• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai pengaruh kepada perubahan negara-negara di dunia. Melalui

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. mempunyai pengaruh kepada perubahan negara-negara di dunia. Melalui"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan dua dekade terakhir ini menunjukkan bahwa globalisasi mempunyai pengaruh kepada perubahan negara-negara di dunia. Melalui globalisasi di bidang ekonomi misalnya, terjadi pertumbuhan yang menjadikan terintegrasinya ekonomi dunia. Dengan perkataan lain, terjadi interdependensi yang meningkat dalam perekonomian di berbagai belahan dunia.1 Kegiatan perekonomian suatu negara telah menyebar melewati batas-batas negara (cross-border).2

Namun, dapat disadari pula bahwa kata globalisasi itu sendiri merupakan kata yang banyak disalahartikan dan saat ini banyak para sarjana dari berbagai disiplin ilmu mendefinisikan kata globalisasi menurut pandangan dan disiplin ilmu mereka masing-masing. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, globalisasi adalah proses masuknya ke ruang lingkup dunia.3 Dalam hal ini kecenderungan arus globalisasi telah mengarah pada penduniaan dalam arti “peringkasan” atau “perapatan” dunia (compression of the world) di berbagai bidang kehidupan.4

1 Christine greehalgh dan Mark Rogers, Innovation, Intellectual Property, and Economic Growth, (Princeton: Princeton University Press, 2010), hal. 243.

2 John Braithwaite dan Peter Drahos, Global Business Regulation, (New York: Cambridge University Press, 2000), hal. 24-25.

3 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hal 366

4 Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi, (Bandung: Books Terrace & Library, 2007), hal. 28.

(2)

Sejalan dengan itu Anthony Giddens dan John Tomlinson mengatakan bahwa globalisasi bersifat multidimensi dan kompleks. Di dalam globalisasi terkait bidang-bidang seperti ekonomi, politik, budaya, teknologi dan lain-lain.5

Dapat dipahami bahwa definisi mengenai globalisasi sangat beragam bergantung kepada para ahli memandang, misalnya seorang politikus mendefinisikan globalisasi dengan menekankan pada pengurangan hak-hak dari negara, bangsa dan masyarakat secara teritori yang dibentuk berdasarkan suatu unit analisis dari ilmu politik modern, sosiologi dan hubungan internasional. Sedangkan secara ekonomi definisi globalisasi ditekankan kepada kapitalisme dan perluasan dari sistem pasar bebas sebagai kunci dari proses globalisasi.

Dalam perspektif ekonomi, globalisasi ekonomi merupakan integrasi menyeluruh dari ekonomi nasional ke dalam ekonomi global tanpa batas yang meliputi perdagangan internasional yang bebas (Free International Trade).6 Perdagangan internasional yang menjadi salah satu peranan penting dalam arus globalisasi ekonomi merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat tua dan penting sepanjang sejarah. Dari penggalian (excavation) di desa Catal Hüyük di barat daya Anatolia (Turki), didapati bukti-bukti bahwa pada masa antara tahun 6.700 SM sampai dengan tahun 5.700 SM penduduk di kawasan itu yang pada mulanya terdiri atas para pemburu, kemudian berkembang dengan melakukan kegiatan peternakan, bertani dan perdagangan jarak jauh. Perdagangan internasional telah berkembang di Mesir pada sekitar tahun 1400 SM,

5 An An Chandrawulan, Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum Perdagangan Internasional dan Hukum Penanaman Modal, (Bandung : PT. Alumni, 2011), hal 86

6

(3)

perdagangan berlangsung antara Mesir dengan wilayah sekitar Laut Tengah (Mediterranean Sea), seperti Crete, Kepulauan Aegean, dan Assyria. Di Eropa, aktivitas perdagangan internasional telah tercatat sejak abad keduabelas, tetapi perdagangan internasional mulai berkembang pada awal abad keenambelas.7

Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subjek hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang Internasional. Fakta yang sekarang ini terjadi adalah perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk menjadi makmur, sejahtera dan kuat. Hal ini sudah banyak terbuka dalam sejarah perkembangan dunia.

