• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERATURAN HUKUM HAK RESTITUSI DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II PERATURAN HUKUM HAK RESTITUSI DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

   

33  BAB II

PERATURAN HUKUM HAK RESTITUSI DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

A. Sebelum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Aspek lain dari perlindungan masyarakat adalah perlindungan terhadap korban dan pemulihan keseimbangan nilai yang terganggu di dalam masyarakat.

Untuk memenuhi aspek ini, konsep menyediakan jenis sanksi berupa

“pembayaran ganti kerugian” dan “pemenuhan kewajiban adat”. Kedua jenis dimasukkan sebagai jenis pidana tambahan, karena dalam kenyataan sering terungkap bahwa penyelesaian masalah secara yuridis formal dengan menjatuhkan sanksi pidana pokok saja kepada terdakwa belum dirasakan oleh warga masyarakat sebagai suatu penyelesaian masalah secara tuntas.25 Selama ini dalam penegakan hukum kelemahan mendasar dalam proses penanganan perkara pidana adalah terabaikannya hak korban maupun akibat yang harus ditanggung oleh korban kejahatan karena perlindungan hukum terhadap korban kejahatan tidak mendapat pengaturan yang memadai. Sebelum dikeluarkannya tindak pidana perdagangan orang, penanganan kasusnya sudah lama diatur dalam hukum positif Indonesia, misalnya saja dengan menggunakan rumusan kejahatan perdagangan orang yang diatur dalam KUHP maupun hukum nasional lainnya diluar KUHP.

      

25Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), Hal 91.

(2)

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Beberapa pasal dalam KUHP yang terkait dengan kejahatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana perdagangan orang yakni :

a. Pasal 297 KUHP secara tegas telah melarang dan mengancam pidana perbuatan memperdagangkan atau memperniagakan wanita dan laki-laki.

Ketentuan Pasal 297 KUHP tersebut secara lengkap berbunyi : “Perdagangan wanita dan perdagangan laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”. Dalam memahami pasal ini sangat penting untuk diketahui arti dari kata memperniagakan. Pada Buku I KUHP tentang Ketentuan Umum tidak memberikan penjelasan mengenai kata ini. R.

Soesilo dalam penjelasan pasal terhadap pasal ini mengatakan bahwa :26 yang dimaksud dengan perniagaan atau perdagangan perempuan ialah melakukan perbuatan-perbuatan dengan maksud untuk menyerahkan perempuan guna pelacuran. Termasuk pula perempuan-perempuan muda untuk dikirimkan ke luar negeri yang maksudnya tidak lain akan dipergunakan untuk pelacuran...”

b. Pasal 324 : “Barang siapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain menjalankan perniagaan budak atau melakukan perbuatan perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam salah satu perbuatan diatas, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Istilah perdagangan apabila sama artinya dengan perdagangan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, berarti : membeli untuk dijual lagi, kemudian menjual, maka seseorang yang membeli saja atau menjual saja       

26R. Soesilo, KUHP serta komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor : Politea, 1995), Hal 217.

(3)

  tidak masuk istilah berdagang. Akan tetapi, menurut Noyon-Langemenyer (jilid III halaman 63), istilah menjalankan perdagangan budak belian lain daripada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu meliputi juga membeli saja atau menjual saja. Pasal yang bersangkutan dari KUHP Belanda tidak memuat tambahan melakukan perbuatan perdagangan. Dengan adanya tambahan kata-kata ini di Indonesia lebih tegas bahwa membeli saja atau menjual saja seorang budak belian masuk rumusan Pasal 324 ini.27

Terdapat sepuluh asas yang dianut oleh KUHAP dengan maksud untuk melindungi hak warganegara dalam proses hukum yang adil, yaitu :28

1. Perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun;

2. Praduga tidak bersalah;

3. Pelanggaran atas hak-hak individu warganegara (yaitu dalam hal penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undang- undang dan dilakukan dengan surat perintah;

