• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional : Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku;

Adolf, Huala, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2011

---, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Bandung: Sinar Grafika, 2004

Braithwaite, John dan Peter Drahos, Global Business Regulation, New York: Cambridge University Press, 2000

Bossche, Peter van den, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi (ed), Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010

Bhala, Raj, International trade law, Theory and Practice, New York: Lexis Publishing, 2001

Batubara, Suleman dan Orinton Purba, Arbitrase Internasional Penyelesaian Sengketa Investasi Asing Melalui ICSID, UNCITRAL, dan SIAC, Jakarta: Raih Asa Perkasa, 2013

Chandrawulan, An An, Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum Perdagangan Internasional dan Hukum Penanaman Modal, Bandung : PT. Alumni, 2011

Carter, Barry E. dan Philip R. Trimble, International Law, London: Little, Brown and Company, 1991

Friedman, Lawrence M., Legal Cultur and the Welfare State: Law and Society An Introduction, Cambridge: Harvard University Press, 2000

Greehalgh, Christine dan Mark Rogers, Innovation, Intellectual Property, and Economic Growth, Princeton: Princeton University Press, 2010

Garner, Bryan A., Black’s Law Dictionary, St. Paul: Thomson West, 2004 Gary Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Jakarta: Proyek ELIPS, 1999 Hata, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO Aspek-Aspek

(2)

Ismail, Maqdir, Pengantar Praktek Arbitrase di Indonesia, Malaysia, Singapura dan Australia, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2007

Irawan, Candra, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution) Di Indonesia¸ Bandung: Mandar Maju, 2010

Kartadjoemena, H.S., Substansi Perjanjian GATT/WTO Dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Sistem, Kelembagaan, Prosedur Implementasi, dan Kepentingan Negara Berkembang, Jakarta: UI-Press, 2000

---., GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, Jakarta: UI Press, 1997

Khor, Martin, The WTO, The Post-Doha Agenda and the Future of the Trade System; A Development Perspective, Penang: Third World Network, 2002 Nasution, Bismar, Hukum Kegiatan Ekonomi, Bandung: Books Terrace &

Library, 2007

Nurdin, Indonesia Dalam Lipatan Ekonomi Global [GATT/WTO], Banda Aceh: Sophia Center, 2007

Purba, Victor, Kontrak Jual Beli Barang Internasional (Konvensi Vienna 1980), Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum Program Pascasarjana, 2002

Petersmann, Ernst-Ulrich, The GATT/WTO Dispute Settlement System International Law, International Organizations and Dispute Settlement, Boston: Kluwer Law International, 1997

Pandika, Rusli, Sanksi Dagang Unilateral di Bawah Sistem Hukum WTO, Bandung : PT. Alumni, 2010

Pangestu, Mari, Sjahrir, dan Ari A. Perdana (ed), Indonesia dan Tantangan Ekonomi Global, Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 2003

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2001

(3)

Sitompul, Zulkarnain, Dilema Investasi Asing, (Bandung: Books Terrace & Library, 2008

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: CV. Rajawali, 1986

Sudiarto, H. dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004 Suwardi, Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: UI Press,

2006

Sood, Muhammad, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: Rajawali Pers, 2011

Stiglitz, Joseph E., Making Globalization Work [Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang Lebih Adil], diterjemahkan oleh Edrijani Azwaldi, Bandung, PT Mizan Pustaka, 2007

United Nations, Handbook on the Peaceful Settlement of Disputes Between States, New York: United Nations Publication, 1992

Winarta, Frans Hendra, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2013

Yerxa, Rufus dan Bruce Wilson, ed, Key Issues In WTO Dispute Settlement The First Ten Years, Cambridge: Cambridge University Press, 2005

B. Artikel, Jurnal, Makalah;

Dewa Gede Sudika Mangku, “Suatu Kajian Umum Tentang Penyelesaian

Sengketa Internasional Termasuk di Dalam Tubuh ASEAN”, Perspektif, Volume XVII No. 3 Tahun 2012 Edisi September

Freddy Josep Pelawi, “Retaliasi Dalam Kerangka Penyelesaian Sengketa WTO”, EDISI-46/KPI/2007

James E. Darton, “The Coming of The Global Trademark: The Effect of Trips On

The Well-Known Marks Exception To The Principle of Territoriality”, Michigan State International Law Review, Volume 11, 2011

(4)

“Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes”

(Annex 2) Final Act Embondying the Results of the Uruguay Round of Multilateral trade Negotiations Marakesh: GATT Secretariat, 15 April, 1994. Doc. TNC/UR-94-0083.

C. Internet;

http://zaenalmuttaqin-enal.blogspot.com/2013/07/general-agreement-on-tariffs-and-trade.html, diakses pada tanggal 06 Januari 2014 pukul 17.27 WIB http://www.deplu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=MultilateralCooperation&I

(5)

BAB III

PERKEMBANGAN SISTEM DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF

GATT DAN WTO

A. Perkembangan GATT dan WTO Sebagai Sistem Perdagangan Internasional

1. Sejarah Singkat GATT dan WTO

Hubungan perdagangan antarnegara yang dikenal dengan perdagangan internasional mengalami perkembangan yang pesat dari waktu ke waktu. Dinamika perdagangan internasional diikuti dengan berbagai permasalahan yang kompleks sebagai konsekuensi dari suatu hubungan perdagangan yang wajar terjadi dalam dunia bisnis. Ciri khas perdagangan internasional adalah adanya hubungan dagang yang dilakukan antarlintas batas negara-negara yang dilakukan oleh para pelaku usaha dengan mengikuti suatu sistem tertentu dan spesifik. Jika berbicara tentang perdagangan internasional, hal itu tidak akan lepas dari eksistensi suatu sistem. Dalam perdagangan internasional, eksistensi suatu sistem merupakan patron yang membentuk dan mengarahkan kegiatan-kegiatan perdagangan ke dalam tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan.102

Dalam upaya membangun hubungan perdagangan lintas negara yang tertib, perlu dibuat ketentuan-ketentuan yang berupa aturan-aturan hukum yang bersifat mengatur yang diterima sebagai suatu kesepakatan bersama yang

102

(6)

bertujuan menjamin agar terciptanya suatu perdagangan yang fair. Aturan hukum yang dimaksud berfungsi sebagai acuan (guidance) yang berlaku secara umum yang harus ditaati dan diawasi dan diberlakukan secara tegas untuk megeliminasi atau mengurangi penyimpangan-penyimpangan yang dapat terjadi dalam hubungan perdagangan internasional. Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah adanya eksistensi lembaga/organisasi yang memiliki kekuatan hukum yang mampu mengatur segala masalah yang terkait dalam perdagangan internasional. Keinginan lahirnya suatu organisasi perdagangan yang bersifat multilateral telah lama timbul untuk mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan perdagangan global yang melibatkan kepentingan negara-negara di dunia yang memiliki komitmen bersama mewujudkan perdagangan internasional yang fair dan adil.103

Untuk mewujudkan integrasi sistem perdagangan dunia, beberapa negara besar mencoba untuk membentuk organisasi perdagangan dunia yang berfungsi untuk mengatur dan mengawasi suatu sistem perdagangan dunia yang ideal, yang dimulai dari upaya pembentukan International Trade Organization (ITO), General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1947, sampai terbentuknya World Trade Organization (WTO). Upaya pembentukan organisasi perdagangan dunia ini mencerminkan adanya keinginan yang kuat untuk mewujudkan suatu sistem perdagangan yang fair.104

The Havana Charter atau yang disebut Piagam Havana melahirkan International Trade Law (ITO). Piagam tersebut dinegosiasikan pada saat

103

Ibid, hal 2 104

(7)

konferensi PBB mengenai perdagangan dan pekerjaan yang diselenggarakan di Havana tanggal 21 November 1947 sampai dari 24 Maret 1948. Di dalam piagam tersebut, ketentuan yang tercakup berhubungan dengan pekerjaan dan kegiatan ekonomi, pembangunan ekonomi dan rekonstruksi, kebijakan perdagangan, praktik perdagangan terbatas, perjanjian komoditas antarpemerintah, serta pembentukan ITO. ITO dijadikan sebagai pilar ketiga dalam struktur kelembagaan suatu badan-badan khusus yang dirancang untuk mempromosikan rekonstruksi ekonomi pada pasca perang. Di samping The International Monetary Fund (IMF) dan juga The International Bank for Reconstruction and Development, peran dari ITO adalah untuk membawa pembentukan kembali dan juga perluasan dari perdagangan dunia. Meskipun demikian, Piagam Havana tidak diberlakukan, maka ITO gagal diwujudkan. 105

