• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis terhadap Kebijakan Hambatan Kuantitatif dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis terhadap Kebijakan Hambatan Kuantitatif dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

HAMBATAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM KERANGKA

GATT/ WTO

A. Sejarah Lahirnya GATT 1947 Hingga Berdirinya World Trade

Organization

1. Lahirnya GATT 1947

Akhir Perang Dunia II (PD II), perdagangan internasional berada dalam

keadaan yang tidak menentu, banyak peringkat dari subsistem yang menunjang

kelancaran perdagangan yang telah mengalami kerusakan baik institusional

maupun fisik.31 Sebagian besar dari kegiatan perdagangan terpaksa dilakukan

secara ad-hoc sementara secara bertahap sendi-sendi yang menunjang mulai

diperbaiki.32 Tema dari upaya internasional pada akhir PD II adalah rekontruksi

total perekonomian dunia.33Dalam pelaksanaannya, upaya masyarakat

internasional untuk menangani masalah keuangan dan moneter internasional dapat

dilaksanakan dengan cara yang relatif lebih cepat.34 Dalam Konferensi Bretton

Woods tahun 1944, masyarakat internasional menyetujui didirikannya Dana

Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) dalam waktu yang

relatif singkat.35

31

H. S. Kartadjoemena, GATT dan WTO : Sistem, Forum, dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan(selanjutnya disebut Buku II) (Jakarta: UI Press, 2002), hlm. 33.

32

Begitu pula dalam hal menentukan rencana untuk mengadakan

rekontruksi bagi negara-negara menghadapi kerusakan akibat PD II. Untuk itu

(2)

for Recontruction and Development (IBRD). Bank dunia juga didirikan secara

bersamaan pada tahun 1944 dalam rangka perjanjian yang ditandatangani di

Bretton Woods.36Untuk masalah yang menyangkut bidang perdagangan internasional, dikemukakan bahwa perkembangan institusional dibidang

perdagangan internasional tidak terlampau lancar.37 Berbeda dengan bidang

finansial dan keuangan, dibidang perdagangan, negara-negara peserta konferensi

tidak berhasil medirikan suatu organisasi internasional. Semula diharapkan bahwa

rencana untuk mendirikan International Trade Organization (ITO) dapat disetujui

untuk diciptakan agar menangani masalah perdagangan internasional. Namun,

Karena berbagai pertimbangan politis, ITO tidak jadi terbentuk yang terutama

disebabkan karena kongres Amerika Serikat tidak menyetujui untuk didirikannya

ITO, dimana AS memiliki peranan yang sangat menentukan untuk terwujudnya

perdagangan bebas dunia. Maka terdapat suatu kekosongan institusional pada

tingkat internasional dalam bidang perdagangan.38 Dengan adanya kekosongan

institusional tersebut, maka GATT yang semula merupakan suatu perjanjian

interim, menjadi satu-satunya instrumen dibidang perdagangan yang telah

memperoleh konsensus yang luas untuk menjadi landasan dalam pengaturan tata

cara perdagangan internasionalyang mana benih sejarah pembentukan GATT

sebenarnya berawal dari waktu ditandatanganinya Piagam Atlantik (Atlantic

Charter) pada bulan Agustus 1941.39

36

Ibid.

37

Ibid.

38Hendra Halwani, Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi, Edisi Kedua

(selanjutnya disebut Buku I) (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 340.

39

H. S. Kartadjoemena (Buku I), Loc. Cit., hlm 34.

Salah satu tujuan dari piagam ini adalah

(3)

non-diskriminasi dan kebebasan tukar-menukar barang dan jasa.40Dengan demikian maka pada tahun 1947 GATT menjadi satu-satunya lembaga yang beroperasi

sebagai organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional,

sekurang-kurangnya bagi negara-negara anggota.41 Karena perdagangan

internasional antara negara-negara anggota merupakan sekitar 80% dari seluruh

perdagangan dunia secara riil, maka GATT menetapkan dan menerapkan aturan

permainan dari hampir seluruh perdagangan internasional.42

Dilihat dalam praktiknya, GATT 1947 telah menjadi peraturan multilateral

utama perdagangan internasional setelah PD II. Disamping sebagai peraturan

perdagangan internasional sejak tahun 1948 sampai tahun 1994, GATT 1947 juga

telah mejalankan fungsi-fungsi lain seperti sebagai organisasi perdagangan dunia,

forum perundingan masalah perdagangan internasional dan forum penyelesaian

sengketa dagang antar negara-negara peserta.43 Sebagai forum perundingan telah

dilakukan sembilan kali putaran perundingan GATT dan putaran perundingan

yang terakhir, yakni perundingan GATT Putaran Uruguay berlangsung dari

tahun1986 hingga 1994.44Putaran-putaran perundingan dibawah GATT tersebut

secara lebih rinci adalah sebagai berikut:45

a. Putaran Geneva 1947 (Diikuti oleh 23 negara)

b. Putaran Annecy 1949 (Diikuti oleh 13 negara)

c. Putaran Torquay 1950 (Diikuti oleh 38 negara)

d. Putaran Geneva 1956 (Diikuti oleh 26 negara)

40

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (selanjutnya disebut buku III) (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 103-106.

41

Ibid.

42

Ibid., hlm. 34-35.

43

Nurdin, Indonesia dalam Lipatan Ekonomi Global (GATT/WTO)(Banda Aceh: Sophia Center, 2007), hlm. 67.

44

Ibid.

45

(4)

e. Putaran Dillon 1960 – 1961 (Diikuti oleh 26 negara)

f. Putaran Kennedy 1962 – 1967 (Diikuti oleh 62 negara)

g. Putaran Tokyo 1973 – 1979 (Diikuti oleh 102 negara)

h. Putaran Uruguay 1986 – 1994 (Diikuti oleh 123 negara)

i. Putaran Doha 2001 – sekarang (Diikuti oleh 142 negara)

Fokus perundingan putaran pertama hingga ke-enam adalah pada masalah

penurunan tarif dan dihasilkan keputusan-keputusan tentang penurunan tarif.46

Pada putaran perundingan ke-enam, selain penurunan tarif juga dihasilkan putusan

tentang anti-dumping measures dan GATT negotiations rules.47 Mulai

perundingan putaran ke-tujuh, Putaran Tokyo (1973 – 1979) selain merundingkan

soal penurunan tarif, perundingan juga terfokus pada upaya penghapusan

hambatan dagang bukan tarif. Perundingan Putaran Tokyo selain menghasilkan

putusan tentang pengurangan tarif, juga menghasilkan beberapa perjanjian

dibidang hambatan non-tarif.48 Kemudian, putaran perundingan GATT

selanjutnya yakni Putaran Uruguay yang dimulai di Uruguay 1986 dan diakhiri di

Marakesh 1994.49 Keprihatinan terhadap penurunan pentaatan GATT 1947 yang

terjadi pada 1980-an, kemudian mendorong penyelenggaraan Putaran Uruguay

tahun 1986-1994 tersebut.50

Tanpa disengaja sistem internasional yang diterapkan

secara “interim” tersebut ternyata telah berjalan 40 tahun sebelum akhirnya,

sebagai hasil Uruguay Round, timbul kesepakatan untuk mendirikan organisasi

(5)

komprehensif seperti ITO yakni WTO.51 Terakhir, putaran yang dimulai 2001 yang masih berlangsung hingga sekarang yakni Putaran Doha. Putaran ini

menandai diluncurkannya putaran perundingan baru mengenai perdagangan jasa,

produk pertanian, tarif industri, lingkungan, isu-isu implementasi, Hak atas

Kekayaan Intelektual (HaKI), penyelesaian sengketa, dan peraturan WTO.

Putaran Doha juga mengamanatkan kepada para anggota untuk mencari jalan bagi

tercapainya konsensus yang mencakup isu-isu: investasi, kebijakan kompetisi

(competition policy), transparansi dalam pengadaan pemerintah (goverment

procurement), dan fasilitasi perdagangan.52 Deklarasi ini juga memuat mandat

untuk meneliti program-program kerja mengenai electronic commerce,

negara-negara kecil (small economies), serta hubungan antara perdagangan, utang, dan

alih teknologi. Deklarasi Doha juga telah memberikan mandat kepada para

anggota WTO untuk melakukan negosiasi di berbagai bidang, termasuk isu-isu

yang berkaitan dengan pelaksanaan persetujuan yang ada.53Secara umum, semua

anggota mendukung tujuan-tujuan itu. Namun masalahnya, bagaimana membuat

peraturan yang bisa diterima semua pihak. Negara-negara industri menuntut agar

produk industrinya bisa diperdagangkan lebih bebas di negara-negara ambang

industri seperti di Cina dan India.54

51

H. S. Katadjoemena, GATT WTO dan hasil Uruguay Round (selanjutnya disebut Buku I) (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1997), hlm. 18.

Negara-negara miskin menuntut agar subsidi

pertanian di Amerika Serikat dan Uni Eropa dihapus. Karena subsidi pertanian di

negara kaya menghapus peluang negara-negara miskin masuk ke pasarnya.

52

“Putaran Doha”, 12.06 WIB.

53

“World Trade Organization”, Iskandar Panjaitan, et.al, WIB.

