• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis terhadap Kebijakan Hambatan Kuantitatif dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis terhadap Kebijakan Hambatan Kuantitatif dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A.Buku-Buku

Ab’rachim, E.A. Perdagangan Internasional. Jakarta: Nobel Edumedia, 2009. Adolf, Huala dan A. Chandrawulan. Masalah-Masalah Hukum dalam

Perdagangan Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994. Adolf, Huala. 1997. Hukum Ekonomi Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada,1997.

---. Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2004.

---. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.

AK, Syahmin. Hukum Dagang Internasional: Dalam Kerangka Studi Analitis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Anshari Siregar, Tampil. Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi. Medan: Pustaka Bangsa Press, 2005.

Asshiddiqie, Jimly. Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta: PT Buana Ilmu Populer, 2009.

Barutu, Christhophorus. Ketentuan Anti-Dumping, Subsidi, dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007.

---. Seni Bersengketa di WTO. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2015. Boediono. Ekonomi Internasional. Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE, 2013. Bremmer, Ian. Akhir Pasar Bebas. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010. Budi Sasono, Herman. Manajemen Ekspor dan Perdagangan Internasional.

Yogyakarta: Penerbit Andi, 2013.

(2)

Dirdjosisworo, Soedjono. Kaidah-Kaidah Hukum Perdagangan Internasional versi Organisasi Perdagangan Dunia. Bandung: CV Utomo, 2004.

---. Pengantar Hukum Dagang Internasional. Bandung: PT Refika Aditama, 2004.

Djamin, Zulkarnain, 1994. Dampak Globalisasi terhadap Ekonomi dan Perdagangan Luar Negeri Indonesia. UI Press, Jakarta.

Fuady, Munir. Pengantar Hukum Bisnis. Bandun: PT Citra Aditya Bakti, 2005. Gautama, Sudargo. Masalah-Masalah Perdagangan, Perjanjian, Hukum Perdata

Internasional dan Hak Milik Intelektual. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992.

---. Segi-Segi Hukum Perdagangan Internasional (GATT dan GSP). Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994.

Halwani, Hendra. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. Edisi Kedua. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.

---. Ekonomi Internsional dan Globalisasi Ekonomi. Edisi Pertama. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.

Hanitijo, Soemitro, Rony. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Balai Aksara, 1990.

Kartadjoemena, H. S. GATT WTO dan hasil Uruguay Round. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1997.

---. GATT dan WTO: Sistem, Forum, dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan. Jakarta: UI Press, 2002.

Maman Suherman, Ade. Hukum Perdagangan Internasional: Lembaga Penyelesaian Sengketa WTO dan Negara Berkembang. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

M.S, Amir. Seluk Beluk dan Teknik Perdagangan Luar Negeri. Jakarta: Penerbit PPm, 2004.

Nurdin. Indonesia dalam Lipatan Ekonomi Global (GATT/WTO). Banda Aceh: Sophia Center, 2007.

Pandika, Rusli. Sanksi Dagang Unilateral di bawah Sistem Hukum WTO. Bandung: PT Alumni, 2010.

(3)

Priyono, Joko. Hukum Perdagangan Jasa (GATS/ WTO) : Filosofi, Teori dan Implikasi bagi Profesi Hukum di Indonesia. Semarang: Universitas Diponegoro Press, 2010.

Rumapea, Tumpal. Kamus Lengkap Perdagangan Internasional. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Salvatore. Ekonomi Internasional. Edisi Kelima, Jilid Satu. Jakarta: Erlangga, 1996.

. Ekonomi Internasional. Edisi Kelima Jilid dua. Jakarta: Erlangga, 1996.

Sawit, M. Husein. Liberalisasi Pangan: Ambisi dan Reaksi dalam Putaran Doha WTO. Jakarta: UI Press, 2007.

Sood, Muhammad. Hukum Dagang Internasional: Dalam Kerangka Studi Analitis. Jakarta: Rajawali Press, 2006.

Sugeng Hadiwinata, Bob. Politik Bisnis Internasional. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002.

TH Tambunan, Tulus. Globalisasi dan Perdagangan Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004.

Utama, Meria. Hukum Ekonomi Internasional. Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2012. Wijatno, Serian dan Ariawan Gunadi. Free Trade : in International Trade Law

Perspective. Jakarta: PT Gramedia, 2014.

Yohanes, Triyana. Hukum Ekonomi Internasional : Perspektif Kepentingan Negara Sedang Berkembang dan LDC’s. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2015.

Zen Umar Purba, Achmad. Perjanjian TRIPS dan Beberapa Isu Strategis. Bandung: PT Alumni, 2011.

B.Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan

(4)

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang

Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian

Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Nomor 14/DAGLU/KEP/8/2009 tentang Dokumen Persetujuan Hak Akses INATRADE dalam Kerangka Indonesia National Single Window

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 30/M-DAG/PER/6/2009 tentang Jenis Perijinan Ekspor dan Impor, Prosedur Operasi Standar (Standard Operating Procedure) dan Tingkat Layanan (Service Level Arrangement) dengan Sistem Elektronik Melalui INATRADE dalam Kerangka Indonesia National Single Window

Peraturan Menteri Pedagangan Nomor 13/M-DAG/PER/3/2012 Tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor.

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 23/M-DAG/PER/4/2014 tentang Ketentuan Pengenaan Kuota dalam Rangka Tindakan Pengamanan Perdagangan terhadap Impor Tepung Gandum. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor

117/M-DAG/PER/12/2015 tentang Ketentuan Impor Gula.

Peraturan Menteri Pedagangan 48/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor.

Generall Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1994 (Perjanjian Umum mengenai Tarif dan Perdagangan 1994)

Agreement on Trade-Related Investment Measures (TRIMS) (Perjanjian tentang Aturan-Aturan Investasi yang Berkaitan dengan Perdagangan)

Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) (Perjanjian mengenai Aspek-Aspek yang Berhubungan dengan Perdagangan Hak Kekayaan Intelektual)

General Agreement on Trade in Services (GATS) (Perjanjian mengenai Perdagangan di Bidang Jasa)

Agreement on Subsidies and Countervailing Measures(SCM Agreement)

(5)

C.Jurnal-Jurnal

Wahyuni Yusuf, Sri. “Penerapan Prinsip World Trade Organization dalan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan”. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Makassar: Universitas Hasanuddin, 2015.

Fakhruddin, Umar. “Kebijakan Hambatan Perdagangan atas Produk Ekspor Impor Indonesia di Negara Mitra Dagang”. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol II, No. 02 tahun 2008.

D.Internet

Overview: a navigational guide, dalam website WTO,

(diakses pada 8 Februari 2016)

The GATT years: from Havana to Marrakesh, dalam website WTO, s pada 8 Februari 2016)

Marrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization,

WTO ANALYTICAL INDEX: GATT 1994

Liberalisasi Perdagangan Jasa dalam Kerangka WTO dan Jadwal Komitmen, Prinsip Dasar GATS,

Persetujuan Umum Mengenai Tarif dan Perdagangan 1994,

kadi.kemendag.go.id/.../1501120513488943.doc, (diakses pada 11 Maret 2016)

(6)

, Kebijakan Non-Tarif, pada 30 Maret 2016)

Quantitatif Restriction: Overview of Rules,

Departemen Perindustrian dan Perdagangan, “WTO dan Sistem Perdagangan

Dunia”, http:/ /www.dprin.go.id/ind/publikasi/djkipi/wto.htm, (diakses 12 Februari 2016)

Direktorat Standarisasi, “Profil Direktorat Standarisasi”, 14 Maret 2016)

Esther Painte, Riri, “Analisis Pengaruh Hambatan Tarif dan Non-Tarif di Pasar Uni Eropa terhadap Ekspor Komoditas Udang Indonesia”,

Fakhrudin, Umar, “Petani Gula Minta Impor Gula Mentah Dibatasi”, 18 Maret 2016.The Trade Council of Ministry of Foreign Affairs of

Denmark, What is a Trade Barrier”,

Harianto, “Kebijakan Impor Pangan”,

Jafar, Mohamad, “Kajian atas Pengenaan Bea Masuk Menggunakan Tarif Spesifik,

Kesuma Lestari, Sylviana, “Prinsip Pengaturan Safeguards”,

(7)

Panjaitan, Iskandar, et.al, “World Trade Organization”,

Maret 2016)

Pasuhuk, Hendra, ”Bagaimana Kelanjutan Putaran Doha?”, Maret 2016)

Siregar, Mahmul, “Kesepakatan Perdagangan Yang Terkait Dengan Persyaratan

Penanaman Modal(2005)”,

(diakses pada 8 Maret 2016)

Shodiqin, Ahmad, “Pengertian Tarif Pajak, Bea Cukai, Kuota dan Hambatan

dalam Perdagangan Internasional”,

(diakses

pada, 29 Februari 2016)

Sood, Muhammad, “Penerapan Tarif Impor Berdasarkan Ketentuan GATT-WTO, AFTA dan Perundang-Undangan Indonesia (The Aplication of Import Tariff according to The Rule of GATT-WTO, AFTA and Indonesian

Legislations)”,

Umer, Nashib, “Impor dan ekspor lisensi”,

UNCTAD, “Non-Tariff Measure to Trade : Economic on Policy Issues for

Developing Countries”,

(8)