ITO itu sendiri tidak dapat terwujud karena Kongres Amerika Serikat tidak dapat menyetujui teks Piagam ITO ketika Presiden Amerika Serikat menyerahkan teks kepada kongres untuk memperoleh persetujuan. Setelah berkali-kali diusahakan oleh pihak eksekutif Amerika Serikat, pada tahun 1951, pertanda semakin menunjukkan secara jelas bahwa kongres tidak akan menyetujuinya. Dengan demikian, Presiden Amerika Serikat Harry Truman menarik kembali usulan ratifikasi Piagam Havana (Havana Charter).106 Kegagalan dari Piagam Havana untuk diberlakukan meninggalkan kekosongan dalam hal penyelenggaraan hubungan ekonomi pada periode pasca perang. 107

105

Oliver Long, Law and Its Limitations in The GATT Multilateral Trade System, (Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1985), hal 1

106

Christhophorus Barutu, Opcit, hal 5 107

(8)

Akibat kegagalan didirikannya ITO, terdapat juga suatu kekosongan kelembagaan pada tingkat internasional di bidang perdagangan. Untuk mengisi kekosongan kelembagaan perdagangan pada tingkat Internasional, lahirlah The Agreement on Tariffs and Trade (GATT). GATT atau Persetujuan Umum Mengenai Tarif dan Perdagangan adalah suatu perjanjian internasional di bidang perdagangan internasional yang mengikat lebih dari 120 negara. Keseluruhan negara ini memainkan peranan sekitar 90% dari produk dunia. GATT yang berlaku sejak 1948 bukanlah suatu organisasi dan hanya merupakan persetujuan multilateral atau treaty yang berisi ketentuan dan disiplin dalam mengatur perilaku-perilaku negara dalam kegiatan perdagangan internasional.108

Masalah-masalah perdagangan dalam GATT diselesaikan melalui serangkaian perundingan multilateral yang juga dikenal dengan nama Putaran Perdagangan (Trade Round) untuk mempercepat terwujudnya liberalisasi perdagangan internasional. Dalam GATT, ada beberapa kali diadakan Putaran Perdagangan sebelum WTO terbentuk. Adapun putaran-putaran dalam perdagangan, yaitu Putaran Jenewa tahun 1947 (23 negara peserta), Putaran Annecy tahun 1949 (13 negara peserta), Putaran Torquay tahun 1950-1951 (33 negara peserta), Putaran Jenewa tahun 1956 (26 negara peserta), Putaran Dillon tahun 1960-1961 (26 negara peserta), Putaran Kennedy tahun 1964-1967 (62 negara peserta), Putaran Tokyo tahun 1973-1979 (102 negara peserta), Putaran

108

(9)

Uruguay tahun 1986-1994 (123 negara peserta), dan Putaran Doha tahun 2001-2006 (142 negara peserta).109

Pada tanggal 15 April 1994 lebih dari 100 Menteri Perdagangan dunia di Maroko untuk menandatangani Putaran Uruguay sebagai kesepakatan perdagangan multilateral. Pada saat yang sama mereka juga mengesahkan suatu rencana masa depan untuk mengusulkan suatu Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) yang di dalamnya meliputi suatu kerangka kerja (frame work) umum untuk melakukan pendekatan terhadap isu-isu perdagangan dan lingkungan. Setelah melalui proses serangkaian perundingan yang panjang dan berbagai konsultasi serta lobi-lobi pendekatan yang dilakukan atas sejumlah draft-draft usulan, akhirnya pada Pertemuan Tingkat Menteri Contracting Parties GATT di Marrakesh, Maroko tanggal 12 sampai 15 April 1994 disahkan Final Act 15 April 1994 tentang Pembentukan dan tanggal berlakunya World Trade Organization (WTO) dan terbuka bagi ratifikasi oleh negara-negara dan direncanakan mulai berlaku efektif 1 Januari 1995. WTO pada kenyataannya merupakan kelanjutan dan pengembangan dari GATT.110

WTO pada dasarnya tidak berhubungan dengan dengan perilaku bisnis privat/swasta., namun WTO hanya berhubungan dengan tindakan pemerintah, membangun disiplin pada instrumen-instrumen kebijakan perdagangan seperti tarif, kuota, subsidi, atau perdagangan antarnegara. dengan demikian, WTO adalah pengatur dari tindakan regulasi pemerintah yang mempengaruhi perdagangan dan kondisi persaingan yang dihadapi produk impor di pasar

109

Ibid, hal 10 110

(10)

domestik. dalam hal ini hal tersebut tidak berbeda dengan GATT.111 Namun WTO tidak seperti perwujudan sebelumnya yaitu ITO. ITO tidak termasuk dalam lingkup isu-isu kontroversial seperti standar tenaga kerja, atau praktik perdagangan yang dibatasi.112

2. Hubungan GATT dan WTO

WTO yang merupakan kelanjutan dari GATT, pada dasarnya memiliki prinsip-prinsip dan tujuan yang sama dalam menciptakan ketertiban dalam perdagangan internasional. Namun, ada beberapa perbedaan Antara GATT dan WTO. Perbedaan utama GATT dengan WTO antara lain:113

1. GATT bersifat ad hoc dan sementara waktu. Persetujuan umum tidak pernah diratifikasi oleh parlemen negara anggota dan tidak mengandung ketentuan bagi penciptaan suatu organisasi,

2. WTO menjadi “anggota” (members). GATT secara resmi merupakan suatu teks legal,

3. GATT hanya memasukkan perdagangan barang. WTO mencakup, baik barang maupun jasa dan kekayaan intelektual,

4. Sistem penyelesaian sengketa WTO lebih cepat dan lebih otomatis daripada sistem GATT yang lama.

111

Bernard Hoekman dan Michel Kostecki, The Political Economy of The World Trading System, (New York: Oxford University Press, 1995), hal 12

112

Deborah Z. Cass, The Constitutionalization of The World Trade Organization Legitimacy, Democracy, and Community in The International Trading System, (New York: Oxford University Press, 2005), hal 12

113

(11)

5. WTO dan persetujuan-persetujuan di dalamnya bersifat permanen, dan sebagai organisasi internasional, WTO mempunyai aturan-aturan yang pasti dan diratifikasi oleh negara-negara anggotanya. Persetujuan-persetujuan WTO memuat bagaimana WTO berfungsi.

Perbedaan lain Antara GATT dan WTO adalah bahwa GATT hanyalah sekumpulan peraturan perdagangan yang apabila terjadi persengketaan antar anggota, GATT tidak dimungkinkan untuk dapat menyelesaikannya karena dalam GATT tidak terdapat lembaga penyelesaian sengketa. Sedangkan pada WTO selain sebagai forum negosiasi bagi anggota, juga terdapat lembaga penyelesaian sengketa. Lembaga ini berfungsi untuk menyelesaikan sengketa perdagangan antar anggota WTO.114

Namun, pada dasarnya GATT dan WTO sama-sama merupakan wadah dalam mendorong terciptanya perdagangan internasional yang fair dengan menghilangkan unsur-unsur penghambat (barrier) yang dapat merusak sistem perdagangan yang ideal. Dengan mengusung misi liberalisasi melalui kesepakatan internasional, setiap negara anggota wajib tunduk pada kesepakatan dan menjalankan sistem perdagangan sesuai ketentuan GATT dan WTO.115

3. Tujuan dan Fungsi GATT dan WTO

Tujuan ekonomi dari GATT adalah untuk menunjang upaya agar perdagangan dunia dapat menjadi semakin terbuka supaya arus perdagangan dapat berkembang dengan semakin mengurangi hambatan-hambatan dalam bentuk tariff

114

Ibid, hal 15 115

(12)

maupun non-tariff. Keterbukaan pasar yang semakin luas akan meningkatkan arus perdagangan yang pada gilirannya akan menunjang kegiatan ekonomi semua anggota yang selanjutnya akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi masing-masing negara.116

Namun secara harfiah, tujuan GATT bukan merupakan free trade, sehingga negara-negara yang tidak sepenuhnya menerima paham free trade dapat turut serta tanpa harus menyatakan bahwa mereka terikat pada tujuan final yang implisit ingin dicapai, yakni free trade. Secara formal, perjanjian yang mengikat tidak mencantumkan hal itu sebagai tujuan. Secara harfiah, GATT menghendaki free trade, yakni perdagangan dunia yang semakin lebih bebas tanpa menyatakan bahwa tahap terakhir tujuan free trade harus tercapai. Nuansa ini memberikan keluwesan dalam gerak GATT sebagai suatu lembaga sehingga secara pragmatis GATT dapat menghindar dari benturan yang dapat menimbulkan perpecahan apabila pendekatan pragmatis tidak diterapkan.117

Dalam preambul dari Perjanjian GATT dinyatakan:118

Being desirious of contributing to these objectives by entering into reciprocal and mutually advantageous arrangements directed to substantial reduction of tariffs and other barriers to trade and the elimination of discriminatory treatment in international commerce.

Dalam preambul tersebut, yang dituju adalah:119

116

H. S. Kartadjoemena, GATT dan WTO Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, (Jakarta: UI Press, 2002), hal 77

(13)

1. Peningkatan taraf kesejahteraan ekonomi. Di balik pandangan ini adalah persepsi bahwa sistem perdagangan dunia yang lebih terbuka dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat dunia.