4. Seorang tersangka hendak diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya;

5. Seorang tersangka dan terdakwa berhak mendapat bantuan penasehat hukum;

6. Seorang terdakwa berhak hadir di muka pengadilan;

7. Adanya peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat serta sederhana;

8. Peradilan harus terbuka untuk umum;

9. Tersangka maupun terdakwa berhak memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi; serta

10. Adalah kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan- putusannya.

2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Perdagangan perempuan dan anak merupakan bentuk pelanggaran terhadap HAM, karena melanggar :

a. Hak atas kehidupan;

b. Hak atas persamaan;

c. Hak atas kemerdekaan dan keamanan prribadi;

d. Hak atas perlindungan yang sama di muka umum;

      

27Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, (Bandung : PT Refika Aditama : 2003), Hal 82 – 83.

28Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010), Hal 56 - 57.

(4)

  e. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mental yang sebaik-

baiknya;

f. Hak atas pekerjaan yang layak dan kondisi kerja yang baik;

g. Hak untuk pendidikan lanjut; dan

h. Hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau bentuk kekejaman lain, perlakuan atau penyiksaan secara tidak manusiawi yang sewenang-wenang.

Undang-Undang ini telah mencantumkan tentang hak anak, hak wanita, pelaksanaan, kewajiban, dan tanggungjawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan anak sebagai landasan yuridis sebagai pelaksanaan kewajiban dan tanggungjawab tersebut.

a. Pasal 3 : Setiap orang dilahirkan dengan bebas, dengan harkat dan martabat yang sama dan sederajat, serta setiap orang berhak atas perlindungan dan kebebsasan dasar manusia tanpa diskriminasi.

b. Pasal 4 : Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

c. Pasal 20 : Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba, seperti perdagangan budak, perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang. Diperbudak, diperhamba atau yang dibeli atau yang boleh dibeli, atau yang dipekerjakan karena hutang, atau yang menjadi budak karena tidak mampu membayar hutang, atau yang perempuan karena permainan.

d. Pasal 64 : Setiap anak berhak untuk memperoleh per1indungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral. kehidupan sosial, dan mental spiritualnya.

e. Pasal 65 : Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

(5)

  Akan tetapi, Undang-Undang ini tidak memuat norma tentang ketentuan saksi hukuman bagi pelanggar hak asasi manusia, termasuk pasal tentang perdagangan anak.

3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di Lingkungan Peradilan Umum yang memiliki tugas dan wewenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat dan berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Tetapi tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan.

a. Pasal 7 huruf b : Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi: kejahatan terhadap kemanusiaan.

b. Pasal 9 : Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

a. pembunuhan;

b. pemusnahan;

c. perbudakan;29

d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum intemasional;

f. penyiksaan;

g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentukbentuk kekerasan seksual lain yang setara;

h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama,       

29Penjelasan Pasal 9 huruf c UU No. 26 Tahun 2000 bahwa : Yang dimaksud dengan

“perbudakan” dalam ketentuan ini termasuk perdagangan manusia, khususnya perdagangan wanita dan anak-anak.

(6)

  jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

i. penghilangan orang secara paksa; atau j. kejahatan apartheid.

c. Pasal 35 : Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.30

4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat

Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Perbuatan tindak pidana perdagangan orang merupakan salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Setiap korban atau saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh perlindungan dari aparat penegak hukum dan aparat keamanan yang diberikan sejak tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan yang meliputi:

perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik dan mental; perahasiaan identitas korban atau saksi; danpemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.

Perlindungan terhadap korban dan saksi dilakukan berdasarkan inisiatif aparat penegak hukum dan aparat keamanan; dan atau permohonan yang disampaikan oleh korban atau saksi. Permohonan tersebut disampaikan kepada : Komisi       

30Penjelasan Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 bahwa : Yang dimaksud dengan

“kompensasi” adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu rnemberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Yang dimaksud dengan

“restitusi” adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi dapat berupa:

a. pengembalian harta milik ;

b. pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan; atau c. penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

Yang dimaksud dengan “rehabilitasi” adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain.