Kesadaran untuk melakukan transaksi dagang Internasional ini juga telah cukup lama disadari oleh para pelaku pedagang di tanah air sejak abad ke-17. Salah satunya adalah Amanna Gappa, kepala suku Bugis yang sadar akan pentingnya dagang (dan pelayaran) bagi kesejahteraan sukunya. Keunggulan suku Bugis dalam berlayar dengan hanya menggunakan perahu-perahu bugis yang kecil telah mengarungi lautan luas hingga ke Malaya (sekarang menjadi wilayah Singapura dan Malaysia).8 Esensi untuk bertransaksi dagang ini adalah dasar filosofinya. Telah dikemukakan bahwa berdagang ini merupakan suatu “Kebebasan fundamental” (Fundamental Freedom). Dengan kebebasan ini, siapa saja harus memiliki kebebasan untuk berdagang. Kebebasan ini tidak boleh

7 Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral di Bawah Sistem Hukum WTO, (Bandung : PT. Alumni, 2010), hal 20

8 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2011), hal 2

(4)

dibatasi oleh adanya perbedaan agama, suku, kepercayaan, politik, sistem hukum, dan lain-lain.9

Globalisasi ekonomi dan perdagangan internasional yang bermanfaat bagi seluruh umat manusia, memerlukan pengaturan yang bersifat internasional yang akan mengatur perdagangan internasional. Seperti yang dikemukakan oleh mantan Direktur Jenderal GATT dan WTO, Peter Sutherland pada tahun 1997 menyatakan bahwa tantangan yang dunia hadapi adalah tantangan untuk membentuk suatu sitem (ekonomi) internasional yang dapt meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara maksimal, tetapi juga dapat menciptakan keadilan (equality). Sistem seperti ini adalah sistem yang dapat mengintegrasikan negara-negara yang kuat dan yang lemah dalam upaya mereka memperluas tingkat pertumbuhan ekonomi. Menurut Sutherland, sistem yang dicita-citakan tersebut juga harus dapat menciptakan perdamaian dan kemakmuran di masa yang akan datang dan sistem tersebut hanya dapat terwujud melalui terciptanya suatu kerja sama internasional untuk mencari pendekatan-pendekatan dan lembaga internasional yang efektif.10

Setidak-tidaknya terdapat empat alasan utama akan pentingnya pengaturan hukum yang mengatur perdagangan internasional, yaitu:11

1. Negara-negara harus menahan diri dan mencegah untuk melakukan tindakan-tindakan pembatasan terhadap perdagangan baik bagi kepentingan negara yang bersangkutan maupun bagi ekonomi dunia.

9 Ibid, hal 3

10 An An Chandrawulan, op cit, hal 118 11

(5)

Pengaturan perdagangan internasional dapat mencegah negara-negara untuk melakukan tindakan-tindakan pembatasan terhadap perdagangan. Negara-negara juga harus menyadari bahwa apabila mereka mengambil dan melakukan tindakan-tindakan yang membatasi perdagangan, negara-negara lainpun akan melakukan hal yang serupa. Hal ini akan menimbulkan banyaknya tindakan pembatasan dan hal tersebut dapat mendatangkan atau menimbulkan bencana bagi perkembangan perdagangan internasional dan bagi kesejahteraan ekonomi global, pengaturan perdagangan internasional membantu untuk menghindari lonjakan terjadinya tindakan-tindakan yang membatasi perdagangan. 2. Adanya kebutuhan dari para pedagang dan penanam modal akan

keamanan dan kepastian untuk melakukan usaha. Peraturan perdagangan internasional menawarkan dan menyediakan keamanan dan kepastian. Para pedagang dan penanam modal terikat oleh ketentuan atau peraturan-peraturan hukum yang dapat menentukan dan mempengaruhi usaha-usaha para pedagang dan penanam modal di negara yang bersangkutan. Kepastian dan keamanan yang dihasilkan dari adanya pengaturan-pengaturan perdagangan internasional akan mendorong penanaman modal dan perdagangan dan akhirnya akan mendorong kesejahteraan global. Seperti yang dikemukakan oleh John Jackson bahwa:

At least in the context of economic behavior . . . and particularly when the behavior is set in circumstances of decentralized decision-making, as in a market economy, rules can have important operational functions. They may provide the only predictability and stability to a potential investment or trade development situation. Without such

(6)

predictability or stability, trade or investment flows might be even more risky and therefore more inhibited than otherwise…To put it another way, the policies which tend to reduce some risks, lower the ―risk premium‖ required by entrepreneurs to enter into international transactions. This should result in a general increase in the efficiency of various economic activities, contributing to greater welfare for everyone.

3. Pemerintah nasional sendiri tidak akan dapat menghadapi tantangan-tantangan yang timbul dari globalisasi ekonomi. Perlindungan dari pentingnya nilai-nilai yang berkaitan dengan kemasyarakatan (societal values) misalnya kesehatan publik, lingkungan yang bersih, keamanan konsumen, identitas kebudayaan (culture identity) dan standar minimum upah pekerja. Faktor-faktor tersebut merupakan hasil dari berkembangnya perdagangan barang dan jasa, dan tidak lagi merupakan urusan nasional semata tetapi malah lebih merupakan suatu masalah yang mempunyai akibat atau pengaruh internasional. Upaya untuk melindungi nilai-nilai dalam masyarakat pada tingkat nasional dan hanya dapat dilakukan oleh pemerintah nasional itu sendiri tidak akan efektif dan sia-sia atau tidak berguna. Tindakan-tidakan ini walaupun sering secara tidak langsung atau tidak secara terang-terangan berkaitan dengan pengaturan dari perdagangan, tetapi kenyataannya bahwa tindakan yang berbeda dari negara satu dengan negara yang lain merupakan suatu yang merusak perdagangan internasional. Peraturan-peraturan perdagangan internasional bertugas untuk menjamin bahwa negara-negara tetap melakukan tindakan-tindakan atau membuat peraturan nasional hanya apabila memang perlu untuk perlindungan terhadap nilai-nilai dalam masyarakat seperti yang