2. Peningkatan kesempatan kerja sehingga mencapai tingkat full employment. Tujuan ini merupakan cermin dari obsesi pada hampir semua negara pada waktu GATT sedang dirundingkan, yakni pada waktu Perang Dunia II baru berakhir.

3. Peningkatan pendapatan riil dan effective demand, yang juga mencerminkan kekhawatiran yang sedang melanda pada waktu perundingan pembentukan GATT diselenggarakan, dimana perekonomian dunia masih dihantui oleh pengalaman periode depresi dan kontraksi yang serius pada tahun 1930-an.

4. Pemanfaatan sepenuhnya dari sumber daya di dunia. Implisit dalam pandangan ini juga pemikiran bahwa kebebasan dalam arus perdagangan dunia dapat memungkinkan pemanfaatan dari sumber daya di dunia. 5. Pengembangan produksi dan perdagangan yang juga merupakan

kekhawatiran karena perekonomian dunia pada tahun 1930-an yang mengalami kontraksi dibuat lebih buruk lagi akibat timbulnya kebijaksanaan proteksionis yang semakin melanda di dunia.

(14)

substansial dan pengurangan hambatan-hambatan lain terhadap perdagangan serta penghapusan perlakuan diskriminatif dalam perdagangan dunia.120

Adapun tiga fungsi utama GATT dalam mencapai tujuannya yaitu: pertama, sebagai suatu perangkat ketentuan (aturan) multilateral yang mengatur transaksi perdagangan yang dilakukan oleh negara-negara anggota GATT dengan memberikan suatu perangkat ketentuan perdagangan (the rules of the road for trade). Kedua¸ sebagai suatu forum (wadah) perundingan perdagangan. Dan yang ketiga, adalah sebagai suatu “pengadilan” internasional dimana para anggotanya menyelesaikan sengketa dagangnya dengan anggota-anggota GATT lainnya.121

Sementara itu, tujuan utama WTO adalah untuk menciptakan persaingan sehat di bidang perdagangan internasional bagi para anggotanya. Sedangkan secara filosofis, tujuan WTO adalah untuk meningkatkan taraf hidup dan pendapatan, menjamin terciptanya lapangan pekerjaan, meningkatkan produksi dan perdagangan, serta mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya dunia. Tujuan penting lainnya adalah untuk penyelesaian sengketa.122 Sedangkan yang menjadi fungsi dari WTO adalah seperti yang terdapat dalam Article III dari Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), yaitu sebagai berikut:123

(15)

2. Menyediakan forum untuk negosiasi di antara para anggotanya terhadap masalah yang berkenaan dengan hubungan dagang multilateral berdasarkan agreement pendirian WTO,

3. Menyelesaikan sengketa perdagangan dengan menatausahakan Dispute Settlement Understanding (DSU),

4. Bekerjasama secara patut dengan badan-badan internasional khususnya dengan International Monetary Fund (IMF) dan The International Bank untuk mencapai “koherensi yang lebih besar dalam pembuatan kebijakan ekonomi global”.

4. Prinsip-Prinsip Perdagangan Internasional dalam GATT dan WTO Prinsip adalah asas kebenaran yang menjadi pokok dasar orang berpikir, bertindak, dan sebagainya. Adapun prinsip-prinsip hukum atau disebut pula dengan asas-asas hukum merupakan dasar pembentukan hukum yang secara filosofis mempunyai atau memiliki peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan hukum. Selanjutnya menurut Nursalam Sianipar, suatu prinsip

hukum adalah “norma yang sangat abstrak, dan jika tidak dituangkan lebih lanjut

ke dalam norma lain, hanya akan berfungsi sebagai petunjuk bagi para pembentuk peraturan atau pelaksananya atau subjek hukum pada umumnya, dan bukan sebagai aturan yang meletakkan hak dan kewajiban secara konkret. 124

Prinsip-prinsip dasar yang melandasi GATT/WTO menurut Wil D. Verwey dalam Ginanjar Kartasasmita ialah prinsip non-diskriminasi yang

124

(16)

mengundang tiga bentuk perlakuan terhadap barang yang akan dijual di pasar internasional. Prinsip-prinsip itu berakar dari filsafah liberalism barat, yang dikenal dengan “Trinita”, yaitu kebebasan (freedom), persamaan (equality), dan asas timbal balik.125 Adapun prinsip-prinsip hukum dari perdagangan internasional yang diatur dalam GATT dan WTO, meliputi prinsip Non-Diskriminasi, Prinsip Resiprositas (Reciprocity), Prinsip Penghapusan Hambatan Kuantitatif, Prinsip Perdagangan yang Adil (Fairness Principle), dan Prinsip Tarif Mengikat (Tariff Binding Principle), yang akan diuraikan sebagai berikut:126

1. Prinsip Non-Diskriminasi (Non-Discrimination Principle)

Prinsip ini meliputi Prinsip Most Favoured Nation (MFN Principle), dan Prinsip National Treatment (NT Principle). Prinsip MFN diatur dalam Article I section (1) GATT 1947. Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta menyangkut biaya-biaya lainnya. Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan segera dan tanpa syarat terhadap produk yang berasal atau yang ditujukan kepada semua anggota GATT. Karena itu, suatu negara tidak boleh memberikan perlakuan istimewa kepada negara lainnya atau melakukan tindakan diskriminasi terhadapnya. Pengecualian terhadap prinsip ini sebagaimana diatur dalam Article XXIV GATT 1947, yaitu tidak berlaku apabila dalam hubungan ekonomi antara negara-negara anggota Free Trade

125

Ibid, hal 40 126

(17)
(18)

peningkatan impor dari produk tertentu telah mencapai taraf yang menimbulkan injury atau diperkirakan akan menimbulkan injury.127 2. Prinsip Resiprositas (Reciprocity Principle)

Prinsip resiprositas yang diatur dalam Article II GATT 1947, mensyaratkan adanya perlakuan timbal balik di antara sesama negara anggota WTO dalam kebijaksanaan perdagangan internasional. Artinya, apabila suatu negara dalam kebijaksanaan perdagangan internasionalnya menurunkan tarif masuk atas produk impor dari suatu negara, maka negara pengekspor produk tersebut wajib juga menurunkan tarif masuk untuk produk dari negara yang pertama tadi. Prinsip ini diterapkan terutama dalam hal terjadinya pertukaran barang antara dua negara secara timbal balik, dan menghendaki adanya kebijaksanaan atau konsesi yang seimbang dan saling menguntungkan antara negara yang satu dengan yang lainnya dalam perdagangan internasional.

3. Prinsip Penghapusan Hambatan Kuantitatif (Prohibiton of Quantitative Restriction)

Prinsip initelah diatur dalam Article IX GATT 1947, menghendaki transparansi dan penghapusan hambatan kuantitatif dalam perdagangan internasional. Hambatan kuantitatif dalam persetujuan GATT/WTO adalah hambatan perdagangan yang bukan merupakan

127

(19)

tarif atau bea masuk. Termasuk dalam kategori hambatan ini adalah kuota dan pembatasan ekspor secara sukarela (voluntary export restraints). Menyadari bahwa kuota cenderung tidak adil, dan dalam praktiknya justru menimbulkan diskriminasi dan peluang-peluang subjektif lainnya. Oleh karena itu, hukum perdagangan internasional melalui WTO menetapkan untuk menghilangkan jenis hambatan kuantitatif.

4. Prinsip Perdagangan yang Adil (Fairness Principle)

(20)

pajak, dan fasilitas lainnya, sehingga akan berakibat terjadinya kelebihan produksi yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerugian baik bagi negara pengimpor maupun pengekspor.

5. Prinsip Tarif Mengikat (Binding Tariff Principle)

Prinsip ini diatur dalam Article II section (2) GATT-WTO 1995, bahwa setiap negara anggota WTO harus mematuhi berapapun besarnya tarif yang telah disepakatinya atau disebut dengan prinsip tarif mengikat. Pembatasan perdagangan bebas dengan menggunakan tarif oleh WTO dipandang sebagai suatu model yang masih dapat ditoleransi. Perlindungan ini masih memungkinkan adanya kompetisi yang sehat. Namun demikian, dalam kesepakatan perdagangan internasional tetap diupayakan mengarah kepada sistem perdagangan bebas yang menghendaki pengurangan tarif secara bertahap.

