• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Pengertian dan jenis-jenis hambatan non-tarif

Perundingan non-tarif dalam kerangka GATT/WTO untuk pertama kali

dibahas dalam perundingan Tokyo Round 1973-1979 di Tokyo (Jepang). Adapun

hasil perundingan Tokyo Round dibidang non-tarif yang disepakati dalam

perjanjian GATT masih merupakan code, karena hanya mengikat negara-negara

peserta perundingan. Namun demikian, karena ketentuan yang dihasilkan dalam

Tokyo Round merupakan upaya penyempurnaan perjanjian GATT, maka

perjanjian tersebut juga merupakan elemen dalam perkembangan yurisprudensi GATT. Dibidang non-tarif, hasil perundingan yang dicapai dalam perundingan

Tokyo Round, secara ringkas adalah sebagai berikut:116

a. Pengaturan yang lebih rinci mengenai tindakan non-tarif (non-tarif

measures), seperti subsidy dan countervaliling duty atau bea masuk yang dikenakan untuk mengimbangi langkah subsidi yang diambil oleh negara pengekspor.

b. Ketentuan yang lebih rinci mengenai hambatan teknis terhadap perdagangan

internasional (technical barrier to trade).

c. Ketentuan yang lebih rinci mengenai pembelian dalam bentuk impor sektor

pemerintah atau government procurement.

115

What Development Round?, 30 Maret 2016 Pukul 14.00 WIB.

116

d. Ketentuan yang dirinci mengenai prosedur dalam pemberian lisensi impor.

e. Penyesuaian dan perubahan aturan GATT mengenai anti-dumping yang

dirumuskan dalam GATT dan disetujui pada 1967.

Hambatan non-tarif adalah semua macam kebijakan pemerintah atau peraturan suatu negara yang menghambat perdagangan bebas dan mencakup semua hambatan yang bukan merupakan tarif. Dengan demikian, semua hambatan yang timbul karena kebijakan pemerintah atau peraturan suatu negara yang bukan merupakan tarif termasuk kategori hambatan non-tarif. Macam hambatan non-tarif

adalah sangat banyak dan dapat terus bertambah. Alan M. Rugman, et.al

mengilustrasikan berbagai hambatan non-tarif adalah sebagai berikut:117

a. Pembatasan spesifik, yang terdiri dari kuota (termasuk sukarela), lisensi

impor, rasio asing-domestik, batas minimum harga impor, embargo, perjanjian-perjanjian bilateral, dan perjanjian-perjanjian pemasaran secara teratur.

b. Peraturan administrasi pabean, yang terdiri dari sistem valuasi, aturan

anti-dumping, klasifikasi tarif, dokumentasi yang disyaratkan, biaya-biaya,

disparitas standar mutu dan pengujian, standard packaging, labeling dan

pemasaran.

c. Partisipasi pemerintah, yang terdiri dari kebijakan pengadaan

(procurement), subsidi dan insentif ekspor, bea countervailing, program

bantuan domestik, dan bantuan trade-divertin.

117Alan M. Rugman, Donald J. Lecraw and Lawrence D. Booth, International Business : Firm and Environtment, (dalam) Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral di bawah Sistem Hukum WTO (Bandung: PT. Alumni, 2010), hlm. 139-140.

d. Pungutan impor, yang terdiri dari jaminan impor (import deposit),

pajak-pajak tambahan (suplementary), kredit impor, pungutan variabel (variable

levies), dan pungutan perbatasan (border levies).

2. Larangan terhadap kebijakan hambatan non-tarif

Rezim perdagangan internasional yang tidak dapat dihindari lagi dalam peningkatan perekonomian suatu negara yang mana perdagangan internasional merujuk pada kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh berbagai pemerintah dibidang perdagangan. Pemerintah sebagai regulator memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan tidak saja bagi pelaku usaha yang melakukan kegiatan diwilayahnya tetapi juga kewenangan untuk membuat kebijakan atas barang atau jasa asal

negara lain yang akan masuk ke negaranya.118 Jika merujuk pada pengertian

kebijakan perdagangan yakni merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dilakukan dengan memerhatikan gejala dan perkembangan yang terjadi

dinegara lain yang berpengaruh pada perekonomian nasional.119

118Kata Pengantar Prof Hikmahanto Juwana (dalam) Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, Joseph Wira Koesnaidi, Pengantar Hukum WTO, hlm. XV.

119

Syahmin AK, Op. Cit., hlm. 11.

