ataupun mitigasi terhadap terjadinya drivers perubahan iklim di tingkat lokal pasca erupsi yang terjadi secara periodik di TNGM. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2012. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2012 tentang Kebijakan Strategis Pembangunan Daerah di Bidang Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni tahun 2012 – 2016. Anonim, 2013. Upacara Adat Merti Bumi, dari Warta Madani, http://www.wartamadani.com/2013/10/upacara-adat-merti-bumi.html Dharmono, 2001. Pendekatan Konseptual Pengembangan Sistem Pengetahuan Lokal, Banjarmasin Post, 19 Mei 2001. Habibudin, I. 2006. “Kearifan Lokal Masyarakat”, dalam Pengelolaan Repong Damar Untuk Mendukung Konservasi Lingkungan di Pesisir Krui Lampung Barat. (Tesis).Yogyakarta: Pasca Sarjana UGM, 2006. Hadi, Sudharto P. 2006. Sarasehan Nasional Kearifan Lingkungan, Yogyakarta 27 September 2006, PPLH Regional Jawa bekerjasama dengan UGM Hobbs R., J., A. Jentsch. & M. Temperton, Vicky. 2007. Restoration as a Process of Assembly and Succession Mediated by Disturbance. Dalam Linking Restoration and Ecological Succession (eds R. L. Walker, J. Walker and R. Hobbs, J.). Springer, New York. Indrawan, Primack dan Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kusumosanyoto, S. 2009. Pembangunan Sumberdaya Air Dalam Dimensi Hamemayu Hayuning Bawono, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada.. Yogyakarta: Hasta Cipta Mandiri. Nazir, I. 2012. Membaca Perubahan Iklim Melalui Bingkai Antropologi. Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 14 No. 3 Tahun 2012 pp 625-635. Purnomo. 2013. Mitigasi Kultural Masyarakat Lereng Selatan Gunungapi Merapi. Makalah International Conference Planning in The Era Uncertainty’ 4 – 5 Maret 2013 di Universitas Brawijaya Malang. Purwaningsih, E. 2007. Air, Makna, Fungsi dan Tradisi. Jurnal Sejarah dan Budaya ‘Jantra’, Vol. II, No. 3, Juni 2007. ISSN 1907 -9605 100 Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014 MITIGASI 101 Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014 102 Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014 11 ALIRAN KARBON DAN ENERGI PADA BERBAGAI TUTUPAN LAHAN SULAWESI TENGAH Carbon and Energy Turbulen Flux Under Different Land Covers in Central Sulawesi A. Rauf dan H. Barus Fakultas 1 Pertanian Universitas Tadulako Jl. Sukarno Hatta KM 9, Kel. Tondo, Palu Email: rauf_ompo@yahoo.com ABSTRACT Forest as an important ecosystem on controlling of climate change which can act as a source or sink on greenhouse gas. Impact of land use change from forest to others utility promo 1 te CO 2 emission and also reduce its CO 2 absorbsion capacity. It affects also on energy dynamic which increase sensible heat over than latent heat flux. Long term research on Stability of Tropical Forest Margins (STORMA) in Lore Lindu National Park a tropical forest in Central Sulawesi showed that net ecosystem exchange (NEE) in the natural forest was 970 g C m-2year-1 and in cacao agroforestry NEE was 746g C m-2year-1. While in grassland was only 300 g C m-2year-1. Analysis of turbulent flux on the grassland showed a flux dominant of sensible heat which reached 5.8 MJ.m -2 day -1 or 58,6% of the energy ability, (Rn). In contrary at the forest ecosystem, a latent heat flux had large contribution of the total turbulent flux which reached 8,9 MJ.m -2 day -1 or 80,9% of the energy ability, Rn. In cacao agroforestry the Bowen ratio was 1 which indicated that latent heat and sensible heat flux was equal. Based on a value of turbulent flux, an activity of forest conversion to other land use is clear increasing of atmosphere warming. Furthermore a role of forest on ecosystem is very important both on carbon cycle and also turbulent flux. This knowledge become important issue on climate change mitigation. Keywords : carbon