejabat
yang sebelum pengaruh hukum Hindu masuk di Indonesia, sudah biasa
melakukan pekerjaan yang sama”.11
Menurut pandangan SAHERODJI, menjelaskan bahwa : “Kata Jaksa
berasal dari bahasa sansekerta yang berarti Pengawas (Superintedant) atau
pengontrol yaitu pengawas soal-soal kemasyarakatan”.12
Pengertian Jaksa sesuai lampiran Surat Keputusan Jaksa Agung Republik
Indonesia tahun 1978, ialah : “Jaksa asal kata dari Seloka Satya Adhy Wicaksana
yang merupakan Trapsila Adhyaksa yang menjadi landasan jiwa dan raihan
cita-cita setiap warga negara Adhyaksa dan mempunyai arti serta makna sebagai
berikut :
SATYA, kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap TYME,
terhadap diri pribadi dan keluarga maupun sesama manusia.
ADHI, kesempurnaan dalam bertugas dan yang berunsur utama pemilikan
rasa tanggung jawab baik terhadap TYME terhadap keluarga dan sesama manusia.
WICAKSANA, bijaksana dalam bertutur kata dan tingkah laku khususnya
dalam penerapan kekuasaan dan kewenangannya.13
10
Surachman Dan Andi Hamzah, Jaksa Di Berbagai Negara Peranan Dan Kedudukannya, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), Hal 3 – 4.
11
Ilham Gunawan, Peran Kejaksaan Dalam Menegakkan Hukum Dan Stabilitas Politik, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), Hal 41 - 42.
12Ibid. 13
Ketentuan Pasal 1 menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia disebutkan bahwa :
1. Jaksa adalah Pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.
2. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
3. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
4. Jabatan Fungsional Jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan.
Menurut ketentuan Pasal 1 butir 6 a dan b KUHAP, menyebutkan bahwa: a. Jaksa adalah Pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim.
2. Pengertian Hak Restitusi
Hak adalah segala sesuatu yang harus di dapatkan oleh setiap orang yang
telah ada sejak lahir bahkan sebelum lahir. Salah satu bentuk upaya perlindungan
hukum yang dapat diberikan kepada korban perdagangan orang adalah melalui
pemberian restitusi. Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli
warisnya berhak memperoleh restitusi dari pelaku.
Ada beberapa komponen terkait hak restitusi korban yang harus diberikan
pelaku berupa ganti kerugian atas :
1. Kehilangan kekayaan atau penghasilan;
2. Penderitaan;
3. Biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau;
Restitusi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Kompensasi, Restitusi, Dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi
Manusia Yang Berat dalam Pasal 1 butir 5 adalah :
Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau
keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta
milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau
penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
Restitusi menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Pasal 1 angka 13 yaitu :
“Pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau
immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.”
Restitusi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008
Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, Dan Bantuan Kepada Saksi Dan
Korban dalam Pasal 1 angka 5 adalah :
“Ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh
pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran
ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk
tindakan tertentu”.
Inti tujuan dari kewajiban pemberian ganti kerugian tidak lain untuk
mengembangkan keadilan dan kesejahteraan korban sebagai anggota masyarakat
dan tolak ukur pelaksanaannya adalah dengan diberikannya kesempatan kepada
tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan
tentang perkara tindak pidana perdagangan orang dan dilaksanakan sejak
dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama. Pemberian restitusi dilakukan
dalam empat belas hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat
banding atau kasasi, hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi
yang dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan (Pasal 48
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang). Jika pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban
tidak dipenuhi sampai melampaui batas waktu empat belas hari, korban atau ahli
warisnya memberitahukan hal tersebut ke pengadilan (Pasal 50 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang). Selain restitusi, korban berhak mendapat rehabilitasi kesehatan,
rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila
yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis. Hak tersebut
dapat juga diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian,
relawan pendamping, atau pekerja sosial dengan melaporkan kasus yang dialami
kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pasal 51 Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang).
Menurut Stephen Schafer,14 perbedaan antara restitusi dan kompensasi
adalah restitusi lebih bersifat pidana, yang timbul dari putusan pengadilan pidana
dan dibayar oleh terpidana atau merupakan wujud pertanggungjawaban terpidana
14
(the responsibility of the offender). Sedangkan kompensasi lebih bersifat perdata,
timbul dari permintaan korban, di bayar oleh masyarakat atau negara (the
responsible of the society).
3. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pengertian tindak pidana (strafbaarfeit) menurut W.J.P. Pompe adalah :
“Tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan
Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”.15
Menurut Simons pengertian tindak pidana adalah : “Sebagai suatu
tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja atau pun tidak
dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu
tindakan yang dapat dihukum”.16
Sebelum Undang-Undang Tindak Pidana disahkan, pengertian tindak
pidana perdagangan orang yang umum paling banyak digunakan adalah
pengertian dari Protokol PBB untuk mencegah, menekan, dan menghukum pelaku
perdagangan orang.