BAB III

PRINSIP LARANGAN HAMBATAN KUANTITATIF (PROHIBITION ON

QUANTITATIVE RESTRICTION) DALAM KERANGKA GATT/WTO

A.Pengertian dan Bentuk Hambatan Kuantitatif

1. Pengertian hambatan kuantitatif

Hambatan kuantitatif dalam persetujuan GATT/ WTO adalah hambatan perdagangan yang bukan merupakan tarif bea masuk.133 Yakni larangan dan pembatasan proteksi terhadap produk domestik melalui pembatasan kuantitatif seperti pengenaan kuota impor dan ekspor, pembatasan lisensi impor atau ekspor dan alat lain yang dapat mempengaruhi jumlah ekspor maupun impor.134 Menyadari bahwa kuota cenderung tidak adil, dan dalam praktiknya justru menimbulkan diskriminasi dan peluang-peluang subjektif lainnya.135 Adapun pengertian lain dari pembatasan kuantitatif (quantitative restriction) menurut Kamus Perdagangan Internasional adalah pembatasan kuota atas jumlah fisik suatu komoditi ekspor atau impor tertentu dalam jangka waktu tertentu, biasa dihitung berdasarkan volume tapi kadang-kadang berdasarkan nilai.136 Oleh karena itu, hukum perdagangan internasional melalui WTO menetapkan untuk menghilangkan jenis hambatan kuantitatif.137

133

Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 46. 134

Triyana Yohanes, Op. Cit., hlm. 77. 135

Muhammad Sood, Loc. Cit., hlm. 46. 136Tumpal Rumapea,

Kamus Lengkap Perdagangan Internasional (Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 2000), hlm. 296. 137

Muhammad Sood, Loc. Cit., hlm. 46.

(9)

menghambat, melainkan hanya tarif yang diijinkan untuk diterapkan.138 Sebab GATT atau WTO sama-sama merupakan wadah dalam mendorong terciptanya perdagangan internasional yang fair dengan menghilangkan unsur-unsur penghambat (barrier) yang dapat merusak sistem perdagangan yang ideal.139 Oleh karena itu prinsip ini sering kali disebut sebagai tarifikasi hambatan perdagangan.140 Prinsip ini telah diatur dalam Article IX GATT 1947, menghendaki transparansi dan penghapusan hambatan kuantitatif dalam perdagangan internasional. Ketentuan ini oleh para pendiri GATT dianggap sangat penting karena pada waktu GATT didirikan, pembatasan kuantitatif merupakan hambatan yang paling serius dan yang paling sering ditemuin sebagai warisan dari zaman depresi pada tahun 1930-an.141

(10)

2. Bentuk hambatan kuantitatif

Tidak seperti bea masuk yang tidak dilarang, Pasal XI ayat (1) GATT 1994, menyatakan larangan umum atas hambatan kuantitatif, baik untuk ekspor maupun impor.144

a. Kuota

Hambatan kuantitatif yang berarti aturan yang membatasi jumlah (kuantiti) atas sebuah barang yang akan diimpor atau diekspor dapat berbentuk:

b. Pembatasan lisensi impor atau ekspor c. Pembatasan ekspor sukarela

Kebijakan proteksi yang tidak menggunakan tarif, yang disebut kebijakan proteksi non-tarif (non-tarif barriers) terdiri dari berbagai macam intrumen, mulai dari larangan impor secara mutlak (yang berarti tidak ada impor sama sekali), pemberian subsidi kepada produksi dalam negeri yang membuat barang-barang subsitusi impor, peraturan atau ketentuan teknis untuk impor produksi tertentu yang berkaitan dengan masalah-masalah seperti kesehatan, pertahanan dan keamanan, kebudayaan dan lingkungan dan pembatasan kuantitatif. Adapun bentuk hambatan non-tarif berupa pembatasan kuantitatif dapat melalui beberapa bentuk yakni:

144

(11)

a. Kuota

Kuota adalah pembatasan secara kuantiatif tidak hanya terhadap impor, tetapi juga diterapkan oleh banyak negara terhadap ekspor.145 Kuota (“jatah” atau pembakuan kuantitas) merupakan bentuk hambatan perdagangan non-tarif yang paling penting.146 Kuota adalah pembatasan secara langsung terhadap jumlah impor atau ekspor.147 Kuota bisa berupa pembatasan kuantitatas pasokan, misalnya sekian ton atau sekian unit pertahun, atau bisa juga berupa pembatasan nilai, misalnya ekspor produk kesuatu negara tidak boleh lebih dari sekian juta dolar pertahun.148 Kuota impor (import quota) marupakan pembatasan langsung atas jumlah barang yang boleh diimpor. Pembatasan ini biasanya diberlakukan dengan memberikan lisensi kepada beberapa kelompok indvidu atau perusahaan domestik untuk mengimpor suatu produk yang jumahnya langsung dibatasi itu.149Maka, secara teori ada empat macam kuota:150

1) Kuota yang ditetapkan suatu negara (misalnya negara importir) secara sepihak tanpa negosiasi terlebih dahulu dengan negara mitranya (negara eksportir).

Sistem ini disebut juga dengan kuota unilateral atau absolut, artinya, bila suatu negara menganut sistem kuota unilateral, berarti negara tersebut menentukan jumlah impor secara absolut selama periode tertentu. Sistem ini bisa terjadi secara global term atau allocated basic. Dalam bentuk pertama tersebut, seorang importir yang dapat lisensi impor bebas melakukan impor dari negara

145Tulus T.H. Tambunan,

Op. Cit., hlm. 339. 146

Salvatore, Ekonomi Internasional (selanjutnya disebut Buku I) (Jakarta: Erlangga, 1996, Edisi Kelima, Jilid Satu), hlm. 316.

(12)

manapun selama jumlahnya tidak melebihi ketentuan maksimum. Sedangkan dalam dasar alokasi, jumlah barang yang diijinkan untuk diimpor terbagi-bagi dalam beberapa negara tertentu. Misalnya pemerintah Indonesia menetapkan kuota impor beras sebagai berikut: 2 ton dari Thailand dan 3 ton dari Vietnam.

2) Kuota bilateral

Yakni kuota yang jumlahnya ditentukan atas dasar perjanjian antara negara importir yang menerapkan kuota dan negara-negara eksportir dari barang bersangkutan. Masalah yang sering muncul dalam penerapan sistem ini adalah panjangnya waktu yang diperlukan untuk mencapai suatu kesepakatan mengenai besar kecilnya jumlah kuota, karena kedua belah pihak tidak mau dirugikan: negara importir berkepentingan untuk melindungi industrinya sedangkan negara eksportir berkepentingan agar ekspornya tidak berkurang.

3) Tarif kuota

Yakni pembatasan impor yang dilakukan dengan mengkombinasikan sistem kuota dengan sistem tarif. Caranya adalah dengan menentukan jumlah maksimum barang yang boleh diimpor dengan mengenakan bea masuk tertentu. Jika jumlah impor yang masuk melebihi tingkat maksimum (kuota) tersebut, dikenakan tarif yang lebih tinggi hanya pada kelebihan jumlah tersebut.

4) Mixing kuota

(13)

devisa. Penerapan kuota terhadap impor akan mengurangi penawaran dalam negeri, yang selanjutnya akan menaikkan harga di pasar dalam negeri.

b. Pembatasan ekspor secara sukarela (Voluntary Export Restriction)

Konsep pembatasan ekspor sukarela mengacu pada kasus dimana negara pengimpor mendorong atau bahkan memaksa negara lain untuk mengurangi ekspornya secara “sukarela”.151 Biasanya permintaan ini dibarengi dengan ancaman bahwa negara pengimpor tersebut akan melakukan hambatan perdagangan yang lebih keras lagi.152 Adapun alasannya adalah impor tersebut dikhawatirkan akan melumpuhkan sektor tertentu dalam perekonomian domestik.153 VER pada umumnya dilaksanakan atas permintaan negara pengimpor dan disepakati oleh negara pengekspor untuk mencegah pembatasan-pembatasan perdagangan lainnya yang mungkin saja lebih ketat. VER ternyata mempunyai keuntungan-keuntungan politis dan legal yang membuatnya menjadi instrumen kebijakan perdagangan yang semakin disukai dalam beberapa tahun belakangan ini.154 Namun dari sudut pandang ekonomi, pengendalian ekspor sukarela ini sesungguhnya sama persis dengan kuota impor, hanya saja lisensi yang bernilai tinggi itu justru diberikan kepada pemerintah/perusahaan asing sehingga biayanya menjadi sangat mahal bagi negara pengimpor.155Pembatasan ekspor ini selalu membebankan biaya yang lebih mahal bagi negara pengimpor apabila dibandingkan dengan instrumen tarif yang mampu membatasi impor dengan jumlah yang sama.156

(14)

dalam tarif menjadi rente (rent) atau keuntungan sepihak yang diperoleh oleh unsur asing dalam kerangka VER, sehingga VER jelas mengakibatkan kerugian bagi pemerintah negara yang menjalankannya. Sejumlah kesepakatan pengekangan ekspor secara sukarela yang ada selama ini mencakup lebih dari satu negara. Perjanjian multilateral yang paling menonjol berkenaan dengan hal ini adalah pengaturan perdagangan serat (multifiber arragement), yakni suatu kesepakatan yang membatasi ekspor tekstil dari 22 negara ke Amerika Serikat.157

c. Lisensi impor

Kesepakatan-kesepakatan pengekangan sukarela multilatearal seperti itu juga dikenal dngan akronim OMA: Orderly Marketing Agreements (Kesepakatan pengaturan pemasaran secara ‘tertib”).