54

(6)

Sementara negara industri berusaha melindungi sektor pertanian dari serbuan

produk-produk impor. Sebenarnya, sudah banyak peraturan yang berhasil

disepakati tentang pajak impor dan penghapusan hambatan perdagangan.Tapi

peraturan ini baru bisa berlaku resmi, jika semua anggota WTO menyepakati

seluruh paket perdagangan bebas yang disepakati dalam Putaran Doha. Inilah

hambatan utama yang membuat perundingan jadi rumit dan berlangsung hingga

saat ini.55

2. Berdirinya WTO sebagai Kelanjutan GATT 1947

GATT 1947 yang hadir sebagai kesepakatan perdagangan internasional

ditengah kondisi perekonomian dunia yang mengalami perlambatan yang cukup

signifikan pasca PD II sebenarnya ditujukan untuk pembentukan Organisasi

Perdagangan Dunia (International Trade Organization).56 Meskipun Piagam ITO

yang akhirnya disetujui dalam UN Conference on Trade and Development di

Havana pada Maret 1948, namun proses ratifikasi tidak berjalan lancar. Ditambah

lagi kongres Amerika Serikat, yang walaupun sebagai pencetus, AS memutuskan

untuk tidak meratifikasi Piagam Havana sehingga ITO secara efektif tidak dapat

dilaksanakan.57

55

Ibid.

56

Christhophorus Barutu, Seni Bersengketa di WTO (selanjutnya disebut Buku II) (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2015), hlm. 3.

57Sudargo Gautama,

Masalah-Masalah Perdagangan, Perjanjian, Hukum Perdata Internasional dan Hak Milik Intelektual (selanjutnya disebut Buku I) (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1992), hlm. 1.

Meskipun demikian, GATT tetap merupakan instrumen

multilateral yang mengatur perdagangan internasional. Bersama berjalannya

waktu, GATT semakin membuka diri kepada negara-negara lain untuk menjadi

anggota. Pada tahun 1947, anggota GATT tercatat sebanyak 23 negara dan

(7)

pada tahun 1994. Dalam Putaran Uruguay itu pulalah, para negara anggota GATT

sepakat untuk membentuk suatu lembaga baru, yakni WTO. Setelah melewati

masa transisi untuk memberikan kesempatan ratifikasi ditingkat nasional anggota,

WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995.

Lahirnya WTO pada tahun 1994 membawa dua perubahan yang cukup

penting bagi GATT. Pertama, WTO mengambil alih GATT dan menjadikannya

salah satu lampiran WTO. Kedua, prinsip-prinsip GATT menjadi kerangka aturan

bagi bidang-bidang baru dalam perjanjian WTO, khususnya perjanjian mengenai

Jasa (GATS), penanaman modal (TRIMs), dan juga dalam perjanjian mengenai

perdagangan yang terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual (TRIPS).58

Sejak berdiri, GATT telah mensponsori berbagai macam

perundingan-perundingan utama/pokok yang biasanya disebut juga dengan istilah putaran

(rounds). Tujuan dari putaran atau perundingan ini bertujuan untuk mempercepat

liberalisasi perdagangan internasional.59 Terkait Berdirinya WTO sebagai

kelanjutan GATT 1947 dibahas dalam putaran perundingan ke-8 disebut Putaran

Uruguay. Putaran yang dimulai 1986, merujuk pada kesepakatan yang diambil di

Uruguay, dan berakhir pada Maret 1994 di Marrakesh, Maroko. Pada saat itulah

organisasi GATT diubah namanya menjadi WTO.60 Hasil dari perundingan

GATT Putaran Uruguay tersebut adalah disetujuinya persetujuan pembentukan

WTO beserta lampiran-lampirannya (The Agreement Establishing The World

Trade Organization and Annexes).61

58

Huala Adolf (Buku III), Op. Cit., hlm. 97.

59

Ibid.

60

M. Husein Sawit, Liberalisasi Pangan: Ambisi dan Reaksi dalam Putaran Doha WTO (Jakarta: UI Press, 2007), hlm. 3.

61

Triyana Yohanes, Hukum Ekonomi Internasional: Perspektif Kepentingan Negara Sedang Berkembang dan LDC’s (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2015), hlm. 68.

(8)

Pengesahan WTO, pengesahan WTO dinyatakan perundingan Putaran Uruguay

berlangsung sangat ketat, sehingga masa perundingan yang semula direncanakan

berlangsung selama 4 tahun sejak peluncuran Putaran Uruguay, tidak dapat

tercapai. Proses perundingan itu sendiri berlangsung dalam tahapan-tahapan

sebagai berikut:62

a. Tahap perundingan awal (1986-1988)

Tahap ini berlangsung segera setelah selesainya pertemuan tingkat menteri

di Punta del Este, Uruguay, pada tahun 1986. Pada tahap ini, perundingan

menghasilkan beberapa naskah awal di berbagai bidang, yang kemudian dijadikan

dasar bagi perundingan berikutnya;

b. Tahap tinjauan paruh masa (1988)

Pada tahap perundingan paruh masa di Montreal, Kanada tahun 1988,

proses perundingan berlangsung agak terhambat karena sama sekali belum

tercapai kesepakatan di bidang pertanian, tekstil dan pakaian jadi, tindakan

pengamanan, dan aspek-aspek dagang dari HaKI

c. Tahap pertemuan brussel (1990)

Tahapan ini semula dimaksudkan untuk mengakhiri perundingan Putaran

Uruguay, tetapi karena belum tercapai kesepakatan di bidang pertanian terutama

antara Amerika Serikat dan Masyarakat Eropa, maka masa perundingan Putaran

Uruguay diperpanjang sampai dengan tahun 1991;

d. Tahap naskah ketua komite perundingan perdagangan (1991)

Perundingan lanjutan yang berlangsung dalam tahun 1991 di Jenewa tidak

dapat menghasilkan persetujuan yang menyeluruh, sehingga untuk mempercepat

62Proses Perundingan Putaran Uruguay dalam Undang-Undang Republik Indonesia

(9)

penyelesaian proses perundingan, Direktur Jenderal GATT selaku Ketua Komite

Perundingan Perdagangan mengajukan naskah rancangan persetujuan akhir yang

disusunnya dengan inisiatif sendiri untuk diterima atau ditolak oleh negara peserta

perundingan;

e. Tahap pertemuan Jenewa (1993)

Perundingan tahap akhir Putaran Uruguay secara praktis berlangsung sejak

awal tahun 1992 sampai dengan akhir tahun 1993, dan berhasil menyepakati paket

persetujuan Putaran Uruguay yang didasarkan pada naskah rancangan persetujuan

akhir yang disusun dengan inisiatif Ketua Komite Perundingan Perdagangan.Yang

pada akhirnya secara umum, paket persetujuan Putaran Uruguay mencakup tiga

hal utama sebagai berikut:63

1) Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia sebagai pengganti

Sekretariat GATT yang selanjutnya akan mengadministrasikan dan

mengawasi pelaksanaan persetujuan perdagangan serta menyelesaikan

sengketa dagang di antara negara anggota;

2) Penurunan tarif impor berbagai komoditi perdagangan secara

menyeluruh, dan akses pasar domestik dengan mengurangi berbagai

hambatan/proteksi perdagangan yang ada;

3) Pengaturan baru di bidang aspek-aspek dagang yang terkait dengan

HaKI, ketentuan investasi yang berkaitan dengan perdagangan, dan

perdagangan Jasa.

63Hasil Akhir Putaran Uruguay dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7

(10)

Maka, WTO pada kenyataannya merupakan kelanjutan dan pengembangan dari

GATT. Dengan terbentuknya WTO, maka terealisir cita-cita masyarakat

internasional untuk memiliki suatu organisasi internasional universal yang

membidangi masalah-masalah perdagangan dunia.64 Lembaga GATT yang

berstruktur lepas berubah menjadi organisasi dunia yang amat berkuasa yaitu

WTO.65 Walaupun GATT sebagai institusi tidak ada lagi, namun persetujuan

GATT masih tetap berlaku, yang kemudian dikenal dengan GATT 1947 dan versi

terbaru GATT 1994.66 Semua persetujuan tersebut masuk kedalam persetujuan

WTO yang baru.67

3. Tujuan GATT dan WTO

Tujuan dari persetujuan GATT adalah untuk menciptakan suatu iklim

dalam perdagangan internasional yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis

serta untuk menciptakan liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan didalam

penanaman modal, lapangan kerja, dan penciptaan iklim perdagangan yang

sehat.68Dengan tujuan demikian, sistem perdagangan internasional yang

diupayakan GATT adalah sistem yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi

dan pembangunan diseluruh dunia.69

Tujuan utama GATT tersebut dapat tampak dengan jelas pada

preambule-nya. Pada pokoknya ada empat tujuan penting yang hendak dicapai GATT:70

a. meningkatkan taraf hidup umat manusia;

Lihat naskah hasil perundingan putaran uruguay yang diterbitkan oleh Universitas Cambridge (WTO 1999).

68

Christhophorus Barutu (Buku II), Op. Cit., hlm. 1.

69Oliver Lang, Law and limitation in the GATT multilateral trade system, (dalam)

Christhophorus Barutu, Seni Bersengketa di WTO (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2015), hlm. 4.