Maka, kebijakan pemerintah dalam perdagangan, yakni hambatan non tarif adalah semua macam kebijakan pemerintah atau peraturan suatu negara yang menghambat perdagangan bebas dan mencakup semua hambatan yang bukan merupakan tarif. Dengan demikian, semua hambatan yang timbul karena kebijakan pemerintah atau aturan suatu negara yang bukan merupakan tarif merupakan kategori hambatan non tarif (non-tariff measures). Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh United Nation Convention on Trade and Development (UNCTAD, 2010):

“Non-tariff measures (NTMs) are policy measures, other than ordinary customs tariffs, that can potentially have an economic effect on international trade in goods, changing quantities traded, or prices or both”.120

Secara umum, larangan hambatan non-tarif terhadap akses pasar – untuk

barang dan juga untuk jasa dan pemberi jasa – dapat berupa:121

a. Hambatan kuantitatif (quantitative restriction)

b. Hambatan non-tarif lainnya, seperti hambatan teknis dalam perdagangan,

kurangnya transparansi dalam regulasi perdagangan nasional, penerapan yang kurang adil dan memihak dari regulasi perdagangan nasional dan formalitas dan prosedur perpajakan.

Bentuk hambatan lain yang berbeda dengan pengenaan tarif adalah hambatan non-tarif, yang berarti hambatan masuk sebuah produk yang bukan disebabkan karena adanya pengenaan tarif impor, tetapi akibat adanya pelarangan, penunjukan pada perusahaan tertentu saja sebagai sebagai pihak yang menangani pemasaran dan pembuatan atas suatu jenis barang. Praktik non-tarif merupakan tindakan kebijakan dan praktik yang menghambat volume, komposisi, dan arah perdagangan barang atau upaya menghambat sampainya barang ke konsumen disuatu negara. Jika merujuk pada hukum WTO, terutama dalam GATT 1994 yang tidak melarang penerapan bea masuk (tarif) namun tidak selain tarif, maka, kebijakan non-tarif adalah hal yang dilarang dalam perdagangan internasional. Menurut GATT 1994, larangan kebijakan hambatan non tarif diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Larangan hambatan kuantitatif

120

Non-Tariff Measure to Trade : Economic on Policy Issues for Developing Countries, UNCTAD, 2016 pukul 09.37 WIB.

121

Prinsip penghapusan hambatan kuantitatif diatur dalam Pasal XI GATT 1947. Hambatan kuantitatif dalam perdagangan internasional yang disebutkan dalam persetujuan GATT/WTO adalah larangan dalam hambatan perdagangan yang bukan merupakan tarif atau bea masuk. Termasuk dalam kategori hambatan

ini, adalah kuota danpembatasan ekspor secara sukarela (voluntary export

restraints).Pembatasan melalui kuota adalah pembatasan secara lansung terhadap jumlah barang yang boleh diimpor/diekspor dari atau ke luar negeri . Pembatasan ini biasanya diberlakukan dengan memberikan lisensi kepada beberapa kelompok individu atau perusahaan domestik untuk mengimpor atau mengekspor suatu

produk yang jumlahnya dibatasi secara lansung.122 Dilarangnya pemberlakuan

hambatan kuantitatif ini adalah sebab hambatan kuantitatif memberi dampak yang lebih luas daripada dampak yang diakibatkan oleh pembatasan melalui tarif dan akan menjadi distorsi terhadap aliran perdagangan bebas yang pada praktiknya pun cenderung tidak adil dan menimbulkan diskriminasidan peluang-peluang subjektif lainnya. Karena ketika partner dagang membatasi impor dengan tarif, masih dimungkinkannya untuk meningkatkan ekspor selama harga barang dapat bersaing dengan produk asing, namun ketika suatu negara menerapkan pembatasan kuantitatif, meskipun produk yang diimpor atau diekspor memiliki harga yang kompetitif namun barang tersebut tidak dapat dimasukkan atau

dikeluarkan kesuatu negara.123

122

“Kebijakan Non-Tarif”,

Hal ini lah yang terjadi di tahun 1930-an yakni pemberlakuan pembatasan kuantitatif yang merupakan hambatan yang paling serius dan yang paling sering ditemui sebagai warisan dari zaman depresi. Adapun

diakses pada 30 Maretr 2016 Pukul 17.08 WIB.

123“Quantitatif Restriction: Overview of Rules”,

Pukul 19.30 WIB.

Pembatasan ekspor sukarelaadalah sebua diterapkan dari sisi negara pengekspor, bukan pengimpor, biasanya dikenakan atas

permintaan pemerintah negara pengimpor.124 Alasan dilarangnya pembatasan

ekpor sukarela adalah karena pada praktiknya VER mengandung unsur intimidasi dimana negara pengimpor biasanya menggunakan ancaman untuk membuat negara pengekspor secara “sukarela” membatasi ekspornya kenegara bersangkutan. Sebagai sebuah kebijakan perdagangan, VER sarat dengan muatan politik.125

b. Larangan Dumping

Oleh karena itu maka hukum perdagangan internasional melaui WTO menetapkan untuk menghilangkan jenis hambatan kuantitatif. Adanya prinsip transparansi membawa akibatkan bahwa negara-negara anggota WTO apabila hendak melakukan proteksi perdagangan internasional, tidak boleh menggunakan kuota sebagai penghambat, melainkan hanya tarif yang diijinkan untuk diterapkan. Karenanya prinsip ini seringkali disebut sebagai tarifikasi hambatan perdagangan.