6. Prinsip Special and Differential Treatment

(21)

mengimplementasikan seluruh perjanjian WTO. Dengan demikian kepentingan-kepentingan pembangunan negara berkembang tidak terhambat dan, pada gilirannya, negara berkembang dapat mengimplementasikan seluruh perjanjian WTO secara penuh.128 Prinsip S&D meliputi adanya perbedaan perlakukan dalam market access, subsidi domestik dan subsidi ekspor dan dengan demikian dapat menjadi sarana untuk menyamakan level playing field. Di dalam bidang pertanian penyamaan level playing field harus memasukkan unsur jumlah petani dan skala usaha tani. Tidak adil apabila negara-negara maju dengan jumlah petani yang kecil memperoleh perlakukan yang sama dalam perdangan internasional dengan negara berkembang yang penduduknya sebagain besar petani. Negara berkembang yang sebagaian besar penduduknya adalah petani harus memperoleh perlakuan khusus di WTO, dalam arti bahwa negara tersebut dapat memberikan proteksinya jauh lebih tinggi dari negara maju, atau negara maju membuka pasarnya lebih luas, dengan ketentuan yang lebih mudah, serta menurunkan tingkat subsidinya jauh lebih besar dari negara-negara berkembang dengan jumlah petani dominan.129

128 Nandang Sutrisno, “Efektivitas Ketentuan

-Ketentuan World Trade Organization tentang Perlakuan Khusus dan Berbeda Bagi Negara Berkembang: Implementasi dalam Praktek dan dalam Penyelesaian Sengketa”, (Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Volume 16 Oktober 2009: 1 – 29), hal 1-2

129

(22)

5. Perkembangan Perdagangan Internasional Hasil Uruguay Round Perundingan Uruguay Round (1986-1994), yang diselenggarakan dalam naungan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) berjalan selama lebih dari 7 tahun, telah menghasilkan serangkaian perjanjian yang merupakan aturan permainan yang berlaku di bidang perdagangan internasional. Aturan permainan yang disepakati secara multilateral tersebut mengikat semua negara-negara yang menandatangani perjanjian. Hasil perjanjian Uruguay Round secara eksplisit menguraikan hak dan kewajiban negara-negara peserta. Perjanjian yang menjadi hasil perundingan Uruguay Round akan menjadi kerangka utama serta patokan dalam hubungan perdagangan internasional pada tahun-tahun mendatang.130

Dalam substansi yang tercakup, di samping hal-hal “tradisional” di bidang perdagangan barang-barang, yang memang selama ini telah ditangani oleh GATT, perundingan juga mencakup bidang-bidang “baru” yang selama ini belum pernah ditangani GATT, yakni bidang perdagangan jasa, intellectual property dan kebijaksanaan investasi yang mempunyai dampak terhadap perdagangan. Untuk pertama kalinya maka keseluruhan masalah perdagangan internasional (termasuk upaya memperkuat GATT sebagai suatu lembaga internasional) tercakup dalam satu paket perundingan. Dengan demikian perundingan kali ini tidak semata-mata bertujuan menyempurnakan prinsip-prinsip GATT dan memperkuat GATT sebagai lembaga internasional yang menjamin sistem perdagangan internasional yang terbuka. Di samping tujuan tadi, perundingan juga ditujukan untuk

130

(23)

mengadakan konsolidasi semua substansi yang berkaitan dengan perdagangan internasional termasuk bidang-bidang yang belum pernah disentuh oleh GATT.131

Dasar untuk perundingan Uruguay Round tersebut adalah Deklarasi Punta del Este. Deklarasi tersebut merupakan hasil siding GATT tingkat Menteri yang diselenggarakan di Punta del Este, Uruguay, bulan September 1986. Deklarasi tersebut menentukan substansi yang akan dirundingkan maupun cara atau modalitas dari pengendalian perundingan. Dengan demikian maka dalam proses perundingan, deklarasi tersebut merupakan suatu pegangan formal dalam pengendalian perundingan.132

Perundingan Uruguay Round menghasilkan serangkaian perjanjian yang merupakan aturan permainan yang berlaku di bidang perdagangan internasional dan memperkuat aturan GATT yang sudah ada. Di samping terciptanya aturan permainan untuk trade in goods yang telah disempurnakan, telah disepakati pula aturan permainan untuk perdagangan jasa-jasa, serta aturan permainan yang menyangkut aspek perdagangan dari perlindungan hak katas kekayaan intelektual, maupun hal-hal yang berkaitan dengan kebijaksanaan investasi yang mempunyai dampak terhadap perdagangan internasional.133

Dengan substansi seluas itu, dan dengan partisipasi dari hampir semua negara di dunia, terutama negara kekuatan ekonomi dan dagang di dunia, maka jelas bahwa apa yang menjadi kesepakatan hasil perundingan Uruguay Round

131

H. S. Kartadjoemena, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, (Jakarta: UI Press, 1997), hal 3

132

Ibid, hal 6 133

(24)

akan banyak mempengaruhi corak kegiatan perdagangan dan perekonomian dunia pada tahun-tahun mendatang.134

Hasil perundingan Uruguay Round tidak akan segera dapat dirasakan. Dalam jangka pendek, yang masih harus dihadapi adalah pekerjaan rumah dalam bentuk penyesuaian-penyesuaian teknis yang harus dilakukan baik pada tingkat instansi teknis yang bersangkutan maupun upaya untuk menjelaskan kepada dunia usaha mengenai peluang maupun kewajiban sebagai konsekuensi dari perjanjian Uruguay Round. Aturan permainan GATT setelah diperbaiki dan diterapkan dalam organisasi baru, WTO, akan dapat membendung langkah-langkah sepihak karena adanya pengetatan dari interpretasi berbagai aturan permainan sehingga tidak terlalu mudah untuk dikonversikan menjadi alat proteksi terselubung.135

WTO yang telah muncul sebagai sebuah lembaga penting, dimana aturan dan pengoperasiannya memiliki efek besar pada kebijakan-kebijakan pembangunan pada anggota-anggota negara berkembang, mengadakan Konferensi Tingkat Menteri di Doha, Qatar pada bulan November 2001. Keputusan yang dibuat dari konferensi tersebut telah menghasilkan program kerja penting dan juga berat yang akan memiliki implikasi yang sangat signifikan terhadap negara-negara berkembang. Program kerja tersebut berisi daftar masalah yang panjang yang akan dinegosiasikan ataupun dibahas.136

134

Ibid, hal 213 135

H. S. Kartadjoemena, Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Sistem, Kelembagaan, Prosedur, Implementasi, dan Kepentingan Negara Berkembang, Op cit, hal 109

136

(25)

KTM Doha pada tahun 2001 memandatkan negara anggota untuk melakukan putaran perundingan dengan tujuan membentuk tata perdagangan multilateral yang berdimensi pembangunan. Tata perdagangan ini akan memberikan kesempatan bagi negara berkembang dan LDCs untuk dapat memanfaatkan perdagangan internasional sebagai sumber pendanaan bagi pembangunan. Isu-isu utama yang dibahas mencakup isu pertanian, akses pasar produk bukan pertanian (Non-Agricultural Market Access—NAMA), perdagangan bidang jasa, dan Rules. Dalam perkembangannya, isu pertanian khususnya terkait penurunan subsidi domestik dan tarif produk pertanian menjadi isu yang sangat menentukan jalannya proses perundingan. Bagi sebagian besar negara berkembang, isu pertanian sangat terkait dengan permasalahan sosial ekonomi (antara lain food security, livelihood security dan rural development). Sementara bagi negara maju, pemberian subsidi domestik mempunyai dimensi politis yang penting dalam kebijakan pertanian mereka. 137 Walaupun Doha Round memiliki implikasi yang sangat signifikan terhadap negara-negara berkembang, namun sampai saat ini hal tersebut belum sepenuhnya dirasakan oleh negara berkembang. Karena Doha Round belum menghasilkan keputusan-keputusan yang final.

B. Perkembangan Sistem dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional dalam GATT

1. Konsep Sistem Penyelesaian Sengketa GATT

137

(26)

Dalam praktik GATT, penyelesaian sengketa yang diterapkan menggunakan ketentuan yang ada pada perjanjian GATT itu sendiri. Dalam berbagai perjanjian komersial seringkali terdapat ketentuan mengenai penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase. Akan tetapi seringkali pula perjanjian tersebut mengandung ketentuan yang samar-samar mengenai aspek enforcement. Demikian pula dalam GATT, yang juga mengandung elemen yang agak samar-samar mengenai enforcement. Namun dalam GATT, sistem penyelesaian sengketa yang berkembang merupakan elemen yang cukup khas dan yang tidak terdapat dalam lembaga multilateral lainnya. Penyelesaian sengketa ini merupakan salah satu jenis kegiatan yang telah melembaga dalam GATT. Hal ini berarti bahwa khusus dalam bidang penyelesaian sengketa, berdasarkan atas pengalaman institusional sejak didirikannya GATT, telah tersusun suatu sistem dan tata cara yang semakin berbentuk.138

Konsultasi, konsiliasi dan penyelesaian sengketa merupakan salah satu segi fundamental yang terpenting dari pekerjaan sehari-hari GATT sebagai suatu lembaga internasional. Setiap negara anggota GATT dapat menggunakan lembaga ini sebagai forum untuk mencapai penyelesaian bila negara tersebut merasa bahwa haknya yang diperoleh dan sesuai dengan General Agreement telah diganggu akibat tindakan atau kebijaksanaan negara anggota lainnya.139