(7)

  Nasional Hak Asasi Manusia, pada tahap penyelidikan; Kejaksaan, pada tahap penyidikan dan penuntutan dan Pengadilan, pada tahap pemeriksaan.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, Dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat

Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Pelanggaran HAM yang berat tersebut adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pasal yang melindungi hak-hak korban yaitu :

a. Pasal 2 : Kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi diberikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya dan harus dilaksanakan secara tepat, cepat, dan layak.31

b. Pasal 7 : Instansi Pemerintah Terkait melaksanakan pemberian kompensasi dan atau rehabilitasi serta pelaku atau pihak ketiga melaksanakan pemberian restitusi, paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diterima.

c. Pasal 8 : Pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi, dilaporkan oleh Instansi Pemerintah Terkait, pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan HAM yang memutus perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi. Kemudian tanda bukti tersebut disampaikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya. Ketua Pengadilan HAM menerima tanda bukti kemudian mengumumkan pelaksanaan tersebut pada papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.

d. Pasal 9 : Dalam hal pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi kepada pihak korban melampaui batas waktu sebagaimana       

31Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) PP No. 3 Tahun 2002 bahwa : Yang dimaksud dengan "ahli waris" adalah ahli waris sesuai dengan penetapan pengadilan. Lihat Penjelasan Pasal Ayat (2) bahwa : Yang dimaksud dengan "tepat" adalah bahwa penggantian kerugian dan atau pemulihan hak-hak lainnya diberikan kepada korban yang memang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Yang dimaksud dengan "cepat" adalah bahwa penggantian kerugian dan atau pemulihan hak-hak lainnya diberikan kepada korban sesegera mungkin dalam rangka secepatnya mengurangi penderitaan korban. Yang dimaksud dengan

"layak" adalah bahwa penggantian kerugian dan atau pemulihan hak-hak lainnya diberikan kepada korban secara patut berdasarkan rasa keadilan.

(8)

  dimaksud dalam Pasal 7, korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya dapat melaporkan hal tersebut kepada Jaksa Agung. Kemudian Jaksa Agung segera memerintahkan Instansi Pemerintah Terkait, pelaku, atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.

e. Pasal 10 : Dalam hal pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi dapat dilakukan secara bertahap, maka setiap tahapan pelaksanaan atau kelambatan pelaksanaan harus dilaporkan kepada Jaksa Agung.32

6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Negara Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia; dan anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat manusia sebagai manusia seutuhnya dan ini adalah bagian dari pembukaan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak.

a. Pasal 59 : Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

b. Pasal 66 : Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat yang dilakukan melalui:

a. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan

c. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.

      

32Penjelasan Pasal 10 PP No. 3 Tahun 2002 bahwa : Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan keringanan kepada pelaku atau Pemerintah dalam pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi untuk dilakukan secara bertahap karena keterbatasan kemampuan bila dilaksanakan sekaligus.

(9)

  c. Pasal 68 : Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan

perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat dan setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan.

d. Pasal 81 : Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

e. Pasal 82 : Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

f. Pasal 83 : Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

g. Pasal 84 : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

h. Pasal 85 : Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(10)

  7. Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 RAN Anti Perdagangan Orang

Rencana Aksi Nasional (RAN) Anti Perdagangan Orang dan Anak disahkan pada tanggal 30 Desember 2002 melalui Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002. RAN tersebut merupakan landasan dan pedoman bagi pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Pengesahan RAN ditindaklanjuti dengan pembentukan gugus tugas anti trafficking di Tingkat Nasional. Untuk menjamin terlaksananya RAN di tingkat

provinsi dan kabupaten/kota maka penetapan peraturan dan pembentukan gugus tugas didasarkan keputusan kepala daerah masing-masing termasuk anggaran pembiayaannya. Rencana Aksi Nasional (RAN) penghapusan Perdagangan (trafficking) Perempuan dan Anak yang menjadi arahan, pedoman, dan rujukan

dalam penanganan masalah trafficking ini. Adapun RAN ini telah dilakukan penyusunannya dengan memperhatikan pokok-pokok penyusunan rencana aksi yang baik, yaitu memenuhi standar sistematik (sistematic), terukur (measurable) dapat dicapai (attainable), rasional dan layak (rational/reasonable), dan waktu yang tepat (timely).