Dumping didefinisikan dalam Pasal II ayat (1)Anti-Dumping Agreement

sebagai suatu tindakan menjual sebuah barang kepasar negara lain dengan harga yang lebih murah daripada ”nilai normal” barang tersebut. Maka, dumping adalah suatu keadaan dimana barang-barang yang diekspor oleh suatu negara ke negara lain dengan harga yang lebih rendah dari harga jual dalam negerinya sendiri atau nilai normal dari barang tersebut. Hal ini merupakan praktik curang yang dapat

124

“Pembatasan Ekspor Sukarela”,

125

Bob Sugeng Hadiwinata, Politik Bisnis Internasional (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002), hlm. 69

mengakibatkan distorsi dalam perdagangan internsional.126Dengan demikian, pengertian dumping dalam konteks hukum perdagangan internasional adalah suatu bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah dipasar luar negeri dibandingkan dipasar dalam negeri sendiri dengan

tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut.127Praktik

dumping merupakan praktik dagang yang tidak fair karena bagi negara

pengimpor, praktik dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri, yang diikuti munculnya dampak ikutanya seperti pemutusan hubungan kerja massal, pengangguran, dan

bangkrutnya industri sejenis dalam negeri.128Secara internasional, ketentuan

antidumping diatur dalam Article VI GATT 1947. Pada Pasal VI ayat (1) GATT

1947 memberikan kriteria umum bahwa dumping yang dilarang oleh GATT adalah dumping yang dapat menimbulkan kerugian materil, baik terhadap industri

yang sudah berdiri (to an established industry) maupun telah menimbulkan

hambatan pada pendirian industri domestik (the establishment of a domestic

industry).129

126

Christoporus barutu, Ketentuan Anti-Dumping, Subsidi, dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO (selanjutnya disebut Buku I) (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 38.

127

Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 116-117.

128

Christoporus barutu (Buku II) , Op. Cit., hlm. 39.

129

Taryana Sunandar, Perdagangan Hukum Perdagangan Internasional dari GATT 1947 Sampai Terbentuknya WTO, (dalam) Christoporus barutu, Ketentuan Anti-Dumping, Subsidi, dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 41.

c. Larangan Subsidi

Masalah subsidi diatur dalam Article XVI GATT 1947 kemudian

dielaborasi dalam Agreement on Subsidies and Countervailing Measures tahun

1994 GATT-WTO. Ada beberapa unsur sebagai substansi dari Article XVI yaitu

adanya memberi dan mempertahankan subsidi yang meliputi berbagai upaya untuk menambah penghasilan (para produsen) serta menekan harga produknya, pemberian subsidi untuk mendorong ekspor, baik langsung maupun tidak

langsung dan pemberian subsidi untuk mengurangi impor (menghambat impor).130

Selain itu, menurut Article XVI terdapat kewajiban mengenai pemberitahuan

subsidi dimana pemberitahuan ini dimaksudkan untuk melindungi industri domestik negara importir bagi subsidi produksi dengan beberapa ketentuan yaitu pemberitahuan harus memuat jumlah produk yang diberikan subsidi, juga nilai

subsidinya dan keadaan-keadaan yang dijadikan alasan diberikannya subsidi.131

Tidak semua praktik subsidi dilarang. Praktik subsidi yang dilarang adalah yang dapat menimbulkan kerugian terhadap pihak lain misalnya subsidi pada perusahaan untuk mengejar target ekspor atau mengharuskan penggunaan

barang-barang domestik daripada barang-barang impor.132

1) Pemberian dana secara langsung oleh pemerintah seperti hibah,

pinjaman, penyertaan modal atau jaminan hutang.

Menurut Article 1 Agreement on

Subsidies and Countervailing Measures GATT-WTO 1994 dapat disimpulkan bahwa subsidi merupakan kontribusi finansial yang diberikan oleh pemerintah suatu negara kepada pelaku ekonomi berupa:

130Christoporus barutu (Buku I),Op. Cit., hlm. 69.

131

Ibid.

132

2) Penghapusan pendapatan atau tagihan pemerintah misalnya insentif fiskal, seperti memberikan keringanan atau penghapusan pajak.

3) Penyediaan barang atau jasa oleh pemerintah selain infrastruktur

umum atau pembelian barang.

4) Melakukan pembayaran pada mekanisme pendanaan, atau

memberikan kepercayaan pada badan swasta untuk melaksanakan fungsi sehubungan terkait poin ini dan poin sebelumnya yang pelaksanaannya berbeda dengan biasanya yang dilakukan oleh pemerintah.

Dokumen terkait