Pengertian Lisensi dalam Black Law Dictionary, lisensi merupakan izin oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan tindakan yang tanpa izin tersebut akan ilegal, sebuah pelanggaran, perbuatan melawan hukum, atau tidak akan diijinkan. Ini berarti lisensi selalu dikaitkan dengan kewenangan dalam bentuk hak istimewa untuk melakukan sesuatu oleh seseorang atau suatu pihak tertentu. Dalam lisensi dimungkinkan untuk keuntungan dari keterampilan, modal ekspansi, atau kapasitas lain dari lisensi. lisensi sering digunakan oleh produsen untuk memasuki pasar luar negeri dimana mereka tidak memiliki keahlian.158

157 Ibid. 158

Ibid.

(15)

membatasi jumlah komoditas pangan tertentu yang diimpor dari luar negeri dan sekaligus sebagai salah satu alat untuk mengendalikan harga komoditas tertentu di pasar dalam negeri. Pembatasan ini biasanya diberlakukan dengan memberikan lisensi impor yang sah kepada perusahaan tertentu dan terbatas serta melarang impor tanpa lisensi.159

B.Prinsip Larangan Pembatasan Kuantitatif dalam Kerangka GATT

lisensi impor/ekpsorberarti sesuatu yang menjadi sebab diberikannya hak-hak istimewa (privileges) oleh pemerintah untuk diijinkan memasukkan barang ke dalam negeri.

1. Tujuan larangan pembatasan kuantitatif

Adapun tujuan daripada larangan pembatasan kuantitatif yang dapat dilakukan melalui kuota, lisensi ekspor/impor maupun pembatasan ekspor sukarela adalah:

a. Bahwa kuota impor dapat digunakan untuk melindungi sektor industri domestik tertentu, atau bisa juga untuk melindungi sektor pertanian. Kuota impor juga sering dimanfaatkan untuk melindungi neraca pembayaran suatu negara. Negara-negara eropa barat pada umumnya menerapkan kuota impor ini pada tahun-tahun pertama usai perang dunia kedua guna memberi kesempatan bagi sektor industri dan pertaniannya untuk berkembang dan memulihkan diri dari kehancuran akibat perang. Sampai sekarangpun kuota impor masih cukup luas. Praktis semua negara industri maju sampai sekarang masih berusaha melindungi sektor pertaniannya melalui pemberlakuan kuota impor. Sedangkan negara-negara berkembang

159“Kebijakan Impor Pangan”, Harianto,

(16)

juga menerapkan hal ini demi melindungi sektor industri manufakturnya atau untuk melindungi kondisi neraca pembayarannya yang acapkali dirundung defisit akibat lebih besarnya impor ketimbang ekspor nya.160

b. Tindakan untuk membatasi atau mengurangi jumlah barang impor ada yang diakukan secara sukarela yang disebut sebagai pembatasan ekspor sukarela (VER). VER adalah kesepakatan antara negara pengekspor untuk membatasi jumlah barang yang dijualnya ke negara pengimpor. Tujuan dari kuota ekspor adalah untuk keuntungan negara pengekspor, agar dapat memperoleh harga yang lebih tinggi. Kuota produksi bertujuan untuk mengurangi jumlah ekspor. Dengan demikian, diharapkan harga di pasaran dunia dapat ditingkatkan. Jika VER berhasil, maka membawa dampak ekonomi sebagaimana pemberlakuan kuota kecuali bahwa pembatasan ekspor itu dilakukan oleh negara pengekspor, sehingga dampak pendapatan berupa terciptanya kentungan monopoli dengan sendirinya akan diterima oleh para pengekspor dinegara lain.

Yang artinya adalah dengan adanya larangan pembatasan kuantitatif ini melalui kuota maka akan terbataslah kuantitas suatu produk untuk masuk ke wilayah negara lain yang mana pembatasan inilah yang secara bertahap untuk diminimalisir sebab konsep perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor impor atau hambatan perdagangan lainnya.

161

160

Salvatore (Buku I), Loc. Cit., hlm. 316. 161

Ibid., hlm. 321.

(17)

memberikan perlakuan berbeda terhadap impor negara lain. Maka, dengan adanya pelarangan pemberlakuan VER ini negara-negara tidak akan menerapkan VER sesuka hati yang mengakibkan terlanggarnya hak-hak negara lain.

c. Lisensi impor adalah dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah nasional otorisasi impor barang tertentu ke wilayahnya. Lisensi impor adalah hanya sebuah dokumen resmi yang memungkinkan pengguna atau grup untuk membawa barang-barang dari di luar perbatasan mereka sendiri.162 Pemberlakuan lisensi impor secara otomatis memberikan perlakuan berbeda terhadap negara yang diberikan lisensi. Maka, dengan adanya larangan lisensi impor akan memberikan perlakuan yang sama kepada negara lain. Meski lisensi impor masih dapat diberlakukan, namun telah terdapat Agreement of Import Lisensing yang dimaksudkan untuk memperkuat disiplin bagi para pengguna lisensi impor dan untuk meningkatkan transparansi dan dapat mewujudkan praktik dagang yang lebih mudah diprediksi.163

162

“Impor dan ekspor lisensi”, Nashib Umer,

2016 Pukul 16.00 WIB. 163

(18)

2. Larangan pembatasan kuantitatif dalam Article XIII GATT

Ketika hambatan kuantitatif secara umum dilarang, banyak pengecualian atas larangan ini. Hal ini menjelaskan mengapa Pasal XIII GATT 1994 menyediakan peraturan mengenai administrasi atas hambatan kuantitatif dan tarif kuota. Pasal XIII ayat 1 GATT 1994 mengatur jika hambatan kuantitatif hendak diterapkan harus dilaksanakan tanpa pembedaan. Pasal XIII ayat 1 mensyaratkan bahwa jika anggota menerapkan hambatan kuantiatif pada barang-barang yang ditujukan atau yang berasal dari satu anggota lainnya, ‘barang sejenis’164 yang ditujukan atau yang berasal dari semua negara juga harus sama-sama “dilarang atau dibatasi”. Sebagaimana secara lengkap disebutkan dalam Pasal XIII GATT 1994:165

Selanjutnya berdasarkan Pasal XIII ayat 2 GATT 1994, distribusi perdagangan yang masih diijinkan, harus mendekati apa yang seharusnya merupakan distribusi perdagangan dalam hal hambatan kuantitatif ini tidak ada, lebih jauh lagi, Pasal XIII ayat 2 mencantumkan sejumlah persyaratan yang harus

“No prohibition or restriction shall be applied by any contracting party on the importation of any product of the territory of any other contracting party or on the exportation of any product destined for the territory of any other contracting party, unless the importation of the like product of all third countries or the exportation of the like product to all third countries is similarly prohibited or restricted.”

164

Penentuan apakah barang tersebut merupakan ‘barang sejenis’, pada dasarnya, merupakan sebuah penentuan mengenai sifat dan sejauh mana hubungan kompetitif antara barang-barang tersebut pada suatu pasar domestik tertentu. Konsep ‘barang sejenis’ mengacu pada Pasal III:2 GATT 1994 dan berdasarkan Case Law yang mana pada akhirnya penentuan ‘barang sejenis ini ditentukan secara kasus per kasus dengan faktor-faktor yang diperhitungkan menjadi penentu sifat dan sejauh mana hubungan kompetitif antara barang-barang tersbut adalah diantaranya:

1. Karakteristik fisik barang tersebut;

2. Kebiasaan dan pilihan konsumen terhadap barang tersebut; 3. Kegunaan akhir dari barang tersebut; dan

4. Klasifikasi tarif internasional dari barang tersebut. 165

WTO ANALYTICAL INDEX: GATT 1994”, World Trade Organization,

(19)

dipenuhi ketika menerapkan kuota (tarif kuota) yakni diharuskannya bagi negara yang melakukan hambatan kuantitatif berupa tarif (kuota) memberikan pengumuman terhadap jumlah serta nilai suatu produk yang akan dibatasi, kemudian manakala suatu negara tidak menerapkan hambatan kuantitatif dalam bentuk kuota, maka dapat dilakukan melalui lisensi import atau perizinan tanpa kuota.166 Kemudian Pasal XIII ayat 2(d) menyediakan bahwa, jika tidak ada perjanjian yang dapat dicapai oleh semua anggota yang mempunyai ketertarikan dalam mensuplai/mengirim barang yang dimaksud, kuota (tarif kuota) harus dialokasikan antar anggota dengan dasar kontribusi mereka terhadap perdagangan atas barang tersebut selama jangka waktu sebelumnya.167

Ketentuan larangan pembatasan kuantitatif oleh para pendiri GATT dianggap sangat penting karena pada waktu GATT didirikan, pembatasan kuantitatif merupakan hambatan yang paling serius dan yang paling sering ditemuin sebagai warisan dari zaman depresi pada tahun 1930-an.168 Namun demikian, gejala peningkatan penerapan pembatasan kuantitatif pada beberapa tahun ini semakin meningkat. Gejala tersebut misalnya terdapat dalam bidang pertanian, tekstil, baja dan barang hasil industri yang mempunyai arti penting bagi negara-negara berkembang.169

166

Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi, Op. Cit., hlm. 32.