(7)

dikemukakan diatas. Lebih jauh lagi peraturan-peraturan perdagangan internasional memperkenalkan suatu harmonisasi hukum antara pengaturan domestik yang membolehkan suatu negara melakukan tindakan untuk melindungi kepentingan masyarakatnya dan perlindungan internasional terhadap nilai-nilai tersebut.

4. Adanya kecenderungan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar akan kebersamaan hal dalam hubungan-hubungan ekonomi internasional . Tanpa peraturan-peraturan perdagangan internasional, pengikatan dan pelaksanaan peraturan serta peraturan-peraturan yang khusus diperlukan bagi negara-negara berkembang, beberapa negara tidak akan dapat melakukan integrasi secara penuh dalam sistem perdagangan internasional dan memperoleh suatu keuntungan-keuntungan dari perdagangan internasional.

Ada beberapa definisi yang disampaikan oleh para sarjana mengenai hukum perdagangan internasional, seperti definisi Schmitthoff. Definisi ini sebenarnya merupakan definisi buatan seorang guru besar ternama dalam hukum dagang internasional dari City of London College, yaitu Profesor Clive M. Schmitthoff. Schmitthoff mendefinisikan hukum perdagangan internasional sebagai: ―…the body of rules governing commercial relationship of a private law nature involving different nations‖.12

Dari definisi tersebut dapat tampak unsur-unsur berikut:

12

(8)

1. Hukum perdagangan internasional adalah sekumpulan aturan yang mengatur hubungan-hubungan komersial yang sifatnya hukum perdata, 2. Aturan-aturan hukum tersebut mengatur transaksi-transaksi yang berbeda

negara.

Definisi diatas menunjukkan dengan jelas bahwa aturan-aturan tersebut bersifat komersial. Artinya, Schmitthoff dengan tegas membedakan antara hukum perdata (private law nature) dan hukum publik. Dalam definisinya itu, Schmitthoff menegaskan bahwa ruang lingkup bidang hukum ini tidak termasuk hubungan-hubungan komersial internasional dengan ciri hukum publik. Termasuk dalam bidang hukum publik ini yakni aturan-aturan yang mengatur tingkah laku atau perilaku negara-negara dalam mengatur perilaku perdagangan yang mempengaruhi wilayahnya. Dengan kata lain, Schmitthoff menegaskan wilayah hukum perdagangan internasional tidak termasuk atau terlepas dari aturan-aturan hukum internasional publik yang mengatur hubungan-hubungan komersial.13

Sarjana lainnya yang mencoba memberi batasan bidang hukum ini adalah sarjana Australia, Sanson. Sanson memberi batasan bidang ini sesuai dengan pengertian kata-kata dari bidang hukum ini, yaitu hukum, dagang dan internasional (dengan kata dasar nation atau negara). Hukum perdagangan Internasional menurut definisi Sanson ―can be defined as the regulation of the conduct of parties involved in the exchange of goods, services and technology between nations‖14

13 Ibid, hal 5 14

(9)

Terlihat bahwa definisi diatas mengandung makna yang sederhana. Karena Ia tidak menyebut secara jelas bidang hukum ini jatuh ke bidang hukum privat, publik, atau hukum internasional. Sanson hanya menyebut bidang hukum ini adalah the regulation of the conduct of parties. Para pihaknya pun dibuat samar, hanya disebut parties. Sementara itu, objek kajiannya agak jelas yaitu jual beli barang, jasa dan teknologi. Meskipun ia memberi definisi yang mengambang tersebut, Sanson membagi hukum perdagangan internasional ini ke dalam dua bagian utama, yaitu hukum perdagangan internasional publik (public international trade law) dan hukum perdagangan internasional privat (private international trade law). Public international trade law adalah hukum yang mengatur perilaku dagang antarnegara. Sementara itu, private international trade law adalah hukum yang mengatur perilaku dagang secara orang perorangan (private traders) di negara-negara yang berbeda.15

Peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan perdagangan antar negara adalah bagian dari hukum ekonomi internasional. Hukum perdagangan internasional, dalam hal ini peraturan-peraturan internasional dalam bidang perdagangan barang dan jasa, membentuk batang tubuh hukum ekonomi internasional. Bidang hukum ini terdiri atas:16

1. Perjanjian-perjanjian perdagangan bilateral, 2. Perjanjian-perjanjian perdagangan regional, 3. Perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral.