70

(11)

b. meningkatkan kesempatan kerja ;

c. meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam dunia;

d. meningkatkan produksi dan tukar-menukar barang;

Kemudian, ada tiga fungsi utama GATT dalam mencapai

tujuannya.71

71

Huala Adolf dan A. Chandrawulan, Masalah-Masalah Hukum dalam Perdagangan Internasional (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 4.

Pertama, sebagai suatu perangkat ketentuan (aturan) multilateral yang

mengatur tindak tanduk perdagangan yang dilakukan oleh pemerintah dengan

memberikan suatu perangkat ketentuan perdagangan (the rules of the road for

trade). Kedua, sebagai suatu forum (wadah) perundingan perdagangan. Disini

diupayakan agar praktik perdagangan dapat dibebaskan dari rintangan-rintangan

yang mengganggu (liberalisasi perdagangan). Dan aturan atau praktik

perdagangan demikian itu menjadi jelas (predictable), baik melalui pembukaan

pasar nasional maupun melalui penegakan dan penyebarluasan pemberlakuan

peraturannya. Ketigaadalah sebagai suatu “pengadilan” internasional dimana para

anggotanya menyelesaikan sengketa dagangnya dengan anggota-anggota GATT

lainnya. Hal ini disebutkan pula dalam penjelasan latar belakang UU Pengesahan

WTO, bahwa GATT berfungsi sebagai forum konsultasi negara-negara anggota

dalam membahas dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di bidang

perdagangan internasional, GATT juga berfungsi sebagai forum penyelesaian

sengketa di bidang perdagangan antara negara-negara peserta. GATT juga

merupakan forum untuk mengajukan keberatan dari suatu negara yang merasa

dirugikan atau mendapat perlakuan yang tidak adil dari negara peserta yang lain di

(12)

secara bilateral antara negara-negara yang terlibat dalam persengketaan dagang

melalui konsultasi dan konsiliasi, serta hasilnya dibertahukan kepada GATT.

WTO yang pada kenyataannya merupakan kelanjutan dan pengembangan

dari GATT yang memiliki tujuan utama yakni menciptakan persaingan sehat

dibidang perdagangan internasional bagi para anggotanya. Sedangkan secara

filosofis tujuan WTO adalah untuk meningkatkan taraf hidup dan pendapatan,

menjamin terciptanya lapangan pekerjaan, meningkatkan produksi dan

perdagangan, serta mengoptimalkan pemanfaatan suber daya dunia.72 WTO yang

merupakan kelanjutan dari GATT, pada dasarnya memiliki prinsip-prinsip dan

tujuan yang sama dalam menciptakan ketertiban dalam perdagangan

internasional.73Tujuan dari WTO adalah untuk membantu produsen barang dan

jasa, eksportir, dan importir dalam melakukan kegiatannya.74 Tujuan dari WTO

pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan tujuan GATT 1947 sebagai

pendahulunya. Setelah dibentuknya WTO, tujuan GATT 1947 tersebut juga

dicantumkan dalam bagian pembukaan (konsideran) persetujuan WTO75. Maka,

oleh Van den Bossche dikatakan bahwa tujuan akhir dari WTO adalah sebagai

berikut:76

a. Meningkatkan standar hidup.

b. Pencapaian keadaan full employment (tidak ada pengangguran).

c. Pertumbuhan pendapatan nyata dan permintaan yang efektif.

72

“WTO dan Sistem Perdagangan Dunia”, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, http:/ /www.dprin.go.id/ind/publikasi/djkipi/wto.htm, diakses 12 Februari 2016 Pukul 01.23 WIB.

73Christhophorus Barutu (Buku II), Op. Cit., hlm. 6. 74

Ibid.

75

“Marrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization”, World Trade Organization,

17 Februari 2016 Pukul 01.10 WIB.

76

(13)

d. Pelunasan produksi dan perdagangan barang-barang dan jasa-jasa.

B.Prinsip-Prinsip Perdagangan Bebas Internasional dalam Kerangka

GATT/ WTO

General Agreement on Tariff and Tradde bukan merupakan suatu konstitusi

atau anggaran dasar, tetapi merupakan suatu “Common Code of Conduct” untuk

perdagangan internasional.77Sebagai alat untuk stabilitasi secara progresif dari

tarif bea masuk dan merupakan forum untuk konsultasi,GATT memiliki

prinsip-prinsip serta pengecualian atas prinsip-prinsipnya dalam kerangka perdagangan

bebasdalam mengadministrasikan, mengawasi dan memberikan kepastian bagi

pelaksana seluruh persetujuan GATT serta hasil perundingan Putaran Uruguay.78

1. Prinsip-prinsip perdagangan bebas dalam GATT/ WTO

Pada prinsipnya persetujuan WTO meneruskan sistem GATT 1947.

Dibawah WTO, GATT 1947 dijadikan salah satu bagian dari persetujuan WTO

dan disebut sebagai GATT 1994. Baik GATT 1947 maupun persetujuan WTO

menerapkan prinsip-prinsip perdagangan bebas yang berakar pada faham ekonomi

liberal yang diintrodusir Adam Smith melalui bukunya the Wealth of Nations pada

tahun 1776.79

77

Sudargo Gautama, Segi-Segi Hukum Perdagangan Internasional (GATT dan GSP) (selanjutnya disebut Buku II) (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 108.

78

Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Hukum Dagang Internasional (selanjutnya disebut Buku II) (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), hlm. 134.

79

Tentang landasan faham liberal perdagangan dunia, lihat dalam H.S. Kartadjoemena (Buku II), Op. Cit., hlm. 22-28.

Persetujuan WTO memperluas, memodifikasi dan

menyempurnakan sistem GATT 1947. Dibawah persetujuan WTO, GATT 1947

dengan modifikasi-modifikasi dan persetujuan-persetujuan tentang penafsiran

(14)

WTO, diberlakukan sebagai peraturan pokok dibidang perdagangan barang,

dengan sebutan GATT 1994.80 Oleh karena itu pengaturan perdagangan

internasional dibawah WTO secara umum masih mendasarkan pada

prinsip-prinsip GATT 1947.81

GATT/WTO mempunyai sejumlah prinsip yaitu :82

a. Non-diskriminasi (Most Favored Nation/ MFN).

Prinsip ini diatur dalam Pasal I GATT 1947, Pasal 4 TRIPS dan Pasal 2

GATS. Prinsip most favored nation menyatakan bahwa perdagangan internasional

antara anggota GATT harus dilakukan secara non-disrkriminatif. Article 1 Section

(1) GATT 1947 mengharuskan perlakuanMFN atas semua konsesi tarif yang telah

diperjanjikan oleh para pesertanya dengan menentukan bahwa:

“With respect to customs duties and charges of any kind imposed on or in connection with importation or exportation or imposed on the international transfer of payments for imports or exports, and with respect to the method of levying such duties and charges, and with respect to all rules and formalities in connection with importation and exportation, and with respect to all matters referred to in paragraphs 2 and 4 of Article III, any advantage, favour, privilege or immunity granted by any contracting party to any product originating in or destined for any other country shall be accorded immediately and unconditionally to the like product originating in or destined for the territories of all other contracting parties.”

Dengan demikian prinsip utama adalah bahwa konsesi yang diberikan

kepada suatu negara mitra dagang harus berlaku pula bagi semua negara lainnya.

Satu negara tidak boleh diberi perlakuan lebih baik atau lebih buruk dari negara

lain. Dengan demikian maka semua negara ditempatkan pada kedudukan yang

80

Triyana Yohanes, Op. Cit., hlm. 76.

81

Ibid.

82Nurdin, Op. Cit., hlm. 45-47. Dapat juga dilihat lebih jelas mengenai prinsip-prinsip

(15)

sama, dan semua negara harus turut menikmati peluang yang tercapai dalam

liberalisasi perdagangan internasional dan memikul kewajiban yang sama.

b. Perlakuan nasional (national treatment)

Prinsip ini diatur dalam Pasal III GATT 1947, berjudul “National

Treatment on International Taxation and Regulation”, yang menyatakan bahwa,

“this standard provides for island parity that is say equality for treatment between

nation and foreigners” dan dalam Pasal 3 TRIPS. Prinsip national treatment

adalah merupakan sisi lain dari konsep non-diskriminasi. Prinsip ini melarang

perbedaan perlakuan antara barang asing dan barang domestik yang berarti bahwa

pada saat suatu barang impor telah masuk kepasaran dalam negeri suatu anggota,

dan setelah melalui daerah pabean serta membayar biaya masuk, maka barang

impor tersebut harus diperlakukan secara tidak lebih buruk daripada hasil dalam

negeri.

c. Tarif sebagai instrumen tunggal untuk proteksi (protection to domestic

industry through tariff)

Menurut prinsip ini, GATT mengizinkan proteksi terhadap hasil dalam

negeri. Namun demikian proteksi yang diperlukan terhadap hasil dalam negeri

hanya dapat dilakukan melalui tarif atau bea masuk yang dikenankan terhadap

barang impor, dan tidak boleh dengan cara pembatasan lainnya. Antara lain,

maksud prinsip ini adalah agar proteksi yang diberikan terhadap hasil dalam

negeri dan pembatasan yang diterapkan terhadap barang impor, dapat diterapkan

dengan cara yang lebih jelas dan transparan, dan dampak distorsi akibat proteksi

tersebut dapat dilihat secara lebih jelas.