Perkecualian yang diperbolehkan dalam GATT adalah pembatasan kuantitatif yang diterapkan oleh negara-negara anggota dalam

167Ibid. lihat secara lengkap dalam “

WTO ANALYTICAL INDEX: GATT 1994”, World

Trade Organization,

Maret 2016 Pukul 18.39 WIB.

168Kartadjoemena,

GATT dan WTO: Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang

Perdagangan, Loc. Cit., hlm. 110.

(20)

hal suatu negara menghadapi masalah dalam neraca pembayarannya.170 Perkecualian tersebut tercantum dalam Pasal XII. Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa langkah pembatasan kuantitatif yang diambil oleh suatu anggota tidak boleh melampaui batas waktu yang diperlukan untuk mengatasi masalah neraca pembayaran.171

Perkecualian tersebut diperluas dalam hal suatu negara berkembang menghadapi masalah neraca pembayarannya. Perkecualian tersebut terdapat dalam Pasal XVIII yang menentukan bahwa restriksi kuantitatif boleh diperlakukan oleh suatu negara berkembang untuk mencegah mengecilnya cadangan devisa yang dimilikinya akibat peningkatan impor, yang disebabkan oleh program pembangunan mereka atau yang disebabkan oleh peningkatan produksi dalam negeri.

Lagi pula pembatasan kuantitatif yang diterapkan harus secara bertahap dikurangi dan dihapuskan setelah neraca pembayaran negara tersebut diatasi.

172

170I

bid., hlm. 111. 171

Ibid. 172

Ibid.

(21)

kebijaksanaan lainnya yang mungkin dapat diambil disamping tindakan pembatasan impor secara kuantitatif.173Atas permintaan suatu negara berkembang yang sedang melaksankan pembatasan impor secara kuantitatif dalam rangka Pasal XVIII, GATT, dalam konsultasi, dapat memusatkan perhatiannya pada masalah yang menyangkut lingkungan ekstern dan langkah yang diambil negara lain untuk meperbaiki masalah neraca pembayaran dari negara tersebut.174

Meskipun restriksi kuantitatif terhadap ekspor atau impor dalam bentuk apapun (misalnya penetapan kuota impor atau ekspor, restriksi penggunaan lisensi impor atau ekspor, pengawasan pembayaran produk – produk impor atau ekspor), pada umumnya dilarang (Pasal IX) hal ini disebabkan karena praktik demikian mengganggu praktik perdagangan yang normal.175Namun, hambatan kuantitatif dapat dikecualikan dari prinsip penghapusan hambatan kuantitatif dengan beberapa alasan yaitu sebagai berikut:176

a. Negara yang mengalami kesulitan neraca pembayaran diijinkan untuk membatasi impor dengan cara kuota (Article XII-XIV GATT 1947).

b. Karena industri domestik negara pengimpor mengalami kerugian yang serius akibat meningkatnya impor produk sejenis, maka negara itu boleh tidak tunduk pada prinsip ini (Article XIX GATT 1947).

c. Demi kepentingan kesehatan publik, keselamatan dan keamanan nasional negara pengimpor, negara tersebut diijinkan untuk membebaskan diri dari kewajiban tunduk pada prinsip ini (Article XX dan XXI GATT 1947). 3. Larangan pembatasan kuantitatif dalam kesepakatan yang dihasilkan WTO

173 Ibid. 174

Ibid. 175

Huala adolf, Hukum Ekonomi Internasional (selanjutnya disebut Buku II) (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 54.

176Muhammad Sood,

(22)

a. General Agreement on Trade in Services (GATS)

Akses pasar atas jasa dari negara-negara lain ke dalam pasar anggota WTO dapat, dan sering terjadi, dihalangi atau dilarang masuk dengan berbagai cara.177Hambatan pada perdagangan jasa utamanya merupakan akibat dari regulasi-regulasi nasional. Hukum WTO dan GATS khususnya, menyediakan peraturan disiplin pada hambatan perdagangan jasa. Pembedaan harus dilakukan antara hambatan terhadap akses pasar dan hambatan lainnya dalaam perdagangan jasa. 178

Peraturan atas hambatan pada akses pasar tercantum dalam Pasal XVI GATS. Pasal XVI ayat 2 GATS berisi sebuah daftar yang panjang mengenai hambatan-hambatan akses pasar, termasuk:179

1) Daftar-daftar mengenai lima jenis pembatasan kuantitatif seperti pembatasan pada jumlah pemberi/ pengirim jasa yang mungkin aktif pada suatu pasar tertentu pembatasan pada jumlah total operasi jasa dan pembatasan pada partisipasi modal asing dalam perusahaan- perusahaan pemberi jasa.

2) Satu jenis ketentuan yang menghambat pemberian jasa adalah bentuk-bentuk tertentu dari badan hukum atau modal bersama (joint venture).180 GATS tidak menyediakan larangan umum atas hambatan atas pasar yang tercantum pada Pasal XVI. Apakah anggota boleh tetap melakukan hambatan-hambatan akses pasar ini sehubungan dengan sebuah jasa tertentu tergantung

177“Liberalisasi Perdagangan Jasa dalam Kerangka WTO dan Jadwal Komitmen, Prinsip Dasar GATS”, pada Minggu 7 Maret 2016 pukul 07.00 WIB.

178

Peter van Den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi,Op, Cit. hlm 35.

179

Ibid., hlm. 35-36. 180

(23)

pada apakah, dan jika boleh sejauh mana anggota tersebut telah membuat komitmen akses pasar jasa atau sektor jasa yang relevan dalam schedule of Sspecsific commitments yang pada dasarnya sesuai Pasal XVII GATS mengatur bahwa setiap anggota bebas menentukan apakah akan membuat komitmen.181 Ketika satu anggota membuat komitmen atas akses pasar, anggota tersebut mengikat diri pada tingkatan akses pasar yang telah ditentukan dalam schedule of specific mommitments (sesuai dengan Pasal XVI ayat 1) dan setuju untuk tidak menerapkan hambatan akses pasar manapun yang dapat membatasi akses ke pasar melebihi dari tingkatan atas akses pasar yang telah ditentukan (Pasal XVI:2).182

b. Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPS )

Komitmen-komitmen atas akses pasar sering didampingi oleh persyaratan dan pembatasan (untuk jasa-jasa tertentu). Oleh karena itu, memungkinkan bahwa beberapa hambatan atas akses pasar diijinkan walaupun kenyataannya komitmen terhadap akses pasar telah dibuat atas sektor jasa tersebut.

Hak kekayaan intelektual sebagaimana terkandung dalam TRIPS adalah konsep yang mengatur tentang pemberian dan perlindungan hak kepada seseorang atas karyanya.183

181

Ibid., hlm. 23, Lebih lengkap lihat persetujuan perdagangan jasa (GATS),

Pada hakikatnya TRIPS mengandung empat kelompok pengaturan. Pertama, yang mengaitkan hak kekayaan intelektual dengan konsep perdagangan internasional. Kedua, yang mewajibkan negara-negara anggota untuk mematuhi Paris Convention(dasar utama bagi konsep industrial property atau kekayaan industrial) dan Berne Convention(dasar utama bidang copyright atau

182

Joko Priyono, Hukum Perdagangan Jasa (GATS/ WTO) : Filosofi, Teori dan Implikasi

bagi Profesi Hukum di Indonesia (Semarang: Universitas Diponegoro Press, 2010, hlm. 111.

183

(24)

hak cipta). Ketiga, yang menetapkan aturan atau ketentuan sendiri. Keempat, yang merupakan ketentuan atas hal-hal yang secara umum termasuk upaya penegakan hukum yang terdapat dalam legislasi negara-negara anggota.184 Disamping Paris Convention dan Berne Convention, TRIPS merujuk beberapa perjanjian lain.185 Sesuai dengan statusnya sebagai satu perjanjian internasional, bagian pembukaan TRIPS menyatakan agar negara-negara anggota dapat meyakinkan diri untuk mengurangi distorsi dan hambatan terhadap perdagangan internasional, dan memperhitungkan kebutuhan untuk memajukan perlindungan yang efektif dan sepadan, serta tidak menjadi hambatan bagi perdagangan internasional.186 Namun, dalam TRIPS hanya memuat ketentuan-ketentuan minimum yang wajib diikuti oleh para negara anggotanya yang hal ini diatut dalam Article 1.1 GATS yang dengan sifat minimum ini dimaksudkan agar memudahkan negara-negara yang belum maju menyesuaikan diri dengan konsep tersebut. Itulah sebabnya pemberlakuan TRIPS pun berbeda-beda sesuai tingkat kemajuan negara-negara itu: negara-negara maju, negara-negara berkembang dan negara-negara terbelakang.187

184

Ibid., hlm. 23-24. 185

Yakni International Convention for the Protection of Performers, Producers of

Phonograms and Broadcasting Organization (Rome Convention) dan Treaty on Intellectual

Property in Respect of Integrated Circuits (Washington Treaty).

186

TRIPS, Pembukaan, Paragraph 1. 187

Achmad Zen Umar Purba, Op. Cit., hlm. 30.

(25)

dissemination of thechnolgy.188

Article 40 ini berkaitan dengan fakta bahwa hak kekayaan intelektual secara esensial merupakan monopoli, tetapi pemberian lisensi yang dilakukan juga jangan sampai mengganggu hal-hal lain, misalnya alih teknologi. Meski Article 40 tidak memberikan definisi langkah-langkah yang bisa diambil.