15 Ibid, hal 8-9

16 Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi (ed), Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hal 2

(10)

Ada banyak perjanjian perdagangan bilateral, sebagai contoh Agreement on Trade in Wine between the European Union and Australia, juga Trade Agreement between the Unied States and Israel. Perjanjian perdagangan regional seperti North American Free Trade Agreement (NAFTA), perjanjian dalam daerah perdagangan bebas (free trade area) Antara Kanada, Meksiko, dan Amerika Serikat, dan MERCOSUR Agreement, perjanjian custom union Antara Argentina, Brazil, Paraguay, Uruguay, dan Venezuela.

Perjanjian multilateral yang paling penting dan yang paling besar dari semua perjanjian perdagangan internasional adalah Perjanjian Marrakesh mengenai pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia yang dibentuk pada tanggal 15 April 1994. Perjanjian perdagangan yang multilateral ini merupakan hukum dari perjanjian dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). WTO membentuk struktur organisasi yang dikembangkan berdasarkan ketentuan GATT pada awal tahun 1990. GATT yang aslinya yang merupakan negosiasi-negosiasi untuk menciptakan suatu Organisasi Perdagangan Internasional (International Trade Organization atau ITO) gagal setelah perang dunia kedua. Negosiasi-negosiasi pembentukan organisasi tersebut berhasil dituangkan dalam Havana Charter pada tahun 1948, tetapi hasil negosiasi ini tidak sampai kepada pembentukan Organisasi Perdagangan Internasional karena kongres Amerika Serikat menolak untuk meratifikasi perjanjian tersebut.17

17

(11)

Berdirinya WTO dalam Uruguay Round tahun 1994 tersebut,18 telah menjadi salah satu organisasi internasional yang berpengaruh dalam kerangka rezim internasional dan globalisasi ekonomi. Melalui WTO dalam Uruguay Round itu,19 membuat negara-negara yang menandatangani perjanjian WTO telah masuk dalam ekonomi global yang wajib mengikuti rezim internasional tersebut.20 Karena sistem perdagangan dalam kerangka WTO itu merupakan suatu rule based system dengan perjanjian-perjanjian multilateral yang disepakati bersama yang sifatnya terintegrasi dan single undertaking.21

Salah satu elemen yang paling penting dari rules-based sistem perdagangan multilateral dalam kerangka WTO itu adalah sistem penyelesaian sengketa.22 Karena hukum yang mengatur tentang perdagangan internasional tersebut dapat juga berguna dalam hal penyelesaian sengketa di bidang perdagangan yang melewati lintas batas negara. Sengketa internasional (international dispute) terjadi dikarenakan adanya perselisihan diantara negara dengan negara, negara dengan individu-individu, atau negara dengan badan-badan/lembaga yang menjadi subjek hukum internasional. Disamping itu, terdapat kegiatan perdagangan internasional yang melibatkan subjek-subjek hukum internasional yang berpotensi dapat memicu terjadinya perselisihan ataupun

18 Raj Bhala, International trade law, Theory and Practice, (New York: Lexis Publishing,

2001), hal. 201.

19 Uruguay Round Trade Agreement, Statement of Administrative Action, Agreement

Establishing the World Trade Organization, H.R. Doc. No. 316, 103d Cong., 2d Sess, 656-667 (September 27, 1994)

20 James E. Darton, “The Coming of The Global Trademark: The Effect of Trips On The

Well-Known Marks Exception To The Principle of Territoriality”, Michigan State International Law Review, (Volume 11, 2011), hal. 2.

21 Peter van den Bossche, dkk, Op. Cit, hal. xi

22 Rufus Yerxa, “The Power of the WTO Dispute Settlement System”, dalam Rufus

Yerxa dan Bruce Wilson, ed, Key Issues In WTO Dispute Settlement The First Ten Years, (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), hal. 3.

(12)

sengketa. Sejalan dengan hal tersebut, untuk menciptakan iklim perdagangan internasional yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis, serta menciptakan liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan.

