• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional merupakan salah satu bagian dari kegiatan ekonomi atau kegiatan bisnis yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang pesat. Namun, pesatnya perkembangan hukum ini dibarengi pula berbagai definisi berbeda antar para sarjana. Definisi pertama perdagangan internasional dikemukakan oleh Sekretaris Jenderal PBB dalam laporannya tahun 1966.16

a. Hukum perdagangan internasional adalah sekumpulan aturan yang mengatur hubungan-hubungan komersial yang sifatnya hukum perdata. Definisi ini sebenarnya merupakan definisi buatan seorang Guru Besar ternama dalam Hukum Dagang Internasional dari City of London College, yaitu Profesor Clive M. Schmitthoff yakni mendefinisikan perdagangan internasional sebagai:

“… the body of rules governing commercial relationship of a private law nature involving different nations”. Dari definisi ini, maka terdapat unsur-unsur sebagai berikut:

b. Aturan-aturan hukum tersebut mengatur transaksi-transaksi yang berbeda negara.

Namun, meski perdagangan internasional telah lama dikenal di Indonesia ternyata masih banyak yang salah mempersepsikannya, Profesor Hikmahanto Juwana mengemukakan ada tiga kesalahan persepsi dalam memaknai perdagangan internasional17

16

United Nations, Progressive Development of the Law of International Trade: Report of

the Secretary General of the United Nations 1966, (dalam) Huala Adolf, Hukum Perdagangan

Internasional (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 4.

17Kata Pengantar oleh Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LLM, PHd, (dalam) Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi, Pengantar Hukum WTO(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. XV.

a. Atribusi yang diberikan pada istilah perdagangan internasional. Masih banyak pihak yang mempersepsikan dalam istilah tersebut adalah pihak-pihak yang melakukan transaksi perdagangan. Padahal perdagangan internasional sama sekali tidak merujuk pada kegiatan transaksi perdagangan pelaku usaha negara. Perdagangan internasional merujuk pada kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh berbagai pemerintah dibidang perdagangan. Pemerintah sebagai regulator memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan tidak saja bagi pelaku usaha yang melakukan kegiatan diwilayahnya tetapi juga kewenangan untuk membuat kebijakan atas barang atau jasa di negara lain yang akan masuk kenegaranya.

b. Mispresepsi kedua adalah terkait dengan istilah hukum perdagangan internasional. Dalam sejumlah literatur Indonesia masih banyak penulis yang melakukan pembahasan mengenai arbitrase ataupun kontrak internasional dalam buku yang berjudul Hukum Perdagangan Internasional. Ini disebabkan para penulis menganggap perdagangan internasional sebagai transaksi perdagangan antar pelaku usaha lintas negara. Padahal bila dibandingkan dengan literatur yang sama dari luar negeri (International Trade Law), hukum perdagangan internasional sama sekali tidak merujuk pada aturan-aturan yang bersifat perdata. Aturan-aturan yang dibahas dalam hukum perdagangan internasional mencakup aturan-aturan yang dijadikan rujukan ketika negara membuat kebijakan dibidang perdagangan.

c. Mispresepsi yang ketiga yakni terkait dengan apa yang diatur dalam berbagai perjanjian antar negara. Perjanjian antar negara ini tidak mengatur transaksi yang dilakukan antar negara ‘serupa’ dengan kontrak bisnis internasional. Ada paling tidak tiga hal yang diatur dalam perjanjian internasional, yakni18

1) Kesepakatan antar negara untuk menghilangkan berbagai hambatan (barriers) atas arus barang dan jasa. Kesepakatan ini yang kemudian harus ditransformasikan kedalam peraturan perundang-undangan nasional diberbagai tingkatan sehingga kebijakan pemerintah dibidang perdagangan tidak akan mendiskriminasi asal barang atau jasa.