Oleh karena itu, disepakati bahwa TRIPS sama sekali tidak menghalangi negara-negara anggota untuk mengatur dalam legislasi mereka ketentuan untuk menspesifikasikan licencing practices.

189

c. Agreement on Trade Related Investment Measures (TRIMS)

Article 40 mengatur bahwa praktek lisensi dan persyaratannya yang mengakibatkan hambatan terhadap persaingan yang mengakibatkan dampak merugikan terhadap perdagangan yang menghambat penyebaran dan alih teknologi harus dicegah.

Agreement on Trade Related Investment Measuresadalah semua ketentuan dibidang penanaman modal yang membatasi dan berakibat merugikan perdagangan (trade restrictive band distorting effects).190 Dibidang TRIMS ini perundingan dipusatkan kepada perumusan aturan main sehingga tindakan dan kebijakan penanaman modal yang melanggar ketentuan GATT dilarang. Perjanjan yang disepakati mengatur dua hal, yakni:191

1) Aturan-aturan tentang local content requirements yang mengharuskan pembelian input dari dalam negeri (local) dalam jumlah tertentu oleh suatu perusahaan; atau

Investasi di Indonesia dalam kaitannya dengan Pelaksanaan

Perjanjian Hasil Putaran Uruguay, (dalam) An An Chandrawulan, Hukum Perusahaan

Multinasional, Liberalisasi Hukum Perdagangan Internasiona dan Hukum Penanaman Modal (Bandung: PT Alumni, 2014), hlm. 140.

191An An Chandrawulan,

Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum

Perdagangan Internasiona dan Hukum Penanaman Modal (Bandung: PT Alumni, 2014), hlm.

(26)

2) Aturan-aturan tentang trade balancing requirements yang menentukan bahwa volume atau nilai impor yang boleh oleh suatu perusahaan, terbatas pada, atau dikenakan dengan, jumlah atau nilai ekspor dari produksi lokal yang dihasilkan.

Substansi pokok pengaturan TRIMS 1994 pada hakikatnya ada dua, adalah:192 1) Pengaturan yang dibuat untuk membatasi akibat-akibat merugikan

terhadap perdagangan yang terkait dengan penanaman modal;

2) Pengaturan yang menegaskan kembali prinsip-prinsip GATT yang ada, yaitu prinsip yang terdapat dalam Pasal III tentang tentang prinsip perlakuan nasional (national treatment) dan Pasal XI GATT 1947 (dan 1994) tentang larangan pembatasan kuantitatif atau kuota (prohibition on quantitative restriction).

Article XI.1 TRIMS adalah melarang penggunaan hambatan non-tarif dalam kebijakan perdagangan seperti kuota, lisensi ekspor atau impor, pembatasan ekspor secara sukarela dan bentuk-bentuk perintah pengaturan pasar lainnya. Dalam perjanjian TRIMS disebutkan dalam Article 2:193Praktek pembatasan kuantitatif dilarang dalam TRIMS apabila pembatasan kuantitatif tersebut menjadi syarat untuk mendapatkan fasilitas penanaman modal.194

192

Ibid., hlm. 141.

Paragraf 2 ilustrative list dari TRIMS dalam pelarangan quantitative restriction hanya mengacu pada Article XI. 1. GATT 1994. Dalam kaitannya dengan kegiatan penanaman modal, paragraf 2 mengidentifikasi 3 bentuk kegiatan yang dipandang tidak konsisten

193Lebih jelas lihat “

WTO Analitycal Index: Investment: Agreement on Trade-Related

Investment Measures”, dalam

2016 Pukul 18.00 WIB.

(27)

dengan Article IX.1.195 GATT yakin apabila untuk memperoleh fasilitas penanaman modal dipersyaratkan hal-hal berikut:196

1) pembatasan impor produk-produk yang dipakai dalam proses produksi atau terkait dengan produksi lokalnya secara umum atau senilai produk yang diekspor oleh perusahaan yang bersangkutan ;

2) pembatasan impor produk-produk yang dipakai dalam atau terkait produksi lokal dengan membatasi aksesnya terhadap devisa luar negeri sampai jumlah yang terkait dengan devisa yang dimasukkan oleh perusahaan yang bersangkutan.

C.Pengecualian terhadap Larangan Pembatasan Kuantitatif

Prinsip penghapusan hambatan kuantitatif diatur dalam Pasal XI GATT 1947. Hambatan kuantitatif dalam perdagangan internasional yang disebutkan dalam persetujuan GATT/WTO adalah hambatan perdagangan yang bukan merupakan tarif atau bea masuk.Prinsip ini dikecualikan dalam hal:

1. Negara yang mengalami kesulitan neraca pembayaran diizinkan untuk membatasi impor dengan cara kuota (Pasal XII - XIV GATT 1947).

2. Karena industri domestik negara pengimpor mengalami kerugian yang serius akibat meningkatnya impor produk sejenis, maka negara itu boleh tidak tunduk pada prinsip ini (Pasal XIX GATT 1947).

3. Demi kepentingan kesehatan publik, keselamatan dan keamanan nasional negara pengimpor, negara tersebut diizinkan untuk membebaskan diri dari kewajiban tunduk pada prinsip ini (pasal XX dan XXI GATT 1947).

1. Kesulitan neraca pembayaran dari negara anggota

195 Ibid. 196

Huala Adolf, Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional

(28)

Neraca pembayaran (Balance of Payment) adalah ringkasan pernyataan atau laporan yang pada intinya menyebutkan semua transaksi yang dilakukan oleh penduduk dari suatu negara dengan penduduk negara lain, dan kesemuanya dicatat dengan metode tertentu dalam kurun waktu tertentu, biasanya satu tahun kalender.197 Neraca pembayaran terdiri dari beberapa komponen. Komponen Pertama, adalah neraca perdagangan (balance of trade) yang merupakan selisih nilai ekspor dan impor barang. Neraca perdagangan apabila mengalami surplus, berarti nilai ekspor barang-barang melebihi nilai impornya. Komponen Kedua, adalah neraca jasa-jasa, yang merupakan selisih antara ekspor jasa dan impor jasa.

Komponen Ketiga, dalam neraca pembayaran adalah yang menyangkut lalu lintas modal atau capital account. Neraca modal merupakan selisih antara aliran modal masuk dan aliran modal keluar.198

Terhadap penerapan pembatasan kuantitatif disebabkan kesulitan neraca pembayaran dari negara anggota yang dalam hal ini diatur dalam Pasal XII (restrictions to safeguard the balance of payments) yang dalam ha ini juga harus memperhatikan ketentuan Pasal XIII (non-discriminatory administration of quantitative restrictions) dan Pasal XIV (exception to the rule of non-discrimination) GATT 1947. Menunjuk pada persyaratan dalam Pasal XII, XVIII huruf B GATT 1994 dan persyaratan dalam deklarasi 1979 mengenai kebijaksanaan perdagangan untuk tujuan neraca pembayaran (selanjutnya disebut

197

Salvatore, Ekonomi Internasional (selanjutnya disebut Buku II) (Jakarta: Erlangga, Edisi Kelima Jilid dua, 1996), hlm. 67.

198

(29)

deklarasi 1979), maka pembatasan kuantitatif melalui kuota dilaksanakan dengan memperhatikan199

a. Para anggota harus mengupayakan dihindarkannya penggunaan pembatasan kuantitatif untuk tujuan perbaikan neraca pembayaran.

;

Pengecualian hanya dibolehkan bila neraca pembayaran dalam keadaan yang kritis dimana kebijaksanaan harga tidak cukup untuk mengatasi kesulitan meraca pembayaran. Dalam hal seperti itu, Para anggota harus memberikan justifikasi yang jelas mengapa kebijaksanaan harga tidak cukup untuk mengatasi kesulitan negara pembayaran yang dihadapi. Para anggota yang melaksanakan pembatasan kuantitatif tersebut dalam konsultasi berikutnya harus menjelaskannya perkembangnnya dalam upaya mengurangi dampak kebijaksanaan tersebut terhadap pembatasan perdagangan. Disepakati bahwa terhadap satu jenis produk hanya boleh dikenakan satu jenis pembatasan impor.

b. Para anggota menyatakan kepastiannya bahwa pembatasan impor untuk tujuan perbaikan neraca pembayaran hanya boleh dilaksanakan untuk mengatur impor secara umum dan tidak lebih dari keperluan untuk mengatasi kesulitan neraca pembayaran.

Untuk tujuan mengatasi dampak proteksi yang berlebihan, kebijaksanaan pembatasan impor harus dilakukan secara transparan. Lembaga yang berwenang di negara pengimpor harus memberikan justifikasi serta kriteria yang jelas bagi ketentuan pembatasan. Sebagaimana diuraikan dalam Pasal XII ayat 3 dan Pasal XVII huruf B angka 10, khusus terhadap produk yang esensial, para anggota

199

“Persetujuan Umum Mengenai Tarif dan Perdagangan 1994”, kadi.kemendag.go.id/.../1501120513488943.doc, diakses pada 11 Maret 2016 Pukul 17.00 WIB, dilihat lebih jelas dalam lebih jelas lihat Article XII GATT 1994, “Restrictions to Safeguard the

(30)

dibolehkan memberikan pengecualian atau mengenakan pembatasan terhadap pelaksanaan ketentuan bea masuk tambahan menyeluruh atau terhadap kebijaksanaan lain yang ditujuan untuk mengatasi kesulitan neraca pembayaran. Yang dimaksud dengan produk esensial adalah produk kebutuhan pokok atau produk yang pengaruhnya besar terhadap usaha untuk mengatasi kesulitan neraca pembayaran seperti barang modal atau bahan input produksi. Dalam pelaksanaan pembatasan kuantitatif, bentuk perijinan impor yang sifatnya diskresioner dapat dilaksanakan hanya apabila tidak ada jalan lain dan disertai ketentuan bahwa kebijaksanaan tersebut akan dihapuskan secara progersif. Dalam menentukan besarnya nilai dan jumlah impor yang dibatasi, perlu disertai dengan justifikasi yang tepat.

c. Prosedur konsultasi dalam rangka neraca pembayaran, komite pembatasan-pembatasan dalam rangka kesulitan neraca pembayaran akan melaksanakan serangkaian konsultasi untuk menilai semua kebijaksanaan pembatasan impor yang dimaksudkan untuk mengatasi kesulitan neraca pembayaran.