Walaupun mengenai sistem penyelesaian sengketa telah diatur sebelum adanya WTO, yaitu melalui General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang bertujuan sebagai rules-based sistem perdagangan internasional. Juga komponen dari sistem GATT tersebut menyangkut dispute settlement atau penyelesaian sengketa.23

Namun, sistem penyelesaian sengketa dalam kerangka GATT itu belum lengkap dan belum sempurna, walaupun cakupannya dapat dipahami bersifat komprehensif. Oleh karena itu, sistem penyelesaian sengketa dalam kerangka WTO telah memperkokoh dengan penyempurnaan prosedur dan pengembangan institusional dari sistem penyelesaian sengketa dalam kerangka GATT. Karena dalam proses perundingan Uruguay Round telah ditentukan cara untuk melakukan perundingan untuk menyempurnakan sistem penyelesaian sengketa yang ada dalam GATT.24

Sistem penyelesaian sengketa dalam kerangka GATT tersebut bertujuan dan mempunyai prosedur untuk melakukan perundingan sebagaimana dinyatakan dalam deklarasi Punta del Este. Mengikuti pedoman tersebut maka perundingan

23 H.S. Kartadjoemena, Substansi Perjanjian GATT/WTO Dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Sistem, Kelembagaan, Prosedur Implementasi, dan Kepentingan Negara Berkembang, (Jakarta: UI-Press, 2000), hal. 7.

24 Ibid.

(13)

Uruguay Round akhirnya menghasilkan kesepakatan untuk menyempurnakan sistem penyelesaian sengketa. 25

Dengan berdirinya WTO, maka berkenaan dengan sistem penyelesaian sengketa telah diterapkan Understanding on Rules Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU).26 Lebih dari lima belas tahun pertama pengoperasiannya, DSU yang dimiliki WTO telah mengambil peran yang penting di dalam penegakan dan implementasi dari komitmen-komitmen yang dimiliki oleh WTO. DSU menyediakan mekanisme yang sangat efektif dimana anggota-anggota WTO dapat mencari implementasi penuh dari konsesi perdagangan yang dinegosiasikan sebelumnya. Namun, anggota-anggota WTO tidak diposisikan sama rata untuk mengakses dan menggunakan hal tersebut secara efektif, khususnya mempengaruhi negara-negara berkembang.27

Perbedaan sistem penyelesaian sengketa dalam GATT dengan WTO tersebut menjadi menarik untuk dikaji. Oleh karena itu penulis mengkajinya melalui penulisan skripsi yang berjudul, “Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional: Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)”.

25 Ibid.

26 “Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes” (Annex 2) Final Act Embondying the Results of the Uruguay Round of Multilateral trade Negotiations (Marakesh: GATT Secretariat, 15 April, 1994). Doc. TNC/UR-94-0083. Hal. 353-77. 27 David Evans dan Gregory C. Shaffer, “Introduction”, dalam Gregory C. Shaffer dan Ricardo Melendez-Ortiz, ed, Dispute Settlement at the WTO The Developing Country Experience, (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), hal. 1.

(14)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, yang dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Apa saja bentuk penyelesaian sengketa Internasional (International Dispute Settlement)?

2. Bagaimana perkembangan sistem perdagangan Internasional dalam kerangka GATT dan WTO?

3. Bagaimana sistem dan mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan dalam GATT jika dibandingkan dengan WTO?

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

a. Tujuan Umum:

Untuk memberikan masukan dan sumbangan pemikiran dalam hal perbandingan sistem penyelesaian sengketa perdagangan Internasional antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

b. Tujuan Khusus:

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk dari penyelesaian sengketa Internasional (International Dispute Settlement)

(15)

2. Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan Internasional dalam perspektif GATT dan WTO

3. Untuk memahami perbandingan sistem penyelesaian sengketa Internasional dalam bidang perdagangan antara sistem penyelesaian sengketa di bawah GATT dan sistem penyelesaian sengketa di bawah WTO

2. Manfaat

Tulisan ini mempunyai manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut :

a. Secara Teoritis

Tulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi awal dalam bidang ilmu hukum bagi kalangan akademis guna mengetahui lebih lanjut tentang sistem penyelesaian sengketa perdagangan Antara GATT dan WTO.

b. Secara Praktis

Tulisan ini secara praktis dapat memberikan bahan masukan bagi para pihak yang berkaitan dengan sengketa internasional di bidang perdagangan dalam kaitannya dengan bentuk-bentuk proses baru di dalam menyelesaikan sengketa perdagangan Internasional di bawah WTO yang tidak ada dalam GATT.

(16)

D. Keaslian Judul

Skripsi ini berjudul “Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional: Perbandingan Sistem Penyelesaian Sengketa Antara General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)”. Sehubungan dengan keaslian judul Skripsi ini, penulis melakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara.

Namun, terdapat penelitian dalam bentuk tesis di Program Pascasarjana F. Hukum Universitas Indonesia, yang ditulis oleh Tomy Prihananto dengan judul “Studi Perbandingan Hukum Mengenai Peranan Private Party Dalam Penyelesaian Sengketa Di World Trade Organization (WTO) dan North American Free Trade Agreement (NAFTA) dan Implementasinya di Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Rumusan permasalahan dan sunstansi tesis tersebut berbeda jauh dengan permasalahan dan substansi skripsi yang penulis teliti.