Sistem penyelesaian sengketa dalam GATT mengandung beberapa hal khas yang dapat dikemukakan. Karakteristik tersebut berkembang secara

138

Nurdin MH, Indonesia Dalam Lipatan Ekonomi Global [GATT/WTO], (Banda Aceh: Sophia Center, 2007), hal 74

139

(27)

pragmatis seperti halnya dengan banyak aspek lain yang berkaitan dengan lembaga internasional itu. Pertama, dapat dikemukakan bahwa berbeda dengan ITO, yang semula diharapkan menjadi payung sebagai organisasi internasional di bidang perdagangan, perjanjian GATT tidak mencantumkan keharusan untuk menyerahkan kasus sengketa kepada International Court of Justice (ICJ) apabila ada sengketa. Oliver Long, mantan Direktur Jenderal GATT, menekankan bahwa hal itu terjadi karena memang GATT semula hanya merupakan suatu lembaga interim menunggu ratifikasi perjanjian ITO oleh negara peserta. Tetapi karena ITO akhirnya ditolak oleh Kongres Amerika Serikat maka GATT sebagai lembaga pewaris tidak mencantumkan klausula ICJ, apalagi karena GATT secara formal bukan suatu organisasi internasional dengan atribut yang penuh.140

Namun dengan tidak adanya keharusan untuk menyerahkan kasus kepada ICJ dan dengan banyak hal yang harus dikembangkan secara informal karena statusnya sebagai lembaga interim maka GATT mempunyai peluang untuk melakukan beberapa inovasi. Oliver Long, mengutip Malinverni, menekankan bahwa ada kalanya pemecahan yang legalistis menimbulkan ketegangan yang tidak menunjang kepentingan jangka panjang suatu organisasi internasional. Selanjutnya, ditekankan pula bahwa dalam GATT, tujuan utama yang menjadi sasaran bagi negara anggota adalah untuk menjaga agar keseimbangan dalam konsesi yang saling dipertukarkan antara negara anggota, serta keseimbangan dalam keuntungan dan kewajiban antara semua anggota tetap terjamin.141

140

H. S. Kartadjoemena, GATT dan WTO Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, Op cit, hal 140

141

(28)

Dalam evolusi GATT sebagai lembaga, jelas bahwa kegiatan yang dilakukan harus memungkinkan gerak yang luwes dan konsiliasi yang aktif untuk menjaga keseimbangan, dan harus peka terhadap kepentingan politis dari masing-masing anggota sehingga tidak terjadi konfrontasi yang steril dan tidak produktif.142

2. Kelemahan Sistem Penyelesaian Sengketa GATT

Walaupun sistem penyelesaian sengketa sudah dapat berjalan cukup jauh sehingga dalam 40 tahun telah menjadi sistem yang cukup mantap untuk dapat menangani berbagai hal, namun beberapa pihak telah mengemukakan kelemahannya dan mengusulkan perbaikan. Dari perspektif sejarah institusional , memang perkembangan yang telah tercapai cukup mengesankan. Dari suatu permulaan yang sangat sederhana, dengan menggunakan klausula dalam perjanjian GATT yang isinya sangat umum, dan, secara prosedural dan kelembagaan sangat minim, tanpa ketentuan kelembagaan, apa yang telah tercapai dalam GATT tidak kecil, walaupun masyarakat umum tidak melihatnya.143

Adapun kelemahan dari sistem penyelesaian sengketa GATT Antara lain sebagai berikut:144

1. Prosedur dalam penyelesaian sengketa dianggap memakan terlalu banyak waktu. Salah satu sebab adalah banyaknya waktu yang diperlukan untuk menyusun panel. Dan adanya berbagai perjanjian

142

Ibid, hal 141 143

H. S. Kartadjoemena, Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Sistem, Kelembagaan, Prosedur, Implementasi dan Kepentingan Negara Berkembang, Op cit, hal 166

144

(29)

khusus yang walaupun diadministrasikan oleh GATT namun merupakan perjanjian tersendiri dengan prosedur penyelesaian sengketa tersendiri. Hal itu menimbulkan gejala forum shopping dimana negara yang bersengketa dapat memilih untuk mengajukan penyelesaian sengketa pada berbagai forum. Proses tersebut menimbulkan waktu yang terbuang untuk memperdebatkan prosedur dari forum mana yang akan digunakan,

2. Telah terjadi perbedaan paham mengenai prosedur penyelesaian sengketa untuk menerapkan prosedur GATT atau prosedur yang berlaku dalam perjanjian khusus menimbulkan debat mengenai substansi tentang prosedur,

3. Seringkali timbul kesulitan untuk mencari anggota panel yang tepat untuk suatu kasus yang timbul,

4. Lambatnya pemutusan dari laporan panel yang telah diserahkan kepada Council yang bertindak atas nama CONTRACTING PARTIES,

(30)

6. Ada panelis yang dalam laporannya mengemukakan pandangannya secara tidak jelas atau keputusan dalam panel tidak anonym sehingga menimbulkan keputusan yang argumentasinya tidak mantap,

7. Telah terjadi tekanan yang tidak wajar dari suatu negara terhadap para panelis,

8. Berbagai negara telah mengambil waktu yang terlalu lama dalam mengubah aturannya untuk disesuaikan dengan GATT walaupun telah berjanji untuk melakukannya pada waktu sidang penyelesaian sengketa.

Sebagian dari keluhan ini dapat diatasi seperti pemilihan panelis dari luar lembaga pemerintah. Dalam rangka perundingan Uruguay Round telah disepakati sistem penyelesaian sengketa yang disempurnakan. Dengan perbaikan itu maka sistem penyelesaian sengketa cukup lengkap.145

3. Upaya Penyempurnaan Sistem Penyelesaian Sengketa GATT

Sistem penyelesaian sengketa GATT secara evolutif terus berkembang. Perkembangan dari sistem tersebut sebelum Uruguay Round juga cukup berarti walaupun belum memuaskan. Upaya pokok dalam GATT untuk menyempurnakan sistem penyelesaian sengketa terutama dilakukan melalui hal-hal yang menyangkut perluasan dan pengembangan aturan main yang berikut:146

1. Decision on Procedures Under Article XXIII¸5 April 1966,

145

H. S. Kartadjoemena, Op cit, hal 152 146

(31)

2. Understanding Regarding Notification, Consultation, Dispute Settlement and Surveillance, 28 November 1979, dengan annex yang terlampir dalam ketentuan tersebut yang berjudul Agreed Description of the Customary Practice of the GATT in the Field of Dispute Settlement. “Customary practice” yang dimaksud terdapat pada para 7 dari Understanding tersebut,

3. Decision on Dispute Settlement Procedure, 29 November 1982, 4. Decision on Dispute Settlement Procedure, 30 November 1984,

5. Decision on Improvements to the GATT Dispute Settlement Rules and Procedures, 12 April 1989.

Perbaikan yang diterapkan secara bertahap tersebut akhirnya mengarah kepada sistem penyelesaian sengketa dengan prosedur yang bentuknya lebih eksplisit dengan kodifikasi yang lebih jelas.147

Apabila ditelusuri lebih lanjut substansi yang menyangkut perbaikan dan penyempurnaan tersebut maka hal-hal yang dapat dicatat adalah perkembangan yang berikut:148

1. Sejak tahun 1952, penggunaan panel untuk menyelesaikan sengketa telah semakin menjadi bagian dari proses penyelesaian sengketa dalam

GATT. Hal ini berarti telah terjadi “pengukuhan” prosedur yang

sifatnya lebih yuridis dalam sistem penyelesaian sengketa dengan adanya penerapan ketentuan dalam sengketa yang menggunakan third party adjudication dengan menggunakan panels of independent

147

Ibid, hal 169 148

(32)

experts. Hal ini berbeda dengan instrumen yang digunakan oleh GATT sebelumnya, yakni working parties yang terdiri dari . . . all interested government representatives, including parties to the dispute, yang berarti bahwa proses tersebut lebih mengandung proses politis,

2. Sejak tahun 1962, dengan hasil dari kasus yang diadukan kepada GATT oleh pemerintah Uruguay dengan laporan GATT, yakni

Uruguay’s Recourse to Article XXIII, maka GATT semakin

mengarahkan perhatiannya kepada masalah violation compliants dan breaches of obligations,

3. Pembatasan, secara bertahap, melalui proses penyelesaian sengketa dari jenis-jenis keluhan dalam bentuk non-violation complaints yang rumusannya terlalu samar-samar dan umum mengenai kerugian atas dampak tindakan subsidi produksi yang diterapkan oleh suatu negara, 4. Pembentukan GATT Legal Office pada tahun 1983, yang berhasil

untuk meningkatkan mutu keahlian di bidang hukum yang berhasil dikembangkan melalui tugasnya untuk merumuskan laporan finding dari panel sehingga meningkatkan kredibilitas dari mutu laporan panel, 5. Peningkatan kadar yuridis dari GATT’s diplomat’s jurisprudence dan

“de-politisasi” dari prosedur panel antara lain dengan menggunakan

(33)

penggunaan ahli hukum dalam panel, dan semakin mengembangnya penerimaan dan adopsi laporan panel secara otomatis,

6. Peningkatan proses “kodifikasi” dan penyempurnaan yang disepakati mengenai aturan tentang penyelesaian sengketa, prosedur dan secondary laws dari GATT yang telah disetujui tahun 1958, 1966, 1979, 1989 dan 1994,

7. Ketentuan yang secara eksplisit dirumuskan dan disepakati sebagai hasil Mid-Term Review dalam Uruguay Round tahun 1989 untuk menyelesaikan sengketa secara cepat melalui arbitrase yang akan memutuskan menurut perjanjian GATT.