Pengertian perdagangan orang menurut Protokol PBB adalah :17
a. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk, paling tidak, eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain
15
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan : USU Press, 2010), Hal 81.
16
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997), Hal 185.
17
dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayan paksa, perbudakan atau praktik- praktik serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh. b. Persetujuan korban perdagangan orang terhadap eksploitasi yang dimaksud
yang dikemukakan dalam subalinea (a) ini tidak relevan jika salah satu dari cara-cara yang dimuat dalam subalinea (a) digunakan.
c. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang anak untuk tujuan eksploitasi dipandang sebagai perdagangan orang bahkan jika kegiatan ini tidak melibatkan satu pun cara yang dikemukakan dalam subalinea (a) pasal ini.
d. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 tahun.
Dari pengertian tersebut tiga unsur yang berbeda yang saling berkaitan satu sama lainnya, yaitu :18
a. tindakan atau perbuatan yang dilakukan, yaitu perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang;
b. cara, menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk paksaan lain, penculikan, tipu daya, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang-orang;
c. tujuan atau maksud, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi mencakup setidak-tidaknya eksploitasi pelacuran dari orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan dan pengambilan organ tubuh.
Pasal 297 KUHP menyatakan bahwa : “perdagangan wanita dan
perdagangan anak-anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana
penjara paling lama enam tahun”.
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, dalam Pasal 1 angka 1 Perdagangan Orang adalah sebagai berikut : “Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk tujuan mengeksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.
Jennifer E. Enck memberi pengertian perdagangan orang yaitu :19
“Recruitment, transport, harboring, transfer, sale or receipt of persons through
18
coercion, force, fraud, or deception in order to get people in situations such as
forced prostitution, domestic servitude, sweatshop labor or other kinds of work to
pay debts.”
Michelle O. P. Dunbar memberi pengertian perdagangan orang dalam
konteks yang lebih sempit yaitu, dalam hubungannya dengan perdagangan
perempuan. Menurutnya, konsep perdagangan perempuan tidak hanya dibatasi
pada pelacuran paksa.20
Pengertian perdagangan orang dikemukakan oleh Aliansi Global Anti Perdagangan Perempuan (Global Alliance Against the Trafficking of
Women/GAATW), yaitu :21“All acts involved in recruitment and/or transportation
of a person within and across national borders for work or services by means of violence or threat of violence, abuse of authority or dominant position, debt
bondage, deception or other forms of coercion”. (Semua usaha atau tindakan
yang berkaitan dengan perekrutan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman, atau penerimaan seseorang dengan mengggunakan penipuan atau tekanan, termasuk penggunaan ancaman kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau tidak, untuk kerja yang tidak diinginkan (domestik seksual atau reproduktif) dalam kerja paksa atau dalam kondisi perbudakan, dalam suatu lingkungan lain dari tempat dimana orang itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertama kali).
Tahun 1996 Europion Parliament Report mengartikan perdagangan orang
sebagai berikut :22
“The illegal action of someone who, directly or indirectly, encourages a
citizen from a country to enter or stay in another country in order to exploit that
person by using deceit or any other from og coercion or by abusing that person’s
vulnerable situation or administrative status.”
19
Mahraus Ali dan Bayu Aji Pramono, Perdagangan Orang Dimensi, Instrumen Internasional dan Pengaturannya di Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2011), Hal 16 - 18.
Pengertian perdagangan manusia menurut Rebecca Surtees dan Martha
Wijaya adalah “sindikat kriminal”, yaitu merupakan perkumpulan dari sejumlah
orang yang terbentuk untuk melakukan aktivitas kriminal. Dari pengertian diatas,
sindikat kriminal itu perbuatannya harus dilakukan lebih dari satu orang dan telah
melakukan perbuatan tindak pidana dalam pelaksanaannya. Aktivitas sindikat
perdagangan perempuan dan anak ini kegiatannya dilakukan secara terorganisir.