Selanjutnya, terdapat penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul “Kajian Yuridis Tentang Proses Penyelesaian Sengketa di World Trade Organization (WTO) Menurut Perspektif Negara Berkembang”, pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya oleh Listya Anggraeni. Rumusan permasalahan dan sunstansi tesis tersebut berbeda jauh dengan permasalahan dan substansi skripsi yang penulis teliti.

(17)

Apabila dikemudian hari, ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat maka hal tersebut dapat diminta pertanggungjawaban dikemudian hari.

E. Tinjauan Kepustakaan

John Braithwaite dan Peter Drahos mengamati, bahwa implikasi globalisasi ekonomi itu terhadap hukum tidak bisa dihindarkan. Pranata hukum suatu negara “tidak bisa tidak” harus mengikuti arus globalisasi ekonomi, dalam arti, substansi dari berbagai undang-undang dan perjanjian-perjanjian menyebar melewati batas-batas negara (cross-border).28

Pengamatan di atas tersebut sejalan pula dengan apa yang telah diuraikan Lawrence M. Friedman. Ia mengatakan, bahwa hukum itu tidak bersifat otonom, tetapi sebaliknya hukum itu bersifat terbuka setiap waktu terhadap pengarus luar.29

Berdirinya WTO telah memberikan konsekuensi bagi Indonesia sebagai salah satu diantara 125 negara yang ikut menandatangani perjanjian WTO dan elah meratifikasinya melalui UU No. 7 Tahun 1994 pada tanggal 2 November 1994. Dengan ratifikasi ini maka seluruh ketentuan dalam WTO wajib dilaksanakan oleh Indonesia. Pelaksanaan ketentuan WTO tersebut dilakukan

28 Op-cit.

29 Lawrence M. Friedman, Legal Cultur and the Welfare State: Law and Society – An Introduction, (Cambridge: Harvard University Press, 2000), hal. 89.

(18)

dengan menyesuaikan seluruh ketentuan yang berlaku di bidang perdagangan/perekonomian dengan ketentuan-ketentuan WTO tersebut.30

Prinsip-prinsip GATT menjadi kerangka aturan bagi bidang-bidang baru dalam perjanjian WTO, khususnya Perjanjian mengenai Jasa (GATS), Perdagangan yang terkait dengan Penanaman Modal (TRIMs), dan juga dalam Perjanjian mengenai Perdagangan yang terkait dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (TRIPS).31 Adapun prinsip-prinsip yang dijalankan oleh GATT antara lain sebagai berikut:32

1) Prinsip non diskriminasi yang meliputi:

a. Prinsip Most Favored Nation (MFN), prinsip ini diatur dalam pasal I ayat (1) GATT 1947 yang berjudul general favored nation treatment, prinsip ini menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar non diskriminatif, keringanan tarif impor yang diberikan pada produk suatu negara harus diberikan pula kepada produk impor dan mitra dagang negara anggota lainnya. Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan segera tanpa syarat terhadap produk yang berasal / yang diajukan kepada semua anggota GATT.

b. Prinsip perlakuan nasional (national treatment / NT principle) Prinsip ini diatur dalam pasal III GATT 1947, berjudul national treatment on international taxation and regulation, prinsip ini

30

Zulkarnain Sitompul, Dilema Investasi Asing, (Bandung: Books Terrace & Library, 2008), hal 22

31 Huala Adolf, op cit, hal 97

32 http://zaenalmuttaqin-enal.blogspot.com/2013/07/general-agreement-on-tariffs-and-trade.html diakses pada tanggal 06 Januari 2014 pukul 17.27 WIB

(19)

menyatakan bahwa, “this standard provides for inland parity that is say equality for treatment between nation and foreigners”.

2) Prinsip resiprositas (reciprocity), prinsip ini diatur di dalam pasal II GATT 1947. prinsip ini merupakan prinsip fundamental dalam GATT, prinsip ini tampak pada preambule GATT dan berlaku dalam perundingan-perundingan tariff yang didasarkan atas dasar timbal balik dan saling menguntungkan kepada kedua belah pihak, yaitu perlakuan yang diberikan suatu negara kepada negara lain sebagai mitra datangnya harus juga diberikan juga oleh mitra dagang negara tersebut. Prinsip ini diterapkan terutama dalam hal terjadinya pertukaran barang antara dua negara secara timbal balik yang menghendaki adanya kebijaksanaan / konsensi yang seimbang dan saling menguntungkan antara negara yang satu dengan yang lainnya dalam perdagangan internasional.

3) Prinsip larangan restriksi (pembatasan) kuantitatif yang menjadi ketentuan dasar GATT adalah larangan retriksi kuantitatif yang merupakan rintangan terbesar terhadap GATT terhadap ekspor impor dalam bentuk apapun (misalnya penetapan kuota impor / ekspor, retriksi penggunaan lisensi impor dan ekspor pengawasan pembayaran produk-produk impor / ekspor), pada umumnya dilarang (pasal IX) hal ini disebabkan karena praktek perdagangan yang demikian mengganggu praktek perdagangan yang normal.