(16)

Prinsip ini diatur dalam Pasal II GATT-WTO 1995 yang mengatur

mengenai jadwal penurunan tarif. Jadwal penurunan tarif yang telah disetujui

dimasukkan dalam Annex Schedule yang merupakan bagian integral dari GATT.

Untuk lebih menjamin perdagangan internasional yang lebih predictable maka

diterapkan ketentuan untuk melakukan tariff binding atau suatu komitmen yang

mengikat negara-negara anggota supaya tidak meningkatkan bea masuk terhadap

(17)

e. Persaingan yang adil (fairnessprinciple)

Prinsip ini diatur diantaranya dalam Pasal VI tentang larangan dumping

dan Pasal XVI tentang subsidi, dimaksudkan agar jangan sampai terjadi suatu

negara menerima keuntungan tertentu dengan melakukan kebijakan tertentu

sedang dipihak lain kebijaksanaan tersebut justru menimbulkan kerugian bagi

negara lainnya.83

f. Larangan terhadap restriksi kuantitatif (general prohibition on quantitative

restriction).

Prinsip ini mengandung prinsip persaingan yang adil atau fair

competition. Dengan semakin terjadinya subsidi terhadap ekspor serta terjadinya

dumping, GATT semakin menghadapi masalah. Aturan main yang berlaku bagi

negara peserta GATT untuk menghadapi subsidi ekspor maupun untuk dumping

tersebut pada teks dalam perjanjian GATT maupun pada Anti-Dumping Code dan

Subisidies Code hasil Tokyo Round.

Prinsip ini diatur dalam Pasal XI GATT 1994. Prinsip lain dalam GATT

adalah larangan umum teradap restriksi yang bersifat kuantitatif, yakni kuota dan

jenis pembatasan yang serupa. GATT memperbolehkan pembatasan kuantitatif

yang diterapkan oleh negara anggota dalam hal suatu negara menghadapi masalah

dalam hal neraca pembayarannya. Dan langkah pembatasan kuantitatif yang

diambil suatu negara tidak boleh melampaui batas waktu yang diperlukan untuk

mengatasi masalah neraca pembayaran.84

83

Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 47.

84

(18)

g. Prinsip resiprositas (reciprocity principle)

Prinsip ini diatur dalam Pasal II GATT 1947, mensyaratkan adanya

perlakuan timbal balik diantara sesama anggota WTO dalam kebijaksanaan

perdagangan internasional. Artinya apabila suatu negara, dalam kebijaksanaan

perdagangan internasionalnya menurunkan tarif masuk atau produk impor dari

suatu negara, maka negara pengeskpor produk tersebut wajib juga menurunkan

tarif masuk untuk produk dari negara yang pertama tadi.85 Berdasarkan prinsip ini

diharapkan setiap negara secara timbal balik saling memberikan kemudahan bagi

lalu lintas barang dan jasa. Dengan demikian, pada akhirnya diharapkan setiap

negara akan saling menikmati hasil perdagangan internasional yang lancar dan

bebas.86Prinsip ini diterapkan terutama dalam hal terjadinya pertukaran barang

antara dua negara secara timbal balik. Dan menghendaki adanya kebijaksanaan

atau konsesi yang seimbang dan saling menguntungkan antara negara yang satu

dengan yang lainnya dalam perdagangan internasional.87 Prinsip-prinsip diatas

merupakan dasar dalam menentukan aturan permainan dibidang yang selama ini

belum ditangani oleh GATT, dan untuk hal-hal yang telah ditangani oleh GATT

diadakan perbaikan-perbaikan yang lebih mencerminkan prinsip-prinsip tersebut

diatas.88

2. Pengcualian-pengecualian terhadap prinsip perdagangan bebas

Pemerintah dalam banyak kesempatan mengadopsi peraturan atau

melakukan suatu tindakan yang menghambat perdagangan barang dan/atau jasa

guna melindungi, sebagai contoh, kesehatan masyarakat, moral/nilai-nilai yang

85

Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 45.

86Ibid. 87

Ibid.

88

(19)

dianut oleh masyarakat, lapangan pekerjaan atau keamanan nasional.89Hukum WTO menyediakan peraturan-peraturan untuk menjembatani liberalisasi

perdagangan dengan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan sosial lainnya.

Peraturan-peraturan ini ada dalam wujud pengecualian yang sangat luas terhadap

disiplin dasar dari kewajiban-kewajiban non-diskriminasi dan pengaturan terhadap

akses pasar.90

a. pengecualian umum, yang terdapat dalam Pasal XX GATT 1994 dan Pasal

XIV GATS;

Terdapat lima kategori utama dalam pengecualian ini:

b. pengecualian untuk keamanan nasional dan internasional, terdapat dalam

Pasal XXI GATT 1994 dan Pasal XIV bis GATS;

c. pengecualian dalam keadaan ekonomi yang darurat, terdapat dalam Pasal

XIX GATT 1994 dan the Agreement on Safeguards;

d. pengecualian atas integrasi regional, terdapat dalam Pasal XIV GATT

1994 dan Pasal V GATS;

e. pengecualian atas dasar neraca perdagangan, terdapat dalam Pasal XII dan

XVIII huruf B GATT 1994 dan Pasal XII GATS; dan

f. pengecualian untuk pembangunan ekonomi, terdapat dalam Pasal XVIII

huruf A GATT 1994 dan Enabling Clause.

Pengecualian-pengecualian ini memperbolehkan anggota WTO, dalam

situasi tertentu, untuk mengadopsi dan mempertahankan peraturan-peraturan dan

tindakan-tindakan guna melindungi nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan sosial

lainnya yang sangat penting, meskipun peraturan atau tindakan-tindakan tersebut

bertentangan dengan disiplin substantif yang terkandung dalam GATT 1994 atau

89Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi, Op. Cit., hlm.

53.

90

(20)

GATS. Pengecualian-pengecualian ini secara jelas memperbolehkan anggota

WTO, dalam situasi tertentu, untuk memberikan prioritas yang lebih tinggi

terhadap nilai-nilai dan kepentingan sosial tertentu daripada liberalisasi

perdagangan. Adapun penjelasan lebih rinci daripada lima golongan pengecualian

berdasarkan Persetujuan WTO adalah sebagai berikut:91

a. Pengecualian umum dalam Pasal XX GATT 1994

Pengecualian yang paling penting dalam menjembatani liberalisasi

perdagangan dengan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan sosial lainnya adalah

‘pengecualian umum’ yang tercantum dalam Pasal XX GATT 1994 dan Pasal

XIV GATS. Dalam menentukan apakah suatu tindakan yang seharusnya tidak

konsisten dengan peraturan yang ada di GATT dapat dibenarkan berdasarkan

Pasal XX GATT harus selalu dievaluasi :

1) Apakah tindakan ini bisa ‘sementara’ dibenarkan menurut salah satu

pengecualian yang secara spesifik disebutkan dalam ayat (a) sampai

(j) dalam Pasal XX dan kalau dibenarkan,

2) Apakah dalam pengaplikasian dari tindakan ini telah sesuai dengan

persyaratan-persyaratan yang terdapat dalam kalimat pembukaan

dalam pasal tersebut yang biasanya disebut sebagai Chapeau dari

Pasal XX.

Pasal XX GATT 1994 dalam ayat (a) sampai (j) memberikan dasar

pembenaran yang jumlahnya terbatas, dimana setiap dasar pembenar memiliki

aplikasi persyaratan yang berbeda. Pasal XX dapat dijadikan dasar pembenaran

terhadap tindakan-tindakan, diantaranya:

91

(21)

1) yang diperlukan guna melindungi moral/nilai-nilai yang dianut oleh

masyarakat (Pasal XX huruf a);

2) yang diperlukan guna melindungi kehidupan dan kesehatan manusia,

binatang atau tumbuhan (Pasal XX huruf b);

3) yang diperlukan guna menjaga kesesuaian dengan peraturan nasional,

seperti peraturan kepabenan atau hak kekayaan intelektual, dimana

peraturan tersebut pada hakekatnya tidak bertentangan dengan GATT

(Pasal XX huruf d);

4) yang berhubungan dengan ‘konservasi sumber daya alam yang habis

terpakai’ (Pasal XX huruf g).

b. Pengecualian untuk keamanan nasional dan internasional

Menurut Pasal XXI GATT 1994 dan Pasal XIV bis GATS, anggota WTO

bisa menerapkan suatu tindakan yang seharusnya dilarang oleh GATT atau GATS

guna melindungi kedamaian dan keamanan nasional atau internasional. Pasal XXI

huruf b GATT 1994 dan Pasal XIV bis huruf b GATS memperbolehkan anggota

WTO untuk mengadopsi atau mempertahankan suatu tindakan yang dianggap

diperlukan guna melindungi kepentingan keamanan yang dianggap sangat

fundamental seperti:

1) yang berkaitan dengan materi atom yang bisa memecah

belah/fissionable materials (contoh: nuklir); atau

2) yang berkaitan dengan perdagangan persenjataan atau dalam bentuk

materi lainnya, atau penyediaan jasa yang secara langsung atau tidak

(22)

Anggota WTO juga diperbolehkan untuk menerapkan tindakan yang

bertentangan dengan GATT atau GATS bila:

1) dalam keadaan perang atau keadaan darurat lainnya yang berkaitan

dengan hubungan internasional; atau

2) untuk menjalankan kewajibannya sesuai dengan piagam PBB guna

menjaga perdamaian dan keamanan internasional (seperti: sanksi

ekonomi yang diterapkan oleh Dewan Keamaan PBB).

c. Pengecualian dalam keadaan ekonomi yang darurat

Tercantum dalam Pasal XIX GATT dan the Agreement on Safeguard.