8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

a. Pasal 68 : Pengusaha dilarang mempekerjakan anak;

b. Pasal 69 ayat (1) : Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.

c. Pasal 69 ayat (2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan:

a. izin tertulis dari orang tua atau wali;

b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;

(11)

  c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;

d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;

e. keselamatan dan kesehatan kerja;

f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan

g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

d. Pasal 74 : Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud meliputi :

a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;

b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;

c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau

d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.

9. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan Dan Anak

Suatu langkah maju Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah melahirkan suatu Peraturan Daerah Trafficking disahkan di Medan pada tanggal 6 Juli 2004 oleh Gubernur Provinsi Sumatera Utara T. Rizal Nurdin dan diundangkan di Medan pada tanggal 16 Agustus 2004 oleh Sekretaris Daerah Propinsi, Drs.

Muhyan Tambuse. Dalam Peraturan Daerah ini bahwa perdagangan orang merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia, dan mempunyai jaringan yang luas sehingga merupakan ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia baik secara nasional maupun internasional. Hal-hal yang penting dalam Perda Nomor 6 Tahun 2004, yaitu :

a. Pasal 3 yaitu : bertujuan untuk pencegahan, rehabilitasi dan reintegrasi perempuan dan anak korban perdagangan (trafiking).

(12)

  b. Pasal 4 yaitu : Perempuan yang akan bekerja diluar wilayah desa/kelurahan

wajib memiliki Surat izin Bekerja Perempuan (SIBP) yang dikeluarkan oleh Kepala Desa atau Lurah dan diadministrasikan oleh camat setempat.

c. Pasal 11 yaitu :Perlu mengefektifkan dan menjamin pelakasanaan pencegahan trafiking perlu dibentuk gugus tugas tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak (RAN-P3A).

d. Pasal 17 yaitu : Masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta membantu upaya pencegahan dan penghapusan perdagangan (trafiking) perempuan dan anak.

e. Pasal 28 yaitu : Sanksi pidana, setiap orang yang melakukan, mengetahui, melindungi, menutup informasi dan membantu secara langsung maupun tidak langsung terjadinya perdagangan (trafiking) perempuan dan anak dengan tujuan untuk melakukan eksploitasi baik dengan atau tanpa persetujuan untuk pelacuran, kerja atau pelayanan, perbudakan atau praktek serupa dengan perbudakan, pemindahan atau transplantasi organ tubuh, atau segala tindakan yang melibatkan pemerasaan dan pemanfaatan fisik, seksual, tenaga dan atau kemampuan seseorang oleh pihak lain dengan secara sewenang-wenang untuk mendapatkan keuntungan baik material maupun non material dapat dikenakan ancaman pidana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

10. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

Suatu langkah maju dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, negara Indonesia telah melahirkan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap saksi dan/atau korban. Undang-Undang ini bertujuan memberikan perlindungan rasa aman pada saksi dan/atau korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.

(13)

  Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Maka sudah saatnya perlindungan Saksi dan Korban diatur dengan undang-undang tersendiri.

Adapun pokok materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban meliputi:

1. Perlindungan dan hak Saksi dan Korban;

2. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;

3. Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan; dan 4. Ketentuan pidana.