(31)

d. Pemberitahuan Tertulis dan Pencatatan, Para anggota diharuskan melakukan notifikasi semua bentuk baru, perubahan maupun perluasan kebijaksanaan pembatasan impor yang ditujukan untuk mengatasi kesulitan neraca pembayaran.

Perubahan kebijaksanaan harus dinotifikasi paling lambat 30 hari sesudah pengumuman kebijaksanaan. Sekretariat organisasi perdagangan multilateral harus menerima notifikasi tahunan yang lengkap yaitu mencakup semua ketentuan perubahan dalam perundang-undangan, peraturan, kebijaksanaan serta pengumuman bagi publik. Notifikasi lengkap tersebut harus merupakan informasi yang selengkap mungkin yang dirinci per pos tarif, per jenis kebijaksanaan, kriteria yang digunakan dalam pelaksanaannya, cakupan produk serta pengaruhnya terhadap arus barang. Setiap anggota dapat mengajukan permintaan kepada komite untuk mengadakan evaluasi terhadap suatu notifikasi. Evaluasi tersebut dilakukan secara terbatas, yaitu hanya untuk memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai masalah khusus yang telah disampaikan dalam notifikasi tersebut atau untuk mempertimbangkan dapat tidaknya evaluasi dilakukan berdasar ketentuan dalam Pasal XII ayat 4(a) atau Pasal XVIII ayat 12(a) GATT 1994. Para anggota yang mengetahui bahwa suatu negara telah memberlakukan kebijaksanaan pembatasan impor untuk mengatasi kesulitan neraca pembayaran, dapat meminta perhatian Komite terhadap kebijaksanaan tersebut.

2. Terjadinya peningkatan impor secara signifikan

(32)

data.200Adapun sebab lonjakan impor ini menjadi penyebab dapat diterapkannya pembatasan kuantatif melalui kuota yang disebut dengan tindakan pengamanan perdagangan yang dibenarkan berdasarkan Pasal XIX GATT 1994 jika memenuhi segala persyaratan yang terkandung dalam pasal tersebut dan persyaratan yang ada didalam agreement on safeguard. Tujuan dari suatu tindakan pengamanan perdagangan adalah untuk memberikan kebebasan bagi industri domestik, dan untuk memberikan waktu bagi industri domestik untuk dapat beradaptasi terhadap kondisi pasar yang baru.201 Industri domestik disini diartikan sebagai para produsen secara keseluruhan yang memproduksi produk yang sejenis atau yang langsung bersaing, yang beroperasi didalam wilayah suatu anggota, atau yang hasil produksi kolektifnya atas produk sejenis atau produk yang secara langsung bersaingan merupakan bagian terbesar dalam seluruh produksi domestik produk-produk tertentu.202

Article XIX ketentuan umum memperbolehkan anggota-anggota GATT untuk menerapkan tindakan pengamanan dalam rangka melindungi industri dalam

Anggota WTO hanya bisa menerapkan tindakan pengamanan perdagangan selama tindakan tersebut diperlukan untuk mencegah atau memulihkan kerugian atau ancaman kerugian dan memberikan industri domestik kesempatan untuk memperbaiki diri (lihat Pasal 7 agreement on safeguards). Pada dasarnya pengaturan mengenai tindakan pengamanandalam GATT 1947 yang digunakan adalah ketentuan Article XIX tentang emergency action onimports of particular products.

200

M. Husein Sawit, Op. Cit., hlm. 183. 201

Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi, Op. Cit., hlm. 69-70.

202Soedjono Dirdjosisworo,

Kaidah-Kaidah Hukum Perdagangan Internasional versi

Organisasi Perdagangan Dunia (selanjutnya disebut Buku I) (Bandung: CV. Utomo, 2004), hlm

(33)

negeri tertentu dari peningkatan impor suatu barang yang menyebabkan, atau dicurigai akan menyebabkan kerugian yang serius terhadap industri yang bersangkutan. Timbulnya keadaan darurat, yaitu keadaan yang tidak dapat diduga sebelumnya merupakan syarat utama bagi dilaksanakannya kebijakan

safeguards.203

a. Persyaratan lonjakan impor.

Sejak tahun 1947 para negosiator telah membuat beberapa konsesi perdagangan antar mereka dan Pasal XIX disediakan untuk mengatasi hal yang tidak terduga sebelumnya oleh mereka yang disebabkan oleh adanya lonjakan impor yang mengganggu industri dalam negeri. Sebagaimana diatur dalam Pasal XIX GATT 1994 dan Pasal 2 agreement on safeguards, tindakan pengamanan perdagangan hanya dapat diterapkan bila tiga persyaratan telah terpenuhi, yaitu:

b. Persyaratan kerugian serius atau ancaman untuk itu.

c. Persyaratan hubungan kausal antara lonjakan impor dengan kerugian serius.

a. Lonjakan impor204

Persyaratan mengenai “lonjakan Impor” haruslah terkini, tiba-tiba, seperti dalam jangka waktu yang relatif singkat; tajam (sharp); dan signifikan (lihat Pasal 2 agreement on safeguards dan Pasal XIX GATT 1994). Terlebih lagi, lonjakan impor tersebut harus tidak dapat diprediksi sebelumnya (lihat Pasal XIX GATT 1994). Dengan cara ini dapat ditentukan apakah suatu kondisi dalam kenyataannya merupakan suatu kondisi yang darurat. Jika lonjakan impor telah terjadi beberapa waktu yang lalu, atau telah terjadi selama periode yang panjang,

203

“Prinsip Pengaturan Safeguards”, WIB.

204

(34)

atau kejadiannya hanya sebatas pada waktu tertentu, atau kejadian ini telah dapat diprediksi sebelumnya, maka tidak dapat dikatakan bahwa telah ada kondisi darurat sesuai dengan apa yang disyaratkan dalam Pasal XIX GATT 1994 dan

(35)

b. Kerugian yang Serius205

Agar pengenaan suatu tindakan pengamanan perdagangan dapat diperbolehkan, industri domestik harus menderita kerugian yang serius atau mendapat ancaman untuk itu. “kerugian yang serius” terjadi apabila ada kerugian menyeluruh yang signifikan yang diderita oleh industri domestik (lihat Pasal 4

agreement in safeguards). Untuk menentukan apakah terdapat ancaman “kerugian yang serius”, hal-hal ini harus diperhatikan bahwa:

1) Nilai dan jumlah dari lonjakan impor, dari barang yang dipermasalahkan, dilihat secara absolut atau relatif.

2) Pangsa pasar domestik yang diambil oleh lonjakan impor tersebut. 3) Perubahan tingkatan penjualan, produksi, kemampuan untuk untuk

berproduksi, kapasitas yang digunakan, keuntungan dan kerugian, dan tenaga kerja.

c. Hubungan Kausal206

Ada dua tes yang dilakukan untuk membuktikan adanya hubungan kausal yaitu: 1) Pembuktian adanya hubungan kausal antara lonjakan impor dengan

kerugian yangs serius atau ancaman untuk itu (elemen hubungan kausal)

2) Identifikasi kerugian yang ditimbulkan akibat faktor-faktor lain selain faktor lonjakan impor dan tidak mengatribusi/membebankan kerugian ini terhadap impor yang dipermasalahkan (elemen non-atribusi).

Artinya, terjadinya peningkatan impor secara signifikan merupakan salah satu keadaan dapat diberlakukannya hambatan kuantitatif melalui kuota yang

205

Ibid., hlm. 73-74. 206

(36)
(37)

BAB IV

KEBIJAKAN HAMBATAN KUANTITATIF DALAM UNDANG-UNDANG

NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN

A.Pengaturan Kebijakan Perdagangan Luar Negeri dalam UU No. 7 Tahun

2014

Perdagangan luar negeri dalam UU Perdagangan diartikan dalam Pasal 1 angka 3 yakni perdagangan yang mencakup kegiatan ekspor dan/atau impor atas barang dan/atau perdagangan jasa yang melampaui batas wilayah negara.207 Secara sederhana, perdagangan internasional ini merupakan jual beli internasional antara pihak penjual dengan pembeli tidak berada dalam satu negara sehingga harga atau barang harus dikirim dari satu neagra ke negara lain.208 Maka, dengan masuknya rezim perdagangan bebas yang berarti suatu pengaturan kebijakan pemerintah suatu negara yang tidak mendiskriminasikan impor dan mencampuri urusan ekspor dengan penerapan tarif, subsidi ataupun kuota.209 Yang berarti pula mengarah pada pengurangan berbagai hambatan perdagangan dengan menekankan pada semangat keterbukaan dan kemitraan menuju sistem perdagangan yang terbuka.210

207Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan. 208

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 283.