Aturan WTO juga mengatur mengenai “pengecualian dalam keadaan ekonomi

darurat”. Pengecualian yang diatur dalam Pasal XIX GATT 1994 dan Agreement

on Safeguards, memerbolehkan anggota untuk mengadopsi tindakan yang

seharusnya dilarang oleh WTO, dalam situasi terjadi adanya lonjakan impor yang

menyebabkan, atau adanya ancaman yang akan menyebabkan, kerugian yang

serius terhadap industri domestik. Terdapat tiga kategori pengaturan yang

diterapkan untuk tindakan-tindakan pengamanan perdagangan, yaitu peraturan

yang berkaitan dengan:

1) karakteristik dari tindakan pengamanan perdagangan;

2) persyaratan substantif yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan

tindakan pengamanan perdagangan; dan

3) persyaratan prosedural di tingkat nasional dan internasional yang

dipenuhi oleh anggota WTO bila ingin menerapkan tindakan

pengamanan perdagangan.

(23)

Ketentuan WTO juga mengatur mengenai pengecualian atas integrasi

regional. Pasal XXIV GATT 1994 (sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam

Understanding on Article XXIV) dan Pasal V GATS memperbolehkan anggota

WTO untuk perdagangan bebas dengan lebih cepat di antara anggota-anggota

tertentu yang membentuk suatu kelompok. Ketika anggota WTO membentuk

sebagai contoh, integrasi kepabeanan (customs union), mereka memberikan

perlakuan berbeda yang lebih baik diantara mereka dalam hal perdagangan

(seperti penghapusan seluruh bea masuk) yang mana tidak diberikan kepada

anggota WTO lainnya yang bukan merupakan bagian dari customs union tersebut.

e. Pengecualian untuk pembangunan ekonomi

Pengecualian terakhir yang diberikan oleh ketentuan WTO adalah

pengecualian untuk pembangunan ekonomi untuk membantu negara berkembang.

Hampir semua perjanjian di WTO mengatur mengenai perlakuan yang khusus dan

berbeda (special and differential treatment) untuk anggota negara berkembang

guna memfasilitasi mereka untuk masuk ke dalam sistem perdagangan dunia dan

untuk mendorong pembangunan ekonomi mereka. Ketentuan ini, yang biasa

disebut sebagai “S&D treatment”, bisa dibagi ke dalam enam kategori:

1) ketentuan yang ditujukan untuk meningkatkan peluang perdagangan

anggota negara berkembang;

2) ketentuan untuk anggota WTO yang seyogyanya harus melindungi

kepentingan anggota negara berkembang;

3) flexibilitas dari komitmen, dalam bentuk tindakan, dan penggunaan

instrumen kebijakan;

(24)

5) bantuan teknis; dan

6) ketentuan yang berkaitan dengan anggota negara terbelakang (

least-developed-country Members).

C.Hambatan Tarif dalam Kerangka GATT/ WTO

1. Pengertian dan jenis-jenis tarif

Tarif tidak secara tegas didefinisikan dalam ketentuan GATT, melainan

hanya menyebutkan istilah ‘custom, duties, and charges’ dalam kaitannya dengan

kegiatan ekspor-impor.92

a. Menurut Jhon J. Harter, dalam Taryana Sunandar, bahwa yang dimaksud

dengan tarif adalah “pajak yang dikenakan atas barang yang diangkut dari

sebuah kekuasaan politik ke suatu wilayah lain. Pajak ini khususnya atas

barang yang diimpor dari wilayah kekuasaan politik yang satu ke wilayah

yang lain, atau tingkat pajak yang dikenakan atas barang tersebut”. Namun, menurut beberapa pengertian, maka tarif

didefinisikan sebagai:

93

b. Menurut Tulus T.H. Tambunan, tarif adalah salah satu instrumen dari

kebijakan perdagangan luar negeri yang membatasi arus perdagangan

internasional.

Dengan demikian, tarif hanya dikenakan terhadap barang yang melintasi

batas suatu negara.

94

92

Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 49.

93

Taryana Sunandar, Perdagangan Hukum Perdagangan Internasional dari GATT 1947 Sampai Terbentuknya WTO, (dalam) Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 49.

94

Tulus TH Tambunan, Globalisasi dan Perdagangan Internasional (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 328.

Hal ini sesuai dengan pengertian yang dikemukakan oleh

(25)

“… the tariff, which is, of course a tax import at the border“.95

c. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, istilah tarif

didefinisikan sebagai klasifikasi barang dan pembebanan bea masuk atau

bea keluar. Terdapat dua muatan utama dalam pengertian tarif, yang

pertama adalah klasifikasi barang. Muatan kedua adalah besarnya

pembebanan bea masuk atau bea keluar yang dinyatakan dalam persentase

(%) tertentu atau dalam rupiah tertentu.96 Cara pengenaan tarif bea masuk

ditentukan menggunakan 3 pendekatan, yaitu:97

Pertama, tarif advalorum (persentase). Pada model tarif advalorum, bea

masuk dikenakan dengan menentukan persentase (%) tertentu dari nilai pabean

atas barang yang diimpor. Misalnya buah apel dikenakan bea masuk sebesar 5%.

Maka untuk mengetahui berapa bea masuk yang harus dibayar, harus diketahui

berapa nilai pabean atas barang tersebut, selanjutnya tarif dikalikan dengan nilai

pabean.

Kedua, tarif spesifik. Pada model spesifik, bea masuk dikenakan dengan

menentukan besaran bea masuk setiap satuan barang yang diimpor. Misalnya

beras dikenakan bea masuk sebesar Rp. 550,- per kilogram. Maka untuk

mengetahui berapa bea masuk yang harus dibayar, cukup mengalikan besarnya

tarif per satuan barang dengan jumlah satuan barang. Secara konsepsional, alasan

utama suatu barang dikenakan tarif spesifik adalah untuk memudahkan

95Ibid. 96

Lihat Pasal 1 Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.

97

(26)

penghitungan pungutan pabean-nya, dengan pertimbangan harga barang yang

dikenakan tarif spesifik ini tidak akan berubah signifikan dalam waktu yang relatif

lama.

Ketiga, gabungan advalorum dan spesifik. Pada model gabungan ini, bea

masuk dikenakan dengan mengkombinasikan tarif persentase dan tarif spesifik

sekaligus pada suatu barang impor. Pada praktiknya saat ini Indonesia tidak

menerapkan tarif gabungan. Tarif spesifik pun hanya diterapkan untuk beberapa

jenis barang impor, sehingga mayoritas barang impor saat ini menggunakan tarif

advalorum.

Adapun tarif dapat digolongkan menjadi :98

a. Bea ekspor (export duties), yaitu bea yang dikenakan terhadap barang

yang dikirim keluar wilayah pabean suatu negara.

b. Bea import (import duties), yaitu bea yang dibebankan terhadap barang

yang masuk kedalam wilayah pabean suatu negara.

c. Bea transito (transit duties), yaitu bea yang dibebankan terhadap barang

yang masuk kewilayah pabean suatu negara untuk dikirim kembali keluar

wilayah itu.

2. Tarif sebagai hambatan perdagangan internasional

Dengan terlaksananya perundingan Uruguay Round, maka sasaran yang

ingin dicapai oleh negara-negara anggota, adalah suatu upaya untuk membendung

gejala proteksionisme produk oleh suatu negara terhadap produk negara lain,

sehingga hal ini tidak akan menghambat peredaran barang, jasa, maupun modal

98

(27)

antarnegara, baik dalam global maupun regional.99Kemudian, hambatan

perdagangan (trade barriers) adalah semua kebijakan atau praktik yang dilakukan

pemerintah atau peraturan satu negara yang menghambat perdagangan bebas (free

trade), yang menghambat arus barang dan jasa dalam perdagangan internasional

atau menghambat arus barang, jasa, orang dan modal antar negara.100 Hambatan

perdagangan dipandang sebagai suatu intervensi pemerintah terhadap pasar bebas

(free market) untuk jual beli barang dan jasa secara internasional yang mana jika

merujuk pada konsepsi perdagangan bebas yang berarti adalah suatu kondisi

perdagangan lintas negara tidak dihambat oleh bea cukai, kuota, peraturan atau

hambatan lainnya untuk pergerakan barang dan jasa.101 Terdapat berbagai bentuk

hambatan perdagangan internasional. Pengenaan pajak atau bea, kewajiban

mendapat lisensi, pengenaan kuota, subsidi, persyaratan teknis, pembatasan

ekspor sukarelaadalah bentuk-bentuk hambatan perdagangan.102

99Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 67. 100

Rusli Pandika, Op. Cit., hlm 139-140.