(20)

4) Prinsip perdagangan yang adil (fairness), prinsip fairness dalam perdagangan internasional yang melarang dumping (pasal VI) dan subsidi (pasal XVI), dimaksudkan agar jangan sampai terjadi suatu negara menerima keuntungan tertentu dengan melakukan kebijakan tersebut, justru menimbulkan kerugian bagi negara lainnya. Dalam perdagangan internasional, prinsip fairness ini diarahkan untuk menghilangkan praktek-praktek ekonomi yang disebut dengan praktek subsidi dan dumping.

5) Prinsip perlindungan melalui tariff (tariff binding principle), setiap anggota Negara WTO harus mematuhi berapapun besarnya tariff yang telah disepakatinya atau disebut dengan prinsip tariff mengikut, prinsip ini diatur dalam pasal II ayat (1) GATT-WTO 1995. Pada prinsipnya GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industry domestic melalui tariff (menaikkan tingkat tariff bea masuk) dan tidak melalui upaya-upaya perdagangan lainnya sehingga masih memungkinkan adanya kompetisi yang sehat.

Dalam prakteknya pada GATT, penyelesaian sengketa yang diterapkan menggunakan ketentuan yang ada pada perjanjian GATT sendiri. Dalam berbagai perjanjian komersial seringkali terdapat ketentuan mengenai penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase. Namun seringkali pula perjanjian tersebut mengandung ketentuan yang samar-samar mengenai aspek enforcement. Demikian pula dalam GATT, yang juga mengandung elemen yang agak samar-samar mengenai enforcement. Seperti yang akan dilihat dibawah tujuannya bukan

(21)

untuk melakukan enforcement dalam arti ”punitif” dan menghukum satu pihak yang melanggar tetapi untuk mencabut tindakan yang melanggar dan mengembalikan atau melakukan ”restorasi” kembali keuntungan yang diperoleh dari perjanjian yang telah diganggu akibat tindakan dari salah satu anggota.33

Dalam GATT, sistem penyelesaian sengketa yang berkembang merupakan elemen yang cukup khas yang tidak terdapat pada lembaga multilateral lainnya. Penyelesaian sengketa ini merupakan salah satu jenis kegiatan yang lambat laun telah melembaga dalam GATT. Hal ini berarti bahwa khusus dalam bidang penyelesaian sengketa, berdasarkan atas pengalaman institusional sejak didirikannya GATT, telah tersusun suatu sistem dan tata cara yang semakin berbentuk. Dalam kata lain, dengan telah berjalannya sistem tata cara yang telah tersusun sejak 40 tahun lamanya, maka telah tercipta suatu insitutional memory yang menjadi landasan dalam melaksanakan kegiatan penyelesaian sengketa.34

Dalam proses perundingan Uruguay Round telah ditentukan cara untuk melakukan perundingan untuk menyempurnakan sistem penyelesaian yang ada dalam GATT. Tujuan dan prosedur untuk melakukan perundingan tersebut ditentukan dalam Deklarasi Punta del Este. Mengikuti pedoman tersebut maka perundingan Uruguay Round akhirnya menghasilkan kesepakatan untuk menyempurnakan sistem penyelesaian sengketa. Dengan berhasilnya perundingan Uruguay Round, maka di bidang dispute settlement, sebagai salah satu hasil adalah diterapkannya Understanding on Rules Procedures Governing the Setlement of Disputes (DSU). Perjanjian ini memperjelas lagi arah dari

33 H.S. Kartadjoemena, Op cit, hal 125-128 34

(22)

mekanisme penyelesaian sengketa yang akan diterapkan pada tahun-tahun mendatang.35

Mekanisme penyelesaian sengketa yang telah disepakati sebagai hasil Uruguay Round tersebut akan semakin memperkuat prosedur GATT yang sudah ada. Prosedur penyelesaian sengketa yang telah disepakati pada Mid-term Review Uruguay Round di Montreal, Desember 1988 sebagai hasil interim¸ telah memperketat prosedur yang berlaku dan penunjukan panel, kerangka acuan, dan komposisi panel, tidak lagi ditentukan oleh pihak-pihak yang bersengketa. Dengan berbagai penyempurnaan tambahan maka telah disepakati suatu perjanjian yang lengkap di bidang penyelesaian sengketa.36

F. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.37 Dengan metode penelitian normatif tersebut, penelitian ini akan menganalisis hukum baik yang tertulis dalam literatur - literatur, maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan. Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), yaitu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan

35 Ibid, hal 177 36 Ibid, hal 177-178

37 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), hal. 15.