B. Setelah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Salah satu dasar pertimbangan lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah dikarenakan selama ini peraturan-peraturan yang berkaitan dengan perdagangan orang belum memberikan landasan hukum yang menyeluruh dan terpadu dalam melakukan pemberantasan perdagangan orang. Dengan lahirnya Undang-Undang ini maka pemerintah berkeinginan untuk mencegah dan menanggulangi perdagangan orang yang didasarkan pada komitmen nasional dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, peningkatan kerjasama,

(14)

  penindakan terhadap pelaku, dan termasuk perlindungan terhadap hak-hak korban perdagangan orang. Dengan demikian penanganan perkara perdagangan orang telah berlandaskan pada pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 sehingga para pelaku baik perorangan maupun korporasi dapat jera untuk melangkah melakukannya.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 terdiri dari 9 Bab yang meliputi 67 Pasal, yang pada intinya mencakup Pencegahan, Pemberantasan dan Penanganan yang terdiri dari dua aspek yaitu :

1. Aspek Non Pro Justisia, yaitu :

a. Aspek Perlindungan Saksi dan Korban b. Aspek Pencegahan dan Penanganan

c. Aspek Kerjasama Dan Peran Serta Masyarakat

2. Aspek Pro Justisia, yaitu merupakan Aspek Pemidanaan Atau Hukum Materiil dan Aspek Hukum Acara Pidana.

Adapun secara menyeluruh Undang-Undang ini berisi dan menceritakan tentang beberapa aspek yang terdapat di dalam beberapa pasal berikut ini :33 1) Aspek Tindak Pidana Perdagangan Orang

Secara garis besar aspek ini memuat tentang berbagai macam dan cara serta jenis-jenis dari tindak pidana perdagangan orang yang dimulai dari perekrutan, pengangkutan hingga nantinya diperkerjakan, baik itu yang ditujukan ke dalam atau ke luar negeri, yang mana baik itu dilakukan dengan unsur penipuan, pembujukan, pemanfaatan ataupun kekerasan bahkan yang dilakukan       

33Lihat beberapa Pasal dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

(15)

  secara korporasi, yang mana kesemuanya itu terdapat di dalam Pasal 2 hingga Pasal 18 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 ini, pada dasarnya berisikan mengenai ketentuan-ketentuan pidana yang dijatuhkan terhadap perdagangan orang, baik pidana Penjara, Kurungan atupun Denda. Bagi pelaku Human Trafficking yang melakukan tindak pidana yang mengakibatkan seseorang

mengalami eksploitasi ataupun yang melakukan kegiatan perdagangan orang yang dimulai dari percobaan, pemanfaatan, pengiriman bahkan korporasi. Terhadap tindak pidana perdagangan orang akan dijatuhkan pidana denda paling sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah, dan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama seumur hidup.

2) Aspek Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Aspek ini memuat tentang berbagai tindak pidana kejahatan yang bersifat menghalangi pemeriksaan terhadap kejahatan perdagangan orang yang terjadi, atau dengan kata lain berusaha mencegah, merintangi dan bahkan menggagalkan suatu penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana lain yang terjadi dan mendukung terhadap terjadinya tindak pidana kejahatan perdagangan orang, yang mana aspek ini dimulai dari Pasal 19 hingga Pasal 27 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Dalam Undang-Undang ini, ditetapkan bahwa berbagai tindakan yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang dan bahkan bersifat menghalangi akan dipidana dengan penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun.

(16)

  3) Aspek Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan, di Sidang Pengadilan

Aspek ini berisikan mengenai penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan, di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, termasuk didalamnya pemeriksaan alat bukti, saksi, dan korban. Aspek ini dimulai dari Pasal 28 hingga Pasal 42 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.