:

2) Kesepakatan ini diharapkan mewujudkan keseragaman-keseragaman yang diharapkan terkait dengan kebijakan maupun penafsiran atas suatu istilah maupun konsep yang diambil oleh berbagai pemerintah dibidang perdagangan. Sebagaimana diketahui dengan adanya kedaulatan negara maka setiap pemerintahan dapat membuat kebijakan bahkan dalam menafsirkan suatu konsep atau istilah. Melalui perjanjian perdagangan internasional inilah persamaan persepsi dapat diwujudkan.

3) Kesepakatan dibuat juga untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa yang muncul antar negara. Sengketa dapat muncul karena perbedaan penafsiran atas ketentuan yang telah disepakati ataupun salah satu negara anggota tidak menaati apa yang telah disepakati.

18

Dampaknya, perdagangan merupakan sektor jasa yang menunjang kegiatan ekonomi antar anggota masyarakat dan antar bangsa, bagi Indonesia, dengan ekonominya yang bersifat terbuka, perdagangan sangat vital bagi upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan, meningkatkan pelaksanaan pembangunan nasional guna mewujudkan pemerataan pembangunan, berikut hasil-hasilnya serta memelihara kemantapan stabilitas nasional.19

2. GATT/ WTO

Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subjek hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang internasional. Fakta sekarang ini terjadi adalah perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk menjadi makmur, sejahtera dan kuat. Hal ini sudah banyak terjadi dalam sejarah perkembangan dunia. Besar dan jayanya negara-negara didunia tidak terlepas dari keberhasilan dan aktivitas negara-negara-negara-negara tersebut didalam perdagangan internasional. Timbulnya kebebasan dalam melaksanakan perdagangan antar negara, atau disebut dengan perdagangan internasional termotivasi oleh paham atau teori yang dikemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya berjudul “The Wealth of Nations”, yang menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat suatu negara justru akan meningkat, jika perdagangan internasional dilakukan dalam pasar bebas dan intervensi pemerintah dilakukan seminimal mungkin.

Persetujuan Umum Mengenai Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariff and Trade) yang biasa disingkat dengan GATT merupakan suatu perjanjian perdagangan multilateral yang disepakati pada tahun 1948, dimana

19

Syahmin AK, Hukum Dagang Internasional: Dalam Kerangka Studi Analitis(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm 16.

tujuan pokoknya ialah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan guna tercapainya kesejahteraan umat manusia. Lebih lanjut GATT bertujuan untuk menjaga upaya agar perdagangan dunia dapat menjadi semakin terbuka agar arus perdagangan dapat berkembang dengan mengurangi hambatan-hambatan dalam bentuk tarif maupun non-tarif.20

Disetujuinya hasil perundingan Uruguay Round dan dibentuknya WTO sebagai lembaga penerus GATT, struktur dan sistem pengambilan keputusan yang berlaku didalam GATT juga turut disesuaikan dengan ketentuan dalam perjanjian baru tersebut. WTO adalah suatu lembaga perdagangan multilateral permanen. Perjanjian multilateral ini diadakan dalam rangka melaksanakan kesepakatan yang dicapai pada Bretton Woods Conference 1994. Bretton Woods Conference 1994 bertujuan hendak membentuk tata ekonomi dunia baru setelah sejumlah negara kuat didunia pada waktu itu menghadapi kenyataan terganggunya perekonomian dunia selama lebih dari satu dekade. Guna mencapai tujuan itu Bretton Woods Conference 1994 menetapkan konsep kerja sama internasional melalui kesepakatan multilateral dalam bidang perdagangan, dalam bidang moneter dan dalam bidang pembangunan serta rekontruksi atas kerusakan akibat perang dunia kedua. Untuk maksud itu, kemudian dibentuklah organisasi-organisasi internasional yang salah satunya adalah GATT. Sejak tahun 1947 secara tetap memainkan peran penting untuk menyelenggarakan rangkaian perundingan (round) guna melanjutkan upaya membentuk kesepakatan-kesepakatan multilateral baru dalam rangka liberalisasi lebih lanjut terhadap perdagangan internasional, hingga akhirnya terbentuk WTO yang sejak tanggal 1 Januari 1995 menggantikan GATT.