Pengertian secara terorganisir menurut sarjana adalah sebagai berikut :23
a. Donald Cressey : kejahatan terorganisir adalah suatu kejahatan yang
mempercayakan penyelenggaraannya pada seseorang yang mana dalam
mendirikan pembagian kerjanya yang sedikit, di dalamnya terdapat seorang
penaksir, pengumpul, dan pemaksa.
b. Michael Maltz : kejahatan terorganisir sebagai suatu kejahatan yang dilakukan
lebih dari satu orang yang memiliki kesetiaan terhadap perkumpulannya untuk
menyelenggarakan kejahatan. Ruang lingkup dari kejahatan ini meliputi
kekejaman, pencurian, korupsi monopoli, ekonomi, penipuan, dan
menimbulkan korban.
c. Frank Hagan : kejahatan terorganisir adalah sekumpulan orang yang memulai
aktivitas kejahatannya dengan melibatkan diri pada pelanggaran hukum untuk
mencari keuntungan secara ilegal dengan kekuatan ilegal serta mengakibatkan
aktivitasnya pada kegiatan pemerasan dan penyelewengan keuangan.
Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 adalah sebagai berikut : “Setiap tindakan
23
atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini”.
F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang terdapat
dalam perumusan masalah tersebut di atas adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah metode penelitian hukum
normatif dan metode penelitian empiris. Penelitian tipe ini lazim disebut Studi
dogmatic atau penelitian doktrinal (doktrinal research).24 Dalam penelitian ini
bertujuan untuk menemukan asas hukum atau doktrin hukum positif yang
berlaku berupa norma-norma hukum positif dalam masyarakat. Sedangkan
penelitian empiris, peneliti harus berhadapan langsung dengan warga
masyarakat yang menjadi objek penelitian.
2. Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data
sekunder dan data primer. Data sekunder yaitu, data dari bahan-bahan
kepustakaan yang antara lain meliputi bahan kepustakaan seperti buku-buku,
literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang sesuai dengan
permasalahan yang akan diteliti. Sumber data sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan
hukum mengikat, dalam hal ini adalah norma atau kaidah dasar peraturan
24
perundang-undangan yang berlaku dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang
berwenang berupa peraturan perundang-undangan, keputusan presiden,
peraturan menteri, peraturan pemerintah, peraturan daerah.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami
bahan hukum primer, berupa buku-buku, hasil penelitian dan bahan pustaka
lainnya yang berkaitan dengan penelitian dan putusan pengadilan.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang mendukung bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman
dan pengertian atas bahan hukum lainnya seperti ensiklopedia dan lain-lain.
3. Metode pengumpulan data
a. Studi Kepustakaan (Library Research), yakni studi dokumen dengan
mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum, literatur,
tulisan-tulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bacaan lainnya yang
berkaitan dengan penulisan skripsi ini, dan dokumen yang diteliti adalah
putusan pengadilan.
b. Studi Lapangan (Field Research), yakni studi lapangan dengan
melakukan wawancara dengan para informan yaitu, Jaksa dari Kejaksaan
Tinggi Sumatera Utara.
4.Analisis Data
Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif.
Maka pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk
data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan
mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori
yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk
menentukan hasil pada penulisan skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi haruslah disusun atau ditulis secara sistematis agar
dihasilkan suatu tulisan yang teratur dan terarah pada suatu titik permasalahan dan
pembahasan yang jelas. Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima
bab yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman mengenai isi tulisan
skripsi ini. Maka penulis membuat sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Di dalam bab ini dijelaskan tentang latar belakang, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian,
alat pengumpul data, analisis hasil penelitian, kemudian dijelaskan
yang merupakan sistematika dari penulisan itu sendiri.
BAB II PERATURAN HUKUM HAK RESTITUSI TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG
Di dalam bab ini dijelaskan tentang peraturan hukum hak restitusi
korban tindak pidana perdagangan orang, dalam bentuk
Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah ataupun Peraturan Daerah, baik sebelum dan setelah
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
BAB III PERAN KEJAKSAAN DALAM PENENTUAN HAK
RESTITUSI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Di dalam bab ini dijelaskan mengenai peran Jaksa sebagai penuntut
umum dalam penentuan hak restitusi ketika menangani kasus
tindak pidana perdagangan orang diwilayah hukum kota Medan.
Juga tentang kedudukan Kejaksaan RI, serta tugas, wewenang dan
fungsi Kejaksaan Republik Indonesia, serta analisa kasus.
BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI JAKSA
DALAM PENENTUAN HAK RESTITUSI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Di dalam bab ini dijelaskan tentang faktor penghambat yang
dihadapi Jaksa dalam penentuan hak restitusi tindak pidana
perdagangan orang, baik hambatan secara internal dan eksternal.
BAB V PENUTUP
Di dalam bab ini dijelaskan tentang kesimpulan yang diperoleh
dari hasil penulisan skripsi dan studi lapangan. Kesimpulan ini
diharapkan dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang ada.
Selain itu dalam bab ini juga diberikan saran-saran yang
diharapkan dapat membantu menyelesaikan atau paling tidak
diharapkan mengurangi masalah yang dibahas dalam penulisan