Hal-hal diatas secara progresif telah merupakan tahap penting dalam memperkuat sistem penyelesaian sengketa hingga tahap sebelum Uruguay Round selesai. Dengan sistem penyelesaian sengketa hasil Uruguay Round maka sistem yang lebih lengkap dan terintegrasi akhirnya dapat diterapkan.149

C. Perjanjian Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Hasil Perundingan Uruguay Round

1. Perundingan Uruguay Round

Perundingan Uruguay Round, yang merupakan perundingan multilateral untuk menata kembali aturan main di bidang perdagangan internasional, telah berlangsung sejak bulan September 1986 dan berakhir April 1994. Perundingan tersebut merupakan suatu upaya untuk memperkuat sistem GATT dan mencegah

149

(34)

semakin meningkatnya kecenderungan proteksionisme di berbagai negara penting, terutama di negara maju.150

Berbeda dengan putaran perundingan multilateral di bidang perdagangan yang secara berkala diselenggarakan oleh GATT, kali ini ada sekurang-kurangnya tiga hal pokok yang membuat Uruguay Round berbeda dari putaran GATT yang sebelumnya, yakni:151

1. Substansi yang dirunding kali ini jauh lebih luas daripada substansi yang bisa ditangani dalam rangka putaran perundingan perdagangan multilateral yang diselenggarakan oleh GATT,

2. Partisipasi negara berkembang kali ini jauh lebih terasa daripada dalam putaran perundingan multilateral lainnya,

3. Perundingan kali ini juga mecakup perubahan institusional sehingga dari awal dibayangkan dapat mencapai kesepakatan agar GATT sebagai lembaga akan diperkuat secara berarti.

Ketiga hal tersebut akan mempunyai dampak yang cukup luas bagi negara-negara peserta karena hasil perundingan Uruguay Round akan menyentuh lebih banyak hal dan lebih banyak pihak daripada hasil perundingan sebelumnya.152

Perundingan Uruguay Round secara resmi dimulai dari September 1986, pada waktu para menteri negara peserta bersidang di Punta del Este, Uruguay.

150

H. S. Kartadjoemena, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, Op cit, hal 1 151

GATT dan WTO Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, Op cit, hal 212

152

(35)

Mandat untuk perundingan Uruguay Round dirumuskan dalam Deklarasi Punta del Este, September 1986.153

Perundingan Uruguay Round, seperti yang telah ditentukan menurut pedoman perundingan, yakni Deklarasi Punta del Este, mencakup 15 bidang. Bila diklasifikasikan lebih jauh lagi, 15 bidang tersebut dapat dibagikan pada rincian yang berikut:154

1. Masalah perluasan akses ke pasar yaitu bidang yang selama ini secara

“tradisional” merupakan bidang yang ditangani oleh GATT,

2. Masalah penyempurnaan aturan main dalam GATT yang berlaku agar dapat dibuat lebih jelas dan lebih seimbang,

3. Masalah penyempurnaan institusional agar GATT sebagai lembaga dapat diperkuat untuk dapat lebih menunjang perdagangan dunia yang lebih terbuka,

4. Masalah-masalah baru atau new issues, yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh GATT, tetapi, atas desakan negara maju, telah menjadi bagian dari perundingan Uruguay Round.

Pada waktu negara-negara menyepakati untuk meluncurkan Putaran Uruguay pada tahun 1986 dengan agenda perundingan paling ambisius sepanjang sejarah GATT, perbaikan mekanisme penyelesaian sengketa masih menjadi salah satu tujuan utama diadakannya putaran perundingan tersebut, sehingga dibentuk satu grup perunding khusus untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan prosedur

153

Ibid, hal 212 154

(36)

penyelesaian sengketa yang masih dirasakan sekali pun sejak Tokyo Round telah dilakukan berulang kali perbaikan. Bahkan selama berlangsungnya Putaran Uruguay, sebelum kesepakatan-kesepakatan terbaru mengenai prosedur penyelesaian sengketa dicapai dalam kerangka WTO yang akan dibentuk, para perutusan negara merasa perlu untuk memberlakukan perbaikan-perbaikan tertentu terhadap prosedur penyelesaian sengketa GATT lewat Decision on Improvements to the GATT Dispute Settlement Rules on Procedures of 12 April 1989. Perbaikan-perbaikan prosedur penyelesaian sengketa yang diputuskan tahun 1989 tersebut dipertahankan lagi lewat kesepakatan tahun 1994 oleh CONTRACTING PARTIES dengan Decision of 22 February 1994 on Extension of the April 1989 Decision on Improvements to the GATT Dispute Settlement Rules and Procedures. Dengan keputusan terakhir ini prosedur penyelesaian sengketa yang telah diperbaiki tersebut akan terus dipertahankan sampai dihasilkannya prosedur yang baru yang akan dihasilkan Uruguay Round.155

2. Deklarasi Punta del Este

Dalam Deklarasi Punta del Este, ketentuan mengenai perundingan di bidang penyelesaian sengketa dalam rangka Uruguay Round berbunyi sebagai berikut:156

―In order to ensure prompt and effective resolution of

disputes to the benefit of all contracting parties, negotiations shall aim to improve and strengthen the rules and procedures of the dipute settlement process, while recognizing the contribution that would be made by more effective and enforceable GATT rules and discplines‖

155

Hata, Op cit, hal 197-198 156

(37)

Berdasarkan deklarasi tersebut, tujuan utama perundingan di bidang penyelesaian sengketa adalah untuk memperkuat dan menyempurnakan aturan main dan prosedur dalam penyelesaian sengketa. Berkaitan dengan upaya dimaksud, deklarasi juga menekankan pentingnya sumbangan dari upaya perumusan aturan dan ketentuan GATT yang efektif dan dapat diterapkan terhadap perkembangan sistem penyelesaian sengketa yang bagus. Rumusan tersebut menekankan pentingnya upaya paralel untuk menyempurnakan aturan main dalam GATT. Upaya tersebut penting karena adanya suatu penyempurnaan terhadap mekanisme penyelesaian sengketa tanpa diikuti dengan penyempurnaan terhadap substansi aturan main itu sendiri tidak akan mencukupi. Dengan demikian, keterkaitan antara peyempurnaan mekanisme penyelesaian sengketa di satu pihak dan kegiatan dalam kelompok negosiasi di bidang rules di lain pihak merupakan hal yang penting.157

3. Perjanjian Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Hasil Perundingan Uruguay Round

Sebagai hasil perundingan Uruguay Round di bidang penyelesaian sengketa atau dispute settlement, telah disepakati suatu sistem penyelesaian sengketa yang telah disempurnakan. Ketentuan dan prosedur penyelesaian sengketa yang disepakati dalam Perjanjian dirumuskan dalam Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU) atau Understanding. Ketentuan-ketentuan yang tercantum pada perjanjian tersebut

157

(38)

berlaku untuk seluruh sengketa yang timbul dalam kerangka WTO. Kesepakatan tersebut, merupakan suatu penyempurnaan dari sistem penyelesaian sengketa yang telah dikembangkan GATT sejak awal didirikan pada tahun 1947. Dari segi struktur kelembagaan, DSU menambah lapisan dalam hierarki sistem tersebut. Di samping adanya panel yang merupakan lembaga yang menilai dan memutuskan substansi dalam suatu sengketa, telah pula dibentuk lembaga banding atau Appellate Body apabila keputusan dari panel tidak dapat diterima oleh salah satu pihak.158

Sejak sidang Mid-Term Review di Montreal pada bulan Desember 1988, salah satu perkembangan baru yang disepakati adalah bahwa penetapan, kerangka acuan (Term of References atau TOR) dan komposisi panel yang menangani suatu sengketa tidak lagi tergantung kepada kehendak para pihak yang bersengketa. Selanjutnya DSU juga memperluas proses penyelesaian yang berlaku secara otomatis (prinsip automatically). Dalam DSU tercantum pula ketentuan bahwa hasil temuan panel maupun hasil dari setiap pengujian yang dilakukan oleh lembaga banding bersifat mengikat para pihak yang bersengketa. Lebih lanjut DSU menetapkan sistem yang terintegrasi yang memungkinkan anggota WTO untuk mengajukan tuntutan atas setiap perjanjian perdagangan multilateral yang dicantumkan dalam Annex Persetujuan Pendirian WTO. Dengan demikian maka fragmentasi atau pengkotak-kotakan yang sebelumnya terjadi, karena adanya

158

(39)

sistem penyelesaian sengketa yang berbeda berdasarkan GATT dan Tokyo Round dapat diatasi. 159

Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes, yang merupakan bagian dari Final Act, meliputi setiap aspek dari prosedur-prosedur penyelesaian sengketa. Perjanjian mengenai penyelesaian sengketa hasil perundingan Uruguay Round dapat dibagi dalam berbagai aspek yang terdiri dari hal-hal sebagai berikut:160

1. Prinsip dan ketentuan umum

Sistem penyelesaian sengketa yang telah disempurnakan merupakan sistem yang diterapkan dengan berpegang pada beberapa prinsip dan ketentuan umum.