101

Graham Dunkley, Petualangan Perdagangan Bebas (the Free Trade Adventure: The WTO, The Uruguay Round and Globalism, A Critique). Terjemahan Gayatri (dalam) Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral di bawah Sistem Hukum WTO (Bandung: PT. Alumni, 2010), hlm 139-140.

102

Rusli Pandika, Loc. Cit., hlm 140.

Hambatan-hambatan itu biasanya digolongkan dalam dua kelompok yaitu Hambatan-hambatan tarif

(tariff barriers) dan hambatan non-tarif (non-tarif barriers) yang mana tarif disini

merupakan pajak (custom duties) yang dibebankan terhadap barang yang keluar

dan masuk kedalam wilayah pabean (custom area) suatu negara. GATT/WTO

berupaya menurunkan tarif menjadi serendah mungkin dengan tetap

mempertahankan tarif sebagai satu-satunya instrumen yang diperkenankan untuk

(28)

anggota.103Bahwa hal-hal yang dapat mempengaruhi tingkat daya saing komoditi ekspor maupun impor ditentukan oleh beberapa faktor yang mana kendala tarif

dan non-tarif adalah salah satu diantara faktor-faktor tersebut.104

Diberlakukannya tarif yang penerapannya dilatarbelakangi oleh dua motif

eknomi terhadap komoditas impor tertentu yaitu: Pertama, tarif bisa memberikan

penerimaan bagi pemerintah dan Kedua, tarif juga dapat membantu perusahaan

dan suplier industri domestik dalam menghadapi persaingan dari serbuan

barang-barang impor.105Tarif akan membawa dampak terhadap perdagangan internasional

yakni:106

a. Harga barang yang dikenakan tarif meningkat.

b. Jika kenaikan harga cukup tinggi, konsumen akan mengalihkan pembelian

kepada barang pengganti (substitusi) yang harganya relatif lebih murah.

c. Industri dalam negeri menjadi lebih mudah berkembang sebab harga

barang pesaing dari luar negeri lebih tinggi.

d. Pemerintah menerima pendapatan.

e. Adanya ekstra pendapatan yang dibayarkan oleh konsumen di dalam

negeri kepada produsen di dalam negeri.

Berdasarkan pengertian, jenis, motif serta dampak yang ditimbulkan maka

jelaslah bahwa tarif merupakan hambatan dalam perdagangan bebas.Namun,

pembatasan perdagangan bebas dengan menggunakan tarif oleh WTO dipandang

103

Ibid.

104

Amir. M.S, Pengetahuan Bisnis Ekspor Impor (Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo, 1992), hlm. 17.

105

Umar Fakhrudin, ‘Kebijakan Hambatan Perdagangan atas Produk Ekspor Indonesia di Negara Mitra Dagang’, Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol II, No. 02 tahun 2008, hlm. 218.

106

(29)

sebagai suatu model yang masih dapat ditoleransi, misalnya melakukan tindakan

proteksi terhadap industri domestik melalui kenaikan tarif bea masuk.

Perlindungan ini masih memungkinkan adanya kompetisi yang sehat. Namun

demikian, dalam kesepakatan perdagangan internasional tetap diupayakan

mengarah kepada sistem perdagangan bebas yang menghendaki pengurangan tarif

secara bertahap.107

3. Harmonisasi tarif dalam kerangka GATT/ WTO

Lahirnya WTO membawa dampak pada usaha-usaha harmonisasi

pengaturan tarif yang dibahas dalam perundingan-perundingan. Perundingan

perdagangan internasional sebelum Putaran Uruguay dan terbentuknya WTO

1994, para peserta lebih banyak membahas mengenai upaya penurunan tarif

impor, sedangkan masalah non-tarif baru dibahas setelah perundingan Tokyo

Round 1973. Adapun perundingan tersebut yaitu:108

a. Perundingan Jenewa tahun 1947

Tahun 1947 GATT berhasil dibentuk melalui perundingan yang

diselenggarakan di Jenewa (Swiss) yang disebut dengan putaran Perundingan

Jenewa 1947 (GATT Conference 1947). Perundingan tersebut merupakan

perundingan putaran pertama GATT yang diikuti oleh 23 negara peserta yang

dalam perundingan tersebut, negara-negara peserta menyetujui konsesi penurunan

tarif sebanyak 45.000 produk dengan nilai sebesar 10 miliar, mewakili separuh

perdagangan dunia.

b. Perundingan Annecy 1949

107

“Penerapan Tarif Impor Berdasarkan Ketentuan GATT-WTO, AFTA dan Perundang-Undangan Indonesia”, Muhammad Sood

108

(30)

Perundingan GATT putaran kedua diselenggarakan di Annecy (Prancis)

tahun 1949, sehingga dikenal dengan Perundingan Annecy Round 1949.

Perundingan tersebut diikuti oleh 33 negara peserta, dan berhasil menyepakati

penambahan penurunan bea masuk sekitar 5.000 tarif.

c. Perundingan Torquay 1950-1951

Tahun 1955 perundingan GATT diselenggarakan di Torquay (Inggris)

yang dikenal dengan perundingan Torquay Round 1951. Perundingan putaran

ketiga ini diikuti oleh 34 negara peserta. Dalam perundingan ini, upaya penurunan

tingkat tarif sebesar 25% dari tingkat tarif 1998, dilakukan dengan merundingkan

konsesi penurunan tarif produk demi produk dari 45.000 (Perundingan Jenewa)

menjadi 55.000 produk.

d. Perundingan Jenewa 1955-1956

Tahun 1955 kembali diselenggarakan perundingan GATT di Jenewa yang

dikenal dengan Jenewa Round 1955-1956. Perundingan ini sifatnya lebih terbatas,

karena diikuti oleh 22 negara peserta. Nilai perdagangan yang disepakati dalam

perundingan ini adalah AS $ 2,5 miliar.

e. Perundingan Dillon Round 1961-1962

Tahun 1961-1962 diselenggarakan perundingan Dillon Round (Dillon

1961-1962). Perundingan ini diselenggarakan di Jenewa atas prakarsa Menteri

Keuangan Amerika Serikat, Douglas Dillon, sehingga disebut Perundingan

Dillon. Jumlah negara peserta dalam perundingan ini meningkat menjadi 45

negara anggota. Dalam perundingan ini, masalah perdagangan untuk

(31)

Roundyang dapat dicatat adalah tercapainya penurunan tarif sebesar 6,5% dengan

nilai sebesar AS $ 4,9 miliar.

f. Perundingan Kennedy Round 1964-1967

Perundingan Kennedy Round tahun 1964 diselenggarakan di Amerika

Serikat atas usul yang disampaikan oleh Presiden Kennedy, sehingga disebut

Perundingan Kennedy. Perundingan ini diikuti oleh 48 negara peserta dengan

tujuan untuk menurunkan tarif secara linear terhadap semua mata dagangan.

Dalam perundingan Kennedy Round, negara-negara Eropa yang tergabung dalam

Masyarakat Ekonomi Eropa telah berupaya melakukan penurunan tarif sebesar

50% dari tingkat semula. Mereka menolak untuk menghapus tarif walaupun untuk

sektor yang tidak sensitif. Namun akhirnya disepakati adalah penurunan tarif

sebesar 35% dari tingkat semula untuk produk industri, sementara untuk hasil

pertanian penurunannya kecil sekali. Penurunan tarif ini diterapkan dalam jangka

waktu 5 tahun. Adapun hasil konsesi yang disepakati dalam Kennedy Round

mencapai nilai AS $ 40 miliar.

g. Perundingan Tokyo Round 1973-1979

Perundingan GATT yang diselenggarakan di Tokyo (Jepang) yang disebut

dengan perundingan Tokyo Round 1973-1979 karena perundingan ini dibuka

dalam sidang tingkat menteri di Tokyo. Namun tahap selanjutnya perundingan

diselenggarakan di Jenewa 1973 hingga 1979. Dalam perundingan Tokyo Round

ini, untuk pertama kali pusat perhatian substansi perundingan beralih pada

rintangan dan hambatan non-tarif selain tentunya tetap meneruskan perundingan

(32)

Hasil yang diperoleh dari perundingan ini, dalam bidang tarif ialah

menyangkut hasil industri dan pertanian. Penurunan tingkat tarif sebesar 34%

untuk produk industri, diterapkan secara bertahap dalam batas waktu 8 tahun dan

sekali pada 1 januari 1987. Adapun nilai perdagangan dari produk ekspor yang

diperkenankan bea masuknya, diperlakukan secara non-diskriminatif (most

favored nation principle) dan dengan mengikat, mencapai jumlah AS $ 300 miliar

pada tahun 1981. Dalam perundingan ini, formula yang digunakan oleh negara

maju untuk menurunkan tingkat bea masuk, adalah formula yang menentukan

agar penurunan tersebut lebih besar diterapkan pada bea masuk yang paling

tinggi. Oleh karena itu, secara keseluruhan dampak dari kegiatan tersebut adalah

tercapainya harmonisasi tingkat tarif yang sebelumnya tidak ada. Dalam

perundingan ini negara-negara berkembang telah memberi konsesi dalam bentuk

commitment binding atau mengikat untuk impor mereka sebesar AS $ 3,9 miliar

tahun 1977.