4) Aspek Perlindungan Saksi dan Korban

Di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, seorang korban dan saksi perlu mendapat perlindungan sebagaimana tercantum, antara lain :

a. Ruang Pelayanan Khusus (Pasal 45) b. Pusat Pelayanan Terpadu (Pasal 46)

c. Mekanisme Pembayaran Restitusi (Pasal 48-Pasal 50) d. Rehabilitasi untuk Pemulihan Korban (Pasal 51) e. Rumah Perlindungan Sosial/pusat trauma (Pasal 52)

Di sinilah sangat penting peran masyarakat untuk membantu memberikan perlindungan kepada saksi korban. Adapun aspek ini meliputi Pasal 43 hingga Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.

5) Aspek Pencegahan dan Penanganan Aspek ini meliputi 2 hal yaitu : a. Program Pencegahan (Pasal 57) b. Pembentukan Gugus Tugas (Pasal 58)

6) Aspek Kerjasama Internasional dan Peran Serta Masyarakat

Dalam aspek ini berisikan tentang upaya dari pemerintah dengan mengadakan kerjasama internasional dalam menyelenggarakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dan aspek ini juga bercerita mengenai peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanganan

(17)

  korban tindak pidana perdagangan orang. Aspek ini terdapat dalam Pasal 59 hingga Pasal 63 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.

7) Aspek lain yang meliputi : a. Ketentuan Umum (Pasal 1) b. Ketentuan Peralihan (Pasal 64) c. Ketentuan Penutup (Pasal 65-67)

2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Peraturan Pemerintah ini diharapakan dapat lebih memberikan kemudahan penerapan undang-undang yang ada di dalamnya mengatur mengenai pencegahan, pemberantasan, penghukuman, penanganan dan pemenuhan hak saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. Pada Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mengamanatkan mengenai tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Tata cara adalah rangkaian proses pelayanan terpadu yang diberikan kepada korban yakni mulai dari identifikasi korban, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, bantuan hukum, pemulangan, dan reintegrasi sosial.

Mekanisme adalah sistem pelayanan terpadu satu pintu baik dalam satu atap maupun berjejaring yang merupakan rangkaian tugas dan fungsi instansi/lembaga terkait dalam menangani korban perdagangan orang. Pusat Pelayanan Terpadu, yang selanjutnya disingkat dengan PPT, adalah satu unit kesatuan yang menyelenggarakan pelayanan terpadu untuk saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang.

(18)

  PPT dibentuk di kabupaten/kota yang pembentukannya dengan peraturan daerah masing-masing kabupaten/kota. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk mengacu pada Peraturan Pemerintah ini, terutama mengenai tata cara dan mekanisme pelayanan, serta pegaturan mengenai standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial juga wajib menyediakan sarana dan prasarana PPT yang meliputi penyediaan fisik bangunan beserta perlengkapan yang dibutuhkan atau sesuai dengan standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial. Sarana dan prasarana adalah ketersediaan para petugas dalam pengelolaan PPT tersebut, misalnya tenaga kesehatan, keperawatan, psikolog, psikiater, pekerja sosial yang digaji sesuai ketentuan perundang-undangan. Pendanaan penyelengaraan PPT dibebankan pada anggaran pendapatan belanja negara dan anggaran pendapatan belanja daerah serta dari sumber-sumber lain yang sah.34 3. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian

Kompensasi, Restitusi, Dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban

Menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 pengertian kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan, pengertian restitusi menurut Pasal 1 angka 5 adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Dalam Peraturan Pemerintah ini Pemberian kompensasi diatur       

34Lihat Penjelasan PP RI No. 9 Tahun 2008.

(19)

  dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 19 dan Pemberian restitusi diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 33.

a. Pasal 20 : Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi. Permohonan dapat diajukan oleh Korban, Keluarga, atau kuasanya dengan surat kuasa khusus dan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada pengadilan melalui LPSK.

b. Pasal 21: Pengajuan permohonan Restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

c. Pasal 33 : Dalam hal pemberian Restitusi dilakukan secara bertahap, setiap tahapan pelaksanaan atau keterlambatan pelaksanaan harus dilaporkan Korban, Keluarga atau kuasanya kepada pengadilan yang menetapkan atau memutuskan permohonan Restitusi.

d. Pasal 34 : Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh bantuan, berupa:

a. bantuan medis;

b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial.