209

Serian Wijatno dan Ariawan Gunadi, Free Trade : in International Trade Law

Perspective (Jakarta: PT Gramedia, 2014), hlm. 1.

210

Zulkarnain Djamin, Dampak Globalisasi terhadap Ekonomi dan Perdagangan Luar

Negeri Indonesia (Jakarta: UI Press, 1994), hlm. 81.

(38)

“Pemerintah mengatur kegiatan perdagangan luar negeri melalui kebijakan dan pengendalian di bidang ekspor dan impor.”

Adapun kebijakan dan pengendalian perdagangan luar negeri diarahkan untuk peningkatan daya saing produk ekspor Indonesia, peningkatan dan perluasan akses pasar diluar negeri serta peningkatan kemampuan eksportir dan importir sehingga menjadi pelaku usaha yang andal.211

Adapun ruang lingkup daripada kebijakan perdagangan luar negeri paling sedikit meliputi:212

a) peningkatan jumlah dan jenis serta nilai tambah produk ekspor;

b) pengharmonisasian standar dan prosedur kegiatan perdagangan dengan negara mitra dagang;

c) penguatan kelembagaan di sektor perdagangan luar negeri;

d) pengembangan sarana dan prasarana penunjang perdagangan luar negeri; dan

e) pelindungan dan pengamanan kepentingan nasional dari dampak negatif perdagangan luar negeri.

Maka, dari pengertian perdagangan luar negeri diatas, terdapat dua kegiatan penting yakni ekspor dan impor.

1. Pengaturan ekspor

Ekspor adalah kegiatan menjual produk dari suatu negara kenegara lain melewati batas terluar wilayah kepabeanan suatu negara, dengan tujuan mendapatkan devisa yang sangat dibutuhkan negara, menciptakan lapangan kerja bagi pasar tenaga kerja domestik, mendapatkan pemasukan bea keluar dan pajak

211

Lihat Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. 212

(39)

lainnya, serta menjaga keseimbangan antara arus barang dan arus uang beredar di dalam negeri.213 Adapun kebijakan perdagangan internasional dibidang ekspor adalah berbagai tindakan dan peraturan yang dikeluarkan pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang akan mempengaruhi struktur, komposisi, dan arah transaksi serta kelancaran usaha untuk peningkatan ekspor suatu negara.214

Kebijakan perdagangan internasional di bidang ekspor dikelompokkan menjadi dua macam kebijakan sebagai berikut:215

a. Kebijakan ekspor di dalam negeri

1) Kebijakan perpajakan dalam bentuk pembebasan, keringanan, pengembalian pajak ataupun pengenaan pajak ekspor/PET untuk barang-barang ekspor tertentu. Contoh: pajak ekspor atas CPO (Crude Palm Oil).

2) Fasilitas kredit perbankan yang murah untuk medorong peningkatan ekspor barang-barang tertentu.

3) Penetapan prosedur/tata laksana ekspor yang relatif mudah. 4) Pemberian subsidi ekspor, seperti pemberian sertifikat ekspor. 5) Pembentukan asosiasi eksportir.

6) Pembentukan kelembagaan seperti bounded warehaouse (kawasan berikat nusantara), bounded island Batam, export processing zone, dan lain-lain.

213

Herman Budi Sasono, Manajemen Ekspor dan Perdagangan Internasional (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2013), hlm. 7.

214E.A. Ab’rachim,

Perdagangan Internasional (Jakarta: Nobel Edumedia, 2009), hlm.

13. 215

(40)

7) Larangan/pembatasan ekspor, misalnya larangan ekspor CPO oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan.

b. Kebijakan ekspor luar negeri

1) Pembentukan International Trade Promotion Centre (ITPC) diberbagai negara, seperti Jepang (Tokyo), Eropa, AS, dan lain-lain.

2) Pemanfaatan general system of preferency, yaitu fasilitas keringanan bea masuk yang diberikan negara-negara industri unutk barang manufaktur yang berasal dari negara yang sedang berkembang seperti Indonesia sebagai salah satu UNCTAD (United Nation Conference on Trade and Development).

3) Menjadi anggota commodity association of producer, seperti OPEC dan lain-lain.

4) Menjadi anggota commodity agreement between producer and consumer, seperti ICO (International Coffee Organization), MFA (Multi Fibre Agreement), dan lain-lain.

Jika merujuk pada UU Perdangan, pengaturan mengenai ekspor adalah

a. Pengaturan bahwa ekspor barang dilakukan oleh pelaku usaha yang telah terdaftar dan ditetapkan sebagai eksportir kecuali yang ditentukan lain oleh menteri. Adapun Eksportir yang dikecualikan dari kewajiban untuk mendapatkan penerapan sebagai eksportir antara lain perwakilan negara asing, instansi pemerintah untuk tujuan kemanusiaan, Barang contoh untuk pameran atau pemasaran, dan Barang untuk kepentingan penelitian.216

216Lihat Pasal 42 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan beserta penjelasan Pasal 42 Undang-Undang ini juga aturan pelaksananya Peraturan Menteri Pedagangan Nomor 13/M-DAG/PER/3/2012 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor.

(41)

Pedagangan Nomor 13/M-DAG/PER/3/2012 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor.

b. Bahwa eksportir bertanggungjawab sepenuhnya terhadap barang yang diekspor. Yang dimaksud dengan “Eksportir bertanggung jawab sepenuhnya terhadap Barang yang diekspor” adalah Eksportir bertanggung jawab atas segala akibat yang timbul atas Barang yang diekspor. Dalam praktik dimungkinkan eksportir melakukan ekspor melalui agen perantara atau melibatkan pihak lain dalam mengekspor Barang, tetapi tanggungjawab terhadap Barang yang diekspor tetap berada pada pelaku ssaha yang telah ditetapkan sebagai eksportir oleh menteri.217

c. Eksportir yang tidak bertanggung jawab terhadap barang yang diekspor, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan perijinan, persetujuan, pengakuan, dan/atau penetapan di bidang perdagangan.218

d. Eksportir yang melakukan tindakan penyalahgunaan atas penetapan sebagai eksportir sebagaimana dimaksud sebelumnya dikenai sanksi administratif berupa pembatalan penetapan sebagai eksportir.219

2. Pengaturan impor

Impor adalah kegiatan memasukkan barang kedaerah pabean yang dalam hal ini adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi

217Lihat Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan beserta penjelasan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang ini juga aturan pelaksananya Peraturan Menteri Pedagangan Nomor 13/M-DAG/PER/3/2012 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor.

218Lihat Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan beserta penjelasan Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang ini juga aturan pelaksananya Peraturan Menteri Pedagangan Nomor 13/M-DAG/PER/3/2012 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor.

(42)

wilayah darat, perairan dan ruang diatasnya, serta tempat tertentu di zona ekonomi ekslusif dan landas kontinen yang didalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.220 Sedangkan kebijakan perdagangan internasional di bidang impor adalah tindakan dan pengaturan yang dikeluarkan pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang akan mempengaruhi struktur, komposisi dan kelancaran usaha untuk melindungi/mendorong pertumbuhan industri dalam negeri dan penghematan devisa.221

Kebijakan perdagangan internasional dibidang impor dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:222

a. Kebijakan Tariff Barrier

Kebijakan tariff barrier dalam bentuk bea masuk adalah sebagai berikut:

Pertama, tarif rendah adalah antara 0% s.d 5% dikenakan untuk bahan kebutuhan pokok dan vital, seperti beras, mesin-mesin vital, alat-alat militer/pertahanan/keamanan dan lain-lain.Kedua, tarif sedang adalah Antara > 5% s.d 20% dikenakan untuk barang setengah jadi dan barang-barang lain yang belum cukup produksi didalam negeri.Ketiga, tarif tinggi adalah diatas 20% dikenakan untuk barang-barang mewah dan barang-barang lain yang sudah cukup diproduksi didalam negeri dan bukan barang kebutuhan pokok.

b. Kebijakan non-tariff barrier

Kebijakan non-tariff barrier adalah sebagai kebijakan perdagangan selain bea masuk yang dapat menimbulkan distorsi, sehingga mengurangi potensi

220

Lihat Pasal 1 angka (15) dan (18) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan juga aturan pelaksananya Peraturan Menteri Pedagangan Nomor 48/M-DAG/PER/7/2015 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor.

221

E.A. Ab’rachim, Op. Cit., hlm. 15. 222

(43)

manfaat perdagangan internasional. Hal ini dapat dilakukan dalam bentuk kuota, subsidi, dan lain-lain.

Adapun pengaturan impor yang terdapat dalam UU Perdagangan yakni: a. Impor barang hanya dapat dilakukan oleh importir yang memiliki pengenal

sebagai importir berdasarkan penetapan menteri. Dalam hal tertentu yakni adalah impor yang dilakukan tidak untuk diperdagangkan atau dipindahtangankan dan tidak dilakukan secara terus-menerus, impor barang dapat dilakukan oleh importir yang tidak memiliki pengenal sebagai importir.223

b. Importir bertanggung jawab sepenuhnya terhadap barang yang diimpor bermakna importir dianggap sebagai produsen atas barang yang diimpornya sehingga importir bertanggung jawab atas segala akibat yang timbul atas barang yang diimpor. Dalam praktik dimungkinkan importir melakukan impor melalui agen perantara atau melibatkan pihak lain dalam mengimpor barang, tetapi tanggung jawab terhadap barang yang diimpor tetap berada pada Pelaku Usaha yang memiliki pengenal sebagai importir.224

c. Importir yang tidak bertanggung jawab atas barang yang diimpor dikenai sanksi administratif berupa pencabutan perizinan, persetujuan, pengakuan, dan/atau penetapan dibidang perdagangan.225

223

Lihat Pasal 45 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan juga aturan pelaksananya Peraturan Menteri Pedagangan Nomor 48/M-DAG/PER/7/2015 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor.