Penurunan bea masuk maupun restriksi lain dari pihak negara maju

terhadap hasil tropis dari negara berkembang, merupakan salah satu hasil yang

dicapai dalam Tokyo Round dengan jumlah sebesar yang diterapkan pada tahun

1976 dan 1977. Antara lain penurunan tersebut dikenakan terhadap kopi, kakao,

teh, rempah-rempah, dan beberapa produk lainnya dalam bentuk mentah, setengah

jadi, maupun yang sudah diproses.109

h. Perundingan Uruguay Round 1994

Perundingan bidang tarif merupakan bagian yang paling lama ditangani

oleh GATT. Semenjak perundingan multilateral putaran GATT pertama di

109

(33)

Genewa tahun 1947 hingga berakhirnya perundingan Putaran Uruguay tahun 1994

upaya penurunan tarif selalu menjadi perdebatan diantara peserta perundingan.

Sebelum dilaksanakan perundingan ini, negara-negara anggota telah beberapa kali

menyelenggarakan perundingan maupun sidang-sidang tingkat menteri antara

lain, di Pertemuan Punta Del Este (Uruguay) pada September 1986, Pertemuan

Montreal (Kanada) yang disebut dengan Mid-Term Review Montreal pada 1988,

dan Pertemuan Brussel pada Desember 1990 dan diakhiri dengan perundingan

Putaran Uruguay di Marrakech (Maroko) tanggal 15 April 1994. Namun upaya

menurunkan tarif sejak berdirinya GATT 1947 telah banyak mencapai kemajuan,

hingga akhirmya pada perundingan Putaran Uruguay penurunan tarif mencapai

30% dari sebelumnya. Adapun ringkasan hasil Uruguay Round tentang tarif

yaitu:110

1) Kesepakatan Sidang Montreal menentukan agar negara peserta

menurunkan tingkat tarif hingga 30% dari tingkat sebelumnya.

2) Karena tidak semua negara peserta dapat melakukannya, maka yang

dapat dicapai adalah melakukan penurunan selektif secara total yang

mempunyai dampak penurunan sebesar 30% trade weight.

3) Negara peserta berunding untuk mengadakan tukar-menukar konsesi

penurunan tarif secara spesifik dengan mitra dagangnya dengan

pendekatan item by item melalui proses request and offer.

4) Bagi Indonesia yang dilakukan bukan penurunan tingkat tarif 30%

dari tingkat sebelumnya, melainkan penentuan tingkat tarif maksimal

40% untuk 95% dari produk yang diimpor.

110

(34)

5) Tekanan dari komitmen Indonesia dipusatkan pada penelusuran

jumlah produk yang dikenakan binding walaupun tingkat tarif

maksimalnya masih tinggi yakni 40%.

Untuk merealisasi pengaturan tentang tarif impor, pemerintah Indonesia

kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang

Kepabeanan. undang ini kemudian disempurnakan lagi dengan

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Adapun ketentuan khusus tentang tarif diatur

dalam pasal 12 hingga pasal 17A.

i. Perundingan Doha

Pembicaraan perdagangan global yang dimulai pada tahun 2001 di Doha,

Qatar, dikenal sebagai "development round", merupakan kesempatan bagi

negara-negara termiskin agar lebih mudah menjual barang mereka di seluruh dunia.

Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke-4, pada tanggal 9-14 Nopember

2001, yang dihadiri oleh 142 negara menghasilkan dokumen utama berupa

Deklarasi Menteri (Deklarasi Doha).111

111“World Trade Organization”, Panjaitan, et.al,

Deklarasi ini menandai diluncurkannya

putaran perundingan baru mengenai perdagangan jasa, produk pertanian, tarif

industri, lingkungan, isu-isu implementasi, HaKI, penyelesaian sengketa, dan

peraturan WTO. Deklarasi tersebut mengamanatkan kepada para anggota untuk

mencari jalan bagi tercapainya konsensus yang mencakup isu-isu: investasi,

kebijakan kompetisi (competition policy), transparansi dalam pengadaan

(35)

pemerintah (goverment procurement), dan fasilitasi perdagangan.112 Deklarasi

juga memuat mandat untuk meneliti program-program kerja mengenai electronic

commerce, negara-negara kecil (small economies), serta hubungan antara

perdagangan, utang, dan alih teknologi. Deklarasi Doha juga telah memberikan

mandat kepada para anggota WTO untuk melakukan negosiasi di berbagai bidang,

termasuk isu-isu yang berkaitan dengan pelaksanaan persetujuan yang ada.113

Negosiasi sebagai tindak lanjut Putaran Doha terus berlanjut meskipun

banyak pertentangan kepentingan di dalamnya. Sengketa utama muncul antara

negara-negara industri dan negara-negara berkembang mengenai pasar bebas dan

penghapusan subsidi di negara-negara industri.114

112

“Putaran Doha”,

Namun secara umum, semua

anggota mendukung tujuan-tujuan Doha Round, yaitu menciptakan perdagangan

dunia yang bebas dan lancar. Namun masalahnya, bagaimana membuat peraturan

yang bisa diterima semua pihak. Negara-negara industri menuntut agar produk

industrinya bisa diperdagangkan lebih bebas di negara-negara ambang industri

seperti di Cina dan India. Negara-negara miskin menuntut agar subsidi pertanian

di Amerika Serikat dan Uni Eropa dihapus. Karena subsidi pertanian di negara

kaya menghapus peluang negara-negara miskin masuk ke pasarnya. Sementara

negara industri berusaha melindungi sektor pertanian dari serbuan produk-produk

impor. Negosiasi dalam Doha Round ini lebih baik daripada kegagalan yang bisa

menghasilkan kembalinya dunia ke dalam proteksionisme dan memacu pakta

perdagangan yang lebih regional yang bertujuan untuk mematikan ekspor-impor.

14.15 WIB.

113Ibid. 114

(36)

Dengan semua keterbatasan, pembicaraan Doha akan mengurangi tarif dan

subsidipertanian dan mengurangi hambatan untuk impor industri dan perundingan

ini pun masih berlangsung hingga saat ini.115

D.Hambatan Non-Tarif dalam Kerangka GATT/WTO

1. Pengertian dan jenis-jenis hambatan non-tarif

Perundingan non-tarif dalam kerangka GATT/WTO untuk pertama kali

dibahas dalam perundingan Tokyo Round 1973-1979 di Tokyo (Jepang). Adapun

hasil perundingan Tokyo Round dibidang non-tarif yang disepakati dalam

perjanjian GATT masih merupakan code, karena hanya mengikat negara-negara

peserta perundingan. Namun demikian, karena ketentuan yang dihasilkan dalam

Tokyo Round merupakan upaya penyempurnaan perjanjian GATT, maka

perjanjian tersebut juga merupakan elemen dalam perkembangan yurisprudensi

GATT. Dibidang non-tarif, hasil perundingan yang dicapai dalam perundingan

Tokyo Round, secara ringkas adalah sebagai berikut:116

a. Pengaturan yang lebih rinci mengenai tindakan non-tarif (non-tarif

measures), seperti subsidy dan countervaliling duty atau bea masuk yang

dikenakan untuk mengimbangi langkah subsidi yang diambil oleh negara

pengekspor.

b. Ketentuan yang lebih rinci mengenai hambatan teknis terhadap perdagangan

internasional (technical barrier to trade).

c. Ketentuan yang lebih rinci mengenai pembelian dalam bentuk impor sektor

pemerintah atau government procurement.

(37)

d. Ketentuan yang dirinci mengenai prosedur dalam pemberian lisensi impor.

e. Penyesuaian dan perubahan aturan GATT mengenai anti-dumping yang

dirumuskan dalam GATT dan disetujui pada 1967.

Hambatan non-tarif adalah semua macam kebijakan pemerintah atau

peraturan suatu negara yang menghambat perdagangan bebas dan mencakup

semua hambatan yang bukan merupakan tarif. Dengan demikian, semua hambatan

yang timbul karena kebijakan pemerintah atau peraturan suatu negara yang bukan

merupakan tarif termasuk kategori hambatan non-tarif. Macam hambatan non-tarif

adalah sangat banyak dan dapat terus bertambah. Alan M. Rugman, et.al

mengilustrasikan berbagai hambatan non-tarif adalah sebagai berikut:117

a. Pembatasan spesifik, yang terdiri dari kuota (termasuk sukarela), lisensi

impor, rasio asing-domestik, batas minimum harga impor, embargo,

perjanjian-perjanjian bilateral, dan perjanjian-perjanjian pemasaran secara

teratur.

b. Peraturan administrasi pabean, yang terdiri dari sistem valuasi, aturan

anti-dumping, klasifikasi tarif, dokumentasi yang disyaratkan, biaya-biaya,

disparitas standar mutu dan pengujian, standard packaging, labeling dan

pemasaran.

c. Partisipasi pemerintah, yang terdiri dari kebijakan pengadaan

(procurement), subsidi dan insentif ekspor, bea countervailing, program

bantuan domestik, dan bantuan trade-divertin.