Dan Permohonan Bantuan dapat diajukan oleh Korban, Keluarga, atau kuasanya dengan surat kuasa khusus yang dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada LPSK atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol Untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan Dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi

Protokol Palermo adalah suatu perjanjian yang berisi sebuah perangkat hukum yang mengikat kewajiban bagi semua negara yang meratifikasi atau menyetujuinya untuk mencegah, menekan, dan menghukum trafficking pada manusia, khususnya kaum perempuan dan anak-anak. Penandatanganan protokol ini untuk mencegah, menindak, dan menghukum perdagangan orang, terutama perempuan dan anak-anak oleh pemerintah Republik Indonesia dalam pemberatasan perdagangan orang.

(20)

  Konvensi Palermo memuat tiga protokol, yaitu anti perdagangan orang terutama perempuan dan anak-anak, anti penyeludupan imigran, serta antiproduksi dan penyeludupan senjata api gelap. Sedangkan dalam perdagangan orang, tindakan-tindakan efektif untuk mencegah dan memerangi perdagangan orang, terutama perempuan dan anak-anak, membutuhkan sebuah pendekatan internasional yang komprehensif di negara asal, negara transit dan negara tujuan yang mencakup langkah-langkah untuk mencegah perdagangan, untuk menghukum para pelaku perdagangan orang dan untuk melindungi korban-korban perdagangan orang termasuk melindungi hak asasi mereka yang diakui secara internasional.

5. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan

Pada Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 dijelaskan bahwa Standar Pelayanan Minimal yang selanjutnya disebut SPM adalah tolak ukur kinerja pelayanan unit pelayanan terpadu dalam memberikan pelayanan penanganan laporan/pengaduan, pelayanan kesehatan, rehabilitasi sosial, penegakan dan bantuan hukum, serta pemulangan dan reintegrasi sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang. Kekerasan yang dimaksud terhadap perempuan dan anak.

(21)

  Menurut Pasal 1 angka 3 kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah publik atau dalam kehidupan pribadi. Sedangkan kekerasan terhadap anak menurut Pasal 1 angka 4 adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, mental, seksual, psikologis, termasuk penelantaran dan perlakuan buruk yang mengancam integritas tubuh dan merendahkan martabat anak.

Unit pelayanan terpadu atau disingkat UPT adalah suatu unit kesatuan yang menyelenggarakan fungsi pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan. UPT tersebut dapat berada di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) dan Pusat Krisis Terpadu (PKT) yang berbasis Rumah Sakit, Puskesmas, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA), Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC), Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA), BP4 dan lembaga-lembaga keumatan lainnya, Kejaksaan, Pengadilan, Satuan Tugas Pelayanan Warga pada Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, Women Crisis Center (WCC), lembaga bantuan hukum (LBH), dan lembaga sejenis lainnya. Layanan ini dapat berbentuk satu atap (one stop crisis center) atau berbentuk jejaring, tergantung kebutuhan di masing-masing daerah.

(22)

  SPM Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, meliputi layanan :

a. penanganan pengaduan/laporan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak;

b. pelayanan kesehatan bagi perempuan dan anak korban kekerasan;

c. rehabilitasi sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan;

d. penegakan dan bantuan hukum bagi perempuan dan anak korban kekerasan;

dan

e. pemulangan dan reintegrasi sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan.

SPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 memiliki indikator kinerja dan target batas waktu pencapaian pada tahun 2014, meliputi :

a. cakupan perempuan dan anak korban kekerasan yang mendapatkan penanganan pengaduan oleh petugas terlatih di dalam unit pelayanan terpadu: 100%;

b. cakupan perempuan dan anak korban kekerasan yang mendapatkan layanan kesehatan oleh tenaga kesehatan terlatih di Puskesmas mampu tatalaksana KtP/A dan PPT/PKT di Rumah Sakit: 100% dari sasaran program;

c. cakupan layanan rehabilitasi sosial yang diberikan oleh petugas rehabilitasi sosial terlatih bagi perempuan dan anak korban kekerasan di dalam unit pelayanan terpadu: 75%;

d. cakupan layanan bimbingan rohani yang diberikan oleh petugas bimbingan rohani terlatih bagi perempuan dan anak korban kekerasan di dalam unit pelayanan terpadu: 75%;

e. cakupan penegakan hukum dari tingkat penyidikan sampai dengan putusan pengadilan atas kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak: 80%;

f. cakupan perempuan dan anak korban kekerasan yang mendapatkan layanan bantuan hukum: 50%;

g. cakupan layanan pemulangan bagi perempuan dan anak korban kekerasan:

50%; dan

h. cakupan layanan reintegrasi sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan:

100%.

6. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2010 tentang Prosedur Standar Operasional Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Berdasarkan bukti empiris terungkap bahwa perempuan dan anak adalah kelompok yang banyak menjadi korban kekerasan, berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, penelantaran, eksploitasi, dan kekerasan lainnya. Faktor yang penyebabnya adalah faktor budaya patriarki yang masih banyak terjadi di

(23)

  masyarakat yang memandang perempuan lebih rendah dari pada laki-laki dan adanya persepsi yang salah yakni menganggap kekerasan sebagai hal yang biasa dan merupakan hak dari pelaku. Kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat dilihat dari jenis, pelaku, tempat kejadian, waktu, usia dan akibat dari tindak kekerasan yang berlaku umum dan tidak memiliki relevansi dengan jenis pendidikan, pekerjaan dan penghasilan, kedudukan sosial, agama dan keyakinan, suku bangsa, etnis dan ras yang melekat pada laki-laki dan perempuan.

Hal ini dapat terjadi pada semua jenis strata sosial, kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat dan terus terjadi sepanjang ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan masih diyakini dan dimanifestasikan dalam kehidupan sosial. Mengingat hal-hal tersebut di atas, maka diperlukan upaya pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan yang dapat dijadikan panduan bagi penyelenggara layanan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan di daerah, dan sekaligus menjadi landasan kebijakan setiap layanan minimal bagi perempuan dan anak korban kekerasan yang bermutu dan profesional dengan berfokus pada kepentingan korban. Untuk itu, disusunlah Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut British Standard BS EN ISO 7730, kenyamanan termal merupakan suatu kondisi dari pikiran manusia yang menunjukkan kepuasan dengan lingkungan termal.Definisi yang

Keterampilan menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh mahasiswa (pembelajar) dalam pembelajaran bahasa Perancis. Dengan bekal materi yang

13 Proksimat daging ikan pada akhir penelitian berbeda kadar protein tubuh ikan antara perlakuan bioflok dengan perlakuan kontrol, tetapi untuk perlakuan dengan

Permasalahan yang terjadi didalam perusahaan ini adalah timbulnya selisih stok barang antara pencatatan fisik dan pencatatan pembukuan, hal ini disebabkan karena perusahaan

Tidak hanya itu, diharapkan perancangan board game tersebut dapat membantu para guru dan orang tua dalam menyampaikan pembelajaran yang tepat dalam melatih

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi anti tuberkulosis serta struktur yang terkandung dalam senyawa metabolit sekunder yang diisolasi dari alga hijau

Tahapan penelitian ini meliputi penyulingan minyak atsiri serai wangi, identifikasi komponen kimia minyak atsiri dengan GC-MS, pengujian toksisitas minyak atsiri,

Keseimbangan Pasar.. Berapakah harga dan jumlah keseimbangan yang tercipta di pasar ? b. Biasanya tanggungan pajak sebagian dikenakan kepada konsumen sehingga harga produk akan