(23)

perundang-undangan, buku-buku, karya-karya ilmiah, serta sumber data sekunder lainnya.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskritif analitis. Deskritip berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaannya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Jenis data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data melalui pengkajian terhadap literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan hakim yang berkaitan dengan peneltian ini.

4. Analisis Data

Analisis data yang dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin terpenting yang relevan dengan permasalahan. Membuat sistematika dari data-data tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula, selanjutnya semua data diseleksi, diolah kemudian

(24)

dinyatakan secara deskriptif sehingga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini secara garis besar terdiri dari 5 bab dan sub – sub bab yang diuraikan sebagai berkut:

1. BAB I : Pendahuluan A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan dan Manfaat D. Keaslian Judul E. Tinjauan Pustaka F. Metode Penelitian

2. BAB II : Bentuk Penyelesaian Sengketa Internasional (International Dispute Settlement)

A. Pengertian Penyelesaian Sengketa Internasional

1. Pengertian Sengketa Internasional, Penyebab Sengketa Internasional, dan Penyelesaian Sengketa Internasional 2. Bentuk-Bentuk Sengketa Internasional B. Upaya Penyelesaian Sengketa

(25)

1. Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai

2. Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Paksa

C. Sengketa Internasional di Bidang Perdagangan

1. Globalisasi Ekonomi

2. Pengertian Perdagangan Internasional dan Sengketa Internasional di Bidang Perdagangan

3. Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Internasional Bidang Perdagangan D. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa

Internasonal di Bidang Perdagangan 1. Konsultasi dan Negosiasi

2. Mediasi 3. Arbitrase 4. Retaliasi

3. BAB III : Perkembangan Sistem dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional dalam Perspektif GATT dan WTO

(26)

A. Perkembangan GATT dan WTO Sebagai Sistem Perdagangan Internasional

1. Sejarah Singkat GATT dan WTO 2. Hubungan GATT dan WTO

3. Tujuan dan Fungsi GATT dan WTO 4. Prinsip-Prinsip Perdagangan

Internasional dalam GATT dan WTO 5. Perkembangan Perdagangan

Internasional Hasil Uruguay Round C. Perkembangan Sistem dan Mekanisme

Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional dalam GATT

1. Konsep Sistem Penyelesaian Sengketa GATT

2. Kelemahan Sistem Penyelesaian GATT 3. Upaya Penyempurnaan Sistem

Penyelesaian Sengketa

D. Perjanjian Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Hasil Perundingan Uruguay Round

1. Perundingan Uruguay Round 2. Deklarasi Punta del Este

(27)

3. Perjanjian Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Hasil Perundingan Uruguay Round

4. BAB IV : Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional antara GATT dan WTO

A. Hubungan Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional antara GATT dan WTO

B. Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional dalam GATT 1. Dasar Penyelesaian Sengketa dalam

GATT

2. Alasan-Alasan Mengajukan Penyelesaian Sengketa

3. Kelembagaan Penyelesaian Sengketa GATT

4. Prosedur Penyelesaian Sengketa

C. Sistem Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional dalam WTO 1. Dasar Penyelesaian Sengketa dalam

WTO

2. Alasan-Alasan Mengajukan Penyelesaian Sengketa

(28)

3. Kelembagaan Penyelesaian Sengketa WTO

4. Prosedur Penyelesaian Sengketa 5. Ketentuan Bagi Negara Berkembang 5. BAB V : Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan B. Saran

Referensi

Dokumen terkait

Hormon 17 α metil testosteron dengan dosis 15 µg/g induk ternyata memberikan pengaruh nyata terhadap beberapa aspek reproduksi udang galah, yaitu derajat pengeraman,

Belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang (Dahar, 2006: 95).

Dengue hemorrhagic fever (DHF) and DSS are the severe manifestation of dengue virus infection characterized by plasma leakage as a result of increased vascular

Kepuasan menjadi salah satu faktor yang penting dalam menciptakan loyalitas, hal ini dibuktikan dari hasil penulisan desertasi yang dilakukan oleh Rai Utama (2014)

(Mulyana, 2015: 8) Kemampuan manusia bila dibandingkan dengan makhluk lain adalah lebih mampu menyadari siapa dirinya, mengobservasi diri dalam setiap tindakan serta mampu

Tampilan informasi yang ditampilkan adalah dalam bentuk grafis maupun laporan, yang dapat mewakili hubungan atau pola-pola informasi yang penting yang terdapat

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pada penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa : (1) Terdapat perbedaan yang signifikan kompetensi pengetahuan IPS antara siswa

Pola penyebaran MPT dari Muara sungai yang tinggi dan terlihat relatif sama menuju perairan Bengkulu, karena arus yang terjadi mempunyai gerakan yang sama sehingga sebaran MPT