224

Lihat Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan juga aturan pelaksananya Peraturan Menteri Pedagangan Nomor 48/M-DAG/PER/7/2015 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor.

(44)

d. Setiap importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru. Namun, dalam hal tertentu yakni dalam hal barang yang dibutuhkan oleh pelaku usaha berupa barang modal bukan baru yang belum dapat dipenuhi dari sumber dalam negeri sehingga perlu diimpor dalam rangka proses produksi industri untuk tujuan pengembangan ekspor, peningkatan daya saing, efisiensi usaha, investasi dan relokasi industri, pembangunan infrastruktur, dan/atau diekspor kembali. Selain itu, dalam hal terjadi bencana alam dibutuhkan barang atau peralatan dalam kondisi tidak baru dalam rangka pemulihan dan pembangunan kembali sebagai akibat bencana alam serta barang bukan baru untuk keperluan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, menteri dapat menetapkan barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru.226

(45)

B.Pengendalian Perdagangan Luar Negeri

Pengendalian perdagangan luar negeri adalah merupakan kontrol atas perdagangan yang berarti bahwa berbagai bentuk pembatasan terhadap kelancaran arus perdagangan internasional seperti tarif, kuota, ketentuan kebijakan perdagangan lainnya.227 Dibutuhkannya pengendalian dalam perdagangan luar negeri yang pada hakikatnya terjadinya perdagangan lintas negara disebabkan oleh kemajuan globalisasi yang tak terbendung serta meruntuhkan segala macam dinding.228 Maka dibutuhkanlah suatu pengendalian perdagangan luar negeri yang dapat dilakukan melalui cperijinan, standar, dan pelarangan dan pembatasan.229

1. Perizinan

Dalam hal perizinan perdagangan luar negeri, diatur dalam pasal 49 UU Perdagangan yang mengatur:230

a. Untuk kegiatan ekspor dan impor, menteri mewajibkan eksportir dan importir untuk memiliki perijinan yang dapat berupa persetujuan, pendaftaran, penetapan, dan/atau pengakuan.

b. Menteri mewajibkan eksportir dan importir untuk memiliki perijinan dalam melakukan ekspor sementara dan impor sementara.

c. Menteri dapat melimpahkan atau mendelegasikan pemberian perizinan kepada pemerintah daerah atau instansi teknis tertentu.

d. Dalam rangka peningkatan daya saing nasional menteri dapat mengusulkan keringanan atau penambahan pembebanan bea masuk terhadap barang impor sementara.

227

Salvatore (Buku II), Op. Cit., hlm. 248. 228

Ian Bremmer, Akhir Pasar Bebas (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 5.

229

Pasal 38 ayat 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. 230

(46)

Aturan perijinan perdagangan luar negeri ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 30/M-DAG/PER/6/2009 tentang Jenis Perijinan Ekspor dan Impor, Prosedur Operasi Standar (Standard Operating Procedure) dan Tingkat Layanan (Service Level Arrangement) dengan Sistem Elektronik melalui INATRADE dalam Kerangka

Indonesia National Single Window dan Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Nomor 14/DAGLU/KEP/8/2009 tentang Dokumen Persetujuan Hak Akses INATRADE dalam Kerangka Indonesia National Single Window

2. Standardisasi barang

Standarisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan, memelihara, memberlakukan, dan mengawasi Standar yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua pihak.231 Adapun standar disini diartikan sebagai persyaratan teknis atau sesuatu yang dibakukan, termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak/pemerintah/keputusan internasional yang terkait dengan memperhatikan syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman, serta perkembangan pada masa kini dan masa depan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.232

Salah satu alat pendorong untuk menciptakan keunggulan kompetitif adalah peningkatan mutu dan efisiensi dengan memfokuskan pada kegiatan standarisasi. Daya saing perdagangan suatu negara di era perdagangan bebas tidak hanya bergantung pada instrumen tarif semata, tetapi juga harus didukung oleh kemampuan teknologi, industri dan inovasi untuk menghasilkan barang dan jasa

231

Pasal 1 angka (9) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. 232

(47)

yang memenuhi standar sehingga dapat meningkatkan akses pasar baik di dalam maupun luar negeri. Persaingan perdagangan internasional serta laju perkembangan teknologi dan industri menempatkan standar dan penilaian kesesuaian pada peran penting, baik dari sisi manfaat komersial maupun sebagai instrument daya saing barang dan jasa nasional.233

Perhatian dunia terhadap standardisasi sebagai salah satu instrumen dalam memperlancar arus perdagangan semakin meningkat pelaksanaanya. Untuk memudahkan transaksi perdagangan, standar yang diacu seyogyanya berasal dari standar yang disusun oleh lembaga standardisasi internasional seperti ISO (Internasional Organization For Standardization), IEC (International Electrotechnical Commission) dan organisasi standardisasi dunia lainnya. Lahirnya tuntutan akan kepastian dan jaminan kualitas barang dan jasa dikembangkan melalui regulasi teknis yang berdasarkan standar untuk memberikan perlindungan konsumen dari aspek kesehatan, keselamatan, keamanan dan kelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan WTO yaitu TBT (Technical Barier to Trade) dan SPS (Sanitary and Phytosanitary Agreements).234

Adapun pengaturan Standarisasi menurut UU Perdagangan adalah:

Adapun di Indonesia standarisasi ini dikenal dengan SNI yakni standar yang ditetapkan oleh lembaga yang menyelenggarakan pengembangan dan pembinaan di bidang standardisasi.

235

a. Barang yang diperdagangkan di dalam negeri harus memenuhi: 1) SNI yang telah diberlakukan secara wajib; atau

233

“Profil Direktorat Standarisasi”, Direktorat Standarisasi, 15.05 WIB.

234 Ibid. 235

(48)

2) Persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib.

b. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI yang telah diberlakukan secara wajib atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib.

c. Pemberlakuan SNI atau persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada poin pertama ditetapkan oleh menteri atau menteri sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya.hukumonline.com

d. Pemberlakuan SNI atau persyaratan teknis dilakukan dengan mempertimbangkan aspek:

1) keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup; 2) daya saing produsen nasional dan persaingan usaha yang sehat; 3) kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional; dan/atau 4) kesiapan infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian.

e. Barang yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib, harus dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian atau dilengkapi sertifikat kesesuaian yang diakui oleh pemerintah.

f. Barang yang diperdagangkan dan belum diberlakukan SNI secara wajib dapat dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian sepanjang telah dibuktikan dengan sertifikat produk penggunaan tanda SNI atau sertifikat kesesuaian.

(49)

SNI, tanda kesesuaian, atau tidak melengkapi sertifikat kesesuaian dikenai sanksi administratif berupa penarikan barang dari distribusi. h. Tanda SNI, tanda kesesuaian, atau sertifikat kesesuaian diterbitkan oleh

lembaga penilaian kesesuaian yang terakreditasi oleh lembaga akreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

i. Standar atau penilaian kesesuaian yang ditetapkan oleh negara lain diakui oleh Pemerintah berdasarkan perjanjian saling pengakuan antarnegara.

Pengaturan lebih lanjut dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian.

3. Larangan dan pembatasan ekspor dan impor

Larangan dan pembatasan ekspor dan impor pada dasarnya bertentangan dengan konsep perdagangan bebas yang menghendaki hambatan perdagangan yang seminimal mungkin. Dan semua barang pada hakikatnya dapat diekspor dan diimpor kecuali yang dilarang, dibatasi atau ditentukan lain oleh Undang-Undang.236

Adapun alasan pemerintah dapat melarang ekspor dan impor barang adalah dengan alasan:237

a. untuk melindungi keamanan nasional atau kepentingan umum, termasuk sosial, budaya, dan moral masyarakat;

b. untuk melindungi hak kekayaan intelektual; dan/atau

c. untuk melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup.

236

Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. 237

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian, Indonesia menerapkan pembatasan ekspor Minyak bumi dengan domestic market obligation tidak melanggar ketentuan Pasal XI GATT yang sudah sesuai

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan hasil pemberlakuan standardisasi menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan yang dibandingkan dengan Agreement

Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan Pasal 1 angka 10.. total produksi Barang Sejenis

Pelindungan dan Pengamanan Perdagangan diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang mengatur tentang pengamanan kegiatan perdagangan yang

pada tahun 2012 dengan judul “Hukum Antidumping Sebagai Pelindung Produk Industri Dalam Negeri Dalam Rangka ACFTA (Asean Free Trade Area)” yang mana skripsi ini membahas

Kedua, Perkembangan perdagangan internasional merupakan hubungan perdagangan lintas negara yang tertib dengan rezim GATT/ WTO Ketiga, Perbandingan sistem penyelesaian

 produk dari suatu negara yang diimpor ke dalam suatu negara harus diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri.. • Prinsip National Treatment (Pasal