2. Ruang lingkup

Prosedur yang berlaku dalam perjanjian mengenai penyelesaian sengketa berlaku untuk semua perjanjian dalam Final Act dengan rincian penerapan yang mengandung variasi tergantung dari karakteristik perjanjian yang disepakati dalam rangka Putaran Uruguay.

3. Struktur kelembagaan

Perjanjian hasil perundingan Putaran Uruguay memberikan struktur kelembagaan di bidang penyelesaian sengketa yang lebih jelas lagi. Pada tingkatan tertinggi, General Council bertidak selaku Dispute

159

Ibid, hal 315 160

(40)

Settlement Body (DSB) apabila mereka bersidang sebagai otorita puncak untuk penyelesaian sengketa.

4. Prosedur dalam sengketa

Sistem penyelesaian sengketa dalam WTO hasil perundingan Uruguay Round menetapkan prosedur yang dirinci secara eksplisit agar proses penyelesaian sengketa mempunyai aturan pelaksanaan yang secara lengkap ditetukan sehingga diharapkan akan menjadi suatu proses yang lebih adil dan transparan.

5. Ketentuan mengenai negara berkembang

(41)

BAB IV

SISTEM PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL ANTARA GATT DAN WTO

A. Hubungan Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Antara GATT dan WTO

Sistem penyelesaian sengketa GATT merupakan salah satu pilar utama dari sistem perdagangan multilateral yang telah berkembang sejak GATT didirikan tahun 1947. Sistem penyelesaian sengketa tersebut merupakan salah satu komponen utama dalam GATT sebagai suatu sistem yang turut menjaga ketertiban dalam kegiatan perdagangan internasional melalui penerapan aturan main yang dirumuskan secara multilateral.161 Walaupun sistem penyelesaian sengketa GATT sudah dapat berjalan cukup lama sehingga dalam 40 tahun telah menjadi sistem yang cukup bagus untuk dapat menangani berbagai hal, namun beberapa pihak telah mengemukakan kelemahannya dan mengusulkan perbaikan. Dalam evolusinya, sistem penyelesaian sengketa yang dikembangkan oleh GATT semakin dipusatkan pada perbaikan-perbaikan yang secara konkret dilakukan.162

Pada periode setelah perundingan Uruguay Round, sistem penyelesaian sengketa yang telah dikembangkan GATT telah diperkokoh dengan adanya penyempurnaan prosedur dan pengembangan institusional. Dengan penyempurnaan ini maka sistem penyelesaian sengketa yang disepakati setelah

161

Ibid, hal 314 162

(42)

Uruguay Round dapat berfungsi secara lebih cepat cepat dan mantap. Dengan proses penyempurnaan sistem penyelesaian sengketa yang lebih mantap ini pula maka dapat diharapkan akan dapat mencegah godaan negara besar untuk mengambil langkah unilateral yang dapat merugikan negara lain setiap kali ada sengketa dengan negara lain. Dalam proses perundingan Uruguay Round telah ditentukan cara untuk melakukan perundingan untuk menyempurnakan sistem penyelesaian sengketa yang ada dalam GATT.163

Tujuan dan prosedur untuk melakukan perundingan tersebut ditentukan dalam Deklarasi Punta del Este. Mengikuti pedoman tersebut maka perundingan Uruguay Round akhirnya menghasilkan kesepakatan untuk menyempurnakan sistem penyelesaian sengketa. Dengan berhasilnya perundingan Uruguay Round, maka di bidang dispute settlement, sebagai salah satu hasil adalah diterapkannya Understanding on Rules Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU). Perjanjian ini memperjelas lagi arah dari mekanisme penyelesaian sengketa yang akan diterapkannya pada tahun-tahun mendatang.164

Mekanisme penyelesaian sengketa yang telah disepakati sebagai hasil Uruguay Round tersebut akan semakin memperkuat prosedur GATT yang sudah ada. Prosedur penyelesaian sengketa yang telah disepakati pada Mid-Term Review Uruguay Round di Montreal, Desember 1988 sebagai hasil interim, telah memperketat prosedur yang berlaku dan penunjukan panel, kerangka acuan, dan

163

H. S. Kartadjoemena, Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Sistem, Kelembagaan, Prosedur, Implementasi, dan Kepentingan Negara Berkembang, Op cit, hal 177

164

(43)

komposisi panel, tidak lagi ditentukan oleh pihak-pihak yang bersengketa.165 Perjanjian penyelesaian sengketa (DSU) juga mengintegrasikan keseluruh mekanisme penyelesaian sengketa, dimana hal tersebut terdapat pada berbagai perjanjian khusus dalam GATT, sehingga yang tercapai adalah suatu integrated dispute settlement system. Integrasi sistem penyelesaian sengketa dalam WTO hasil Uruguay Round juga mendirikan institusi baru, yakni Dispute Settlement Body (DSB).166

B. Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional dalam GATT 1. Dasar Penyelesaian Sengketa dalam GATT

GATT tidak memiliki kesatuan prosedur penyelesaian sengketa, tetapi terbentuk dalam mekanisme yang terpecah-pecah. Di satu sisi terdapat sistem konsiliasi dan penyelesaian sengketa yang bersifat umum yang didasarkan pada pasal XXII dan XXIII, dan di sisi lain terdapat prosedur penyelesaian sengketa yang khusus sebagaimana terdapat dalam berbagai dokumen yang dihasilkan pada putaran Tokyo tahun 1979.167

Adapun dasar hukum penyelesaian sengketa dalam GATT yaitu sebagai berikut:168

1. Penyelesaian sengketa berdasarkan Pasal XXII GATT

Penyelesaian sengketa sebagaimana yang diatur dalam Pasal XXII dan XXIII GATT yang kini menjadi dasar bagi para pihak di dalam

165

Ibid, hal 178 166

H. S. Kartadjoemena, Op cit, hal 153 167

Nurdin MH, Op cit, hal 78 168

(44)

menyelesaikan sengketa internasional, pada prinsipnya merupakan refleksi dari apa yang ditawarkan oleh Pasal 33 ayat (1) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Menurut ketentuan Pasal XII ayat (1), setiap negara peserta harus memberikan pertimbangan yang simpatik kepada negara peserta lain serta memberikan kesempatan yang cukup untuk berkonsultasi mengenai hal-hal yang diajukan negara peserta lain yang ada pengaruhnya terhadap pelaksanaan perjanjian. Satu-satunya prasyarat bagi pengajuan keluhan adalah bahwa tindakan yang dikeluhkan tersebut mengganggu pelaksanaan GATT. Paragraf 2 menyebutkan bahwa atas permintaan salah satu peserta perjanjian (contracting parties) dapat berkonsultasi dengan satu atau beberapa negara peserta mengenai persoalan-persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh negara-negara peserta sendiri. Dengan demikian pasal ini mengatur konsultasi dalam dua tahap yaitu diantara negara-negara peserta itu sendiri dan dengan CONTRACTING PARTIES. 2. Penyelesaian sengketa menurut Pasal XXIII GATT

(45)

kewajiban-kewajibannya menurut perjanjian ini dan juga sebagai akibat dari penerapan suatu tindakan oleh negara-negara peserta lain apakah itu bertentangan atau tidak dengan ketentuan perjanjian ini ataupun akibat dari adanya situasi-situasi lain.