and energy turbulent flux, land cover ABSTRAK Hutan merupakan ekosistem penting terhadap penanganan perubahan iklim karena selain sebagai sources juga merupakan sink potensial terhadap gas rumah kaca (GRK). Alih guna hutan menjadi bentuk penggunaan lain tidak hanya menyebabkan emisi, tetapi juga menyebabkan pengurangan kapasitas simpan dan absorbsi CO 2 . Dalam hal dinamika energi, alih guna hutan menyebabkan sensible heat yang meningkat melebihi latent heat. Hasil penelitian STORMA selama delapan tahaun di Taman Nasional Lore Lindu menunjukkan net ecosystem exchange (NEE) pada hutan tropis yakni 970 g C m-2.tahun-1 dan pada agroforestry kakao, NEE sebesar 746 g C m-2.tahun-1. Adapun NEE pada eksositem padang rumput hanya 300 g C m-2.tahun-1. Analisis limpahan energy pada ekosistem padang rumput menunjukkan dominasi limpahan sensible heat yakni mencapai 5,8 MJ.m -2 .hari -1 atau 58,6% dari energi yang tersedia, (Rn). Kondisi ini berbeda pada ekosistem hutan dimana dominasi limpahan energi adalah latent heat yakni mencapai 8,9 MJ.m -2 .hari -1 atau 80,9% dari energy yang tersedia. Pada agroforestri kakao, nilai Bowen ratio ᵦ relative sebanding dengan 1 yang menunjukkan limpahan sensible heat dan latent heat relative sama nilainya. Sesuai nilai dari limpahan energi pada berbagai jenis tutupan lahan maka alih guna hutan menjadi bentuk penggunaan lain akan menyebabkan pemanasan atmosfir. Kedua hal di atas menggambarkan hutan memiliki peranan penting pada ekosistem, tidak hanya siklus karbon tetapi juga limpahan energi. Hal ini pula menjadi pelajaran penting dalam rangka mitigasi perubahan iklim. Kata kunci : Aliran karbon dan enrgi, tutupan lahan 1. PENDAHULUAN Perubahan iklim masalah lingkungan yang mendapat perhatian serius dari banyak pihak.Ini dikarenakan dampak negatif yang ditimbulkan sangat luas terhadap kehidupan. Berbagai laporan dan analisis menunjukkan hutan memiliki peranan penting terhadap penanganan perubahan iklim karena (i) hutan merupakan salah satu sumber (sources) 103 Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014 emisi gas rumah kaca (GRK) (ii) hutan merupakan penyerap (sink) GRK yang potensial khususnya CO 2 . Salomon etal., (1993) mengemukakan bahwa hutan memegang peranan signifikan terhadap siklus karbon di alam. Pada laporan tersebut dikemukakan bahwa hutan dapat menyimpan karbon alam lebih dari 80 % termasuk yang disimpan dalam tanah sebanyak 20 %. Aspek lain yang penting pada ekosistem hutan adalahlimpahan air ke udara melalui proses evapotranspirasi dan besar pengaruhnya terhadap iklim global dan siklus hidrologi (Choundhury et al., 1998). Alih fungsi hutan menjadi areal pertanian jagung dan kedelai menyebabkan terjadinya pengurangan radiasi netto sampai 20 % dan selanjutnya menekan evapotraspirasi sebesar 0,75 mm.hari -1 dan mengakibatkan aliran permukaan mengalami peningkatan secara signifikan (Twine et al., 2004). Berbet and Costa (2003) melaporkan pada hasil penelitiannya bahwa dampak dari deforestasi adalah terjadinya gangguan pada neraca radiasi dan neraca energi suau ekosistem. Perubahan albedo sebagai komponen neraca radiasi dari 0,15 menjadi 0,25 akan meningkatkan vaiabiliti dari radiasi 1 1 netto sampai 5 % (Tunner, 1968 dalam Murdiyarso dan Satjapraja, 1991). Umumnya pada lahan terbuka radiasi netto mengalami limpahan dalam bentuk limpahan sensible heat dan soil heat dibandingkan dengan ekosistem yang tertutup vegetasi (Law,et.al. 2000). Temuan lain yang penting dari penelitiannya adalah bahwa indeks luas daun (ILD) memiliki pengaruh nyata terhadap net ecosystem exchange (NEE). Pielke (2001) pada penelitiannya tentang pengaruh tutupan lahan terhadap perubahan iklim melaporkan bahwa penutupan lahan secara nyata mempengaruhi evapotranspirasi dan limpahan sensible heat dan soil heat. Pakta empiris di atas menggambakan