20

Sebagai suatu organisasi permanen, peranan WTO akan lebih kuat daripada GATT. Hal ini secara langsung tercermin dalam struktur organisasi dan sistem pengambilan keputusan. Dengan terbentuknya WTO mulai 1 Januari 1995, maka tentang apakah GATT sebagai organisasi internasional atau bukan, telah berakhir. GATT 1947 kini diintergrasikan didalam satu perjanjian yang merupakan ANNEX

perjanjian WTO, yakni Multilateral Agreement on Trade in Goods.

3. Hambatan Perdagangan

Hambatan perdagangan adalah regulasi atau peraturan pemerintah yang membatasi perdagangan bebas. Rezim perdagangan bebas yang tidak dapat dihindari negara-negara saat ini tidaklah berarti perdagangan dilakukan tanpa batas. Sebagaimana dikemukakan oleh Departemen Perdagangan Denmark yang memberikan definisi hambatan perdagangan adalah sebagai berikut :

“Trade barriers are measures that governments or public authorities introduce to make imported goods or services less competitive than locally produced goods and services. Not everything that prevents or restricts trade can be characterised as a trade barrier”.21

Maka, hambatan perdagangan tersebut perlulah diatur keseragamannya untuk menghindari praktik-praktik perdagangan yang kurang wajar yang dilakukan banyak negara dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan alasan untuk melindungi industri didalam negeri dan memberikan kesempatan kerja dengan melakukan hambatan tarif maupun non-tarif. Maka, diperlukanlah keseragaman pengaturan yakni perjanjian WTO yang mana terkait hambatan perdagangan, jika diklasifikasikan terdiri dari dua jenis, hambatan atau larangan berupa tarif atau non-tarif. Yang paling umum dari hambatan tarif terhadap akses

21“What is a Trade Barrier”, The Trade Council of Ministry of Foreign Affairs of

Denmark,

pasar adalah (setidaknya untuk barang) bea masuk. Hambatan non-tarif terhadap akses pasar untuk barang dan juga untuk jasa dan pemberi jasa dapat berupa:22

a. Hambatan kuantitatif (quantitative restriction);

b. Hambatan non-tarif lainnya, seperti hambatan teknis dalam perdagangan, kurangnya transparansi dalam regulasi perdagangan nasional, penerapan yang kurang adil dan memihak dari regulasi perdagangan nasional dan formalitas dan prosedur perpajakan.

4. Hambatan Kuantitatif (Quantitative Restriction)

Pembatasan Kuantitatif adalah aturan yang membatasi jumlah (kuantiti) atas sebuah barang yang akan diimpor atau diekspor.23Prinsip penghapusan hambatan kuantitatif diatur dalam Pasal XI GATT 1947. Hambatan kuantitatif dalam perdagangan internasional yang disebutkan dalam persetujuan GATT/WTO adalah hambatan perdagangan yang bukan merupakan tarif atau bea masuk. Termasuk dalam kategori hambatan ini adalah kuota danpembatasan ekspor secara sukarela (VER).Menyadari bahwa kuota cenderung tidak adil, dan dalam prakteknya justru menimbulkan diskriminasi dan peluang-peluang subjektif lainnya. Oleh karena itu, maka hukum perdagangan internasional melaui WTO menetapkan untuk menghilangkan jenis hambatan kuantitatif. Adanya prinsip transparansi membawa akibatnegara-negara anggota WTO apabila hendak melakukan proteksi perdagangan internasional, tidak boleh menggunakan kuota sebagai penghambat, melainkan hanya tarif yang diizinkan untuk diterapkan. Karenanya, prinsip ini seringkali disebut sebagai tarifikasi hambatan perdagangan.24

22

Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi, Op. Cit., hlm. 25.

23

Pasal XI ayat (1) GATT 1994, menyatakan larangan umum atas pembatasan kuantitatif dalam ekspor maupun impor.

24

“Penerapan Tarif Impor Berdasarkan Ketentuan GATT-WTO, AFTA DAN Perundang-Undangan Indonesia (The Aplication of Import Tariff according to The Rule of GATT-WTO, AFTA

Dokumen terkait