117Alan M. Rugman, Donald J. Lecraw and Lawrence D. Booth, International Business :

(38)

d. Pungutan impor, yang terdiri dari jaminan impor (import deposit),

pajak-pajak tambahan (suplementary), kredit impor, pungutan variabel (variable

levies), dan pungutan perbatasan (border levies).

2. Larangan terhadap kebijakan hambatan non-tarif

Rezim perdagangan internasional yang tidak dapat dihindari lagi dalam

peningkatan perekonomian suatu negara yang mana perdagangan internasional

merujuk pada kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh berbagai pemerintah dibidang

perdagangan. Pemerintah sebagai regulator memiliki kewenangan untuk membuat

kebijakan tidak saja bagi pelaku usaha yang melakukan kegiatan diwilayahnya

tetapi juga kewenangan untuk membuat kebijakan atas barang atau jasa asal

negara lain yang akan masuk ke negaranya.118 Jika merujuk pada pengertian

kebijakan perdagangan yakni merupakan bagian integral dari pembangunan

nasional dilakukan dengan memerhatikan gejala dan perkembangan yang terjadi

dinegara lain yang berpengaruh pada perekonomian nasional.119

118Kata Pengantar Prof Hikmahanto Juwana (dalam) Peter van den Bossche, Daniar

Natakusumah, Joseph Wira Koesnaidi, Pengantar Hukum WTO, hlm. XV.

119

Syahmin AK, Op. Cit., hlm. 11.

Maka, kebijakan

pemerintah dalam perdagangan, yakni hambatan non tarif adalah semua macam

kebijakan pemerintah atau peraturan suatu negara yang menghambat perdagangan

bebas dan mencakup semua hambatan yang bukan merupakan tarif. Dengan

demikian, semua hambatan yang timbul karena kebijakan pemerintah atau aturan

suatu negara yang bukan merupakan tarif merupakan kategori hambatan non tarif

(non-tariff measures). Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh United

(39)

“Non-tariff measures (NTMs) are policy measures, other than ordinary customs tariffs, that can potentially have an economic effect on international trade in goods, changing quantities traded, or prices or both”.120

Secara umum, larangan hambatan non-tarif terhadap akses pasar – untuk

barang dan juga untuk jasa dan pemberi jasa – dapat berupa:121

a. Hambatan kuantitatif (quantitative restriction)

b. Hambatan non-tarif lainnya, seperti hambatan teknis dalam perdagangan,

kurangnya transparansi dalam regulasi perdagangan nasional, penerapan

yang kurang adil dan memihak dari regulasi perdagangan nasional dan

formalitas dan prosedur perpajakan.

Bentuk hambatan lain yang berbeda dengan pengenaan tarif adalah

hambatan non-tarif, yang berarti hambatan masuk sebuah produk yang bukan

disebabkan karena adanya pengenaan tarif impor, tetapi akibat adanya pelarangan,

penunjukan pada perusahaan tertentu saja sebagai sebagai pihak yang menangani

pemasaran dan pembuatan atas suatu jenis barang. Praktik non-tarif merupakan

tindakan kebijakan dan praktik yang menghambat volume, komposisi, dan arah

perdagangan barang atau upaya menghambat sampainya barang ke konsumen

disuatu negara. Jika merujuk pada hukum WTO, terutama dalam GATT 1994

yang tidak melarang penerapan bea masuk (tarif) namun tidak selain tarif, maka,

kebijakan non-tarif adalah hal yang dilarang dalam perdagangan internasional.

Menurut GATT 1994, larangan kebijakan hambatan non tarif diantaranya adalah

sebagai berikut:

a. Larangan hambatan kuantitatif

120

Non-Tariff Measure to Trade : Economic on Policy Issues for Developing Countries, UNCTAD, 2016 pukul 09.37 WIB.

121

(40)

Prinsip penghapusan hambatan kuantitatif diatur dalam Pasal XI GATT

1947. Hambatan kuantitatif dalam perdagangan internasional yang disebutkan

dalam persetujuan GATT/WTO adalah larangan dalam hambatan perdagangan

yang bukan merupakan tarif atau bea masuk. Termasuk dalam kategori hambatan

ini, adalah kuota danpembatasan ekspor secara sukarela (voluntary export

restraints).Pembatasan melalui kuota adalah pembatasan secara lansung terhadap

jumlah barang yang boleh diimpor/diekspor dari atau ke luar negeri . Pembatasan

ini biasanya diberlakukan dengan memberikan lisensi kepada beberapa kelompok

individu atau perusahaan domestik untuk mengimpor atau mengekspor suatu

produk yang jumlahnya dibatasi secara lansung.122 Dilarangnya pemberlakuan

hambatan kuantitatif ini adalah sebab hambatan kuantitatif memberi dampak yang

lebih luas daripada dampak yang diakibatkan oleh pembatasan melalui tarif dan

akan menjadi distorsi terhadap aliran perdagangan bebas yang pada praktiknya

pun cenderung tidak adil dan menimbulkan diskriminasidan peluang-peluang

subjektif lainnya. Karena ketika partner dagang membatasi impor dengan tarif,

masih dimungkinkannya untuk meningkatkan ekspor selama harga barang dapat

bersaing dengan produk asing, namun ketika suatu negara menerapkan

pembatasan kuantitatif, meskipun produk yang diimpor atau diekspor memiliki

harga yang kompetitif namun barang tersebut tidak dapat dimasukkan atau

dikeluarkan kesuatu negara.123

122

“Kebijakan Non-Tarif”,

Hal ini lah yang terjadi di tahun 1930-an yakni

pemberlakuan pembatasan kuantitatif yang merupakan hambatan yang paling

serius dan yang paling sering ditemui sebagai warisan dari zaman depresi. Adapun

diakses pada 30 Maretr 2016 Pukul 17.08 WIB.

123“Quantitatif Restriction: Overview of Rules”,

(41)

Pembatasan ekspor sukarelaadalah sebua

diterapkan dari sisi negara pengekspor, bukan pengimpor, biasanya dikenakan atas

permintaan pemerintah negara pengimpor.124 Alasan dilarangnya pembatasan

ekpor sukarela adalah karena pada praktiknya VER mengandung unsur intimidasi

dimana negara pengimpor biasanya menggunakan ancaman untuk membuat

negara pengekspor secara “sukarela” membatasi ekspornya kenegara

bersangkutan. Sebagai sebuah kebijakan perdagangan, VER sarat dengan muatan

politik.125

b. Larangan Dumping

Oleh karena itu maka hukum perdagangan internasional melaui WTO

menetapkan untuk menghilangkan jenis hambatan kuantitatif. Adanya prinsip

transparansi membawa akibatkan bahwa negara-negara anggota WTO apabila

hendak melakukan proteksi perdagangan internasional, tidak boleh menggunakan

kuota sebagai penghambat, melainkan hanya tarif yang diijinkan untuk diterapkan.

Karenanya prinsip ini seringkali disebut sebagai tarifikasi hambatan perdagangan.

Dumping didefinisikan dalam Pasal II ayat (1)Anti-Dumping Agreement

sebagai suatu tindakan menjual sebuah barang kepasar negara lain dengan harga

yang lebih murah daripada ”nilai normal” barang tersebut. Maka, dumping adalah

suatu keadaan dimana barang-barang yang diekspor oleh suatu negara ke negara

lain dengan harga yang lebih rendah dari harga jual dalam negerinya sendiri atau

nilai normal dari barang tersebut. Hal ini merupakan praktik curang yang dapat

124

“Pembatasan Ekspor Sukarela”,

125

(42)

mengakibatkan distorsi dalam perdagangan internsional.126Dengan demikian, pengertian dumping dalam konteks hukum perdagangan internasional adalah

suatu bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah

perusahaan atau negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga lebih

rendah dipasar luar negeri dibandingkan dipasar dalam negeri sendiri dengan

tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut.127Praktik

dumping merupakan praktik dagang yang tidak fair karena bagi negara

pengimpor, praktik dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau

industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang dari

pengekspor yang harganya jauh lebih murah daripada barang dalam negeri akan

mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing sehingga pada akhirnya akan

mematikan pasar barang sejenis dalam negeri, yang diikuti munculnya dampak

ikutanya seperti pemutusan hubungan kerja massal, pengangguran, dan

bangkrutnya industri sejenis dalam negeri.128Secara internasional, ketentuan

antidumping diatur dalam Article VI GATT 1947. Pada Pasal VI ayat (1) GATT

1947 memberikan kriteria umum bahwa dumping yang dilarang oleh GATT

adalah dumping yang dapat menimbulkan kerugian materil, baik terhadap industri

yang sudah berdiri (to an established industry) maupun telah menimbulkan

hambatan pada pendirian industri domestik (the establishment of a domestic

industry).129

126

Christoporus barutu, Ketentuan Anti-Dumping, Subsidi, dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO (selanjutnya disebut Buku I) (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 38.

127

Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 116-117.

128

Christoporus barutu (Buku II) , Op. Cit., hlm. 39.

129

Referensi

Dokumen terkait