bahwa ekosistem hutan memiliki peranan penting pada ekosistem biosfer. Secara teoritis perubahan tutupan lahan akan menyebabkan perubahan sifat dan karakter permukaan. Kondisi ini selanjutnya akan mempengauhi sifat termal dan fungsi transfer sehingga berdampak ada sistem hidrologi, fungsi meteorologi dan berpengaruh pada sistem kehidupan yang lebih luas. 2. ALIRAN KARBON Penelitian tentang karbon di Indonesia telah banyak dilaksanakan khususnya yang baikaitan dengan biomassa vegetasi. Akan tetapi penelitian yang berkaitan dengan limpahan karbon baik pada penentuan nilai NPP (net primary production) maupun pada perhitungan tentang NEE atau carbon up take masih sangat terbatas. Penelitian STORMA (stability Tropical Rainforest Margin) yang diaporkan oleh Gravenhorst et al.,(2008) bahwa hutan merupakan sink karbon yang sangat potensial yang ditunjukkan oleh kapasitas serapan karbon pada hutan alam mencapai 2730 g C.m -2 .tahun -1 , kapasitas emisi dari hutan melalui proses respirasi termasuk dari tanah adalah 1760g C.m -2 .tahun -1 yang berarti NEE hutan mencapai 970 g C.m -2 .tahun -1 atau sebanding dengan 35,7 ton CO 2 e.ha -1 .tahun -1 (Gambar 1). Nilai ini menggambarkan bahwa setiap kehilangan hutan seluas 1 ha akan menyebabkan Akmulasi CO 2 di udara sebanyak 35,7 ton.tahun -1 . Kondisi sebaliknya adalah reforestasi atau aforestasi seluas 1 ha akan berpotensi mengurangi emisi sebanyak 35,7 ton CO 2 e.tahun -1 . Penelitian serupa yang dilaksanakan sebelumnya pada ekosistem agroforestry cacao, menunjukkan nilai NEE yang diperoleh tim STORMA adalah 20 μmol m -2 s -1 (Falk et al.,2005) nilai setara dengan 27,4 ton CO 2 ha -1 .tahun -1 . Pengukuran serupa dilaksanakan pada ekosistem padang rumput dan diperoleh nilai NEE sebanyak 300 gCm - 2 .tahun -1 . Informasi penting dari penelitian ini menunjukkan bahwa hutan merupakan penyerap karbon yang tinggi sehingga deforestasi dan atau degradasi hutan menyebabkan 104 Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014 dua hal yaitu (i) kapasitas serapan dan simpanan karbon berkurang dan (ii) terjadi pengurangan stock karbon seperti yang diiilustrasikan pada Gambar 2. 8 6 Ecosystem Respiration 1760 g C m-2 year-1 R E CO 2 flux (g (C) m -2 d -1 ) CO 2 flux g (C) m -2 d -1 4 2 0 -2 -4 -6 Net turbulent uptake 970 g C m-2 year-1 F b -8 -10 P g Gross photosynthesis 2730 g C m-2 year-1 OCT ' 03 JAN ' 04 APR JUL OCT JAN ' 05 MAR Gambar 1. NEE pada ekosistem hutan alam di kawasan Taman Nasional Lore Lindu Gambar 2. Hubungan tutupan lahan dengan kapasitas simpan dan cadangan karbon (Diolah dari hasil penelitian STORMA Dalam kaitan dengan GRK maka deforestasi dan atau degradasi hutan menyebabkan terjadinya akumulasi GRK khususnya CO 2 di atmosfer sehingga berdampak pada radiasi termal yang menyebabkan pemanasan atmosfer. 3. LIMPAHAN ENERGI Neraca energi memungkinkan dapat diuraikan limpahan energi ke dalam atau keluar dari suatu sistem. Dari neraca energi tersebut dapat diperoleh informasi nilai dari komponen radiasi yang terkonversi menjadi limpahan latent heat, sensible heat dan 105 Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014 limpahan soils heat (Sellers et al., 1997 dan Kalthoff et al., 1999). Neraca energi ini penting karena dapat dijadikan penciri kondisi iklim lokal. Menurut Nielsen et al.,(1981) limpahan sensible heat, merupakan faktor penentu karakteristik golak (turbulence) dari lapisan batas bumi (Planetary Boundary Layer, PBL). Salah satu metode yang umum dipergunkan untuk menentukan nilai-nilai dari masing masing komponen neraca radiasi adalah Bown Ratio Energi Balance. Metode ini pertama kali dipekenalkan oleh Bowen tahun 1926 1 Dalam dokumen Analisis Perubahan Fungsi Lahan Sebagai Upaya Mitigasi Perubahan Iklim dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis di Sumatra Utara (Halaman 66-69)