Jika salah satu keadaan tersebut di atas terjadi pihak yang merasa dirugikan dapat menghubungi pihak lain yang dianggap terlibat untuk mengadakan penyelesaian yang memuaskan. Pihak yang dihubungi harus memberikan pertimbangan simpatik terhadap permintaan pihak lain tersebut. Jika konsultasi tidak membuahkan hasil yang memuaskan, pihak yang tidak puas dapat mengajukan persoalannya kepada contracting parties.169

Pasal XXII dan XXIII GATT berisi ketentuan yang sederhana, yaitu penyelesaian melalui cara perundingan atau negosiasi dan apabila gagal diselesaikan dengan membentuk suatu panel (kelompok kerja), ketentuan yang sederhana demikian tidak terlepas dari sejarah lahirnya GATT. Sejak semula perancang GATT memang tidak mencita-citakan suatu lembaga penyelesaian sengketa tersendiri dalam GATT. Isi pengaturan GATT mengenai masalah ini terlalu ringkas dan kurang jelas. Namun seiring berjalannya waktu telah memaksa GATT melakukan serangkaian perbaikan terhadap aturan penyelesaian sengketa dagang antar negara.170

169

Ibid, hal 83

170

(46)

2. Alasan-Alasan Mengajukan Penyelesaian Sengketa

Dalam sistem GATT, sengketa dapat timbul apabila terjadi kerugian atau yang secara teknis dikenal sebagai nullification or impairment (“penghapusan”

atau “kerusakan”) dari keuntungan yang diperoleh dari keanggotaan suatu negara

dalam GATT, akibat tindakan yang diambil oleh negara lain. Prinsip nullification dan impairment ini menjadi dasar bagi suatu negara anggota untuk mengadukannya kepada GATT.171 Dalam Pasal XXII ayat (1) mengatakan bahwa apabila konsesi dan keuntungan dari Perjanjian yang diperoleh suatu negara

anggota, (baik secara langsung maupun tidak langsung), “dihapus” atau “dirusak”

akibat tindakan yang diambil oleh suatu negara lain, (walaupun tindakan itu tidak melanggar aturan GATT), maka negara yang merasa dirugikan tersebut berhak meminta penyesuaian yang memuaskan karena akibat tersebut.172

Negara yang mengalami kerugian dapat mengajukan complaint (keluhan) kepada negara yang bersangkutan dan kepada GATT sebagai lembaga dengan menggunakan Pasal XXIII. Berdasarkan atas Pasal XXIII, terjadinya nullification and impairment ataupun any objective of the agreement being impeded dapat disebabkan karena salah satu dari tiga hal yaitu pelanggaran ketentuan GATT, tindakan yang merugikan pihak lain walaupun tidak melanggar aturan GATT, dan the existence of any other situation.173 Secara tekstual Pasal XXIII menjelaskan bahwa tiga sumber atau kausalitas yang dapat menimbulkan kerugian

171

H. S. Kartadjoemena, Op cit, hal 203-204 172

H. S. Kartadjoemena, GATT dan WTO Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, Op cit, hal 142

173

(47)

(nullification or impairment) terhadap negara anggota lainnya maupun “kerugian”

terhadap “. . . any objective of the Agreement . . .‖ adalah sebagai berikut:174

1. ―. . . the failure of another contracting party to carry out its obligations under this agreement . . .‖

2. ― . . . the application of another contracting party of any measure,

whether or not it conflicts with the provisions of the Agreement . .‖

3. The existence of any other situation

Jenis keluhan yang dapat diajukan sebagai complaint adalah apabila salah satu (atau kombinasi) dari ketiga sumber atau kausalitas yang menimbulkan kerugian terhadap negara anggota lainnya terjadi. Adapun jenis complaint yaitu sebagai berikut:175

1. Violation complaint, yaitu complaint yang diajukan oleh suatu negara terhadap negara lain akibat pelanggaran aturan GATT yang menimbulkan kerugian terhadap pihak lain yang secara sadar atau tidak dilakukan oleh pihak yang melanggar,

2. Non-Violation Complaint, yaitu complaint yang diajukan apabila terjadi suatu kerugian yang dihadapi oleh pihak lain akibat tindakan yang diambil oleh suatu pihak dalam perjanjian, walaupun tindakan tersebut tidak melanggar GATT. Sengketa ini merupakan sengketa yang timbul akibat tindakan yang tidak melanggar aturan tetapi merugikan pihak lain karena keuntungan yang telah diraih dari perjanjian telah ditiadakan akibat tindakan yang diambil suatu negara,

174

Ibid, hal 138 175

(48)

3. Situation complaint, dalam hal ini suatu negara dapat mengajukan complaint tentang suatu “situasi” yang tidak tercakup dalam kategori violation complaint maupun dalam kategori non-violation complaint. Rumusan dari complaint ini adalah ―. . . the existence of any other

situation . . .‖ yang menimbulkan nullification atau impairment dari keuntungan yang telah diperoleh melalui negosiasi atau menimbulkan keadaan dimana ―. . . the attainment of any objective of the Agreement

is being impaired . . .‖.

Dari ketiga jenis pengaduan tersebut, violation complaint merupakan sesuatu yang lebh serius karena adanya pihak yang dituduh telah melanggar perjanjian yang secara formal telah menjadi komitmen dari pihak tersebut dan yang menimbulkan kerugian terhadap pihak lain.176

3. Kelembagaan Penyelesaian Sengketa GATT

Pengembangan kelembagaan sistem penyelesaian sengketa GATT berjalan cukup lama sebelum akhirnya menjadi sistem yang semakin berbentuk. Namun perlu ditekankan kembali bahwa perjalanan yang berliku-liku dalam proses evolusi yang bertahap ini mencerminkan pengalaman dari sistem kelembagaan GATT pada umumnya. Perjanjian GATT sebagai perjanjian yang interim juga tidak membayangkan perlunya ada sekretariat. Semula GATT tidak memiliki aparatur penunjang untuk kegiatannya. Setelah terlihat bahwa kegiatan GATT memerlukan aparatur penunjang yang berfungsi secara kontinu dan melaksanakan

176

(49)

kegiatan harian maka langkah yang diambil untuk mengatasinya adalah mengadopsi sekretariat yang secara skeletal telah dibentuk pada waktu perundingan Havana dalam rangka membentuk ITO.177

Sekretariat yang menunjang perundingan ITO adalah sekretariat dari Interim Commission for the International Trade Organization (ICITO) yang didirikan oleh PBB dan dibiayai melalui pinjaman dari United Nations Working Capital Fund. Sekretariat ini kemudian dipinjamkan kepada GATT melalui penempatan beberapa pejabat dalam kegiatan GATT. Embrio dari sekretariat GATT kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam pembicaraan yang dilakukan pada waktu perundingan Annecy diselenggarakan tahun 1949, pada tahun 1951 negara anggota mulai turut memberi kontribusi untuk pembiayaan sekretariat. Namun secara formal Sekretariat GATT adalah Sekretariat ICITO. Pada sidang pertama dari Konferensi Havana 1848 untuk mendirikan ITO ada kesepakatan untuk mendirikan Interim Commission for the International Trade Organization dengan Executive Secretary sebagai pejabat yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan kegiatan dari ICITO tersebut. ICITO tersebut didirikan melalui resolusi. Sejak awal pembentukannya ICITO telah berfungsi sebagai sekretariat untuk GATT dan juga melaksanakan tugas yang sama dalam rangka kegiatan interim untuk persiapan ITO. Status ICITO ini tetap menjadi dasar hukum eksistensi Sekretariat GATT hingga diterapkan perjanjian mendirikan WTO pada akhir perundingan Uruguay Round.178

177

Disarikan dari H. S. Kartadjoemena, Substansi Perjanjian GATT/WTO Dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Sistem, Kelembagaan, Prosedur Implementasi, dan Kepentingan Negara Berkembang, Op cit, hal 29 dan 152

178

Gambar

Tabel : WTO Dispute Settlement Procedure

Referensi

Dokumen terkait

Dalam tempo tiga puluh hari sejak diterimanya laporan panel, anggota yang bersangkutan akan diberi waktu yang pantas untuk melakukannya.akan tetapi berbeda dengan system GATT,

Penulisan skripsi yang berjudul: PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM KERANGKA GATT DAN WTO adalah guna memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana

Oleh karena itu secara akademik penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya dan penulisan ini disusun berdasarkan literature-literatur yang berkaitan dengan

Sejarah Singkat World Trade perubahan besar dan memberikan hasil Organization yang nyata bagi sistem perdagangan dunia, dalam putaran ini substansi perundingan

internasional telah menerima GATT sebagai organisasi internasional. Lebih lanjut menyatakan bahwa tahapan dalam penyelesaian sengketa dagang dalam perdagangan

Apabila tidak ada tanggapan dalam waktu 10 hari atau konsultasi dilakukan lebih dari 30 hari atau lebih dari jangka waktu yang sudah disetujui bersama, maka negara

Tercantum dalam Pasal XIX GATT dan the Agreement on Safeguard. Aturan WTO juga mengatur mengenai “pengecualian dalam keadaan ekonomi darurat”. Pengecualian yang diatur dalam Pasal

Sistem ini diciptakan oleh para Negara anggota WTO pada saat Uruguay Round dengan harapan untuk menciptakan suatu sistem yang kuat dan dapat mengikat semua pihak dalam